Abigail mengerjap, mencoba mencerna perkataan Aldrick. "Sepertinya kau sangat mengenalnya."Aldrick tersenyum miring, "Aku memang mengenalnya dengan baik bahkan setelah bertahun-tahun kami tidak saling menyapa."Abigail mengaitkan rambutnya ke belakang telinga, melirik sekilas Serafine yang duduk sembari memejamkan mata beberapa kursi dari tempat mereka dan menatap Aldrick serius."Aku masih belum sepenuhnya bisa mempercayai Lucca. Bagiku dia masih tetap penuh misteri sekalipun kami suami istri. Rasanya masih banyak hal yang dia sembunyikan." Sesuatu mencekat tenggorokannya. "Aku tidak tahu apapun tentangnya.""Itu hanya caranya untuk melindungimu."Abigail mengeryit, "Aku tidak mengerti."Aldrick ikut memajukan tubuhnya, "Kau masa depannya. Dia memilih mengubur semua masa lalu hidupnya yang tidak mengenakan dari pada menceritakanya.""Kenapa? Setidaknya—""Baginya semua itu percuma, Abi," sela Aldrick, Abi bungkam. "Tidak ada gunanya. Menceritakan kepedihannya padamu tidak akan membu
Sebulan setelah perpisahan Shine & Zafier.Swedia...Abigail termangu menatap adiknya. Shine masih tetap ceria seperti biasanya, hanya saja tatapannya berbeda. Ada kesedihan yang nyata di sana juga rasa kesepian. Abigail mengerti benar apa yang dirasakan adiknya itu karena mereka berada dalam posisi yang sama, jauh dari suami. Duduk berdua di ayunan kayu di beranda belakang rumah peninggalan Robin untuk Mamanya, menghadap ke area taman asri penuh bunga yang terawat."Aku tahu kalau kamu sudah bisa mempercayai Zafier. Ciuman itu—""Ciuman itu seharusnya tidak terjadi jika saja Zaf tidak dipenuhi rasa penasaran pada wanita itu," sela Shine, duduk menghadapnya dengan tatapan berapi-api. Setelah pertengkaran yang berujung perpisahan mereka berdua hari itu, baru ini Abigail memiliki kesempatan untuk berbicara serius dengan Shine. Abigail dan Mamanya memang baru saja tiba di swedia tadi pagi. Shine menolak kembali ke Indonesia jadi merekalah yang datang. "Selama bersamaku dan berjuang menga
Abigail mendekat, mengelus puncak kepala adiknya penuh sayang yang langsung meletakkan kepalanya di bahu, sama-sama menatap ke depan menikmati pemandangan. Terlepas dari masalah yang timbul, Abigail bahagia mereka masih bisa bercengkrama seperti ini. Dia tidak tahu kapan Lucca akan menjemputnya dan susah untuk kembali lagi ke rumah ini. "Apa kakak bahagia?" Abigail tersentak saat Shine menanyakan hal itu. kepalanya mendongak dan menatapnya penuh kekhawatiran. "Aku sebenarnya takut membayangkan kakak kembali ke Napoli lagi nanti. Entah kejadian apa yang akan terjadi jika bersama dengan mafia itu." Abigail tersenyum, "Aku percaya Lucca akan menjagaku dengan baik jadi kau tidak usah khawatir." "Tetap saja," desahnya. Duduk tegak dan tersenyum. "Kalau memang kakak membutuhkan bantuan, aku dan Zaf akan siap untuk membantu." Abigail hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan Shine. Enggan untuk menceritakan kemelut rumah tangganya dan menambah beban pikiran Shine. Biarlah dia simpan sendiri
Tiga bulan setelah Shine melahirkan.SwediaSungguh, Abigail ingin sekali memiliki malaikat seperti yang ada dalam gendongannya saat ini yang tengah tertidur dengan sangat damai di buai angin sore beranda belakang rumah tempat di mana Abigail tengah duduk sendirian. Saat ini Shine sedang menjemput suaminya untuk di bawa pulang setelah hampir satu tahun mereka berpisah. Sungguh sangat tega sekali adiknya itu menyiksa Zaf sampai selama ini. Shine yang hamil dan melahirkan tanpa dampingan suaminya nampaknya baru mengikhlaskan semuanya dan benar-benar sudah memaafkan Zafier.Selama Shine pergi, Abigail bergantian dengan Mamanya yang mengurus Baby El dengan sepenuh hatinya sembari membayangkan kalau bayi mungil dalam dekapannya ini adalah anaknya. Anaknya bersama Lucca. Memiliki garis wajah, warna mata dan bibir indah seperti suaminya.Melihat keponakannya membuat Abigail begitu dipenuhi keinginan semu untuk juga memiliki anak sendiri. Mengumpulkan tekad yang dia bangun selama Lucca belum
