“Pasien bernama Ibu Sesil mengalami keguguran. Rahimnya mengalami infeksi karena beberapa faktor. Beliau harus dirawat sampai kondisinya membaik.”“Tapi, dia masih hidup kan, Dok?”Pertanyaan Laela terdengar aneh di telinga dokter yang ada di hadapannya.“Tentu saja, Bu. Anda membawanya tepat waktu sebelum kejadian yang lebih buruk menimpa Ibu Sesil.”“Syukurlah.” Laela menoleh ke arah Gifar. “Untung dia masih hidup, Gi. Kamu jadi nggak dipersalahkan,” bisiknya.“Iya, Bu. Tapi, Ibu Sesil bisa saja mengalami dampak lain karena rahimnya mengalami infeksi, Bu.”Laela kembali menoleh ketika dokter berbicara. Bisik-bisik itu tentu saja hanya didengar oleh Gifar.“Dampak apa maksudnya, Dok?” Kali ini, Gifar yang bertanya.“Kalau infeksinya semakin parah, Ibu Sesil bisa saja mengalami kemandulan, Pak.”“Mandul?”“Benar, Pak. Karena itu, masih harus dilakukan pemeriksaan agar hal buruk itu tidak terjadi.”“Kemungkinan berapa persen pasien bisa terhindar dari kemandulan itu, Dok?” tanya Laela.
Beberapa orang yang berada di sana, seketika menoleh saat Akmal berbicara dengan lantang. Dia adalah teman dari Haikal yang merupakan seorang pengusaha di bidang transportasi. Truk yang memuat barang-barang Khumaira adalah salah satu kendaraan miliknya.Orang-orang yang sedang mengangkut lemari itu seketika berhenti. Mereka memang terlalu fokus pada lemari yang dibawa hingga tak melihat jalan dengan benar. Untung Khumaira tak tertabrak berkat Akmal menarik lengannya.“Oh, maaf. Aku nggak bermaksud memegang tanganmu, Mbak Khumaira.”Akmal seketika melepaskan cengkeramannya saat situasi sudah aman.“Khuma! Kamu hati-hati dong! Tahu banyak orang lagi mondar-mandir bawa barang, kamu malah berdiri melamun di tengah jalan. Untung Akmal melihatmu dan menarikmu dengan cepat. Kalau nggak, bisa saja terjadi kecelakaan. Kamu ke tabrak, terus lemari bisa menimpa seseorang. Bahaya kan?” ujar Haikal penuh penekanan karena memang mengkhawatirkan adik perempuannya.Khumaira tampak bersalah. Wajahnya
“Khuma, semua yang terjadi adalah kesalahan Ibu. Bukan Gifar. Jadi tolong, jangan berbicara seperti itu kepada anak lelakiku. Ibu yang salah,” jawab Laela. Ia tahu kalau Gifar sekarang makin terpuruk.Lukman dengan wajah masamnya kini mendekati mereka. Ia tak mungkin diam saja ketika melihat anak perempuannya harus menahan beban masalah sendirian.Halimah juga sama. Ia menghampiri Khumaira dan merengkuh pundaknya agar anak perempuannya itu merasa kuat dalam menghadapi semua masalahnya.“Lebih baik, kita bicarakan di dalam sambil duduk sebelum kami pergi dari sini. Kebetulan, semua barang yang Khumaira punya di rumah ini sudah masuk ke dalam truk. Kita bisa berbicara baik-baik karena saya ingin mendengar penjelasan dari pihak Anda walau saya merasa keberatan.”Lukman menekan egonya dan meminta untuk berunding meski hanya untuk basa-basi saja. Ya, karena memang tidak ada solusi mengingat talak tiga telah diberikan oleh Gifar dan sudah jelas kalau Khumaira telah disakiti oleh suami dan m
