“Dek, aku minta maaf karena saking sibuknya jadi nggak sempat mengabarimu, Dek. Pekerjaan di luar kota juga akhirnya kubatalkan karena harus datang ke rumah Ibu begini. Kalau nanti kamu sudah mau pulang, aku akan ikut bersamamu.”
Dengan sangat canggung dan raut wajah yang tampak kebingungan, Gifar berusaha keras agar rahasianya tetap tertutup rapat.Gifar menyadari kalau Khumaira mulai mencurigai keberadaan Sesil di rumah Laela. Kalau keadaan makin memanas, bisa saja semua rahasianya terbongkar detik itu juga.“Mas, apakah benar, kamu tidak menyembunyikan sesuatu? Memangnya, Ibu baru saja melakukan syukuran untuk apa? Aku baru tahu, seorang pembantu berpakaian yang hampir serasi dengan majikannya. Terutama denganmu, Mas. Apa sesulit itu mengabari acara yang Ibu selenggarakan kepada istrimu sendiri, Mas?”Pertanyaan demi pertanyaan yang Khumaira sampaikan, membuat Gifar makin kebingungan.“Apa salahnya kalau Sesil memakai pakaian yang serasi dengan kami. Biar dia terlihat rapi. Memangnya nggak boleh?” Laela yang menimpali.“Oh, jadi begitu. Pantas sih, kalau Sesil makin berisi setelah bekerja di rumah ini. Ibu pasti sangat baik padanya. Sampai pakaian saja dipersiapkan hanya untuk terlihat rapi padahal Sesil kerjaannya hanya bersih-bersih. Ibu memang sangat baik.”Meski merasa tidak adil, karena Laela lebih menghormati Sesil yang katanya hanya seorang pembantu dibanding dengan Khumaira yang jelas-jelas menantunya, Khumaira tetap berusaha tegar dan menepis rasa tidak nyaman di dalam hati. Bibirnya masih tersimpul senyuman meski getir.“Sesil itu cantik, pantas kalau Ibu memperhatikannya agar dia tetap terlihat menarik.”Perkataan Laela makin terdengar aneh. Kalau memang hanya seorang pembantu, apakah ada majikan yang begitu memperhatikan penampilan seorang pembantunya?“Ibu! Ibu ngomong apa sih? Jangan berlebihan begitu. Mungkin Sesil memang betah kerja di sini, jadi tubuhnya makin berisi. Ibu nggak pernah memperhatikan Sesil sampai sedetail itu kok. Jangan berlebihan, Bu.”Gifar sangat cemas kalau Khumaira makin curiga. Ia berusaha keras mengeluarkan argumen agar Khumaira tak semakin dalam untuk mencari tahu kebenaran yang ada.“Benar apa kata Mas Gifar, Khuma. Aku memang betah kerja di sini. Ibu baik, tapi nggak sampai segitunya kok. Aku kan hanya pembantu. Benar begitu kan, Bu?”Kalimat terakhir sedikit ditekan oleh Sesil agar Laela mau mengiyakannya untuk mengurangi kecurigaan Khumaira.Laela menghela napas. Ia tampak enggan untuk ikut dalam sandiwara. Ia menginginkan agar Khumaira tahu yang sesungguhnya dan memamerkan perut yang mulai buncit milik Sesil kepada menantunya itu.“Iya, benar kata mereka. Ini hanya acara syukuran biasa. Biar terlihat rapi, Ibu sengaja memberikan baju yang pantas untuk dipakai diacara ini.”Meski telah dijelaskan oleh Laela, Khumaira tetap saja merasa ada yang ditutupi. Apalagi reaksi dan ekspresi wajah Laela yang terlihat masam. Kecurigaan Khumaira malah makin menjadi.“Ayo, Dek. Kamu belum mencicipi makanannya kan? Kita makan yuk,” ajak Gifar agar Khumaira teralihkan.Perhatian yang Gifar lakukan, membuat Sesil merasa cemburu. Ditambah dirinya yang sedang hamil, emosionalnya tidak stabil. Gifar pun tak pernah perhatian sedikit pun padanya, meski ada buah hati di dalam rahimnya.