POV LUCCABerhutang nyawa pada wanita rapuh seperti Abigail tidak pernah ada dalam bayangan Lucca Alonzo.Hidupnya memang tidak bisa dipisahkan dari bahaya yang melibatkan nyawa. Lucca bahkan pernah mengalami hal yang lebih mengerikan lagi. Merasakan penderitaan saat timah panas hampir menembus jantung yang membuatnya kritis selama beberapa saat. Seperti berada di antara hidup dan mati yang menunggu dieksekusi.Lucca tidak memiliki pilihan selain menjalani kehidupannya yang keras karena dia memang dilahirkan untuk memegang takdir seperti itu. Sejauh apapun dia menghindar, seingin apapun dia memiliki kehidupan normal, sekuat apapun dia mengingkari, semuanya tetaplah sama pada kenyataannya. Dia tetaplah keturunan Alonzo yang dia anggap satu-satunya penerus karena tidak mau mengakui saudara perempuannya yang entah berada di mana dan bagaimana wujudnya sampai seorang wanita melahirkan pewaris untuknya.Pewaris?Lucca bahkan tidak mau memikirkan hal itu.Kedua tangannya mengepal begitu er
Setelahnya hanya ada keheningan, Lucca diam memandangi wajah Abigail lekat. Wanita yang tertidur itu sangat cantik meski sekarang wajahnya tercemar dengan memar, di luar dugaan juga berani di samping sisi lembut dan sensitivenya yang mudah menangis. Kuat dengan aura feminim yang dimilikinya. Lucca pernah memiliki seseorang dengan sifat serupa di masa lalu yang perlahan memudar dalam ingatannya. "Dia menolong Anda—""Setelah sadar, pulangkan dia ke Indonesia," sela Lucca, Serafine terdiam. "Aku sangat yakin, itulah kompensasi yang dia inginkan.""Anda yakin?"Lucca menghabiskan minumannya dalam sekali teguk, "Memangnya apalagi! Lagipula, aku sudah tidak membutuhkannya, kalungku sudah kembali.""Baik Tuan.""Riley." Lucca menoleh ke Serafine. "Siapa laki-laki itu dan apa motifnya mengambil keuntungan dari Abigail?""Saya sudah coba untuk mencari tahu. Riley, teman baik Thomas yang juga kenal dekat dengan kedua sahabat Abigail. Keturunan Indonesia - Jerman yang menetap di London sejak k
Lucca diam, mendengar suara pintu tertutup dan mengangkat ponsel Abigail di tangan. Duduk di tepi ranjang dengan kepala meneleng memperhatikan setiap inci wajah Abi kemudian mendengus setelahnya. Di bukanya ponsel Abigail, langsung menampilkan foto dua wanita cantik yang mirip sedang tersenyum lebar dan saling merangkul bahu. Dibukanya semua galeri yang ada di sana juga sosial medianya,memperhatikan satu persatu foto dan tertegun saat menemukan satu foto Abigail memakai sayap malaikat dalam suatu photoshoot yang diunggah seseorang bernama Arsen Marvello. Akun milik seorang Lelaki yang kebanyakan fotonya bersama kembaran Abigail, Shine Aurora.Arsen MarvelloAku percaya adanya malaikat saat aku melihat sosokmu. Iblis sekalipun, akan terganggu dengan kebaikan hatimu, Abigail Rosaline.Lucca menjatuhkan ponsel Abigail begitu saja hingga membentur lantai marmer dan berdiri dengan gerakan kaku. Memandang nanar Abigail seraya berusaha keras menahan sengatan emosi di dadanya. Tangannya meng
Lucca tidak sanggup berkata-kata saat mendengar namanya di ucapkan seseorang yang nampaknya tidak takut menghadapinya. Setelah mengatasi kekagetannya, Lucca tersenyum miring dan melipat lengannya di dada memandangi lekat Abigail."Baguslah kalau kau sudah sadar.""Apa yang terjadi pada Riley hingga dia seperti itu?" tembaknya langsung, masih nampak shock dengan kenyataan kalau dialah yang membunuh temannya sendiri."Demi uang, seseorang bisa melakukan apa saja termasuk menikam temannya sendiri.""Bohong!" lirihnya, air matanya mengalir. "Kenapa, kau membunuhnya?" tanya Lucca balik."Dia—” Abigail mengatupkan bibirnya, "Kenapa kau menyelamatkan lelaki yang menawanmu dalam sangkar emas. Kalau kau membiarkan dia membunuhku, aku yakin saat ini kau sudah berada di dalam pesawat menuju rumah bukannya berdiri dengan tampilan menyedihkan menangisi teman yang kau bunuh seperti itu."Lucca memperhatikan mata merah itu yang tidak berhenti mengeluarkan air mata hingga isakannya terdengar, Ditut