“Mereka nggak bakal datang ke sini. Kami sedang ada masalah rumah tangga, Dok. Saya hanya ingin sembuh dan pulang menemui mereka untuk menyelesaikan masalah kami, Dok,” jawab Sesil sambil berlinang.Dokter yang bertanya menganggukkan kepada perlahan. Ia merasa prihatin, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.“Kalau Anda ingin semua cepat sembuh, Anda tidak boleh stres, Bu. Kalau Anda sering mengalami stres akan berdampak buruk untuk kondisi Anda sendiri nanti walau sudah melakukan pengobatan sekalipun.”“Saya akan berusaha mengontrol pikiran saya, Dok.”“Baiklah. Setelah pemeriksaan selanjutnya, semoga keadaan Anda bisa lebih baik dan Anda bisa diperbolehkan untuk pulang.”Sesil hanya mengangguk sambil menghapus air matanya. Ia tak yakin pula dengan apa yang tadi telah diucapkan. Ya, karena masalahnya dengan Gifar begitu rumit dan banyak menyita pikirannya.Setelah dokter keluar dari ruangannya, Sesil meringis kesakitan. Perutnya terasa nyeri dan seperti ada yang menusuk-nusuk di dalam sana
“Astaghfirullah! Mas! Maaf, Mas, maaf!” ucap Khumaira terkejut. Ia spontan mengembalikan gelas yang tumpah ke posisi awal. Kemudian, ia mengambil tisu di meja untuk mengelap air yang membasahi celana Akmal.Akmal seketika berdiri dan menyingkir. Ia berkata, “Mbak Khumaira! Nggak perlu dilap! Biarkan saja!” Suaranya lumayan tinggi karena memang kaget.Khumaira yang memegang tisu hanya mematung. Ia baru sadar kalau tak pantas seorang wanita mengelap bagian paha dari seorang lelaki. Ya, walau niatnya memang baik untuk mengelap tumpahan air yang membasahi bagian itu.“Maafkan aku sekali lagi, Mas. Aku ceroboh,” ujar Khumaira lagi. Tisu yang dipegang, tak sadar telah diremas.“Maafkan aku juga yang tiba-tiba menyingkir darimu dan tak sadar meninggikan suara. Aku hanya kaget. Ini yang basah cuma sedikit. Jadi, nggak masalah.” Suara lelaki itu rendah kembali.Akmal mengambil tisu dan mengelap celana yang basah itu sendiri. Sedangkan Khumaira, ia membersihkan meja yang menjadi sedikit kacau.
Ketika Gifar membuka pesan yang Aldo kirim, keningnya langsung mengernyit. Ia sempat bertanya-tanya, tetapi rasa penasaran itu seketika sirna saat video itu mulai diputar.“Khumaira sama temannya Mas Haikal lagi? Katanya nggak punya hubungan apa-apa, tapi ini apa? Dasar semua munafik!”Ponsel yang ada di genggamannya langsung dilempar ke atas kasur. Ia yang sedang menyesali perbuatannya menjadi bertambah tak karuan. Antara penyesalan dan prasangka buruk berbaur dan membuat banyaknya pikiran.“Apa Khumaira sudah melupakanku dengan begitu gampang? Padahal kami belum resmi bercerai, kenapa dia sudah dekat-dekat sama laki-laki lain? Apa pun alasannya, Khumaira seharusnya tak seperti ini. Dia nggak boleh bahagia dengan lelaki lain secepat ini. Aku masih sangat mengharapkannya! Kenapa kamu bisa tersenyum di depan lelaki lain, Khuma!”Gifar duduk di tepi ranjang. Wajahnya kusut dan tampak pucat. Rambutnya berantakan. Penampilannya sangat tidak terurus. Bahkan matanya tampak sangat kelelahan.
