"Aku datang untukmu dan setelah ini kita akan terus bersama," bisiknya.Abigail memeluk balik Lucca yang mengangkat tubuhnya hingga dia harus melingkarkan kakinya di pinggang suaminya dan saling bertatapan."Iya, Lucca."Lucca tersenyum dan menciumnya penuh rindu. Abigail menerima semuanya dan balik membalasnya hingga tidak menyadari jika Lucca sudah membawanya masuk ke dalam rumah."Di mana kamarmu?" ucapnya dengan suara serak.Abigail merasakan bibirnya yang bengkak akibat ciuman Lucca. "Pintu pertama di lantai dua."Lucca kembali menciumnya dan membawanya menaiki anak tangga tanpa sekalipun menurunkan Abigail dan menjatuhkannya di atas tempat tidur. Abigail terengah, menatap Lucca yang sudah melepas baju atasnya dan menatapnya penuh cinta. Jemarinya yang lembut membelai pipi Abigail membuatnya merona."Kau tidak akan bisa membayangkan betapa tersiksanya aku karena merindukanmu, istriku."Lucca tidak memberinya kesempatan untuk membalas karena lelaki itu mulai menciumi seluruh jengk
Setelah perpisahan yang terasa singkat bagi Abigail, Serafine datang dan mengambil alih koper Abigail, berempat turun menuju ke ruang tamu tempat di mana Lucca menunggu sembari berbincang dengan Zafier. Abigail tersenyum tipis melihat Lucca yang berdiri menunggunya, mengulurkan tangan saat dia hampir mendekat dan menggenggam tangannya erat berdiri bersisian. Melvina menyerahkan Baby El ke Shine yang dirangkul Zaf dan tersenyum untuk menantu lelakinya. "Tolong jaga Abigail," ucapnya untuk Lucca. "Dengan taruhan nyawa, saya akan melakukannya," ucapnya tegas. "Terima kasih banyak." Abigail mengusap air matanya yang mengalir, sedikit kaget saat Mamanya maju dan memeluk Lucca yang nampak kaku namun tidak menolak. "Semoga kalian senantiasa bahagia." Kemudian bergantian memeluk Abigail. Setelah berpelukan dengan Shine juga Zafier dan mengecupi baby El dengan gemas, Abigail membiarkan saja Lucca membawanya pergi. Dilihatnya Serafine juga mendapatkan pelukan yang sama dari Mama dan mereka
Lucca berbalik, berjalan sambil menggendongnya dengan mudah dan duduk di kursi yang di mejanya tersaji berbagai macam makanan lezat. Abi menahan napasnya saat Lucca mendudukkannya di atas kedua pahanya dengan lembut. Laki-laki itu memang sangat suka sekali jika Abi duduk di pangkuannya, memeluknya erat mengisyaratkan jika Abi adalah miliknya untuk siapapun yang melihatnya."Makanlah."Abi membuka mulut saat Lucca menyuapinya sepotong roti isi daging yang nampak menggiurkan lalu menatap ujung cakrawala yang menggelap, menyembunyikan apapun yang ada di ujung samudra, begitu misterius.Abigail mengunyah kembali roti yang disuapkan Lucca, memandangi lampu-lampu santorini sembari bergumam, "Santorini memang indah.""Tidak bagiku." Abi menoleh ke Lucca yang kembali menyuapinya. "Kau yang berwajah merona, tanpa sehelai benangpun di bawahku, menggeliat seksi dengan tatapan tertuju padaku. Itu lebih indah dan cantik dari apapun."Abigail tersedak roti yang ditelannya mendengar perkataan Lucca
Lucca tersenyum, "Kalau aku sudah tidak memiliki hati untuk melihat dunia ini lebih hangat, maka kau adalah hati yang diberikan padaku untuk bisa merasakan kehangatan dunia itu. Aku akan mempertaruhkan apapun agar kau tetap bisa melihat dunia ini dengan tatapan juga senyuman hangatmu." Lucca mendekatkan wajah mereka. "Itu sudah cukup bagiku yang mengeraskan hati untuk bertahan hidup."Abigail berkaca-kaca, tatapan Lucca melumer dalam hatinya. Laki-laki itu pasti akan menjadi lelaki yang baik jika saja dia memiliki hidup yang lebih normal dari yang dia jalani saat ini. Secara frontal dia mengungkapkan ingin melihat dunia yang sama seperti dunia milik Abi yang normal meski hanya melalui tatapan dan senyumannya. Hal kecil itu saja sungguh membuatnya bahagia.Abigail memeluk Lucca dengan erat yang balik di peluk oleh suaminya."Aku tidak mau serakah, aku bahagia jika kau baik-baik saja saat bersamaku," bisik Lucca."Iya tentu saja," balas Abi sembari menangis."Jadi, jangan pernah tinggal
