Setelah perpisahan yang terasa singkat bagi Abigail, Serafine datang dan mengambil alih koper Abigail, berempat turun menuju ke ruang tamu tempat di mana Lucca menunggu sembari berbincang dengan Zafier. Abigail tersenyum tipis melihat Lucca yang berdiri menunggunya, mengulurkan tangan saat dia hampir mendekat dan menggenggam tangannya erat berdiri bersisian. Melvina menyerahkan Baby El ke Shine yang dirangkul Zaf dan tersenyum untuk menantu lelakinya. "Tolong jaga Abigail," ucapnya untuk Lucca. "Dengan taruhan nyawa, saya akan melakukannya," ucapnya tegas. "Terima kasih banyak." Abigail mengusap air matanya yang mengalir, sedikit kaget saat Mamanya maju dan memeluk Lucca yang nampak kaku namun tidak menolak. "Semoga kalian senantiasa bahagia." Kemudian bergantian memeluk Abigail. Setelah berpelukan dengan Shine juga Zafier dan mengecupi baby El dengan gemas, Abigail membiarkan saja Lucca membawanya pergi. Dilihatnya Serafine juga mendapatkan pelukan yang sama dari Mama dan mereka
Lucca berbalik, berjalan sambil menggendongnya dengan mudah dan duduk di kursi yang di mejanya tersaji berbagai macam makanan lezat. Abi menahan napasnya saat Lucca mendudukkannya di atas kedua pahanya dengan lembut. Laki-laki itu memang sangat suka sekali jika Abi duduk di pangkuannya, memeluknya erat mengisyaratkan jika Abi adalah miliknya untuk siapapun yang melihatnya."Makanlah."Abi membuka mulut saat Lucca menyuapinya sepotong roti isi daging yang nampak menggiurkan lalu menatap ujung cakrawala yang menggelap, menyembunyikan apapun yang ada di ujung samudra, begitu misterius.Abigail mengunyah kembali roti yang disuapkan Lucca, memandangi lampu-lampu santorini sembari bergumam, "Santorini memang indah.""Tidak bagiku." Abi menoleh ke Lucca yang kembali menyuapinya. "Kau yang berwajah merona, tanpa sehelai benangpun di bawahku, menggeliat seksi dengan tatapan tertuju padaku. Itu lebih indah dan cantik dari apapun."Abigail tersedak roti yang ditelannya mendengar perkataan Lucca
Lucca tersenyum, "Kalau aku sudah tidak memiliki hati untuk melihat dunia ini lebih hangat, maka kau adalah hati yang diberikan padaku untuk bisa merasakan kehangatan dunia itu. Aku akan mempertaruhkan apapun agar kau tetap bisa melihat dunia ini dengan tatapan juga senyuman hangatmu." Lucca mendekatkan wajah mereka. "Itu sudah cukup bagiku yang mengeraskan hati untuk bertahan hidup."Abigail berkaca-kaca, tatapan Lucca melumer dalam hatinya. Laki-laki itu pasti akan menjadi lelaki yang baik jika saja dia memiliki hidup yang lebih normal dari yang dia jalani saat ini. Secara frontal dia mengungkapkan ingin melihat dunia yang sama seperti dunia milik Abi yang normal meski hanya melalui tatapan dan senyumannya. Hal kecil itu saja sungguh membuatnya bahagia.Abigail memeluk Lucca dengan erat yang balik di peluk oleh suaminya."Aku tidak mau serakah, aku bahagia jika kau baik-baik saja saat bersamaku," bisik Lucca."Iya tentu saja," balas Abi sembari menangis."Jadi, jangan pernah tinggal
Abigail mendesah, melipat lengannya di dada dengan wajah setengah kesal, "Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua ini."Lucca terkekeh pelan, membawa genggaman tangan mereka di atas pahanya yang kakinya dia silangkan sementara tangan yang lain menghisap rokoknya. Tidak lama para pelayan datang membawakan setiap meja cemilan lezat lengkap dengan wine-nya."Selamat malam semuanya." Setelah menunggu selama beberapa saat, ada seorang lelaki berjas biru mengenakan topeng berdiri di atas sana menjadi pusat perhatian. Abigail masih mencoba untuk menerka kira-kira acara macam apa ini. "Momen penting yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali di tempat yang berbeda kembali digelar tahun ini di The Riviera Oceania Cruises. Dengan undangan terbatas yang hanya di hadiri sosialita tingkat atas—" Abigail mendesah, belum terbiasa dengan kelas sosialnya yang berubah total setelah menjadi istri Lucca. Mau dinikmati juga dia merasa semuanya berlebihan. "Langsung saja kita mulai acara lelang kita