“Saya permisi juga mau ke belakang,” ucap Sesil. Ia ingin menjauhi pemandangan romantis yang Gifar lakukan kepada Khumaira.Gifar tak peduli tentang Sesil. Ia hanya tertuju pada Khumaira. Ia tak mau istri tercintanya itu tersakiti karena ulah ibunya sendiri. Meski pada kenyataannya memang sudah ada calon luka yang akan menganga.Khumaira diam dengan seribu tanda tanya. Ia hanya mengikuti keinginan Gifar untuk memakan sajian yang telah terhidang, tetapi pikirannya terfokus pada hal lain.Sesil bukan gini orangnya. Dia sangat memperhatikan penampilan. Meski jadi pembantu sekalipun, dia pasti tidak ingin merusak tubuh idealnya. Dia nggak pernah segemuk ini. Apakah mungkin dia punya hubungan khusus dengan Mas Gifar? Aku harap, prasangka burukku ini nggak pernah terjadi. Mas Gifar laki-laki yang sangat setia.Sambil menyuapkan nasi beserta daging ayam ke dalam mulut, Khumaira menerka-nerka apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Dadanya terasa nyeri kala memikirkan kemungkinan buruk yang terlintas di kepalanya.“Dek, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud bohongin kamu. Ini semua mendadak. Aku harus datang ke sini dan menggagalkan pertemuan bisnis di luar kota. Aku salah karena lupa tidak mengabarimu, Dek.”Gifar berusaha agar Khumaira meyakini semua tindakannya sesuai dengan alasan yang telah terlontar dari lisannya. Di hati Gifar hanya berharap kalau Khumaira jangan dulu mengetahui kenyataan yang telah terjadi dalam hidup mereka.“Jujur saja aku memang kecewa, Mas. Masa kamu lupa sama aku. Kalau seandainya aku nggak datang ke sini, apa kamu akan tetap menyembunyikannya? Nggak kasih kabar ke aku?”Khumaira sejenak menatap suaminya. Jemarinya sambil memainkan sendok untuk mengumpulkan bulir nasi dan lauknya.“Te—tentu saja aku kabarin kamu, Dek. Tadi memang repot, jadi aku belum sempat aja, Dek. Maafkan aku, Dek.”Meski tergagap, Gifar terus mencoba untuk meyakinkan Khumaira. Matanya pun sayu sebagai tanda kalau dia begitu menyesal akan sikapnya itu.Sebelum menyuapkan sendok ke mulutnya, Khumaira membuang napasnya cukup kuat. Bagaimanapun, prasangka buruk telah mengendap di pikirannya. Dugaan terburuk adalah tentang pengkhianatan yang Gifar lakukan meski bagi Khumaira kemungkinannya begitu kecil karena selama menjadi istrinya, Gifar sangat menjaga pandangannya dari wanita lain.“Kamu tahu, Mas. Apa yang sedang aku pikirkan sekarang?” tanya Khumaira, kemudian menyuapkan nasi ke mulutnya.Gifar menggeleng. Degupan jantungnya kian terpacu. Khumaira memang wanita peka dalam berbagai hal. Bisa jadi, yang dipikirkan memang ketakutan yang Gifar ingin hindari.“Kamu memikirkan kesalahanku kan, Dek? Aku yang tidak mengabarimu karena sudah datang ke rumah Ibu?” jawab Gifar berpura-pura tidak tahu apa yang Khumaira maksud sesungguhnya demi menjaga rahasianya.Khumaira belum berbicara lagi. Ia mengunyah makanannya seraya menata hatinya lagi. Apa yang akan dikatakan nanti memang menyinggung tentang posisi Sesil sesungguhnya di rumah mertuanya ini.Gifar setia menunggu istrinya yang sedang makan. Meski tak dimungkiri, perasaannya kian tak menentu.