"Wah, kelihatannya kalian begitu menikmati waktu bersantai di sini," decaknya seraya mendekat dan berhenti di depan sel mereka. Abigail berdiri dengan harap-harap cemas diikuti Dom. "Merasa dunia hanya milik berdua, hmm." "Apa kau sudah menemukan pelakunya?" tanya Dom. "Bebaskan kami!" Lucca mengacuhkannya, beralih memandangi Abigail yang berdiri diam, bergerak mendekat hingga mereka bisa saling memandang ke manik mata masing-masing yang hanya dipisahkan tiang besi. "Tersangkanya saat ini masih Abigail." Abigail menelan salivanya. "Cepat atau lambat,aku akan mengetahuinya." "Bukan dia—" ujar Dom. "Berarti kau?" sela Lucca cepat. Dom terdiam sesaat lalu melipat lengannya di dada, "Kau tidak bisa menuduh kami seperti itu." "Buktinya cukup kuat. Kau mematikan cctv, siapa yang tahu salah satu dari kalian kembali tanpa saling mengetahui dan menghancurkan tamanku. Kalian berdua sama-sama memiliki motif. Sama-sama karena dendam." "Kalau aku dendam, kau sudah aku racuni sejak dulu," d
Abigail sontak berbalik, menutupi area dadanya dengan tangan, membiarkan kancing gaun belakangnya belum terkait dan mundur hingga punggungnya menyentuh jendela. Lucca berdiri tidak jauh di depannya dengan tatapan tajam."Apa yang kau lakukan? Aku sedang ganti baju!" desis Abigail, kesal. Merasa tidak nyaman dengan kehadiran Lucca di saat dia belum siap. Kemana Serafine yang mengatakan akan menunggunya di depan pintu. Sial!!"Aku melihat apa yang ingin aku lihat. Aku melakukan apapun yang aku kehendaki jadi siapapun tidak boleh protes termasuk kau," ucapnya penuh arogansi."Tapi kau melanggar privasiku saat ini.""Bukankah Serafine sudah mengatakan aku akan menemuimu—""Iya, tapi—" sela Abigail, terbata. "Aku belum siap dengan gaunku."Tanpa terduga, Lucca menarik tangannya hingga terdorong ke depan menubruk tubuh lelaki itu, memutarnya cepat tanpa memberi kesempatan Abi untuk mengedipkan mata juga bernapas. Abigail mengatupkan bibirnya saat dirasakan tangan Lucca mengancingkan gaun be
Lucca berdiri, tidak menjawab dan berjalan mendekatinya hingga berdiri menjulang di depannya."Semua tergantung dari hasil kerjamu malam ini—” Lucca memajukan kepalanya, memaksa abigail mundur. "Baby." Senyuman miringnya nampak menggoda membuat Abi bergidik mendengar panggilan yang keluar dari bibir Lucca."Tapi kau harus berjanji, membebaskanku jika kalungmu sudah kembali."Lucca tidak menjawab, melipat lengannya di dada dengan tatapan arogan."Pastikan saja kau menggodanya dengan maksimal dan mendapatkan perhatiannya. Jangan hindari cumbuannya atau dia akan curiga." Abigail mengepalkan tangannya erat, sangat kesal. Seakan-akan dia memang wanita bayaran untuk menggoda lelaki sampai terjerat. "Itu tugasmu malam ini. Sisanya, aku dan Serafine yang akan membereskannya.""Apa aku punya pilihan?""Tidak."Abigail berdecak, memalingkan wajah dan pasrah. Serafine masuk membawa sesuatu di tangannya yang langsung disuguhi tatapan tajam Abigail yang kesal tapi tidak diperdulikan. Memberikan se
Joy Eslava club, Calle del Arenal 11, Madrid Abigail berjalan bersisian dengan Lucca yang memeluk sebelah pinggangnya saat memasuki area club yang cukup padat bukan melalui pintu utama. Ternyata semua sudah diatur agar mereka bisa menyusup masuk. Meskipun mereka tamu tidak diundang, yang seharusnya tidak mencolok, tetap saja kehadiran Lucca yang tampan dengan coat kulit yang bagian lehernya dihiasi bulu-bulu halus berwana coklat itu membuat siapapun yang dilewatinya langsung menoleh penuh minat. Dibelakangnya, mengikuti Serafine yang juga memakai gaun selutut dilengkapi riasan hingga terlihat berbeda, membuat Abigail untuk sesaat tadi bengong melihat perubahannya. "Aku masih tetap wanita, right. Jangan menatapku seperti itu hanya karena aku memakai gaun," begitu ucapannya tadi meski Abigail tidak mengatakan apa-apa. Club malam Joy Eslava ini begitu besar, disewa penuh oleh Jasper Dunn untuk pestanya sendiri bersama puluhan wanita seksi, cantik dan liar. Terdiri dari empat lantai y
Sesaat setelah menjauh dari area club yang hingar bingar, Jasper melepaskan pelukannya di pinggang Abigail tanpa mengatakan apapun. Berjalan bersisian menelusuri lorong panjang berpenerangan minim yang nampak sepi berbanding terbalik dengan keramaian di luar."Apa ini jebakan untuk Lucca?" Abigail buka suara, terlalu ingin tahu. Padahal dia sudah sering diperingatkan untuk berhati-hati dengan rasa ingin tahunya.Jasper tidak menjawab bahkan menoleh, menatap lurus ke depan dengan langkah tegap, berbeda sekali dengan sikapnya beberapa menit lalu. Jelas sekali memiliki maksud terselubung dengan target utama Lucca menggunakan umpan kalung yang mampu menariknya keluar dari Napoli.Abigail mengedarkan pandangan, mengatupkan bibirnya saat melihat dua lelaki berbadan besar dan bertato muncul dari bilik ruangan mengikuti di belakang."Bagaimana situasinya?" tanya Jasper.Abigail mengerutkan kening, menoleh ke belakang sembari tetap berjalan memandangi bergantian keduanya dengan rasa khawatir
Lelaki yang membawanya tadi menegak vodkanya disertai senyuman miring, "Kau pasti bisa menebak yang mana Jasper dari tingkah lakunya."Lelaki disebelahnya tertawa mengisyaratkan jawaban, menarik tengkuk wanita berambut panjang yang tidak sekalipun menolehkan kepalanya ke belakang dan menciumnya penuh nafsu disertai remasan paha di tangan yang lain.Abigail tidak tahu apakah Lucca mengetahui hal ini atau tidak. Keduanya memang mirip namun auranya berbeda. Lelaki yang membawanya tadi terlihat lebih dingin, tidak nampak tertarik dengan wanita berbanding terbalik dengan saudaranya."Urusan kita sudah selesai di sini, Jansen. Kalian yang memiliki kepentingan dengan The black Rose. Biarkan kami pergi sekarang."Jansen? Jadi mereka Jansen dan Jasper?"Kalian tidak akan kemana-mana!!" ucapnya serayamenunjuk Abigail dengan pistol di tangan. "Terutama wanita yang dikirim Lucca untuk menggoda Jasper.""Jadi dia umpan yang dilempar The Black Rose untukku?" Jasper yang sebenarnya memperhatikan
Telapak tangannya yang bergetar berada tepat dibatas paha, dimana senjatanya berada saat dilihatnya Lucca tidak peduli dengan ancaman yang dilontarkan Jansen. Mengeryit merasakan nyeri, memejamkan mata, menghitung di dalam kepala demi memantapkan niat sembari berharap dia akan selamat."Apa motif kalian sebenarnya?" tanya Lucca.Hitungannya terhenti, Abigail membuka mata, tidak jadi menarik keluar senjatanya saat Jansen mengendurkan pisaunya, dihelanya napas lega. "Kau penasaran rupanya. Kita memang pertama kalinya saling berhadapan seperti ini. Sebelumnya aku hanya mendengar desas desus eksistensi The Black Rose di dunia hitam yang terkenal dan aku ingin melihatnya sendiri."Masuklah empat lelaki berbadan besar penuh tato mengelilingi Lucca yang nampak tenang. Auranya yang gelap memancar, membuktikan kalau dia seorang bos mafia yang tidak takut melawan mereka semua meski dikeroyok sekalipun."Jadi, hanya karena itu?""Tentu saja tidak." Jansen tersenyum miring, "Apa kau pikir tidak
Jasper membalik keadaan dengan mendorong Serafine hingga terdesak di sofa, mencekik lehernya dengan kedua tangan hingga kepalanya terdorong ke belakang. Saat Jansen akan membantu saudaranya, Lucca kembali menembak dan dia menghindar. Serafine menghantamkan botol minuman keras yang bisa diraihnya ke kepala Jasper, menendang punggung lelaki itu yang terhempas ke lantai, lalu dengan cepat berdiri tegak dan mengacungkan pistol milik Jasper yang tergeletak begitu saja dilantai ke kepala membuatnya langsung terdiam dengan wajah penuh amarah. "Brengsek!!" desisnya, tetap nekat maju hingga Serafine meloloskan satu tembakan yang tepat mengenai lengan kanannya. "Arghh, sial!!" umpatnya. "Kalau kau bergerak, kepalamu yang akan jadi sasaran selanjutnya." Direnggangkan otot lehernya dengan santai dan menarik kerah baju Jasper menjadikannya sandera. "Berikan kalung itu!!" ucapnya ke Jansen yang siaga tapi tidak bisa bergerak karena mementingkan keselamatan saudaranya. "Cepat, berikan ke Tuan Luc
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj