“Sudah siap, Sayang?” tanya Akmal kepada Khumaira.
“Ayo. Akra juga sudah tampan nih. Setampan ayahnya,” celetuk wanita itu membuat bibir suaminya melengkung indah.“Besok kita akan punya anak secantik kamu kok, Sayang. Biar adil.”“Nggak, kalau dalam waktu dekat,” bantah Khumaira dengan wajah serius.Akmal hanya tersenyum. Wajahnya makin tampan meski ada bekas luka di pelipis.Penganiayaan yang dialami memang meninggalkan bekas di fisik. Kejadian penculikan juga menjadi pelajaran berharga agar ke depannya bisa lebih berhati-hati.Masalah Riko pun sudah bisa dikendalikan. Khumaira berhasil menasihati lelaki itu dan tak lagi menghubungi walau berasalan ingin memesan kue. Yang diharapkan untuk selanjutnya, hidup mereka akan tenang dan penuh kebahagiaan.“Alhamdulillah ya, Mas. Semua masalah kita yang terasa pelik bisa diselesaikan. Semoga saja, orang-orang yang dulu menzalimi kita, bisa benar-benar sadar dan nggak me“Gi, bagaimana? Kamu sudah memikirkannya kan? Ibu sudah lama menunggu jawabanmu. Kamu kan tahu, Ibu sudah sangat mendambakan seorang cucu. Tolong mengerti perasaan Ibu. Jangan hanya memikirkan Khumaira saja. Ibu ingin segera menimang anakmu, Gifar.”Perkataan itu kembali terulang setelah dua minggu yang lalu Gifar mendengar keluhan itu keluar dari lisan Laela—ibunya.Gifar membuang napas kasar. Laki-laki berusia tiga puluh tahun itu tidak berminat dengan tawaran yang Laela sampaikan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, ia juga tak ingin menyakiti wanita yang telah melahirkannya itu.“Bu, tolong tunggu sebentar lagi. Kami sedang mengusahakannya semaksimal mungkin, Bu. Ibu juga tahu kan, hasil pemeriksaannya bagus semua. Kami dalam keadaan sama-sama sehat, Bu. Hanya menunggu waktu yang tepat saja. Ibu bersabar ya?”Dengan lembut, Gifar berusaha menasihati Laela. Bagaimanapun, Khumaira adalah wanita yang Gifar cintai. Ia telah berjanji tak akan menyakiti hatinya. Khumaira itu wanita ca
Gifar memandangi istri tercintanya pergi untuk membersihkan diri. Semakin dipandangi, nyeri di hati makin terasa berdenyut-denyut.“Khuma Sayang, maafkan aku. Bukan maksudku tidak bersyukur punya istri sepertinya. Aku tahu, Khuma penampilannya berantakan karena belum sempat membersihkan diri saja. Khuma wanita mandiri, tanpaku pun sepertinya dia sanggup. Tapi, mendengar Ibu selalu membandingkan penampilannya dengan Sesil, membuatku jadi sering menuntut penampilan Khuma agar terlihat lebih rapi. Aku yang salah di sini. Bukan malah menuntut Khuma untuk tetap berpenampilan cantik sedangkan dia wanita mandiri dengan berbagai kegiatannya, tapi hatiku sakit saat Ibu terus membandingkannya dengan Sesil. Laki-laki macam apa aku ini.”Gifar bergumam dan merutuki rasa bersalah yang kian menenggelamkannya. Setelah dirinya menyetujui permintaan dari Laela, satu hari setelahnya, pernikahan itu terjadi.Gifar memang sejak dulu orang yang sibuk. Sering pergi keluar kota untuk membicarakan bisnisnya
“Sesil sudah nggak ada kabar sama sekali sejak dia memutuskan untuk pergi bekerja di tempat lain. Nggak terasa udah empat bulan kami nggak berhubungan. Nomornya juga nggak aktif. Segitu ketatnya ya? Kasihan dia. Aku kangen curhat-curhatan sama dia. Sampai rahasianya Mas Gifar saja aku beberkan padanya. Memang ya, sahabat bisa lebih dari keluarga sendiri. Tapi anehnya, aku nggak pernah cerita tentang Sesil sama Mas Gifar. Nggak perlu juga sih menurutku. Lagian, Mas Gifar juga males kalau aku ceritain tentang wanita lain. Dia memang laki-laki idaman. Setia meski sudah bergelimang harta. Suamiku memang hebat, pantas dia sering menuntutku agar tetap terlihat cantik.”Sambil memegang ponsel dan melihat rekam jejak percakapan dengan Sesil, Khumaira bergumam tentang rasa kehilangan sahabatnya itu.Khumaira dan Sesil menjadi dekat sejak mereka bertemu di tempat kerja. Mereka tinggal satu kos hingga Khumaira menikah dengan Gifar yang tak sengaja berjumpa di kedai kopi milik laki-laki itu.Sebe
