Berada di penjara bawah tanah lebih baik dari pada di luar sana. Setidaknya, Abigail bisa menenangkan diri tanpa direcokin peliharaannya Lucca dan memiliki banyak waktu untuk memikirkan semuanya meski mereka hanya di beri makan dua hari sekali itupun berupa roti dan air putih. "Dom—" "Hmm." Abigail dan Dom terpisah tempat namun masih bersebelahan. Mereka duduk menyandar di tiang sel bersisian tapi saling membelakangi. "Kau tidak ingin bebas dari tempat mengerikan ini?" Keadaan Dom sudah jauh lebih baik dan mereka sudah terkurung hampir sekitar dua minggu. Lucca maupun Serafine sama sekali tidak muncul untuk sekedar melihat mereka. Tapi Abigail juga tidak mengharapkannya sama sekali. Dia hanya ingin siapapun pelaku yang memangkas kebun mawar Lucca segera tertangkap. "Tentu saja aku ingin." Berhari-hari sebelumnya, setelah keadaanya membaik, Dom lebih banyak bertanya tentang kehidupan Abigail sebelum bertemu Lucca. Hari ini Abigail yang ingin bertanya banyak hal. "Tapi aku sudah m
"Wah, kelihatannya kalian begitu menikmati waktu bersantai di sini," decaknya seraya mendekat dan berhenti di depan sel mereka. Abigail berdiri dengan harap-harap cemas diikuti Dom. "Merasa dunia hanya milik berdua, hmm." "Apa kau sudah menemukan pelakunya?" tanya Dom. "Bebaskan kami!" Lucca mengacuhkannya, beralih memandangi Abigail yang berdiri diam, bergerak mendekat hingga mereka bisa saling memandang ke manik mata masing-masing yang hanya dipisahkan tiang besi. "Tersangkanya saat ini masih Abigail." Abigail menelan salivanya. "Cepat atau lambat,aku akan mengetahuinya." "Bukan dia—" ujar Dom. "Berarti kau?" sela Lucca cepat. Dom terdiam sesaat lalu melipat lengannya di dada, "Kau tidak bisa menuduh kami seperti itu." "Buktinya cukup kuat. Kau mematikan cctv, siapa yang tahu salah satu dari kalian kembali tanpa saling mengetahui dan menghancurkan tamanku. Kalian berdua sama-sama memiliki motif. Sama-sama karena dendam." "Kalau aku dendam, kau sudah aku racuni sejak dulu," d
Abigail sontak berbalik, menutupi area dadanya dengan tangan, membiarkan kancing gaun belakangnya belum terkait dan mundur hingga punggungnya menyentuh jendela. Lucca berdiri tidak jauh di depannya dengan tatapan tajam."Apa yang kau lakukan? Aku sedang ganti baju!" desis Abigail, kesal. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran Lucca di saat dia belum siap. Kemana Serafine yang mengatakan akan menunggunya di depan pintu. Sial!!"Aku melihat apa yang ingin aku lihat. Aku melakukan apapun yang aku kehendaki jadi siapapun tidak boleh protes termasuk kau," ucapnya penuh arogansi."Tapi kau melanggar privasiku saat ini.""Bukankah Serafine sudah mengatakan aku akan menemuimu—""Iya, tapi—" sela Abigail, terbata. "Aku belum siap dengan gaunku."Tanpa terduga, Lucca menarik tangannya hingga terdorong ke depan menubruk tubuh lelaki itu, memutarnya cepat tanpa memberi kesempatan Abi untuk mengedipkan mata juga bernapas. Abigail mengatupkan bibirnya saat dirasakan tangan Lucca mengancingkan gaun be
Lucca berdiri, tidak menjawab dan berjalan mendekatinya hingga berdiri menjulang di depannya."Semua tergantung dari hasil kerjamu malam ini—” Lucca memajukan kepalanya, memaksa abigail mundur. "Baby." Senyuman miringnya nampak menggoda membuat Abi bergidik mendengar panggilan yang keluar dari bibir Lucca."Tapi kau harus berjanji, membebaskanku jika kalungmu sudah kembali."Lucca tidak menjawab, melipat lengannya di dada dengan tatapan arogan."Pastikan saja kau menggodanya dengan maksimal dan mendapatkan perhatiannya. Jangan hindari cumbuannya atau dia akan curiga." Abigail mengepalkan tangannya erat, sangat kesal. Seakan-akan dia memang wanita bayaran untuk menggoda lelaki sampai terjerat. "Itu tugasmu malam ini. Sisanya, aku dan Serafine yang akan membereskannya.""Apa aku punya pilihan?""Tidak."Abigail berdecak, memalingkan wajah dan pasrah. Serafine masuk membawa sesuatu di tangannya yang langsung disuguhi tatapan tajam Abigail yang kesal tapi tidak diperdulikan. Memberikan se
