"Dia mau kemana?" gumamnya, lebih untuk dirinya sendiri sembari memperhatikan Bella yang melenggang santai ke arah mansion bagian selatan, bukannya ke kamar pribadi Lucca. Tidak malu saat tubuhnya diperhatikan setiap bodyguard Lucca yang tersebar di sekitar area mansion. "Tentu saja pergi melayani Tuan Lucca." Abigail tersentak kaget, menoleh dan mendapati Serafine ikut memandangi Bella yang semakin menjauh di sampingnya. "Bukankah dia salah jalan?" tanya Abi, tidak mengerti. Serafine menghadapnya, "Tidak. Dia tahu harus pergi ke mana. Satu kamar besar yang berada di sana merupakan tempat Tuan Lucca menikmati pelacurnya." "Kamarnya—" "Tuan Lucca tidak memperbolehkan siapapun masuk. Kau seharusnya paham kalimat itu." Abigail mengangguk, meski heran. "Oke baiklah. Area itu terlarang." Abigail kembali melihat kejauhan. "Semua lelaki yang dia lewati seperti menelanjanginya dengan tatapan." "Jangan hiraukan itu. Tuan Lucca bahkan tidak peduli karena Bella hanya pelacurnya. Lagipula
Pukul satu malam, Abigail menyeret kakinya melangkah menjauhi kamar yang dia huni bersama para pelacur itu. Rambutnya tergerai, jubah tidur yang menutup seluruh tubuhnya, bersentuhan dengan lantai marmer, berjalan di antara temaramnya bangunan. Membiarkan sinar bulan di kejauhan menuntunnya entah kemana. Anehnya, tidak terlihat penjaga di mana pun membuat Abi mengeryit heran. Kemana mereka semua? Sampailah dia di dekat jalan setapak, di balik bayang-bayang kebun bunga yang tertata rapi, jauh dari kamarnya berada. Abigail terdiam sejenak, merasakan semilir angin berhembus, dingin yang pekat memaksanya untuk kembali ke kamar dan berlindung di balik selimut hangatnya, namun tubuhnya seakan memiliki pikiran sendiri. Abigail berjalan memasuki area taman bunga yang tingginya mencapai lebih dari tubuhnya sendiri, memiliki beberapa belokan dengan ruas jalan yang bisa dijadikan pilihan hingga membawanya berputar dan sampai ke area tengah di mana ada air mancur dengan hiasan patung wanita bers
Seharusnya tidak ada yang perlu dicemaskan Abigail. Toh, pertemuannya dengan Lucca hanya sebatas mimpi. Meskipun ada sebagian dari dirinya yang merasa kalau itu nyata. Abigail mencoba mengelak karena tidak ada alasan bagi Lucca untuk melakukannya. Abigail masih ingat jelas perkataan Lucca kalau dia tidak tertarik pada tubuhnya. Lagipula, semalam dia pasti sedang bersenang-senang dengan pelacurnya yang entah akan seperti apa bentuk tempat tidur di ruangan itu pagi ini. Abigail bergidik mengenyahkan bayangan dalam kepalanya. Pikiran-pikiran tidak menentu itu membuat Abigail memilih sebisanya tidak berinteraksi dengan Lucca. Cara aman supaya dia sedikit tenang menjalani kesehariannya seraya memikirkan cara melarikan diri, jika memungkinkan. Tapi, bayangan ciuman Lucca masih tertinggal dalam ingatannya yang samar. "Apa kau baru saja berciuman dengan seseorang sampai memegangi bibirmu seperti itu?" Abigail tersentak kaget, menurunkan tangan yang tidak disadarinya berada di bibir dan men
Tempat di dalam mimpinya memang nyata. Abigail berdiri di depan patung wanita bersayap yang di sekitarnya terdapat bunga mawar hitam yang merekah sempurna. Meski hitam tapi terlihat berkilau akibat terpaan cahaya matahari yang membuatnya begitu cantik. Abigail menelan salivanya, mengedarkan pandangan dengan tatapan nanar, hingga tanpa sadar meraba bibirnya. Sial! Apa ciuman itu nyata? "Apa yang kau lakukan di sini?" Abigail tersentak, berbalik dan berhadapan dengan Serafine yang berdiri tidak jauh darinya. "Kau tidak seharusnya berada di sini." Abigail berniat pergi, tidak mau mencari gara-gara. Untung saja bukan Lucca yang memergokinya sedang terkesima dengan hitamnya kelopak mawar miliknya. Seperti mimpinya tadi malam. "Aku sedang dalam perjalanan ke kamar untuk membangunkan Bellatrix tapi aku tidak sengaja melihat labirin ini hingga membawaku kemari." Serafine mendekat, berdiri beberapa meter darinya dengan tatapan menyelidik, "Tidak perlu, Dia sudah kembali ke kamarnya