“Mas, apa benar, Sesil di sini hanya pembantu? Setahuku, dia itu suka menjaga penampilan. Nggak mungkin sekarang jadi gemuk begitu, Mas. Atau jangan-jangan, dia ada hubungannya denganmu? Aku melihat Sesil seperti orang yang lagi hamil, Mas.”Setelah makanan yang dikunyah masuk ke dalam perut, Khumaira kembali berbicara dan mengatakan semua yang terlintas di kepalanya.Detik yang sama, gelagat Gifar tak bisa ditutupi kalau dirinya sedang kebingungan. Seakan pencuri yang tertangkap basah. Wajah Gifar pun memucat.“Ma—mana mungkin, Dek. Dia hanya pembantu kok. Kalau masalah hamil, aku nggak tahu. Statusnya aja aku nggak tahu, Dek. Itu nggak penting kan? Aku nggak tahu juga tentang cara pikir wanita itu. Bisa saja dia sudah tidak seperti dulu waktu masih sering bertemu denganmu, Dek. Maksudnya, sudah tidak terlalu mementingkan penampilannya, Dek. Masalah hamil atau apa, aku nggak tahu, Dek.”Gifar berusaha untuk tersenyum meski kedua ujung bibirnya tampak kaku. Bicaranya pun gelagapan seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.Kening Khumaira mengerut. Dia sudah sangat paham tentang perangai Sesil seperti apa. Ditambah sikap Gifar yang tampak tak tenang, kecurigaan Khumaira makin mengental.“Aku yang sahabatnya loh, Mas. Dia bukan orang yang begitu. Dia selalu menginginkan sesuatu yang sempurna dalam dirinya. Termasuk penampilan, Mas. Makanya, aku ngomong kayak gini sama kamu. Mungkin saja kamu tahu sesuatu. Aku harap sih, kamu memang jujur tentang semua yang kamu sampaikan tadi.”Khumaira yang sudah dipenuhi oleh prasangka-prasangka buruk, masih mencoba untuk bersabar. Harapannya tentu saja Gifar memang tidak pernah membohonginya karena memang dia istrinya.Hoek! Hoek! Hoek!“Ya ampun, Sesil! Sudah dibilangi kan, jangan dekat-dekat sama sabun yang bikin kamu jadi mual! Ibu nggak ingin melihatmu jadi lemas karena muntah, Sil!”Meski samar, Khumaira masih bisa menangkap perkataan yang Laela sampaikan untuk Sesil yang sepertinya sedang muntah. Suara itu terdengar dari ruangan belakang.“Itu suara orang muntah kan, Mas? Sesil yang muntah kan? Aku dengar Ibu barusan ngomong walau samar. Sesil kenapa? Sakit? Aku pikir, tadi dia baik-baik saja kan, Mas?”Khumaira hendak bangkit meninggalkan piring yang isinya masih ada. Namun, spontan Gifar memegang lengannya.Sorot mata yang tadinya tertuju ke ruangan yang ada di belakang, mengetahui tangannya ada yang memegang, Khumaira melihat ke arah Gifar.Lelaki itu tampak pucat. Kekhawatiran di wajahnya sulit disembunyikan. Apalagi gelagatnya begitu aneh, hingga Khumaira mengernyitkan kening bertambah curiga.“Kenapa, Mas? Kenapa tanganku kamu pegang? Aku mau melihat keadaan Sesil. Apa kamu tahu sesuatu, Mas? Apa benar, Sesil sedang sakit?”Untuk mengurangi rasa curiga, pertanyaan demi pertanyaan terlontar. Khumaira bukan sekadar mengkhawatirkan kondisi Sesil, tetapi lebih takut lagi kalau dugaan yang tadi disampaikan kepada Gifar menjadi kenyataan.Gifar perlahan mengalihkan sorot matanya. Tangan yang mencegah kepergian istrinya