Bandar Udara Internasional Barajas Madrid "Kau mengambil keputusan yang tepat." Lucca tersenyum mengejek. "Setiap orang jelas lebih mementingkan hidupnya lebih dulu." "Tolong, bebaskan Dom," pinta Abigail. "Bukan kami pelakuknya." Mereka berdiri saling berhadapan di dalam ruangan private bandara untuk saling mengucapkan kalimat perpisahan. "Kau tidak bisa mengaturku harus berbuat apa untuk orangku. Aku masih tidak bisa memaafkan orang yang menghancurkan bunga mawarku begitu saja. Aku melepasmu saat ini semata-mata karena aku tidak mau memiliki hutang budi, terlebih dengan seseorang seperti dirimu." "Kenapa? Apa hal itu mengusik egomu?" Lucca terdiam. "Tidak menyangka kalau wanita sepertiku bisa melakukan hal itu." Lucca maju, menghunuskan tatapan tajamnya dengan nada peringatan yang jelas, "Sebaiknya setelah ini, kau tidak lagi muncul di hadapanku atau hidupmu tidak akan pernah mudah. Camkan itu!" Lucca menyeringai, Abigail bergeming lalu berbalik pergi menuju ke pesawat priba
Abigail memeriksa pesan dan sosial medianya yang kebanyakan dikirim oleh teman-temannya sampai dia menemukan satu pesan baru yang dikirim tidak lebih dari setengah jam yang lalu. Pesan dari seseorang yang seketika membuat dadanya sesak. Pada satu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun. Rasa sakitnya seakan menghimpit dadanya. Kepalanya yang luka bahkan mulai berdenyut. Kejadian penembakan itu murni salahnya yang panik dan tidak menyangka kalau Riley bisa menjadi seorang pembunuh meski lelaki itu memang memiliki perkerjaan di dunia hitam yang tidak jelas dia ketahui. Seharusnya Abigail menanyakan lebih dulu apa yang terjadi bukannya malah menembaknya seperti itu. Air matanya merebak lagi, menggenggam ponselnya dengan kedua tangan yang gemetar setelah membaca pesan panjang yang menyayat hatinya, dan menangis tanpa suara. Bahunya bergetar hebat, perasaan bersalah itu menyeruak dan tidak tahu harus bagaimana membalas pesan itu. Abigail mengangkat kepalanya dengan satu pemikiran yang m
Lucca mengeryit, menatapnya dengan heran, "Apa yang kau—" "Aku mohon agar kau mau menanggung biaya hidup adik perempuan dan juga ibunya Riley yang saat ini menderita." Lucca Alonzo sukses tercengang. "Adiknya membutuhkan donor agar bisa sembuh dan ibunya butuh jaminan untuk keluar dari penjara juga bimbingan dari panti rehabilitasi untuk kecanduannya terhadap minuman keras sampai sembuh dan setelah itu, tolong carikan pekerjaan untuknya agar mereka bisa melanjutkan hidup." Abigail menarik napas panjang, menatap balik mata Lucca tanpa gentar. "Sebagai gantinya, aku akan kembali ikut denganmu ke Napoli." Abigail menatap Lucca yang tidak juga bereaksi dengan permintaannya. Tahu dengan jelas apa yang dipikirkan laki-laki itu di dalam kepalanya. "Kau—" Lucca nampak tidak percaya dengan pilihan yang diambilnya. "Sadar dengan apa yang kau katakan tadi?" "Ya." "Apa yang membuatmu yakin kalau aku akan menuruti permintaanmu ini?" "Kau punya hutang budi padaku." Abigail mengingatkan. "Ja
Abigail keluar dari mobil setelah sampai di mansion dan bergegas mendekati Lucca yang sebelumnya memang berada di mobil yang berbeda dengannya sedang berjalan memasuki area rumah utama. Mereka sampai saat waktu hampir menunjukkan tengah malam."Lucca, tunggu!"Lucca berhenti, menoleh ke arahnya dengan tatapan tidak suka seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana, "Aku sudah membayar hutang budiku jadi jangan lagi kau mengungkit hal itu!""Tidak. Bukan itu!"Lucca menghadapnya, melipat lengannya di dada dan memandanginya intens. "Posisimu di sini masih tetap sama. Kau harus melayani wanita-wanita murahan yang ada di sana. Suka atau tidak suka..""Kapan kau akan membebaskan Dom?" sela Abigail, Lucca bergeming. "Dia tidak bersalah.""Jadi sekarang sisi kemanusiaanmu beralih mencemaskan dia?" tanyanya dengan suara tajam."Tidak seharusnya dia berada di sana. Aku yang membuatnya ikut menemaniku untuk melihat di mana—"Lucca maju, Abigail mengatupkan bibir, "Kenapa kau begitu yakin b