Sesil masuk dan duduk sesuai perintah Gifar. Laela ikut duduk dengan wajahnya yang ditekuk. Begitu pula Gifar, wajahnya datar dan tampak sedang banyak pikiran.“Kamu ke sini mau mendengar kata talak dari Gifar kan?” Laela berucap tanpa pikir panjang. Ia yang dulu begitu membangga-banggakan Sesil, sekarang tak seperti itu lagi. Bahkan, rasa benci diumbar dengan sangat jelas.“Aku nggak mau cerai dari Mas Gifar, Bu. Kondisiku yang sekarang harus dipertanggungjawabkan oleh Mas Gifar,” jawab Sesil dengan raut wajah memelas.“Apa maksudmu? Gifar sudah bertanggung jawab mengenai pengobatanmu! Cukup bagi anakku melakukan semua itu. Tidak boleh lebih!” hardik Laela tentu sangat tidak setuju dengan ucapan yang Sesil lontarkan.“Semua itu masih kurang, Bu! Mas Gifar harus menerima kondisiku sebab perbuatannya! Aku nggak mau cerai dari Mas Gifar!” tolak Sesil. Ia tak mau kalah.“Kondisi apa maksudmu? Bukankah kamu ke sini karena memang sudah sembuh dan sehat seperti sedia kala? Kamu juga tahu, k
“Memangnya ada apa, Sil?” tanya Riko. Kata-kata itu terlontar dengan nada yang datar.“Ko, aku kangen kamu, Ko. Maafkan aku kemarin. Aku nggak bermaksud berkata seperti itu. Aku terpaksa melakukannya demi kedamaianku, Ko. Kamu bisa memaafkanku kan, Ko?”“Apa maumu, Sil?” Dengan nada yang tetap datar dan terdengar tidak suka, Riko menanyakan langsung tujuan dari Sesil sesungguhnya.“Ko, aku tahu kalau kamu marah dan kecewa sama aku. Tapi, aku mohon, pahamilah kondisiku waktu itu. Aku terpaksa, Ko. Aku salah waktu itu. Aku membuatmu sakit hati. Tolong, maafkan aku, Ko.”“Setelah semuanya terjadi, baru sekarang kamu mengemis seperti ini, Sil? Kamu baru sadar kalau kamu salah? Kenapa terlambat begini? Apa maumu sebenarnya? Kamu mau memanfaatkanku lagi kan? Aku muak dengan semua kata-kata manismu yang hanya sebuah kemunafikan saja, Sil.”Bicaranya Riko sekarang sudah menunjukkan perbedaan. Ia berbicara dengan penekanan dan dibumbui oleh emosional. Tentu demikian, karena Riko masih menginga
“Sudah siap, Sayang?” tanya Akmal kepada Khumaira. “Ayo. Akra juga sudah tampan nih. Setampan ayahnya,” celetuk wanita itu membuat bibir suaminya melengkung indah. “Besok kita akan punya anak secantik kamu kok, Sayang. Biar adil.” “Nggak, kalau dalam waktu dekat,” bantah Khumaira dengan wajah serius. Akmal hanya tersenyum. Wajahnya makin tampan meski ada bekas luka di pelipis. Penganiayaan yang dialami memang meninggalkan bekas di fisik. Kejadian penculikan juga menjadi pelajaran berharga agar ke depannya bisa lebih berhati-hati. Masalah Riko pun sudah bisa dikendalikan. Khumaira berhasil menasihati lelaki itu dan tak lagi menghubungi walau berasalan ingin memesan kue. Yang diharapkan untuk selanjutnya, hidup mereka akan tenang dan penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah ya, Mas. Semua masalah kita yang terasa pelik bisa diselesaikan. Semoga saja, orang-orang yang dulu menzalimi kita, bisa benar-benar sadar dan nggak me
“Iya, Lid. Mbak Khuma sudah ngomong sama aku kemarin. Dia menyuruhku untuk menghentikan perasaanku yang mungkin melebihi seorang teman. Dia mengatakannya dengan sangat tegas. Aku dibuang olehnya. Aku dilarang untuk menghubunginya, Lid. Hatiku sakit, tapi semua itu keinginan dari Khumaira.” Riko mengatakan dengan nada tinggi. Emosinya terpancing mengingat perasaan yang disebut dengan cinta itu datang sendiri tanpa diundang dan telah mengisi semua ruangan di dalam dada. “Baguslah, kalau Mbak Khuma sudah mengatakannya dengan tegas kepadamu. Kamu berhak bahagia dengan pilihan yang lebih tepat, Ko. Bukan Mbak Khuma.” Embusan napas lagi-lagi dilakukan oleh Riko hanya untuk melegakan perasaan. “Iya, Lid, iya. Kamu nggak usah menambah rasa sakit hatiku.” “Ya sudah, aku mau istirahat. Kamu harus mendengarkan apa kata Mbak Khuma, Ko. Kamu juga istirahat. Aku matikan.” “Iya, Lid.” Riko meletakkan ponsel di meja. Ia berusaha