“Nggak apa-apa, Sayang. Kan demi seorang anak. Kita harus mengorbankan apa pun demi bisa mendapatkannya. Termasuk waktu kita yang memang sibuk. Kita bisa meluangkannya, Dek.”Dengan hati-hati, Gifar berusaha meyakinkan Khumaira agar mau mengikuti sarannya. Gifar juga tidak mau menjerumuskan diri pada prasangka yang tiba-tiba menghinggapi benaknya.“Baik, Mas. Kapan kita akan melakukannya? Ke mana juga kira-kira kita akan pergi. Aku mau cari tahu lewat media sosial tentang kualitas dokter yang akan kita kunjungi, Mas. Kamu juga mau pergi ke luar kota kan?”Setelah mendapatkan jawaban itu, prasangka di hati Gifar mulai luntur. Khumaira bukan ingin menolak, tetapi mengkhawatirkan penanganan yang nantinya akan dokter baru itu lakukan. Itulah yang Gifar yakini di dalam hati.“Iya juga sih, Dek. Kalau aku sudah pulang, kita cari waktu yang tepat, Dek. Ujian kita soal anak. Jadi, usahanya memang di sekitar itu saja kali ya?”“Iya, Mas.” Senyum Khumaira tersungging, tetapi ada sisi kepedihan
Dengan rasa penasaran yang makin menggebu, Khumaira turun dari mobil sambil membawa oleh-oleh yang telah dipersiapkan untuk mertuanya.Raut wajah yang penuh selidik menemani setiap langkah Khumaira. Jantungnya mendadak berdebar seakan ada firasat yang nantinya akan membuatnya mengetahui sesuatu yang mengejutkan.Apakah benar, Mas Gifar ada di rumah Ibu? Lantas buat apa dia ke sini? Bukankah dia berpamitan ke luar kota tentang bisnisnya?“Maaf, Bu. Ada acara apa ya?” tanya Khumaira kepada seorang wanita yang belum lama ini keluar dari rumah Laela.Rasa penasaran itu sudah tak tertahan, hingga Khumaira memberanikan diri mencari tahu kepada orang yang tak dikenali.“Oh ini, Mbak. Bu Laela lagi ngadain syukuran. Tapi, mereka sengaja tidak memberi tahu secara jelas syukurannya untuk apa. Katanya, yang penting sudah berniat, tidak perlu diumbar secara jelas lagi ke orang-orang. Bu Laela emang kadang gitu, Mbak. Orangnya suka merendah. Duluan ya, Mbak.” Sambil tersenyum, wanita itu berpamita
“Dek, aku minta maaf karena saking sibuknya jadi nggak sempat mengabarimu, Dek. Pekerjaan di luar kota juga akhirnya kubatalkan karena harus datang ke rumah Ibu begini. Kalau nanti kamu sudah mau pulang, aku akan ikut bersamamu.”Dengan sangat canggung dan raut wajah yang tampak kebingungan, Gifar berusaha keras agar rahasianya tetap tertutup rapat.Gifar menyadari kalau Khumaira mulai mencurigai keberadaan Sesil di rumah Laela. Kalau keadaan makin memanas, bisa saja semua rahasianya terbongkar detik itu juga.“Mas, apakah benar, kamu tidak menyembunyikan sesuatu? Memangnya, Ibu baru saja melakukan syukuran untuk apa? Aku baru tahu, seorang pembantu berpakaian yang hampir serasi dengan majikannya. Terutama denganmu, Mas. Apa sesulit itu mengabari acara yang Ibu selenggarakan kepada istrimu sendiri, Mas?”Pertanyaan demi pertanyaan yang Khumaira sampaikan, membuat Gifar makin kebingungan.“Apa salahnya kalau Sesil memakai pakaian yang serasi dengan kami. Biar dia terlihat rapi. Memangn
