Abigail tidak tahu sampai kapan dia sanggup bertahan di dunia Lucca yang mengerikan. Dalam hati mengharapkan pertolongan seseorang yang bisa membawanya pergi jauh dari sosok The Black Rose. Siapapun terserah begitu juga imbalan apapun yang diminta agar dia bisa kembali hidup tenang.Untuk beberapa saat, Abigail dihinggapi rasa bingung dengan tubuh kaku dan ekspresi tercengang saat menerima tatapan amarah yang dilayangkan Lucca. Menahan napasnya saat pistol tepat di depan wajah, siap untuk dilepaskan dan dalam hitungan detik, dirinya hanya tinggal nama."Berani sekali kau menantang The Black Rose!" kuncian pistolnya di lepas. Bukan ketakutan yang memenuhi pikiran Abigail saat dihadapkan pada malaikat pencabut nyawanya tapi rasa khawatir akan adik dan Mamanya. Apakah dia memang tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk pulang dan berjumpa dengan mereka?"Bunuh saja dia, Tuan," sela Bellatrix. "Wajahnya saja yang lugu tapi hatinya penuh dengan tipu muslihat. Luka di tangannya jelas mem
Abigail menutup matanya dengan rasa takut yang menjalar saat menghadapi kematiannya akibat fitnah keji yang dilakukan seseorang saat seruan seseorang menggema. "Tidak. Jangan lakukan!" Abigail membuka mata, merasakan tarikan pada lengannya hingga membuat tubuhnya terbentur seseorang yang langsung memeluknya dan menyembunyikannya dari pandangan Lucca. Abigail tercengang menatap Dom yang datang entah dari mana. "Dom—" "Maaf Abi, aku baru saja datang dari mengambil keperluan dapur di luar. Tidak tahu kejadiannya akan seperti ini." Dom tersenyum lembut membuat Abigail merasa lebih tenang. Kemudian keduanya mengalihkan tatapan ke Lucca. "Kau tidak boleh menuduh orang sembarangan tanpa ada bukti sekalipun kau penguasa tempat ini. Aku yang akan bersaksi kalau Abigail tidak melakukan hal yang kau tuduhkan. Dia hanya mengambil satu tangkai bunga mawar bukannya merusak taman bunga milikmu hingga menjadi seperti ini." Lucca menurunkan tangannya yang memegang pistol dengan alis terangkat na
Berada di penjara bawah tanah lebih baik dari pada di luar sana. Setidaknya, Abigail bisa menenangkan diri tanpa direcokin peliharaannya Lucca dan memiliki banyak waktu untuk memikirkan semuanya meski mereka hanya di beri makan dua hari sekali itupun berupa roti dan air putih. "Dom—" "Hmm." Abigail dan Dom terpisah tempat namun masih bersebelahan. Mereka duduk menyandar di tiang sel bersisian tapi saling membelakangi. "Kau tidak ingin bebas dari tempat mengerikan ini?" Keadaan Dom sudah jauh lebih baik dan mereka sudah terkurung hampir sekitar dua minggu. Lucca maupun Serafine sama sekali tidak muncul untuk sekedar melihat mereka. Tapi Abigail juga tidak mengharapkannya sama sekali. Dia hanya ingin siapapun pelaku yang memangkas kebun mawar Lucca segera tertangkap. "Tentu saja aku ingin." Berhari-hari sebelumnya, setelah keadaanya membaik, Dom lebih banyak bertanya tentang kehidupan Abigail sebelum bertemu Lucca. Hari ini Abigail yang ingin bertanya banyak hal. "Tapi aku sudah m
"Wah, kelihatannya kalian begitu menikmati waktu bersantai di sini," decaknya seraya mendekat dan berhenti di depan sel mereka. Abigail berdiri dengan harap-harap cemas diikuti Dom. "Merasa dunia hanya milik berdua, hmm." "Apa kau sudah menemukan pelakunya?" tanya Dom. "Bebaskan kami!" Lucca mengacuhkannya, beralih memandangi Abigail yang berdiri diam, bergerak mendekat hingga mereka bisa saling memandang ke manik mata masing-masing yang hanya dipisahkan tiang besi. "Tersangkanya saat ini masih Abigail." Abigail menelan salivanya. "Cepat atau lambat,aku akan mengetahuinya." "Bukan dia—" ujar Dom. "Berarti kau?" sela Lucca cepat. Dom terdiam sesaat lalu melipat lengannya di dada, "Kau tidak bisa menuduh kami seperti itu." "Buktinya cukup kuat. Kau mematikan cctv, siapa yang tahu salah satu dari kalian kembali tanpa saling mengetahui dan menghancurkan tamanku. Kalian berdua sama-sama memiliki motif. Sama-sama karena dendam." "Kalau aku dendam, kau sudah aku racuni sejak dulu," d