Joy Eslava club, Calle del Arenal 11, Madrid Abigail berjalan bersisian dengan Lucca yang memeluk sebelah pinggangnya saat memasuki area club yang cukup padat bukan melalui pintu utama. Ternyata semua sudah diatur agar mereka bisa menyusup masuk. Meskipun mereka tamu tidak diundang, yang seharusnya tidak mencolok, tetap saja kehadiran Lucca yang tampan dengan coat kulit yang bagian lehernya dihiasi bulu-bulu halus berwana coklat itu membuat siapapun yang dilewatinya langsung menoleh penuh minat. Dibelakangnya, mengikuti Serafine yang juga memakai gaun selutut dilengkapi riasan hingga terlihat berbeda, membuat Abigail untuk sesaat tadi bengong melihat perubahannya. "Aku masih tetap wanita, right. Jangan menatapku seperti itu hanya karena aku memakai gaun," begitu ucapannya tadi meski Abigail tidak mengatakan apa-apa. Club malam Joy Eslava ini begitu besar, disewa penuh oleh Jasper Dunn untuk pestanya sendiri bersama puluhan wanita seksi, cantik dan liar. Terdiri dari empat lantai y
Sesaat setelah menjauh dari area club yang hingar bingar, Jasper melepaskan pelukannya di pinggang Abigail tanpa mengatakan apapun. Berjalan bersisian menelusuri lorong panjang berpenerangan minim yang nampak sepi berbanding terbalik dengan keramaian di luar."Apa ini jebakan untuk Lucca?" Abigail buka suara, terlalu ingin tahu. Padahal dia sudah sering diperingatkan untuk berhati-hati dengan rasa ingin tahunya.Jasper tidak menjawab bahkan menoleh, menatap lurus ke depan dengan langkah tegap, berbeda sekali dengan sikapnya beberapa menit lalu. Jelas sekali memiliki maksud terselubung dengan target utama Lucca menggunakan umpan kalung yang mampu menariknya keluar dari Napoli.Abigail mengedarkan pandangan, mengatupkan bibirnya saat melihat dua lelaki berbadan besar dan bertato muncul dari bilik ruangan mengikuti di belakang."Bagaimana situasinya?" tanya Jasper.Abigail mengerutkan kening, menoleh ke belakang sembari tetap berjalan memandangi bergantian keduanya dengan rasa khawatir
Lelaki yang membawanya tadi menegak vodkanya disertai senyuman miring, "Kau pasti bisa menebak yang mana Jasper dari tingkah lakunya."Lelaki disebelahnya tertawa mengisyaratkan jawaban, menarik tengkuk wanita berambut panjang yang tidak sekalipun menolehkan kepalanya ke belakang dan menciumnya penuh nafsu disertai remasan paha di tangan yang lain.Abigail tidak tahu apakah Lucca mengetahui hal ini atau tidak. Keduanya memang mirip namun auranya berbeda. Lelaki yang membawanya tadi terlihat lebih dingin, tidak nampak tertarik dengan wanita berbanding terbalik dengan saudaranya."Urusan kita sudah selesai di sini, Jansen. Kalian yang memiliki kepentingan dengan The black Rose. Biarkan kami pergi sekarang."Jansen? Jadi mereka Jansen dan Jasper?"Kalian tidak akan kemana-mana!!" ucapnya serayamenunjuk Abigail dengan pistol di tangan. "Terutama wanita yang dikirim Lucca untuk menggoda Jasper.""Jadi dia umpan yang dilempar The Black Rose untukku?" Jasper yang sebenarnya memperhatikan
Telapak tangannya yang bergetar berada tepat dibatas paha, dimana senjatanya berada saat dilihatnya Lucca tidak peduli dengan ancaman yang dilontarkan Jansen. Mengeryit merasakan nyeri, memejamkan mata, menghitung di dalam kepala demi memantapkan niat sembari berharap dia akan selamat."Apa motif kalian sebenarnya?" tanya Lucca.Hitungannya terhenti, Abigail membuka mata, tidak jadi menarik keluar senjatanya saat Jansen mengendurkan pisaunya, dihelanya napas lega. "Kau penasaran rupanya. Kita memang pertama kalinya saling berhadapan seperti ini. Sebelumnya aku hanya mendengar desas desus eksistensi The Black Rose di dunia hitam yang terkenal dan aku ingin melihatnya sendiri."Masuklah empat lelaki berbadan besar penuh tato mengelilingi Lucca yang nampak tenang. Auranya yang gelap memancar, membuktikan kalau dia seorang bos mafia yang tidak takut melawan mereka semua meski dikeroyok sekalipun."Jadi, hanya karena itu?""Tentu saja tidak." Jansen tersenyum miring, "Apa kau pikir tidak