Abigail mendesah, melipat lengannya di dada dengan wajah setengah kesal, "Aku sama sekali tidak mengerti dengan semua ini."Lucca terkekeh pelan, membawa genggaman tangan mereka di atas pahanya yang kakinya dia silangkan sementara tangan yang lain menghisap rokoknya. Tidak lama para pelayan datang membawakan setiap meja cemilan lezat lengkap dengan wine-nya."Selamat malam semuanya." Setelah menunggu selama beberapa saat, ada seorang lelaki berjas biru mengenakan topeng berdiri di atas sana menjadi pusat perhatian. Abigail masih mencoba untuk menerka kira-kira acara macam apa ini. "Momen penting yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali di tempat yang berbeda kembali digelar tahun ini di The Riviera Oceania Cruises. Dengan undangan terbatas yang hanya di hadiri sosialita tingkat atas—" Abigail mendesah, belum terbiasa dengan kelas sosialnya yang berubah total setelah menjadi istri Lucca. Mau dinikmati juga dia merasa semuanya berlebihan. "Langsung saja kita mulai acara lelang kita
Abigail hanya termangu, tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Entah apa dia bisa menggunakan jam itu tanpa terbayang-bayang dengan harganya."Benda berikutnya adalah sebuah bros dengan ukiran fenomenal berbatukan safir yang ditemukan di dasar samudra—"Setelahnya,Lucca memborong hampir semua barang yang ada di lelang itu hanya karena dia berpikir jika tatapan terperangah Abigail pada benda yang keluar di lelang sebagai bentuk rasa suka. Benda termahal yang didapatkan Lucca dengan harga fantastis hingga triliunan jika dalam satuan rupiah berupa sisir emas bertahtakan berlian termahal mengalahkan kalung diamond sebelumnya.Hanya sebuah sisir. Abigail baru tahu kalau orang kaya memang gila."Oh my God." Abigail menutup wajahnya dengan kedua tangan, frustasi saat melihat semua barang juga harganya yang diberikan Lucca."Wah, pemenang lelang malam ini benar-benar lelaki yang cinta istrinya ternyata. Selamat untuk Zero dan wanita cantik bergaun merah di sebelahnya yang pasti akan sangat b
Abigail menggerang dalam tidurnya, berusaha menggapai selimut yang dia ingat menutupi seluruh tubuhnya sebelum tidur. Namun dia malah merasakan hembusan hangat di pipinya dan kehangatan lain yang melingkupinya. Rasanya terlalu nyaman namun dia jelas harus memastikan dengan membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya hanyalah tatapan lembut yang menyorot dari iris mata hijau milik suaminya, Lucca. "Lucca—" ucapnya kaget. "Kau sudah pulang?" Seingatnya Lucca mengatakan akan berada di Roma paling cepat selama empat hari jadi Abigail tidak menduga kalau suaminya malam ini akan menemaninya tidur. "Seperti yang kau lihat, aku ada di sini." Abigail menyadari jika Lucca sedang memeluknya dengan erat hingga Abigail bergelung dengan nyaman di sampingnya. "Bagaimana urusanmu?" "Aku sudah menyelesaikanya. Kau membuatku tidak bisa terlalu lama meninggalkan Napoli," ucapnya sembari tersenyum. "Kalau begitu, selamat datang kembali di rumah," Abigail tanpa sadar tersenyum lebar membuat Lucca un
Abigail terdiam, dia sama sekali lupa jika Lucca memiliki masa lalu yang menyakitkan. Mungkin itu pula yang mempengaruhi keputusan Lucca tidak mau memiliki anak karena tidak mau membuat anaknya menderita seperti dirinya. Sejujurnya Abi juga takut akan hal itu namun dia yakin Lucca berbeda dan akan mencintai anaknya kelak hingga bisa menciptakan kehidupan berbeda seperti yang dia alami dulu. Namun tetap saja rasanya ada yang aneh, terlebih lagi saat mengingat tatapan binar yang pernah Lucca tunjukkan saat melihat dia menggendong Baby El. Ada ketertarikan juga kebahagiaan yang sekilas tertangkap matanya. Atau itu semua hanya halusinasinya saja. Abigail bergerak mendekat, menatap lekat Lucca dan mengelus sisi wajah suaminya dengan lembut hingga kegusaran di mata suaminya memudar perlahan. "Kita akan membesarkannya dengan penuh cinta," bisik Abi dengan yakinnya. "Tidak, Abi," lirih Lucca. "Aku tidak butuh apapun, cukup kau saja." Abigail menggelengkan kepala, "Aku menginginkannya. Tid