“Itu suara orang muntah kan, Mas? Sesil yang muntah kan? Aku dengar Ibu barusan ngomong walau samar. Sesil kenapa? Sakit? Aku pikir, tadi dia baik-baik saja kan, Mas?”Khumaira hendak bangkit meninggalkan piring yang isinya masih ada. Namun, spontan Gifar memegang lengannya.Sorot mata yang tadinya tertuju ke ruangan yang ada di belakang, mengetahui tangannya ada yang memegang, Khumaira melihat ke arah Gifar.Lelaki itu tampak pucat. Kekhawatiran di wajahnya sulit disembunyikan. Apalagi gelagatnya begitu aneh, hingga Khumaira mengernyitkan kening bertambah curiga.“Kenapa, Mas? Kenapa tanganku kamu pegang? Aku mau melihat keadaan Sesil. Apa kamu tahu sesuatu, Mas? Apa benar, Sesil sedang sakit?”Untuk mengurangi rasa curiga, pertanyaan demi pertanyaan terlontar. Khumaira bukan sekadar mengkhawatirkan kondisi Sesil, tetapi lebih takut lagi kalau dugaan yang tadi disampaikan kepada Gifar menjadi kenyataan.Gifar perlahan mengalihkan sorot matanya. Tangan yang mencegah kepergian istrinya
“Khuma! Sesil tadi sudah menjelaskan semuanya kan? Kenapa kamu nggak percaya dan malah banyak bicara macam itu? Sesil lagi lemas begini gara-gara muntah karena masuk angin. Apa kamu masih saja nggak mempercayai perkataan Sesil? Kamu pernah tinggal bersama kan? Artinya, kalian berteman. Kenapa kamu nggak punya rasa kasihan dan simpati saat melihat kondisi Sesil yang lagi lemah dan sakit begini, Khuma! Jangan ngomong yang aneh-aneh. Bikin orang jadi marah saja sih!”Suara penuh amarah itu terucap dari lisan sang mertua. Wajahnya yang mirip Gifar itu menunjukkan guratan-guratan kemarahan yang ditujukan kepada menantunya sendiri.Khumaira yang menahan kekecewaan dan kekesalan itu juga makin terasa panas hatinya ketika mendengar pembelaan dari Laela untuk Sesil. Pertanyaannya selalu disanggah dengan emosi yang meluap-luap. Kalau seandainya semua yang dilontarkan oleh Khumaira adalah kesalahan, harusnya mereka menyikapinya dengan tenang dan tidak perlu mengeluarkan nada suara yang tinggi. S
“Sudah siap, Sayang?” tanya Akmal kepada Khumaira. “Ayo. Akra juga sudah tampan nih. Setampan ayahnya,” celetuk wanita itu membuat bibir suaminya melengkung indah. “Besok kita akan punya anak secantik kamu kok, Sayang. Biar adil.” “Nggak, kalau dalam waktu dekat,” bantah Khumaira dengan wajah serius. Akmal hanya tersenyum. Wajahnya makin tampan meski ada bekas luka di pelipis. Penganiayaan yang dialami memang meninggalkan bekas di fisik. Kejadian penculikan juga menjadi pelajaran berharga agar ke depannya bisa lebih berhati-hati. Masalah Riko pun sudah bisa dikendalikan. Khumaira berhasil menasihati lelaki itu dan tak lagi menghubungi walau berasalan ingin memesan kue. Yang diharapkan untuk selanjutnya, hidup mereka akan tenang dan penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah ya, Mas. Semua masalah kita yang terasa pelik bisa diselesaikan. Semoga saja, orang-orang yang dulu menzalimi kita, bisa benar-benar sadar dan nggak me
“Iya, Lid. Mbak Khuma sudah ngomong sama aku kemarin. Dia menyuruhku untuk menghentikan perasaanku yang mungkin melebihi seorang teman. Dia mengatakannya dengan sangat tegas. Aku dibuang olehnya. Aku dilarang untuk menghubunginya, Lid. Hatiku sakit, tapi semua itu keinginan dari Khumaira.” Riko mengatakan dengan nada tinggi. Emosinya terpancing mengingat perasaan yang disebut dengan cinta itu datang sendiri tanpa diundang dan telah mengisi semua ruangan di dalam dada. “Baguslah, kalau Mbak Khuma sudah mengatakannya dengan tegas kepadamu. Kamu berhak bahagia dengan pilihan yang lebih tepat, Ko. Bukan Mbak Khuma.” Embusan napas lagi-lagi dilakukan oleh Riko hanya untuk melegakan perasaan. “Iya, Lid, iya. Kamu nggak usah menambah rasa sakit hatiku.” “Ya sudah, aku mau istirahat. Kamu harus mendengarkan apa kata Mbak Khuma, Ko. Kamu juga istirahat. Aku matikan.” “Iya, Lid.” Riko meletakkan ponsel di meja. Ia berusaha
