Ruangan besar bernuansa navy dengan semua perabotnya yang serba mahal tidak membuat Abigail merasa nyaman. Untuk pertama kalinya, Abi berada di area terlarang yang menjadi kediaman pribadi Lucca. Bangunan yang di desain dengan nuansa maskulin itu berbeda dengan semua ruangan yang ada di sekitar mansion. Benar-benar menunjukkan dengan kuat karakter seorang the Black Rose yang didominasi warna gelap navy bercampur gold dan campuran warna netral seperti putih. Mengisyaratkan kalau pemiliknya tidak suka warna cerah dan kedudukannya di simbolkan dengan nuansa gold.Kalau di rumah mewah lainnya dihiasi dengan bunga mawar aneka warna agar terlihat lebih indah, lain halnya dengan kediaman Lucca. Mawar hitamlah yang menghiasi setiap vas bunga yang mungkin diletakkan di setiap ruangan. Benar-benar mengesankan hidup yang penuh kegelapan.Abigail berdiri diam seraya meremas telapak tangannya sendiri di bawah tatapan intens The Black Rose. Balas memandang tanpa gentar meski didera rasa takut yang
Mereka bertatapan untuk beberapa saat, menyelami ke dalam manik mata masing-masing. Semuanya bercampur jadi satu di kepala Abigail. Bagaimana Lucca bisa begitu tampan, mempesona, memikat dengan semua yang dimilikinya saat dilihat dari jarak begitu dekat. Aroma maskulinnya menguar kuat memberikan sensasi yang tidak akan bisa ditolak wanita manapun meski di baliknya, dia begitu mematikan dan berbahaya. Lucca memajukan kepalanya, hidung mereka bahkan hampir bersentuhan, membuat Abigail mendadak kaku tidak bisa bergerak. "Aku benarkan, Abi?" Abigail terdiam sesaat, tidak bisa berpikir. Lalu dia tersadar, mundur menjauh beberapa langkah membuat Lucca kembali menegakkan punggungnya disertai seringaian. "Jika kau berpikir demikian, maka di saat kau merasakan sentuhan magic dari cinta, itulah hari dimana akhirnya kau mengalami kejatuhan yang sempurna. Penyerahan total yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya," ucapnya dalam dan penuh penekanan agar Lucca mengerti maksudnya. Lucca berge
Abigail menggenggam erat setangkai mawar hitam yang dia petik dari taman Lucca secara diam-diam dipinggir tebing tinggi tidak jauh dari mansion yang ditutupi pepohonan lebat. Tidak peduli tangannya terluka dan berdarah akibat duri yang menembus lapisan kulitnya, Abigail menangis memandangi laut dengan ombaknya yang kuat di bawah sana, tempat di mana jasad Thomas dibuang begitu saja. Betapa kejinya seorang the Black Rose. "Maaf—" Banyak hal yang ingin dia utarakan untuk Thomas yang dulu memberinya banyak rasa sebelum kekacauan hubungan mereka terjadi tapi hanya kata maaf yang terlontar dari bibirnya. Kalau banyak orang akan mengingat keburukan seseorang yang mengecewakan mereka, Abigail malah mengingat semua kebaikan yang Thomas lakukan. "Maafkan aku." Abigail menangis di sana dengan dada yang terasa sesak. Untuk seseorang yang pernah dia cintai dengan segenap hati. "Abi, kita harus kembali," Dom mengingatkan. Abigail mengangguk, mengusap air matanya dan maju selangkah mendekati
Abigail tidak tahu sampai kapan dia sanggup bertahan di dunia Lucca yang mengerikan. Dalam hati mengharapkan pertolongan seseorang yang bisa membawanya pergi jauh dari sosok The Black Rose. Siapapun terserah begitu juga imbalan apapun yang diminta agar dia bisa kembali hidup tenang.Untuk beberapa saat, Abigail dihinggapi rasa bingung dengan tubuh kaku dan ekspresi tercengang saat menerima tatapan amarah yang dilayangkan Lucca. Menahan napasnya saat pistol tepat di depan wajah, siap untuk dilepaskan dan dalam hitungan detik, dirinya hanya tinggal nama."Berani sekali kau menantang The Black Rose!" kuncian pistolnya di lepas. Bukan ketakutan yang memenuhi pikiran Abigail saat dihadapkan pada malaikat pencabut nyawanya tapi rasa khawatir akan adik dan Mamanya. Apakah dia memang tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk pulang dan berjumpa dengan mereka?"Bunuh saja dia, Tuan," sela Bellatrix. "Wajahnya saja yang lugu tapi hatinya penuh dengan tipu muslihat. Luka di tangannya jelas mem
