Joy Eslava club, Calle del Arenal 11, Madrid Abigail berjalan bersisian dengan Lucca yang memeluk sebelah pinggangnya saat memasuki area club yang cukup padat bukan melalui pintu utama. Ternyata semua sudah diatur agar mereka bisa menyusup masuk. Meskipun mereka tamu tidak diundang, yang seharusnya tidak mencolok, tetap saja kehadiran Lucca yang tampan dengan coat kulit yang bagian lehernya dihiasi bulu-bulu halus berwana coklat itu membuat siapapun yang dilewatinya langsung menoleh penuh minat. Dibelakangnya, mengikuti Serafine yang juga memakai gaun selutut dilengkapi riasan hingga terlihat berbeda, membuat Abigail untuk sesaat tadi bengong melihat perubahannya. "Aku masih tetap wanita, right. Jangan menatapku seperti itu hanya karena aku memakai gaun," begitu ucapannya tadi meski Abigail tidak mengatakan apa-apa. Club malam Joy Eslava ini begitu besar, disewa penuh oleh Jasper Dunn untuk pestanya sendiri bersama puluhan wanita seksi, cantik dan liar. Terdiri dari empat lantai y
Sesaat setelah menjauh dari area club yang hingar bingar, Jasper melepaskan pelukannya di pinggang Abigail tanpa mengatakan apapun. Berjalan bersisian menelusuri lorong panjang berpenerangan minim yang nampak sepi berbanding terbalik dengan keramaian di luar."Apa ini jebakan untuk Lucca?" Abigail buka suara, terlalu ingin tahu. Padahal dia sudah sering diperingatkan untuk berhati-hati dengan rasa ingin tahunya.Jasper tidak menjawab bahkan menoleh, menatap lurus ke depan dengan langkah tegap, berbeda sekali dengan sikapnya beberapa menit lalu. Jelas sekali memiliki maksud terselubung dengan target utama Lucca menggunakan umpan kalung yang mampu menariknya keluar dari Napoli.Abigail mengedarkan pandangan, mengatupkan bibirnya saat melihat dua lelaki berbadan besar dan bertato muncul dari bilik ruangan mengikuti di belakang."Bagaimana situasinya?" tanya Jasper.Abigail mengerutkan kening, menoleh ke belakang sembari tetap berjalan memandangi bergantian keduanya dengan rasa khawatir
Lelaki yang membawanya tadi menegak vodkanya disertai senyuman miring, "Kau pasti bisa menebak yang mana Jasper dari tingkah lakunya."Lelaki disebelahnya tertawa mengisyaratkan jawaban, menarik tengkuk wanita berambut panjang yang tidak sekalipun menolehkan kepalanya ke belakang dan menciumnya penuh nafsu disertai remasan paha di tangan yang lain.Abigail tidak tahu apakah Lucca mengetahui hal ini atau tidak. Keduanya memang mirip namun auranya berbeda. Lelaki yang membawanya tadi terlihat lebih dingin, tidak nampak tertarik dengan wanita berbanding terbalik dengan saudaranya."Urusan kita sudah selesai di sini, Jansen. Kalian yang memiliki kepentingan dengan The black Rose. Biarkan kami pergi sekarang."Jansen? Jadi mereka Jansen dan Jasper?"Kalian tidak akan kemana-mana!!" ucapnya serayamenunjuk Abigail dengan pistol di tangan. "Terutama wanita yang dikirim Lucca untuk menggoda Jasper.""Jadi dia umpan yang dilempar The Black Rose untukku?" Jasper yang sebenarnya memperhatikan
Telapak tangannya yang bergetar berada tepat dibatas paha, dimana senjatanya berada saat dilihatnya Lucca tidak peduli dengan ancaman yang dilontarkan Jansen. Mengeryit merasakan nyeri, memejamkan mata, menghitung di dalam kepala demi memantapkan niat sembari berharap dia akan selamat."Apa motif kalian sebenarnya?" tanya Lucca.Hitungannya terhenti, Abigail membuka mata, tidak jadi menarik keluar senjatanya saat Jansen mengendurkan pisaunya, dihelanya napas lega. "Kau penasaran rupanya. Kita memang pertama kalinya saling berhadapan seperti ini. Sebelumnya aku hanya mendengar desas desus eksistensi The Black Rose di dunia hitam yang terkenal dan aku ingin melihatnya sendiri."Masuklah empat lelaki berbadan besar penuh tato mengelilingi Lucca yang nampak tenang. Auranya yang gelap memancar, membuktikan kalau dia seorang bos mafia yang tidak takut melawan mereka semua meski dikeroyok sekalipun."Jadi, hanya karena itu?""Tentu saja tidak." Jansen tersenyum miring, "Apa kau pikir tidak