Kedua mata Laela berkaca-kaca ketika Gifar bisa mendatanginya lagi setelah berurusan dengan polisi. “Iya, Bu. Ini aku.” Senyuman dengan kedua ujung yang terasa kaku tetap dilukiskan di bibir. Meski begitu, tetap ada yang nyeri di dalam dada. Pikirannya juga sedang berusaha merangkai kalimat yang nantinya harus dikatakan di hadapan Laela. “Kamu dibebaskan kan, Gi? Kamu nggak bersalah?” Laela melebarkan kedua tangannya mengharapkan pelukan hangat dari anaknya. Ia tak bisa mengayunkan kaki seperti dulu. Jadi, hanya bisa menanti. Gifar tak menjawabnya. Ia langsung memeluk Laela berharap pula rasa sedihnya bisa sedikit memudar. Matanya juga sudah terasa panas. Ingin sekali mengeluarkan cairan bening. “Gi, kamu nggak ada masalah lain kan? Kamu bisa ke sini, artinya, kamu dibebaskan dan nggak bersalah kan?” Naluri seorang ibu begitu kuat. Laela menangkap guratan kepedihan yang mungkin sedang dirasakan oleh Gifar. Napasny
Puspa tergopoh-gopoh menghampiri Dinar yang masih duduk sendiri. Wanita yang usianya tak muda lagi itu, seketika memeluk anak gadisnya. “Din, apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini? Ada apa, Din?” Pertanyaan yang sama dilontarkan kembali. Puspa melepas pelukannya dan berusaha menatap kedua mata anak tersayangnya. “Dia melakukan kejahatan, Bu. Dia memfitnahku dan memfitnah atasannya sendiri. Dia menculik anak dari atasannya hanya gara-gara rasa cintanya yang masih tertinggal.” Gifar telah berdiri di dekat dua wanita yang belum lama ini menjadi bagian dari keluarganya. Namun, setelah ini, Gifar akan melupakan semuanya dan menyudahi pernikahan yang belum genap berusia satu minggu. Puspa mendongak ke arah suara. Kemudian, ia bangkit sebelum menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh lelaki yang masih berstatus sebagai menantunya. Sedangkan Dinar, hanya membisu dan bergeming di kursi yang sama. Perasaan di dalam dada begitu b
“Mbak Dinar serta Bu Puspa, terima kasih sebelumnya karena sudah mau berkunjung ke rumah saya.” Akmal menghentikan ucapannya. Diam-diam, ia menghela napas. Sedangkan orang-orang yang diajak bicara, melukis senyuman yang manis seraya menganggukkan kepala perlahan. Wajah-wajah penuh harapan besar tergambar begitu jelas di sana. Akmal merasa kesulitan untuk berkata-kata, tetapi semua harus dijelaskan secara tegas. “Untuk semua perkataan yang telah Bu Puspa sampaikan mengenai perasaannya Mbak Dinar, saya merasa sangat terhormat karena saya mendapatkan perasaan yang istimewa dari salah satu manajer terbaik di perusahaan yang saya miliki.” Akmal tak bisa mengatakan dengan cepat. Apalagi ketika melihat ekspresi yang dilakukan oleh dua orang tamunya. Dinar tampak makin merona, begitu pula dengan Puspa sangat terlihat mengharapkan jawaban persetujuan. “Sebenarnya, sudah ada beberapa orang meminta ta’aruf dengan saya akhir-akhir ini. Ada saja yang menjo
Akmal melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Janji yang sudah dibuat, tentu tak mungkin diingkari. Apalagi, rasa penasaran telah menemani lelaki itu. Ia tak sabar untuk mengungkap apa sebenarnya tujuan Dinar dan orang tuanya sampai mau datang ke rumahnya. “Dugaanku mengatakan, kalau Dinar menyukaiku. Mungkinkah dia datang ke sini untuk menyampaikan perasaannya? Kalau memang begitu, dia benar-benar berani dan mau menyingkirkan rasa gengsinya. Tapi, tetap saja, hatiku sudah diisi oleh seseorang.” Sorot mata yang sendu menatap salah satu sudut ruangan. Embusan pelan juga dilakukan. Lelaki itu kembali mengingat kalau wanita yang telah mengisi relung hati terdalamnya telah dinikahi oleh lelaki lain. Akmal menyenderkan punggungnya pada sofa yang lembut agar bisa merasa lebih santai. Ia memajamkan mata untuk menghilangkan rasa lelah yang mendadak datang. Namun, bukannya hilang, malah gambaran wajah wanita yang disukainya itu muncul dalam kegelapan.