“Khuma! Sesil tadi sudah menjelaskan semuanya kan? Kenapa kamu nggak percaya dan malah banyak bicara macam itu? Sesil lagi lemas begini gara-gara muntah karena masuk angin. Apa kamu masih saja nggak mempercayai perkataan Sesil? Kamu pernah tinggal bersama kan? Artinya, kalian berteman. Kenapa kamu nggak punya rasa kasihan dan simpati saat melihat kondisi Sesil yang lagi lemah dan sakit begini, Khuma! Jangan ngomong yang aneh-aneh. Bikin orang jadi marah saja sih!”Suara penuh amarah itu terucap dari lisan sang mertua. Wajahnya yang mirip Gifar itu menunjukkan guratan-guratan kemarahan yang ditujukan kepada menantunya sendiri.Khumaira yang menahan kekecewaan dan kekesalan itu juga makin terasa panas hatinya ketika mendengar pembelaan dari Laela untuk Sesil. Pertanyaannya selalu disanggah dengan emosi yang meluap-luap. Kalau seandainya semua yang dilontarkan oleh Khumaira adalah kesalahan, harusnya mereka menyikapinya dengan tenang dan tidak perlu mengeluarkan nada suara yang tinggi. S
“Khuma, tolong dengarkan aku. Antara aku dan Mas Gifar tidak ada hubungan apa pun. Aku hanya masuk angin, Khuma.”Sesil berucap lagi. Walau Laela menatap tidak suka sebab ucapannya, wanita itu seakan memberi isyarat kepada Laela agar diam dan menurut saja apa katanya. Namun sayangnya, gelagat itu ditangkap oleh mata kepala Khumaira. Ia makin kesal.“Jangan bohong kamu, Sil! Memangnya aku bodoh, ha! Barusan kamu memberikan tanda kepada Ibu agar mau menurut apa katamu kan? Bukankah kamu sahabatku? Kenapa kamu malah ingin menutupi sesuatu dariku? Aku sudah menceritakan banyak hal tentang kehidupanku kepadamu, Sil. Bahkan sampai membicarakan Mas Gifar. Aku bodoh memang. Kenapa mempercayai orang sepertimu yang sekarang malah bersandiwara untuk menutupi sesuatu dariku. Aku bodoh terlalu percaya kepadamu yang aku anggap sebagai sahabat terbaikku selama ini, Sil!”Nyalang. Mata Khumaira menatap wanita yang baginya sudah seperti keluarga sendiri, tetapi nyatanya, ada permainan yang disembunyik
Rahang Khumaira beradu keras. Tatapan kebencian menyoroti sahabat yang kini telah tega berkhianat. Ia kembali teringat waktu ketika lisannya menceritakan tentang kekurangan suaminya kepada Sesil dengan harapan bisa melegakan beban hidupnya walau secuil.“Sil, sebenarnya aku punya rahasia yang terasa berat kalau kusimpan sendiri,” ujar Khumaira kala itu.“Cerita aja, biar kamu lega, Khuma. Nggak perlu ragu, kayak sama siapa aja sih. Aku juga sering cerita sama kamu kan? Tapi, memang sih, aku belum bisa menceritakan lelaki yang bikin aku berdebar sama kamu. Nanti saja, kalau waktunya udah tepat,” jawab Sesil sambil nyengir.“Jadi, kapan dong? Masa sejak pertama ngomong sampai saat ini kamu masih merahasiakannya.” Khumaira malah fokus pada cerita Sesil tentang lelaki idamannya.“Dia masih milik orang lain. Nggak pantas kalau aku ngomongnya sekarang kan, Ma? Makanya, aku menunggu waktu yang tepat saja nanti.”Khumaira agak terkejut mendapati sahabat dekatnya menyukai lelaki yang katanya s
