POV LUCCA ALONZO Flashback On "Tuan—" "Katakan saja apa yang ingin kau tanyakan sejak tadi." Lucca tahu, Serafine menyimpan keheranan akan keputusannya membawa Abigail ke mansion. Ketika ada kesempatan, pengawal pribadinya itu langsung bertanya meski tahu jawabannya tidak akan memuaskan. Lucca bukan jenis orang yang akan menceritakan segala hal secara mendetail, bahkan jarang berbicara. Tidak ada bawahannya yang berani menanyakan keputusan yang dibuatnya kecuali Serafine. Baginya, menjadi lunak itu kelemahan dan berbahaya karena di luar sana banyak yang mencari cara untuk membinasakannya. Meski dia juga terkejut dengan sikap implusifnya membawa Abigail menjadi tawanan alih-alih langsung saja membunuhnya bersama Erick Brigton tadi malam. Abigail memiliki kalungnya yang bodohnya dia berikan pada seseorang yang sekarang entah berada di mana. Pilihan apa yang Lucca miliki selain menawan Abigail untuk mendapatkannya kembali. Lucca menegak whiskey-nya, duduk di balik meja besar di r
Ada tamu tidak diundang yang datang ke mansionnya tanpa rasa takut. Lucca memperhatikan lelaki itu dengan seksama, menilai nyalinya yang patut diperhitungkan karena berani datang menemuinya. Dalam ingatannya yang tajam, mereka jelas tidak pernah bertemu sebelumnya. "Lucca Alonzo," sambutnya saat melihatnya berjalan mendekat. "Senang bisa bertemu langsung denganmu." "Siapa kau?" "Perkenalkan, aku Thomas Gratt. Kekasih Abigail." Lucca menaikan alisnya, berhenti beberapa meter dari tempat di mana Thomas berdiri. "Kekasih?" "Ya, kekasih." "Apa yang membawa kekasih Abigail sampai sejauh ini ke Napoli?" Tanyanya, duduk di kursi tunggal dengan santai tanpa menghiraukan uluran tangan Thomas yang terlalu percaya diri. "Tentu saja karena Abigail." Thomas duduk bersebrangan dengannya. "Kau membawa kekasihku begitu saja." "Dia tidak pernah menyinggung memiliki kekasih bahkan sekedar untuk meminta petolonganmu karena berurusan denganku." Thomas tersenyum, "Maybe, dia marah denganku kare
"Tidak cukupkah kau membuatku menderita seperti ini," ucap Abi disela tangisannya. Seperti berusaha menahan emosinya yang ingin meledak. Lucca tidak tahu bagaimana wanita itu bisa sampai ke rumah utama. Padahal Serafine pasti sudah memberitahukan semua larangan yang harus dipatuhinya. Nanti Lucca akan memperingatkannya lagi, meski harus dengan cara keras, karena wanita itu tidak boleh terlihat oleh orang di luaran sana. "Aku berharap, tidak pernah mengenalmu dalam hidupku. Dasar bajingan!!" Lucca menyandarkan pipi kanannya pada kepalan tangannya, memperhatikan keduanya. Kemarahan Abi tidak menakutkan sama sekali bahkan terkesan imut. "Kau memang pantas membenciku, Abi," balas Thomas. "Tapi aku sudah tidak memiliki apapun lagi saat ini. Aku harap kau mau memaafkanku." "Memaafkan bajingan sepertimu?" Ucapnya penuh penekanan, Lucca duduk tegak saat melihat genggeman erat Abi pada botol di tangannya. Matanya merah, tangisannya tertahan, napasnya naik turun, dan terlihat begitu terl
Keputusan awalnya untuk seminim mungkin berinteraksi dengan Lucca harus dia urungkan. Ada satu alasan mendesak yang mengharuskannya menemui The Black Rose setelah tidak bisa menemukan keberadaan Serafine. Abigail harus menghubungi Letisha dan Thita untuk memberitahukan kalau dia sudah sampai dan baik-baik saja. Abigail tidak mau mereka menanyakan dirinya melalui Shine. Demi apapun, Shine tidak boleh mengkhawatirkannya jadi Abigail harus berusaha menjaga kebohongannya tetap aman. Abigail akan minta satu kesempatan pada Lucca untuk menghubungi sahabatnya dan mengatakan dia baik-baik saja. Hanya itu. Kalau saja kalung milik Lucca yang dia temukan di dermaga tidak dia berikan ke Riley sebelum lelaki itu pergi entah kemana karena terlalu takut menyimpannya sendiri, mungkin dia bisa bebas pulang ke Indonesia. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu Riley datang melalui surat rahasia yang dia titipkan pada Letisha seandainya Riley muncul. Namun, apa yang dia dapatkan di rumah ut