Abigail sontak berbalik, menutupi area dadanya dengan tangan, membiarkan kancing gaun belakangnya belum terkait dan mundur hingga punggungnya menyentuh jendela. Lucca berdiri tidak jauh di depannya dengan tatapan tajam."Apa yang kau lakukan? Aku sedang ganti baju!" desis Abigail, kesal. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran Lucca di saat dia belum siap. Kemana Serafine yang mengatakan akan menunggunya di depan pintu. Sial!!"Aku melihat apa yang ingin aku lihat. Aku melakukan apapun yang aku kehendaki jadi siapapun tidak boleh protes termasuk kau," ucapnya penuh arogansi."Tapi kau melanggar privasiku saat ini.""Bukankah Serafine sudah mengatakan aku akan menemuimu—""Iya, tapi—" sela Abigail, terbata. "Aku belum siap dengan gaunku."Tanpa terduga, Lucca menarik tangannya hingga terdorong ke depan menubruk tubuh lelaki itu, memutarnya cepat tanpa memberi kesempatan Abi untuk mengedipkan mata juga bernapas. Abigail mengatupkan bibirnya saat dirasakan tangan Lucca mengancingkan gaun be
Lucca berdiri, tidak menjawab dan berjalan mendekatinya hingga berdiri menjulang di depannya."Semua tergantung dari hasil kerjamu malam ini—” Lucca memajukan kepalanya, memaksa abigail mundur. "Baby." Senyuman miringnya nampak menggoda membuat Abi bergidik mendengar panggilan yang keluar dari bibir Lucca."Tapi kau harus berjanji, membebaskanku jika kalungmu sudah kembali."Lucca tidak menjawab, melipat lengannya di dada dengan tatapan arogan."Pastikan saja kau menggodanya dengan maksimal dan mendapatkan perhatiannya. Jangan hindari cumbuannya atau dia akan curiga." Abigail mengepalkan tangannya erat, sangat kesal. Seakan-akan dia memang wanita bayaran untuk menggoda lelaki sampai terjerat. "Itu tugasmu malam ini. Sisanya, aku dan Serafine yang akan membereskannya.""Apa aku punya pilihan?""Tidak."Abigail berdecak, memalingkan wajah dan pasrah. Serafine masuk membawa sesuatu di tangannya yang langsung disuguhi tatapan tajam Abigail yang kesal tapi tidak diperdulikan. Memberikan se
Joy Eslava club, Calle del Arenal 11, Madrid Abigail berjalan bersisian dengan Lucca yang memeluk sebelah pinggangnya saat memasuki area club yang cukup padat bukan melalui pintu utama. Ternyata semua sudah diatur agar mereka bisa menyusup masuk. Meskipun mereka tamu tidak diundang, yang seharusnya tidak mencolok, tetap saja kehadiran Lucca yang tampan dengan coat kulit yang bagian lehernya dihiasi bulu-bulu halus berwana coklat itu membuat siapapun yang dilewatinya langsung menoleh penuh minat. Dibelakangnya, mengikuti Serafine yang juga memakai gaun selutut dilengkapi riasan hingga terlihat berbeda, membuat Abigail untuk sesaat tadi bengong melihat perubahannya. "Aku masih tetap wanita, right. Jangan menatapku seperti itu hanya karena aku memakai gaun," begitu ucapannya tadi meski Abigail tidak mengatakan apa-apa. Club malam Joy Eslava ini begitu besar, disewa penuh oleh Jasper Dunn untuk pestanya sendiri bersama puluhan wanita seksi, cantik dan liar. Terdiri dari empat lantai y
Sesaat setelah menjauh dari area club yang hingar bingar, Jasper melepaskan pelukannya di pinggang Abigail tanpa mengatakan apapun. Berjalan bersisian menelusuri lorong panjang berpenerangan minim yang nampak sepi berbanding terbalik dengan keramaian di luar."Apa ini jebakan untuk Lucca?" Abigail buka suara, terlalu ingin tahu. Padahal dia sudah sering diperingatkan untuk berhati-hati dengan rasa ingin tahunya.Jasper tidak menjawab bahkan menoleh, menatap lurus ke depan dengan langkah tegap, berbeda sekali dengan sikapnya beberapa menit lalu. Jelas sekali memiliki maksud terselubung dengan target utama Lucca menggunakan umpan kalung yang mampu menariknya keluar dari Napoli.Abigail mengedarkan pandangan, mengatupkan bibirnya saat melihat dua lelaki berbadan besar dan bertato muncul dari bilik ruangan mengikuti di belakang."Bagaimana situasinya?" tanya Jasper.Abigail mengerutkan kening, menoleh ke belakang sembari tetap berjalan memandangi bergantian keduanya dengan rasa khawatir