Kedua mata Laela berkaca-kaca ketika Gifar bisa mendatanginya lagi setelah berurusan dengan polisi. “Iya, Bu. Ini aku.” Senyuman dengan kedua ujung yang terasa kaku tetap dilukiskan di bibir. Meski begitu, tetap ada yang nyeri di dalam dada. Pikirannya juga sedang berusaha merangkai kalimat yang nantinya harus dikatakan di hadapan Laela. “Kamu dibebaskan kan, Gi? Kamu nggak bersalah?” Laela melebarkan kedua tangannya mengharapkan pelukan hangat dari anaknya. Ia tak bisa mengayunkan kaki seperti dulu. Jadi, hanya bisa menanti. Gifar tak menjawabnya. Ia langsung memeluk Laela berharap pula rasa sedihnya bisa sedikit memudar. Matanya juga sudah terasa panas. Ingin sekali mengeluarkan cairan bening. “Gi, kamu nggak ada masalah lain kan? Kamu bisa ke sini, artinya, kamu dibebaskan dan nggak bersalah kan?” Naluri seorang ibu begitu kuat. Laela menangkap guratan kepedihan yang mungkin sedang dirasakan oleh Gifar. Napasny
Puspa tergopoh-gopoh menghampiri Dinar yang masih duduk sendiri. Wanita yang usianya tak muda lagi itu, seketika memeluk anak gadisnya. “Din, apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini? Ada apa, Din?” Pertanyaan yang sama dilontarkan kembali. Puspa melepas pelukannya dan berusaha menatap kedua mata anak tersayangnya. “Dia melakukan kejahatan, Bu. Dia memfitnahku dan memfitnah atasannya sendiri. Dia menculik anak dari atasannya hanya gara-gara rasa cintanya yang masih tertinggal.” Gifar telah berdiri di dekat dua wanita yang belum lama ini menjadi bagian dari keluarganya. Namun, setelah ini, Gifar akan melupakan semuanya dan menyudahi pernikahan yang belum genap berusia satu minggu. Puspa mendongak ke arah suara. Kemudian, ia bangkit sebelum menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh lelaki yang masih berstatus sebagai menantunya. Sedangkan Dinar, hanya membisu dan bergeming di kursi yang sama. Perasaan di dalam dada begitu b
“Mbak Dinar serta Bu Puspa, terima kasih sebelumnya karena sudah mau berkunjung ke rumah saya.” Akmal menghentikan ucapannya. Diam-diam, ia menghela napas. Sedangkan orang-orang yang diajak bicara, melukis senyuman yang manis seraya menganggukkan kepala perlahan. Wajah-wajah penuh harapan besar tergambar begitu jelas di sana. Akmal merasa kesulitan untuk berkata-kata, tetapi semua harus dijelaskan secara tegas. “Untuk semua perkataan yang telah Bu Puspa sampaikan mengenai perasaannya Mbak Dinar, saya merasa sangat terhormat karena saya mendapatkan perasaan yang istimewa dari salah satu manajer terbaik di perusahaan yang saya miliki.” Akmal tak bisa mengatakan dengan cepat. Apalagi ketika melihat ekspresi yang dilakukan oleh dua orang tamunya. Dinar tampak makin merona, begitu pula dengan Puspa sangat terlihat mengharapkan jawaban persetujuan. “Sebenarnya, sudah ada beberapa orang meminta ta’aruf dengan saya akhir-akhir ini. Ada saja yang menjo
Akmal melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Janji yang sudah dibuat, tentu tak mungkin diingkari. Apalagi, rasa penasaran telah menemani lelaki itu. Ia tak sabar untuk mengungkap apa sebenarnya tujuan Dinar dan orang tuanya sampai mau datang ke rumahnya. “Dugaanku mengatakan, kalau Dinar menyukaiku. Mungkinkah dia datang ke sini untuk menyampaikan perasaannya? Kalau memang begitu, dia benar-benar berani dan mau menyingkirkan rasa gengsinya. Tapi, tetap saja, hatiku sudah diisi oleh seseorang.” Sorot mata yang sendu menatap salah satu sudut ruangan. Embusan pelan juga dilakukan. Lelaki itu kembali mengingat kalau wanita yang telah mengisi relung hati terdalamnya telah dinikahi oleh lelaki lain. Akmal menyenderkan punggungnya pada sofa yang lembut agar bisa merasa lebih santai. Ia memajamkan mata untuk menghilangkan rasa lelah yang mendadak datang. Namun, bukannya hilang, malah gambaran wajah wanita yang disukainya itu muncul dalam kegelapan.