"Ini namanya tanda cinta." Bellatrix memperlihatkan bekas merah di pahanya sembari menghabiskan saladnya. "Tuan Lucca begitu bersemangat bahkan tanpa perlu melakukan foreplay--" Bolehkah Abigail muntah saat ini ketika mendengar semua kebahagiaan yang disampaikan Bellatrix tentang bagaimana Tuannya memperlakukannya. Tanda merah dipahanya jelas memperlihatkan kebrutalan Lucca dalam hal sex. "Bahkan setelah permainannya yang pertama, Tuan Lucca kembali menegang setelah permainanku dan bermain dengan bringas setelahnya. Betapa bahagianya diriku bisa memuaskannya semalam." "Kau pikir dia seperti itu hanya padamu,"cibir Berta. "Berhentilah mengatakan semua itu karena kami juga mengalaminya." "Biarkan saja dia," decak Brianna. "Tidak usah dengarkan sekalian." "Kau mungkin beruntung tadi malam tapi jangan terlalu senang dulu karena aku pernah tiga hari-hari berturut-turut melayaninya tanpa digantikan," cebik Kendra. Bellatrix memutar bola matanya, "Itu sudah lama sekali." "Tapi jelas,
POV LUCCA ALONZO Flashback On "Tuan—" "Katakan saja apa yang ingin kau tanyakan sejak tadi." Lucca tahu, Serafine menyimpan keheranan akan keputusannya membawa Abigail ke mansion. Ketika ada kesempatan, pengawal pribadinya itu langsung bertanya meski tahu jawabannya tidak akan memuaskan. Lucca bukan jenis orang yang akan menceritakan segala hal secara mendetail, bahkan jarang berbicara. Tidak ada bawahannya yang berani menanyakan keputusan yang dibuatnya kecuali Serafine. Baginya, menjadi lunak itu kelemahan dan berbahaya karena di luar sana banyak yang mencari cara untuk membinasakannya. Meski dia juga terkejut dengan sikap implusifnya membawa Abigail menjadi tawanan alih-alih langsung saja membunuhnya bersama Erick Brigton tadi malam. Abigail memiliki kalungnya yang bodohnya dia berikan pada seseorang yang sekarang entah berada di mana. Pilihan apa yang Lucca miliki selain menawan Abigail untuk mendapatkannya kembali. Lucca menegak whiskey-nya, duduk di balik meja besar di r
Ada tamu tidak diundang yang datang ke mansionnya tanpa rasa takut. Lucca memperhatikan lelaki itu dengan seksama, menilai nyalinya yang patut diperhitungkan karena berani datang menemuinya. Dalam ingatannya yang tajam, mereka jelas tidak pernah bertemu sebelumnya. "Lucca Alonzo," sambutnya saat melihatnya berjalan mendekat. "Senang bisa bertemu langsung denganmu." "Siapa kau?" "Perkenalkan, aku Thomas Gratt. Kekasih Abigail." Lucca menaikan alisnya, berhenti beberapa meter dari tempat di mana Thomas berdiri. "Kekasih?" "Ya, kekasih." "Apa yang membawa kekasih Abigail sampai sejauh ini ke Napoli?" Tanyanya, duduk di kursi tunggal dengan santai tanpa menghiraukan uluran tangan Thomas yang terlalu percaya diri. "Tentu saja karena Abigail." Thomas duduk bersebrangan dengannya. "Kau membawa kekasihku begitu saja." "Dia tidak pernah menyinggung memiliki kekasih bahkan sekedar untuk meminta petolonganmu karena berurusan denganku." Thomas tersenyum, "Maybe, dia marah denganku kare
"Tidak cukupkah kau membuatku menderita seperti ini," ucap Abi disela tangisannya. Seperti berusaha menahan emosinya yang ingin meledak. Lucca tidak tahu bagaimana wanita itu bisa sampai ke rumah utama. Padahal Serafine pasti sudah memberitahukan semua larangan yang harus dipatuhinya. Nanti Lucca akan memperingatkannya lagi, meski harus dengan cara keras, karena wanita itu tidak boleh terlihat oleh orang di luaran sana. "Aku berharap, tidak pernah mengenalmu dalam hidupku. Dasar bajingan!!" Lucca menyandarkan pipi kanannya pada kepalan tangannya, memperhatikan keduanya. Kemarahan Abi tidak menakutkan sama sekali bahkan terkesan imut. "Kau memang pantas membenciku, Abi," balas Thomas. "Tapi aku sudah tidak memiliki apapun lagi saat ini. Aku harap kau mau memaafkanku." "Memaafkan bajingan sepertimu?" Ucapnya penuh penekanan, Lucca duduk tegak saat melihat genggeman erat Abi pada botol di tangannya. Matanya merah, tangisannya tertahan, napasnya naik turun, dan terlihat begitu terl