"Aku datang untukmu dan setelah ini kita akan terus bersama," bisiknya.Abigail memeluk balik Lucca yang mengangkat tubuhnya hingga dia harus melingkarkan kakinya di pinggang suaminya dan saling bertatapan."Iya, Lucca."Lucca tersenyum dan menciumnya penuh rindu. Abigail menerima semuanya dan balik membalasnya hingga tidak menyadari jika Lucca sudah membawanya masuk ke dalam rumah."Di mana kamarmu?" ucapnya dengan suara serak.Abigail merasakan bibirnya yang bengkak akibat ciuman Lucca. "Pintu pertama di lantai dua."Lucca kembali menciumnya dan membawanya menaiki anak tangga tanpa sekalipun menurunkan Abigail dan menjatuhkannya di atas tempat tidur. Abigail terengah, menatap Lucca yang sudah melepas baju atasnya dan menatapnya penuh cinta. Jemarinya yang lembut membelai pipi Abigail membuatnya merona."Kau tidak akan bisa membayangkan betapa tersiksanya aku karena merindukanmu, istriku."Lucca tidak memberinya kesempatan untuk membalas karena lelaki itu mulai menciumi seluruh jengk
Setelah perpisahan yang terasa singkat bagi Abigail, Serafine datang dan mengambil alih koper Abigail, berempat turun menuju ke ruang tamu tempat di mana Lucca menunggu sembari berbincang dengan Zafier. Abigail tersenyum tipis melihat Lucca yang berdiri menunggunya, mengulurkan tangan saat dia hampir mendekat dan menggenggam tangannya erat berdiri bersisian. Melvina menyerahkan Baby El ke Shine yang dirangkul Zaf dan tersenyum untuk menantu lelakinya. "Tolong jaga Abigail," ucapnya untuk Lucca. "Dengan taruhan nyawa, saya akan melakukannya," ucapnya tegas. "Terima kasih banyak." Abigail mengusap air matanya yang mengalir, sedikit kaget saat Mamanya maju dan memeluk Lucca yang nampak kaku namun tidak menolak. "Semoga kalian senantiasa bahagia." Kemudian bergantian memeluk Abigail. Setelah berpelukan dengan Shine juga Zafier dan mengecupi baby El dengan gemas, Abigail membiarkan saja Lucca membawanya pergi. Dilihatnya Serafine juga mendapatkan pelukan yang sama dari Mama dan mereka
Lucca berbalik, berjalan sambil menggendongnya dengan mudah dan duduk di kursi yang di mejanya tersaji berbagai macam makanan lezat. Abi menahan napasnya saat Lucca mendudukkannya di atas kedua pahanya dengan lembut. Laki-laki itu memang sangat suka sekali jika Abi duduk di pangkuannya, memeluknya erat mengisyaratkan jika Abi adalah miliknya untuk siapapun yang melihatnya."Makanlah."Abi membuka mulut saat Lucca menyuapinya sepotong roti isi daging yang nampak menggiurkan lalu menatap ujung cakrawala yang menggelap, menyembunyikan apapun yang ada di ujung samudra, begitu misterius.Abigail mengunyah kembali roti yang disuapkan Lucca, memandangi lampu-lampu santorini sembari bergumam, "Santorini memang indah.""Tidak bagiku." Abi menoleh ke Lucca yang kembali menyuapinya. "Kau yang berwajah merona, tanpa sehelai benangpun di bawahku, menggeliat seksi dengan tatapan tertuju padaku. Itu lebih indah dan cantik dari apapun."Abigail tersedak roti yang ditelannya mendengar perkataan Lucca
Lucca tersenyum, "Kalau aku sudah tidak memiliki hati untuk melihat dunia ini lebih hangat, maka kau adalah hati yang diberikan padaku untuk bisa merasakan kehangatan dunia itu. Aku akan mempertaruhkan apapun agar kau tetap bisa melihat dunia ini dengan tatapan juga senyuman hangatmu." Lucca mendekatkan wajah mereka. "Itu sudah cukup bagiku yang mengeraskan hati untuk bertahan hidup."Abigail berkaca-kaca, tatapan Lucca melumer dalam hatinya. Laki-laki itu pasti akan menjadi lelaki yang baik jika saja dia memiliki hidup yang lebih normal dari yang dia jalani saat ini. Secara frontal dia mengungkapkan ingin melihat dunia yang sama seperti dunia milik Abi yang normal meski hanya melalui tatapan dan senyumannya. Hal kecil itu saja sungguh membuatnya bahagia.Abigail memeluk Lucca dengan erat yang balik di peluk oleh suaminya."Aku tidak mau serakah, aku bahagia jika kau baik-baik saja saat bersamaku," bisik Lucca."Iya tentu saja," balas Abi sembari menangis."Jadi, jangan pernah tinggal