Mendengar permintaan dari anaknya tentu membuat Puspa merasa senang. Usia wanita itu memang sudah pantas mendapat gelar sebagai seorang istri. “Apa benar, orang yang kamu maksud masih belum punya calon istri, Din?” tanya Puspa, tak mau terlalu berharap lebih jauh sebelum mengetahui semuanya. “Belum, Ma. Dia masih sendiri,” tegas Dinar. Soal permintaannya bukan sebuah isapan jempol belaka. Dinar yang berasal dari keluarga pengusaha, tentu tak merasa sungkan jika harus melamar seorang lelaki dari kalangan pengusaha pula. Wanita itu memang memilih untuk mencari jati dirinya sendiri dengan bekerja di tempat lain. Biar lebih menantang katanya. “Apa dia benar-benar baik?” tanya Puspa lagi. Ia tak ingin anaknya salah pilih. “Baik banget, Ma. Dia tampan, mapan juga rajin ikut pengajian. Mama nggak bakal rugi kalau punya menantu seperti dia.” Dinar menjelaskan segala kelebihan lelaki yang ingin dilamarnya dengan gamblang agar Puspa makin perc
“Bu—bukan! Uang itu untuk membayar WO beneran kok,” sanggah Dinar, tergagap. “Kalau kamu nggak mengaku, aku akan mengusutnya dan hukumanmu nanti akan semakin berat. Jujur saja, Say … nggak, Dinar.” Lelaki itu teramat terluka. Ia sudah mempercayai bahwa wanita yang memfitnahnya ini adalah orang yang baik seperti Khumaira. Namun, beginilah sekarang. “Aku nggak melakukannya! Uang itu untuk biaya pernikahan kita!” “Baiklah. Kalau itu maumu, aku akan meminta izin untuk menghubungi pihak WO atau malah menghadirkannya ke sini. Biar sekalian terjawab semuanya.” Gifar berbicara penuh kekecewaan. Tatapannya tajam. Luka yang tadinya diharapkan bisa sembuh dengan datangnya Dinar sebagai obat, malah sekarang dibuat semakin menganga dan basah kembali. Semakin perih dan sulit disembuhkan di kemudian hari. Dinar tak menjawab. Raut wajahnya tampak kebingungan. Sikapnya tidak bisa tenang. Gelisah terlihat jelas menemani setiap gerak-geriknya
“Iya, Mbak Khuma. Iya! Aku memahami semua yang kamu sampaikan, tapi ….”Riko kembali menunduk. Udara di sekitar terasa menyesakkan dada. Ia berusaha membuangnya lewat mulut, berharap rasa itu bisa hilang dan menghadirkan rasa nyaman kembali.Banyaknya orang yang berseliweran di tempat makan itu tak mengubah perasaan yang mendadak abu-abu. Awalnya Riko bangga dan merasa puas akan keberhasilan dirinya menemukan Akra karena berharap, Khumaira bakal menyanjungnya tanpa henti. Namun, semua itu hanya khayalan yang tak seutuhnya akan terjadi. Benar, kalau Khumaira merasa berterima kasih, tetapi tak seterusnya akan bersikap manis mengingat ada lelaki lain yang sudah menjadi suami dari wanita itu.Mimpi yang ingin diwujudkan, mungkin akan kandas pada akhirnya. Ya, karena mimpi itu hanya akan merusak kebahagiaan orang lain jika berhasil merangkainya dalam dunia nyata. Pupus. Itu yang terlihat jelas kini.“Tapi apa, Mas Riko? Kamu tahu mencintai pasangan orang lain yang sudah terikat janji suci