“Apa maksudmu? Aku nggak melakukan apa pun. Lebih baik, kamu izin untuk pulang lebih awal saja.”Tiba-tiba, Sesil mengeluarkan air matanya. Ia sempat terdiam. Kemudian, bulir kristal yang telah berjatuhan dihapus oleh tangannya hingga Laela menyadarinya.“Kenapa malah nangis? Kalau makin terasa tidak nyaman, lebih baik pulang. Takutnya malah tambah parah nanti. Kalau kamu bingung tentang izinnya, aku akan menemanimu dan sekalian mengantarmu pulang untuk istirahat.”Tidak menyangka kalau Laela sebaik itu. Namun, Sesil jadi heran sama Khumaira yang mengatakan kalau mertuanya kurang suka kepadanya. Padahal orang yang ada di hadapannya sekarang begitu baik.Apa mungkin gara-gara Khuma belum hamil-hamil, Ibu ini jadi jutek sama menantunya ya? Khuma jadi merasa tidak nyaman sama orang ini. Tapi, dia malah menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang. Bukankah aku harus memanfaatkannya dengan baik? Aku akan pura-pura bertanya tentang kehidupan anaknya. Kalau hubungannya dengan Khumaira kurang
Betapa syok bercampur bahagianya Sesil ketika isi pesan yang berasal dari Laela menyuruhnya untuk menjadi istri kedua dari Gifar.“Oh, ya ampun, ya ampun! Mimpi apa aku semalam? Bu Laela akhirnya memintaku seperti ini. Harapanku tidak sia-sia. Kebohonganku waktu pertama bertemu membuahkan hasil,” gumamnya sambil mengembangkan bibir.“Tapi, apa artinya tentang perjanjian jangka waktu kehamilanku dengan Mas Gifar? Apa maksudnya aku harus hamil sesuai permintaan waktu yang telah ditentukan oleh Bu Laela? Terus, bagaimana dong? Mas Gifar saja mandul kan? Kalau aku diminta hamil setelah sebulan akad nikah, bisa kacau semuanya kan? Terus, kalau Mas Gifar diperiksa dan ternyata hasilnya bukan dipalsukan seperti yang Khumaira lakukan, artinya orang bakal tahu kalau dia nggak akan bisa punya anak kan? Terus, kelanjutan nasibku dan hubunganku dengan Mas Gifar gimana dong? Bagaimanapun, aku mau Mas Gifar mencintaiku seperti yang dilakukannya kepada Khumaira. Tapi, apa yang harus aku lakukan?”Se
“Sil, kenapa kamu berhenti kerja?”Kabar tentang pengunduran diri yang Sesil lakukan telah didengar oleh teman-teman kerjanya. Tak terkecuali oleh Riko. Dia seorang lelaki yang sering memperhatikan Sesil. Ya, ada perasaan berlebih yang tercurah untuk wanita itu.“Aku mau kerja di tempat lain, Ko.”Riko yang tampak kecewa hanya mengangguk pelan seraya membulatkan mulutnya.“Ada apa?” tanya Sesil lagi. Ia tahu kalau lelaki yang berdiri di dekatnya itu mempunyai perasaan khusus kepadanya.“Hari ini masih full kerja kan?”“Masih, Ko. Mulai besok aku nggak berangkat kerjanya.”“Karena kita nggak bisa bertemu tiap hari lagi, atau bahkan nggak pernah bertemu lagi, boleh nggak, kalau aku ajak kamu makan malam berdua. Sudah lama aku mau ajak kamu, tapi nyaliku ciut.”Agak ragu, Riko memberanikan diri mengajak Sesil untuk pergi berdua. Ya, bagi Riko ajakan itu dianggap sebagai kencan.Wah, Riko beneran suka sama aku nih. Apa aku pakai dia saja? Daripada susah-susah cari orang lain kan? Apalagi
“Kamu mau pindah kerja, Sil?” tanya Khumaira ketika mereka bertemu di kafe andalan.“Iya, Ma. Ini saja aku sudah berhenti kerja. Nggak tahu nanti setelah kerja di tempat baru, aku bisa menghubungimu lagi atau nggak,” jawab Sesil dengan aura sendu.“Bisa dong. Memangnya kenapa nggak bisa?”“Aku hanya memperkirakan kemungkinan terburuk, Khuma. Seandainya begitu, aku minta maaf ya. Bukan maksudku memutus persahabatan yang kita jalin selama ini.”Sesil sangat piawai memainkan kebohongannya. Ya, demi cinta yang telah membutakan hati dan pikirannya, ia bahkan tega mengkhianati sahabatnya sendiri dengan menjadi istri kedua dari suami wanita itu.“Aku paham, Sil. Mudah-mudahan, peraturannya nggak seketat itu ya.”Percakapan antara dua sahabat itu terus berlanjut. Sesil sama sekali tak memberi kesan curiga di mata Khumaira. Di pertemuan itu pula, seperti biasa, Gifar akan menelepon Khumaira hanya untuk menyatakan rasa cinta dan rindunya kepada istri kesayangannya.Salah Khumaira juga karena te
“Sudah siap, Sayang?” tanya Akmal kepada Khumaira. “Ayo. Akra juga sudah tampan nih. Setampan ayahnya,” celetuk wanita itu membuat bibir suaminya melengkung indah. “Besok kita akan punya anak secantik kamu kok, Sayang. Biar adil.” “Nggak, kalau dalam waktu dekat,” bantah Khumaira dengan wajah serius. Akmal hanya tersenyum. Wajahnya makin tampan meski ada bekas luka di pelipis. Penganiayaan yang dialami memang meninggalkan bekas di fisik. Kejadian penculikan juga menjadi pelajaran berharga agar ke depannya bisa lebih berhati-hati. Masalah Riko pun sudah bisa dikendalikan. Khumaira berhasil menasihati lelaki itu dan tak lagi menghubungi walau berasalan ingin memesan kue. Yang diharapkan untuk selanjutnya, hidup mereka akan tenang dan penuh kebahagiaan. “Alhamdulillah ya, Mas. Semua masalah kita yang terasa pelik bisa diselesaikan. Semoga saja, orang-orang yang dulu menzalimi kita, bisa benar-benar sadar dan nggak me
“Iya, Lid. Mbak Khuma sudah ngomong sama aku kemarin. Dia menyuruhku untuk menghentikan perasaanku yang mungkin melebihi seorang teman. Dia mengatakannya dengan sangat tegas. Aku dibuang olehnya. Aku dilarang untuk menghubunginya, Lid. Hatiku sakit, tapi semua itu keinginan dari Khumaira.” Riko mengatakan dengan nada tinggi. Emosinya terpancing mengingat perasaan yang disebut dengan cinta itu datang sendiri tanpa diundang dan telah mengisi semua ruangan di dalam dada. “Baguslah, kalau Mbak Khuma sudah mengatakannya dengan tegas kepadamu. Kamu berhak bahagia dengan pilihan yang lebih tepat, Ko. Bukan Mbak Khuma.” Embusan napas lagi-lagi dilakukan oleh Riko hanya untuk melegakan perasaan. “Iya, Lid, iya. Kamu nggak usah menambah rasa sakit hatiku.” “Ya sudah, aku mau istirahat. Kamu harus mendengarkan apa kata Mbak Khuma, Ko. Kamu juga istirahat. Aku matikan.” “Iya, Lid.” Riko meletakkan ponsel di meja. Ia berusaha
Kedua mata Laela berkaca-kaca ketika Gifar bisa mendatanginya lagi setelah berurusan dengan polisi. “Iya, Bu. Ini aku.” Senyuman dengan kedua ujung yang terasa kaku tetap dilukiskan di bibir. Meski begitu, tetap ada yang nyeri di dalam dada. Pikirannya juga sedang berusaha merangkai kalimat yang nantinya harus dikatakan di hadapan Laela. “Kamu dibebaskan kan, Gi? Kamu nggak bersalah?” Laela melebarkan kedua tangannya mengharapkan pelukan hangat dari anaknya. Ia tak bisa mengayunkan kaki seperti dulu. Jadi, hanya bisa menanti. Gifar tak menjawabnya. Ia langsung memeluk Laela berharap pula rasa sedihnya bisa sedikit memudar. Matanya juga sudah terasa panas. Ingin sekali mengeluarkan cairan bening. “Gi, kamu nggak ada masalah lain kan? Kamu bisa ke sini, artinya, kamu dibebaskan dan nggak bersalah kan?” Naluri seorang ibu begitu kuat. Laela menangkap guratan kepedihan yang mungkin sedang dirasakan oleh Gifar. Napasny
Puspa tergopoh-gopoh menghampiri Dinar yang masih duduk sendiri. Wanita yang usianya tak muda lagi itu, seketika memeluk anak gadisnya. “Din, apa yang terjadi? Kenapa kamu ada di sini? Ada apa, Din?” Pertanyaan yang sama dilontarkan kembali. Puspa melepas pelukannya dan berusaha menatap kedua mata anak tersayangnya. “Dia melakukan kejahatan, Bu. Dia memfitnahku dan memfitnah atasannya sendiri. Dia menculik anak dari atasannya hanya gara-gara rasa cintanya yang masih tertinggal.” Gifar telah berdiri di dekat dua wanita yang belum lama ini menjadi bagian dari keluarganya. Namun, setelah ini, Gifar akan melupakan semuanya dan menyudahi pernikahan yang belum genap berusia satu minggu. Puspa mendongak ke arah suara. Kemudian, ia bangkit sebelum menanggapi perkataan yang dilontarkan oleh lelaki yang masih berstatus sebagai menantunya. Sedangkan Dinar, hanya membisu dan bergeming di kursi yang sama. Perasaan di dalam dada begitu b
“Mbak Dinar serta Bu Puspa, terima kasih sebelumnya karena sudah mau berkunjung ke rumah saya.” Akmal menghentikan ucapannya. Diam-diam, ia menghela napas. Sedangkan orang-orang yang diajak bicara, melukis senyuman yang manis seraya menganggukkan kepala perlahan. Wajah-wajah penuh harapan besar tergambar begitu jelas di sana. Akmal merasa kesulitan untuk berkata-kata, tetapi semua harus dijelaskan secara tegas. “Untuk semua perkataan yang telah Bu Puspa sampaikan mengenai perasaannya Mbak Dinar, saya merasa sangat terhormat karena saya mendapatkan perasaan yang istimewa dari salah satu manajer terbaik di perusahaan yang saya miliki.” Akmal tak bisa mengatakan dengan cepat. Apalagi ketika melihat ekspresi yang dilakukan oleh dua orang tamunya. Dinar tampak makin merona, begitu pula dengan Puspa sangat terlihat mengharapkan jawaban persetujuan. “Sebenarnya, sudah ada beberapa orang meminta ta’aruf dengan saya akhir-akhir ini. Ada saja yang menjo
Akmal melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Janji yang sudah dibuat, tentu tak mungkin diingkari. Apalagi, rasa penasaran telah menemani lelaki itu. Ia tak sabar untuk mengungkap apa sebenarnya tujuan Dinar dan orang tuanya sampai mau datang ke rumahnya. “Dugaanku mengatakan, kalau Dinar menyukaiku. Mungkinkah dia datang ke sini untuk menyampaikan perasaannya? Kalau memang begitu, dia benar-benar berani dan mau menyingkirkan rasa gengsinya. Tapi, tetap saja, hatiku sudah diisi oleh seseorang.” Sorot mata yang sendu menatap salah satu sudut ruangan. Embusan pelan juga dilakukan. Lelaki itu kembali mengingat kalau wanita yang telah mengisi relung hati terdalamnya telah dinikahi oleh lelaki lain. Akmal menyenderkan punggungnya pada sofa yang lembut agar bisa merasa lebih santai. Ia memajamkan mata untuk menghilangkan rasa lelah yang mendadak datang. Namun, bukannya hilang, malah gambaran wajah wanita yang disukainya itu muncul dalam kegelapan.
Mendengar permintaan dari anaknya tentu membuat Puspa merasa senang. Usia wanita itu memang sudah pantas mendapat gelar sebagai seorang istri. “Apa benar, orang yang kamu maksud masih belum punya calon istri, Din?” tanya Puspa, tak mau terlalu berharap lebih jauh sebelum mengetahui semuanya. “Belum, Ma. Dia masih sendiri,” tegas Dinar. Soal permintaannya bukan sebuah isapan jempol belaka. Dinar yang berasal dari keluarga pengusaha, tentu tak merasa sungkan jika harus melamar seorang lelaki dari kalangan pengusaha pula. Wanita itu memang memilih untuk mencari jati dirinya sendiri dengan bekerja di tempat lain. Biar lebih menantang katanya. “Apa dia benar-benar baik?” tanya Puspa lagi. Ia tak ingin anaknya salah pilih. “Baik banget, Ma. Dia tampan, mapan juga rajin ikut pengajian. Mama nggak bakal rugi kalau punya menantu seperti dia.” Dinar menjelaskan segala kelebihan lelaki yang ingin dilamarnya dengan gamblang agar Puspa makin perc
“Bu—bukan! Uang itu untuk membayar WO beneran kok,” sanggah Dinar, tergagap. “Kalau kamu nggak mengaku, aku akan mengusutnya dan hukumanmu nanti akan semakin berat. Jujur saja, Say … nggak, Dinar.” Lelaki itu teramat terluka. Ia sudah mempercayai bahwa wanita yang memfitnahnya ini adalah orang yang baik seperti Khumaira. Namun, beginilah sekarang. “Aku nggak melakukannya! Uang itu untuk biaya pernikahan kita!” “Baiklah. Kalau itu maumu, aku akan meminta izin untuk menghubungi pihak WO atau malah menghadirkannya ke sini. Biar sekalian terjawab semuanya.” Gifar berbicara penuh kekecewaan. Tatapannya tajam. Luka yang tadinya diharapkan bisa sembuh dengan datangnya Dinar sebagai obat, malah sekarang dibuat semakin menganga dan basah kembali. Semakin perih dan sulit disembuhkan di kemudian hari. Dinar tak menjawab. Raut wajahnya tampak kebingungan. Sikapnya tidak bisa tenang. Gelisah terlihat jelas menemani setiap gerak-geriknya
“Iya, Mbak Khuma. Iya! Aku memahami semua yang kamu sampaikan, tapi ….”Riko kembali menunduk. Udara di sekitar terasa menyesakkan dada. Ia berusaha membuangnya lewat mulut, berharap rasa itu bisa hilang dan menghadirkan rasa nyaman kembali.Banyaknya orang yang berseliweran di tempat makan itu tak mengubah perasaan yang mendadak abu-abu. Awalnya Riko bangga dan merasa puas akan keberhasilan dirinya menemukan Akra karena berharap, Khumaira bakal menyanjungnya tanpa henti. Namun, semua itu hanya khayalan yang tak seutuhnya akan terjadi. Benar, kalau Khumaira merasa berterima kasih, tetapi tak seterusnya akan bersikap manis mengingat ada lelaki lain yang sudah menjadi suami dari wanita itu.Mimpi yang ingin diwujudkan, mungkin akan kandas pada akhirnya. Ya, karena mimpi itu hanya akan merusak kebahagiaan orang lain jika berhasil merangkainya dalam dunia nyata. Pupus. Itu yang terlihat jelas kini.“Tapi apa, Mas Riko? Kamu tahu mencintai pasangan orang lain yang sudah terikat janji suci