Mendengar permintaan dari anaknya tentu membuat Puspa merasa senang. Usia wanita itu memang sudah pantas mendapat gelar sebagai seorang istri. “Apa benar, orang yang kamu maksud masih belum punya calon istri, Din?” tanya Puspa, tak mau terlalu berharap lebih jauh sebelum mengetahui semuanya. “Belum, Ma. Dia masih sendiri,” tegas Dinar. Soal permintaannya bukan sebuah isapan jempol belaka. Dinar yang berasal dari keluarga pengusaha, tentu tak merasa sungkan jika harus melamar seorang lelaki dari kalangan pengusaha pula. Wanita itu memang memilih untuk mencari jati dirinya sendiri dengan bekerja di tempat lain. Biar lebih menantang katanya. “Apa dia benar-benar baik?” tanya Puspa lagi. Ia tak ingin anaknya salah pilih. “Baik banget, Ma. Dia tampan, mapan juga rajin ikut pengajian. Mama nggak bakal rugi kalau punya menantu seperti dia.” Dinar menjelaskan segala kelebihan lelaki yang ingin dilamarnya dengan gamblang agar Puspa makin perc
“Bu—bukan! Uang itu untuk membayar WO beneran kok,” sanggah Dinar, tergagap. “Kalau kamu nggak mengaku, aku akan mengusutnya dan hukumanmu nanti akan semakin berat. Jujur saja, Say … nggak, Dinar.” Lelaki itu teramat terluka. Ia sudah mempercayai bahwa wanita yang memfitnahnya ini adalah orang yang baik seperti Khumaira. Namun, beginilah sekarang. “Aku nggak melakukannya! Uang itu untuk biaya pernikahan kita!” “Baiklah. Kalau itu maumu, aku akan meminta izin untuk menghubungi pihak WO atau malah menghadirkannya ke sini. Biar sekalian terjawab semuanya.” Gifar berbicara penuh kekecewaan. Tatapannya tajam. Luka yang tadinya diharapkan bisa sembuh dengan datangnya Dinar sebagai obat, malah sekarang dibuat semakin menganga dan basah kembali. Semakin perih dan sulit disembuhkan di kemudian hari. Dinar tak menjawab. Raut wajahnya tampak kebingungan. Sikapnya tidak bisa tenang. Gelisah terlihat jelas menemani setiap gerak-geriknya
“Iya, Mbak Khuma. Iya! Aku memahami semua yang kamu sampaikan, tapi ….”Riko kembali menunduk. Udara di sekitar terasa menyesakkan dada. Ia berusaha membuangnya lewat mulut, berharap rasa itu bisa hilang dan menghadirkan rasa nyaman kembali.Banyaknya orang yang berseliweran di tempat makan itu tak mengubah perasaan yang mendadak abu-abu. Awalnya Riko bangga dan merasa puas akan keberhasilan dirinya menemukan Akra karena berharap, Khumaira bakal menyanjungnya tanpa henti. Namun, semua itu hanya khayalan yang tak seutuhnya akan terjadi. Benar, kalau Khumaira merasa berterima kasih, tetapi tak seterusnya akan bersikap manis mengingat ada lelaki lain yang sudah menjadi suami dari wanita itu.Mimpi yang ingin diwujudkan, mungkin akan kandas pada akhirnya. Ya, karena mimpi itu hanya akan merusak kebahagiaan orang lain jika berhasil merangkainya dalam dunia nyata. Pupus. Itu yang terlihat jelas kini.“Tapi apa, Mas Riko? Kamu tahu mencintai pasangan orang lain yang sudah terikat janji suci