"Abigail dibebas tugaskan malam ini!" Tegas Serafine. Abigail memeluk lututnya sendiri yang terasa menggigil di atas tempat tidur dengan tatapan menerawang. Tidak bisa melupakan bayangan Thomas yang tergeletak bersimbah darah. Mengabaikan semua orang yang ada di sekitarnya."Sebenarnya apa yang dia lakukan bersama Tuan Lucca di rumah utama?!" suara kesal Bellatrix mendominasi. "Dia seharusnya tidak boleh berdekatan dengan tuan. Posisinya di sini hanya sebagai pelayan jadi dia tidak pantas mendapatkan perhatian Tuan. Sekarang, aku ingin dilayani, tidak peduli dia sedang menderita, bersedih ataupun kesakitan, dia harus melakukannya!!""Untuk sementara, kau bisa memanggil pelayan yang lain. Dia akan bekerja kembali seperti biasanya mulai besok pagi. Terserah kalian mau menyuruh apapun padanya. Apa ucapanku belum jelas?!" balas Serafine."Kenapa dia dibebastugaskan?!" Bella semakin kesal. "Astaga, apa dia mencoba untuk menggoda Tuan Lucca hingga mendapatkan hukuman." Abigail memalingkan
Abigail terdiam sesaat, mengamati ekspresi Dom yang nampak sendu. Mengingatkannya pada Arsen, sahabatnya yang sekarang pasti berusaha menjaga adiknya, seperti yang selama bertahun-tahun ini dia lakukan. Abigail hanya bisa berdoa, lelaki itu tidak bodoh dengan terus-menerus menutupi perasaannya. "Apa dia tidak memiliki sedikit saja kebaikan hati?" "Tidak mudah menjadi seseorang dengan kedudukan sepertinya, Abi. Dengan latar belakangnya, sejarah keluarganya, musuh-musuh yang berharap bisa menjatuhkannya dan semua yang telah dia alami, sejak dulu dia sudah belajar mengeraskan hati. Kalau mau aman, ikuti saja apa yang dikatakanya." "Aku tidak mau membayangkan kehidupan apa yang dimilikinya. Berdekatan dengannya saja membuatku takut. Seandainya saja kami tidak bertemu dan aku tidak bodoh memungut kalung salibnya, mungkin aku tidak ada di sini." Meski masih samar bagi Abi, mungkin saja dia malah berakhir di tempat mengerikan lainnya. Tapi dia jelas tidak mau berada di tempat yang dia t
"Untuk apa kau begitu khawatir aku akan menggodanya," balas Abi dengan suara pelan. "Apa kau tidak merasa percaya diri bersaing dengan seorang pelayan sepertiku. Lagipula, kau belum menjadi Nyonya rumah di sini jadi tolong, jangan bersikap selayaknya pemilik seorang The Black Rose. Kalian harus sadar apa fungsi kalian di sini—" Abi menatap mereka bertiga bergantian yang melotot marah. "Semata-mata hanya pelacur."Bella jelas langsung marah meski pada kenyataannya memang begitulah statusnya. Abigail terkesiap saat Bella mencengkram lehernya kuat dengan amarah yang menggelegak."Aku akan menjadi nyonya di rumah ini," desisnya penuh penekanan. "Kau akan jadi yang pertama aku tendang keluar dari sini. Jangan berani macam-macam denganku!"Abigail tidak bisa bersuara, mencoba melepas tangan Bella dari lehernya."Bella, hentikan!" Seru Brianna. "Kau bisa menyakitinya.""Memangnya siapa yang peduli," cibirnya, makin mencengkram erat. "Dia benar-benar harus diberi pelajaran.""Hentikan Bell."
Ruangan besar bernuansa navy dengan semua perabotnya yang serba mahal tidak membuat Abigail merasa nyaman. Untuk pertama kalinya, Abi berada di area terlarang yang menjadi kediaman pribadi Lucca. Bangunan yang di desain dengan nuansa maskulin itu berbeda dengan semua ruangan yang ada di sekitar mansion. Benar-benar menunjukkan dengan kuat karakter seorang the Black Rose yang didominasi warna gelap navy bercampur gold dan campuran warna netral seperti putih. Mengisyaratkan kalau pemiliknya tidak suka warna cerah dan kedudukannya di simbolkan dengan nuansa gold.Kalau di rumah mewah lainnya dihiasi dengan bunga mawar aneka warna agar terlihat lebih indah, lain halnya dengan kediaman Lucca. Mawar hitamlah yang menghiasi setiap vas bunga yang mungkin diletakkan di setiap ruangan. Benar-benar mengesankan hidup yang penuh kegelapan.Abigail berdiri diam seraya meremas telapak tangannya sendiri di bawah tatapan intens The Black Rose. Balas memandang tanpa gentar meski didera rasa takut yang