Abigail hanya termangu, tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Entah apa dia bisa menggunakan jam itu tanpa terbayang-bayang dengan harganya."Benda berikutnya adalah sebuah bros dengan ukiran fenomenal berbatukan safir yang ditemukan di dasar samudra—"Setelahnya,Lucca memborong hampir semua barang yang ada di lelang itu hanya karena dia berpikir jika tatapan terperangah Abigail pada benda yang keluar di lelang sebagai bentuk rasa suka. Benda termahal yang didapatkan Lucca dengan harga fantastis hingga triliunan jika dalam satuan rupiah berupa sisir emas bertahtakan berlian termahal mengalahkan kalung diamond sebelumnya.Hanya sebuah sisir. Abigail baru tahu kalau orang kaya memang gila."Oh my God." Abigail menutup wajahnya dengan kedua tangan, frustasi saat melihat semua barang juga harganya yang diberikan Lucca."Wah, pemenang lelang malam ini benar-benar lelaki yang cinta istrinya ternyata. Selamat untuk Zero dan wanita cantik bergaun merah di sebelahnya yang pasti akan sangat b
Abigail menggerang dalam tidurnya, berusaha menggapai selimut yang dia ingat menutupi seluruh tubuhnya sebelum tidur. Namun dia malah merasakan hembusan hangat di pipinya dan kehangatan lain yang melingkupinya. Rasanya terlalu nyaman namun dia jelas harus memastikan dengan membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya hanyalah tatapan lembut yang menyorot dari iris mata hijau milik suaminya, Lucca. "Lucca—" ucapnya kaget. "Kau sudah pulang?" Seingatnya Lucca mengatakan akan berada di Roma paling cepat selama empat hari jadi Abigail tidak menduga kalau suaminya malam ini akan menemaninya tidur. "Seperti yang kau lihat, aku ada di sini." Abigail menyadari jika Lucca sedang memeluknya dengan erat hingga Abigail bergelung dengan nyaman di sampingnya. "Bagaimana urusanmu?" "Aku sudah menyelesaikanya. Kau membuatku tidak bisa terlalu lama meninggalkan Napoli," ucapnya sembari tersenyum. "Kalau begitu, selamat datang kembali di rumah," Abigail tanpa sadar tersenyum lebar membuat Lucca un
Abigail terdiam, dia sama sekali lupa jika Lucca memiliki masa lalu yang menyakitkan. Mungkin itu pula yang mempengaruhi keputusan Lucca tidak mau memiliki anak karena tidak mau membuat anaknya menderita seperti dirinya. Sejujurnya Abi juga takut akan hal itu namun dia yakin Lucca berbeda dan akan mencintai anaknya kelak hingga bisa menciptakan kehidupan berbeda seperti yang dia alami dulu. Namun tetap saja rasanya ada yang aneh, terlebih lagi saat mengingat tatapan binar yang pernah Lucca tunjukkan saat melihat dia menggendong Baby El. Ada ketertarikan juga kebahagiaan yang sekilas tertangkap matanya. Atau itu semua hanya halusinasinya saja. Abigail bergerak mendekat, menatap lekat Lucca dan mengelus sisi wajah suaminya dengan lembut hingga kegusaran di mata suaminya memudar perlahan. "Kita akan membesarkannya dengan penuh cinta," bisik Abi dengan yakinnya. "Tidak, Abi," lirih Lucca. "Aku tidak butuh apapun, cukup kau saja." Abigail menggelengkan kepala, "Aku menginginkannya. Tid
Mata Abigail membulat, tidak sadar terkesiap sembari menutup mulutnya."Dia meninggal bersama bayi yang ada di didalam perutnya akibat suatu insiden. Aku sudah memastikan hal itu di rumah sakit yang menanganinya."Tanpa sadar, mata Abigail berkaca-kaca dan saat tersadar, Lucca sedang memeluknya dengan erat."Maaf,Abi," lirihnya. "Aku tidak mau membuatmu kecewa dengan mengatakan hal ini. Aku tidak bisa kehilanganmu lagi jadi kalau kau marah padaku saat ini, aku terima asal kau tidak pergi meninggalkanku. Itu semua memang kesalahanku tapi aku bisa memastikan kalau kau tidak perlu khawatir akan bayi itu karena dia tidak ditakdirkan untuk hidup."Abi menyesali segala hal yang menimpa Rosetta. Kalau bayi itu masih hidup, Abigail bersedia merawatnya karena bagaimanapun, dalam darahnya mengalir darah Lucca."Apa kau yakin bayinya juga tidak selamat?" Lirih Abi, berharap sebaliknya.Lucca memeluknya lebih erat, "Ya, aku yakin. Aku bersumpah tidak akan membuatmu menderita karena kenyataan itu.
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj