Share

BAB 8.

Sementara itu didalam ruang eksekutif hanya ada Bella dan Dante Sebastian. Bella membuka botol minuman dan menuangkannya ke gelas dante. Sejujurnya hati Bella merasa lega karena dia tidakharus melayani lima pria sekaligus malam ini. ‘Puffff syukurlah hanya satu orang saja! Memang sih mereka semua tampan tapi aku bisa pingsan kalau harus melayani kelima pria itu.

Duh….aku takkan pernah melayani lima pria sekaligus kapanpun, meski dibayar mahal sekalipun! Lagipula pria didepanku ini sangat tampan, hmmmm…...sejauh ini dia pria tertampan dari semua pria yang pernah kulayani.’

Tapi kenapa sorot matanya sangat mengerikan? Bella berdecak didalam hatinya dan ada perasaan senang karena akan melayani satu pria saja dan pria itu sangat super tampan dengan tubuh yang kekar berotot. Pikiran Bella melayang kemana-mana memikirkan betapa kuatnya pria itu.

“Siapa yang menyuruhmu menuangkan minuman untukku?” suara Dante terdengar sarkas membuat hati Bella berdenyut dan refleks menatap pria dihadapannya.

“Ma---maafkan saya Tuan! Saya pikir anda ingin minum karena gelas anda sudah kosong!” jawab Bella dengan suara lembut dan merdu meskipun sebenarnya dia merasa cemas dan takut.

Bella menaruh kembali botol minuman diatas meja. “Apa yang bisa saya lakukan untuk membuat Tuan merasa nyaman?” tanya Bella setelah keheningan menyelimuti ruangan itu. Bella berusaha berinisiatif untuk membuka percakapan dengan pria itu.

Tapi pria dihadapannya hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hanya matanya saja yang terus mengamati Bella, sejenak mata pria itu terfokus pada sesuatu ditubuh Bella yang membuat gadis itu merasa tidak nyaman.

Refleks tangan Bella menutupi tahi lalat dibelahan kedua puncak kembarnya. Dia merasa cemas jika tamunya akan mempermasalahkan tanda lahirnya. Dia teringat kembali ucapan Madam Wendy yang mengatakan jika tamunya tidak puas maka hutangnya akan bertambah sepuluh persen.

“Kenapa kau menutupinya?” tana Dante tanpa mengalihkan tatapan matanya.

“Maaf Tuan. Apakah anda tidak suka melihat ini?” tanya Bella perlahan.

“Sejak kapan kau memiliki itu?” tanya Dante sambil berdiri lalu melangkah mendekati Bella.

“Hemmm…..sepertinya ini tanda lahir, Tuan. Sudah ada sejak saya kecil.” jawab Bella dengan tangan yang masih menutupi tanda lahirnya.

Tahi lalat itu memang terlihat sedikit mencolok karena bentuknya yang besar dengan diameter sekitar setengah centimeter.

“Apa aku menyuruhmu untuk menaruh tanganmu disitu? Lepaskan tanganmu!” Dante tampak tak suka dan semakin mendekat pada Bella. Tatapan matanya semakin tajam hingga membuat Bella bergidik ngeri.

“Maaf Tuan.” jawab Bella lalu menurunkan tangannya.

Sreeetttt!!!!!

Dante merobek penutup dada yang berbentuk X sehingga puncak kembar itu pun terpampang jelas. “Sejak kapan kau bekerja disini?” Dante kembali melontarkan pertanyaan sambil tangannya menyentuh puncak kembar berwarna merah muda itu. Tangannya mengusap kulit lembut dan mulus gadis itu.

“Ehmm…..sejak tiga setengah tahun lalu!” jawab Bella dengan jujur.

“Kenapa kau bekerja disini? Apa kau kekurangan uang?”

“Ehm….i—itu….ayahku kalah judi dan tidak punya uang lagi padahal hutangnya sudah menumpuk pada Tuan Julian.: ujar Bella dengan nada sedih setiap kali dia mengingat semuanya. Bibirnya melengkung keatas saat menatap Dante, dalam hati Bella merasakan kepedihan karena Dante menanyakan sesuatu yang sangat tidak ingin dia ingat lagi.