Jasper membalik keadaan dengan mendorong Serafine hingga terdesak di sofa, mencekik lehernya dengan kedua tangan hingga kepalanya terdorong ke belakang. Saat Jansen akan membantu saudaranya, Lucca kembali menembak dan dia menghindar. Serafine menghantamkan botol minuman keras yang bisa diraihnya ke kepala Jasper, menendang punggung lelaki itu yang terhempas ke lantai, lalu dengan cepat berdiri tegak dan mengacungkan pistol milik Jasper yang tergeletak begitu saja dilantai ke kepala membuatnya langsung terdiam dengan wajah penuh amarah. "Brengsek!!" desisnya, tetap nekat maju hingga Serafine meloloskan satu tembakan yang tepat mengenai lengan kanannya. "Arghh, sial!!" umpatnya. "Kalau kau bergerak, kepalamu yang akan jadi sasaran selanjutnya." Direnggangkan otot lehernya dengan santai dan menarik kerah baju Jasper menjadikannya sandera. "Berikan kalung itu!!" ucapnya ke Jansen yang siaga tapi tidak bisa bergerak karena mementingkan keselamatan saudaranya. "Cepat, berikan ke Tuan Luc
Abigail melajukan mobilnya mundur sementara mobil di depannya terus bergerak maju dengan tembakan peluru yang mengenai bodi mobil berkali-kali bahkan kaca depannya. Lucca melihat amunisi senjata di tangannya habis, membuangnya begitu saja, bergegas pindah ke kursi belakang mengambil senjata laras panjang yang siap digunakan. Tangannya terjulur ke depan menekan sesuatu di samping Abi yang berkonsentrasi keras di sela rasa paniknya hingga atap mobil sedikit terbuka. "Terus jalankan mobilnya," ucapnya sebelum mengeluarkan separuh tubuhnya beserta senjatanya melalui atap dan menembakkan serangan balasan ke mobil depan yang sigap menghindar. "Sial, ini seperti di adegan film action!!" Abigail menggigit bibir bawahnya, melihat ke spion dan mendelik lalu berteriak, "Lucca, ada persimpangan!!" Mobil bisa menabrak bangunan jika tetap berjalan mundur. "Good." Lucca kembali masuk, mengganti senjatanya yang lebih besar, kembali duduk depan dan menarik kuncian senjatanya lalu memegang pintu mo
Mobil Jansen menabrak belakang mobil Lucca dan menyeret mereka maju, Lucca banting setir menghindar dan menabrakkan sisi mobilnya ke mobil Jansen yang terhempas minggir namun masih bisa kembali ke jalanan dan melaju kencang mengikuti. Tanpa terduga, Lucca menginjak pedal rem hingga mobil berdecit dan memundurkannya dengan kecepatan tinggi mendekati mobil Jansen yang melaju memungkinkan tabrakan yang tidak terhindarkan. Abigail menahan napas, mencengkram erat seatbeltnya saat mobil keduanya tidak juga menghindar dan akhirnya menutup mata ketika kedua mobil semakin dekat. "Ya Tuhan, aku kan mati! Tolong, selamatkan aku." "Kau pikir Tuhan selalu ada untuk mendengar suaramu," cibir Lucca. CIIIIIITTTTT!!! Abigail memegangi kepalanya, tubuhnya tersentak ke depan saat mobil berhenti dengan kerasnya, memaksanya membuka mata dan melihat mobil Jansen berhasil menghindar melewati dan banting setir hingga berhenti dalam posisi berhadapan. Saling menyorotkan lampu. Lucca memindahkan persene
POV LUCCABerhutang nyawa pada wanita rapuh seperti Abigail tidak pernah ada dalam bayangan Lucca Alonzo.Hidupnya memang tidak bisa dipisahkan dari bahaya yang melibatkan nyawa. Lucca bahkan pernah mengalami hal yang lebih mengerikan lagi. Merasakan penderitaan saat timah panas hampir menembus jantung yang membuatnya kritis selama beberapa saat. Seperti berada di antara hidup dan mati yang menunggu dieksekusi.Lucca tidak memiliki pilihan selain menjalani kehidupannya yang keras karena dia memang dilahirkan untuk memegang takdir seperti itu. Sejauh apapun dia menghindar, seingin apapun dia memiliki kehidupan normal, sekuat apapun dia mengingkari, semuanya tetaplah sama pada kenyataannya. Dia tetaplah keturunan Alonzo yang dia anggap satu-satunya penerus karena tidak mau mengakui saudara perempuannya yang entah berada di mana dan bagaimana wujudnya sampai seorang wanita melahirkan pewaris untuknya.Pewaris?Lucca bahkan tidak mau memikirkan hal itu.Kedua tangannya mengepal begitu er