Abigail menutup matanya dengan rasa takut yang menjalar saat menghadapi kematiannya akibat fitnah keji yang dilakukan seseorang saat seruan seseorang menggema. "Tidak. Jangan lakukan!" Abigail membuka mata, merasakan tarikan pada lengannya hingga membuat tubuhnya terbentur seseorang yang langsung memeluknya dan menyembunyikannya dari pandangan Lucca. Abigail tercengang menatap Dom yang datang entah dari mana. "Dom—" "Maaf Abi, aku baru saja datang dari mengambil keperluan dapur di luar. Tidak tahu kejadiannya akan seperti ini." Dom tersenyum lembut membuat Abigail merasa lebih tenang. Kemudian keduanya mengalihkan tatapan ke Lucca. "Kau tidak boleh menuduh orang sembarangan tanpa ada bukti sekalipun kau penguasa tempat ini. Aku yang akan bersaksi kalau Abigail tidak melakukan hal yang kau tuduhkan. Dia hanya mengambil satu tangkai bunga mawar bukannya merusak taman bunga milikmu hingga menjadi seperti ini." Lucca menurunkan tangannya yang memegang pistol dengan alis terangkat na
Berada di penjara bawah tanah lebih baik dari pada di luar sana. Setidaknya, Abigail bisa menenangkan diri tanpa direcokin peliharaannya Lucca dan memiliki banyak waktu untuk memikirkan semuanya meski mereka hanya di beri makan dua hari sekali itupun berupa roti dan air putih. "Dom—" "Hmm." Abigail dan Dom terpisah tempat namun masih bersebelahan. Mereka duduk menyandar di tiang sel bersisian tapi saling membelakangi. "Kau tidak ingin bebas dari tempat mengerikan ini?" Keadaan Dom sudah jauh lebih baik dan mereka sudah terkurung hampir sekitar dua minggu. Lucca maupun Serafine sama sekali tidak muncul untuk sekedar melihat mereka. Tapi Abigail juga tidak mengharapkannya sama sekali. Dia hanya ingin siapapun pelaku yang memangkas kebun mawar Lucca segera tertangkap. "Tentu saja aku ingin." Berhari-hari sebelumnya, setelah keadaanya membaik, Dom lebih banyak bertanya tentang kehidupan Abigail sebelum bertemu Lucca. Hari ini Abigail yang ingin bertanya banyak hal. "Tapi aku sudah m
"Wah, kelihatannya kalian begitu menikmati waktu bersantai di sini," decaknya seraya mendekat dan berhenti di depan sel mereka. Abigail berdiri dengan harap-harap cemas diikuti Dom. "Merasa dunia hanya milik berdua, hmm." "Apa kau sudah menemukan pelakunya?" tanya Dom. "Bebaskan kami!" Lucca mengacuhkannya, beralih memandangi Abigail yang berdiri diam, bergerak mendekat hingga mereka bisa saling memandang ke manik mata masing-masing yang hanya dipisahkan tiang besi. "Tersangkanya saat ini masih Abigail." Abigail menelan salivanya. "Cepat atau lambat,aku akan mengetahuinya." "Bukan dia—" ujar Dom. "Berarti kau?" sela Lucca cepat. Dom terdiam sesaat lalu melipat lengannya di dada, "Kau tidak bisa menuduh kami seperti itu." "Buktinya cukup kuat. Kau mematikan cctv, siapa yang tahu salah satu dari kalian kembali tanpa saling mengetahui dan menghancurkan tamanku. Kalian berdua sama-sama memiliki motif. Sama-sama karena dendam." "Kalau aku dendam, kau sudah aku racuni sejak dulu," d
Abigail sontak berbalik, menutupi area dadanya dengan tangan, membiarkan kancing gaun belakangnya belum terkait dan mundur hingga punggungnya menyentuh jendela. Lucca berdiri tidak jauh di depannya dengan tatapan tajam."Apa yang kau lakukan? Aku sedang ganti baju!" desis Abigail, kesal. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran Lucca di saat dia belum siap. Kemana Serafine yang mengatakan akan menunggunya di depan pintu. Sial!!"Aku melihat apa yang ingin aku lihat. Aku melakukan apapun yang aku kehendaki jadi siapapun tidak boleh protes termasuk kau," ucapnya penuh arogansi."Tapi kau melanggar privasiku saat ini.""Bukankah Serafine sudah mengatakan aku akan menemuimu—""Iya, tapi—" sela Abigail, terbata. "Aku belum siap dengan gaunku."Tanpa terduga, Lucca menarik tangannya hingga terdorong ke depan menubruk tubuh lelaki itu, memutarnya cepat tanpa memberi kesempatan Abi untuk mengedipkan mata juga bernapas. Abigail mengatupkan bibirnya saat dirasakan tangan Lucca mengancingkan gaun be