“Oh….lalu siapa pelanggan pertamamu?” Dante acuh saja meskipun dia melihat perubahan raut wajah Bella tapi dia justru kembali bertanya. Tangan Dante mengepal dibelakang punggungnya, ada kemarahan yang dia tahan sejak tadi.

“Saya sudah tidak ingat lagi Tuan. Kejadiannya sudah lama.” Bella menjawab dengan senyum tipis sambil terus menatap pria dihadapannya hingga mata mereka saling bertautan.

“Yang saya ingat hanyalah ketakutan, rasa sakit dan perih. Saya tidak tahu siapa orang itu, tidak pernah melihat wajahnya karena mata saya ditutup. Saya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi saat itu.”

“Sudah berapa kali kau melayani tamu?” Dante kembali melontarkan pertanyaan.

“Saya tidak tahu, tuan.” ujar Bella menggelengkan kepala. Dia bingung mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang terus dilontarkan pria asing itu seolah sedang di interogasi.

“Berapa hari kau bekerja dalam seminggu?” tanya Dante kembali sambil memegang dagunya.

“Setiap hari kecuali kalau saya sedang datang bulan. Biasanya saya hanya melayani satu tamusetiap malam dan terkadang saya hanya melayani oral saja. Tergantung kesediaan saya dan kesepakatan dengan tamu.” kata Bella tanpa menyembunyikan apapun.

“Oh begitu! Apa kau tidak bisa berhitung? Kira-kira sudah berapa banyak tamu yang kau layani selama ini?” suara pria itu meninggi dan marah.

“Anu….” Bella mencoba mengingat-ingat. Kalau setahun itu ada tiga ratus enam puluh lima hari jadi tiga tahun setengah berapa ya? Masa aku harus hitungan kayak anak sekolah sih. Bella menatap pria dihadapannya dengan tatapan sendu. Dante mengeryitkan kening menatap Bella dengan tajam dan sulit dimengerti oleh bella.

“Mungkin sekitar seribu kali ya, tuan.” jawab bella gugup, dia hanya menerka-nerka saja karena selama ini dia tidak selalu melayani full service. Tergantung mood dan kesepakatan, Bella sangat pemilih dan kadang hanya bersedia melayani oral saja jika tamunya tidak sesuai.

Bella menatap pria itu yang hanya diam membuat Bella bertanya-tanya jika dia salah bicara. Dia mulai merasa cemas saat melihat Dante malah berjalan mundur dan meraih interkom dan menghubungi seseorang.

Mati aku! Sepertinya dia tidak tertarik padaku! Habislah aku malam ini, hutangku malah bertambah. Benar-benar sial! Gerutunya dalam hati.

“Datang keruanganku sekarang!” suara Danter terdengar sangat marah. Hanya kalimat itu saja yang terucap dari bibirnya.

Tok Tok Tok…..

Hanya dalam waktu satu menit saj terdengar bunyi ketukan dipintu. Bella berdiri dengan kaku, detak jantungnya semakin tak karuan.

“Ada yang bisa kubantu?” seseorang yang tadi dihubungi Dante berbicara dengan intonasi suara yang terbata-bata dan raut wajah yang khawatir. Nampak sekali jika pria itu ketakutan, dia terlihat menelan saliva berkali-kali.

“Apa-apaan ini, ha? Jadi dia yang kau katakan sebagai wanita terbaik di klub ini?” Dante yang duduk sambil melipat kedua tangan didada dengan pandangan mata kearah Bella meskipun kalimat yang diucapkannya ditujukan pada pemilik klub.

“Apa ada yang tidak memuaskan, Tuan Dante?” wajah Julian memucat.

“Aku bertanya padamu kenapa kau malah bertanya balik padaku. Apa kau tidak mengerti pertanyaanku, ha?” emosi Dante semakin mencuat.

“Oh saya mengerti, Tuan. Bella adalah wanita terbaik kami, dia sangat istimewa dan berbeda dengan yang lainnya. Tamu-tamu tidak pernah komplain sampai saat ini.” jawab Julian.

“Jadi maksudmu, aku yang pertama komplain, begitu?” nada suara Dante tak senang.

“Bu---bukan begitu maksudnya.” ujar Julian cepat sebelum ada kesalahpahaman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status