"Suprise!!!" teriakku lantang, membuat orang yang berada di depanku terkejut. Bahkan, wajahnya pun menjadi pucat pasi.
'Mari kita mainkan permainan ini, Mas. Kita lihat seberapa jauhnya kamu tanpa aku,' batinku menahan gejolak amarah."Mas," panggilku. Mas Hendra masih terdiam kaku. Aku lalu melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya yang shock atas kedatanganku."Halo, Mas. Suprise!" teriakku sekali lagi, hingga membuatnya tersadar dari keterkejutan yang kuberikan. Kulihat dia menampilkan senyum terpaksa. Aku hampir saja tertawa melihat wajah munafiknya itu."S-sayang, kok kemari?" tanyanya tergagap. Dia celingak-celinguk ke dalam rumah Ibu, aku tahu sebenarnya dia sedang khawatir takut kebohongannya selama ini akan segera terbongkar olehku."Lho, kenapa?" Aku pura-pura memasang wajah sedih. Padahal dalam hati sudah sangat jengkel sekali melihat wajah Mas Hendra."Aku kan cuma mau kasih kejutan sama kamu. Kamu juga sih, ke rumah Ibu nggak ngajak-ngajak. Kamu kan tau aku di rumah kesepian, Kak Mela juga lagi di luar kota buat ngurusin pekerjaan." Aku memasang wajah yang cemberut di depan Mas Hendra."Ya kan udah aku bilang, Sayang. Jangan ke sini, kamu kok nggak nurut," ujarnya dengan suara yang naik beberapa oktaf. Secepatnya kuubah ekspresi wajah menjadi wajah yang terlihat seolah-olah terkejut dengan perlakuannya."Kamu marah sama aku?" tanyaku pura-pura lugu. Kutundukkan kepala, agar Mas Hendra tak curiga. Biarlah dia mengira aku memang bodoh sehingga dengan mudah dimanfaatkannya."Bukan gitu ...," Dia memotong kalimatnya, Mas Hendra terlihat sangat gusar. Bahkan kakinya pun tak bisa diam, tanda orang yang khawatir akan sesuatu."Terus apa? Kenapa sih, apa ada yang kamu sembunyikan dariku?!" tanyaku sambil menatapnya tajam. Tangan kupindahkan ke pinggang, menambah drama di siang ini."E-eh, b-bukan gitu, Sayang." Mas Hendra mencoba memegang tangan milikku, tapi kutepis."Hendra, ada siapa di luar?" tanya Ibu yang datang dari arah belakang Mas Hendra.Saat melihatku raut wajah Ibu berubah yang semulanya tersenyum menjadi tegang seperti melihat hantu. Ibu pun celingak-celinguk ke dalam rumah. Kena kalian! Siapa suruh menjadi orang munafik di belakangku. Dasar orang-orang bermuka dua yang tak tau diri.Memangnya wajahku seseram apa sih, batinku bertanya-tanya."L-lho ... lho ada Anna kok nggak disuruh masuk Hendra," ucap Ibu sambil memukul tangan anaknya kasar. Bahkan tatapan Ibu seperti ingin men*lan Mas Hendra. Ibu pasti kesal karena kedatanganku yang tiba-tiba. Dan tentunya kesal juga karena mereka tak bisa memanfaatkanku lagi.Mas Hendra meringis kesakitan. Mas Hendra memegang tangannya yang dipukul Ibu tadi, lalu mengelusnya pelan.Sedangkan aku, aku hanya bisa mengeluarkan unek-unek di dalam hati. Merasa muak dengan drama yang dimainkan mereka. Rasanya ingin segera membalas perlakuan mereka yang tanpa sadar menyakiti perasaanku.."Nggak usah, Bu. Aku sama Anna mau pulang aja langsung," tolak Mas Hendra tiba-tiba. Ia memegang lenganku. Di depan Ibu tak kutepis, kulakukan agar tak menambah kecurigaan pada Ibu.Mas Hendra menatapku. "Ya kan, Sayang," ucapnya. Matanya seolah-olah mengisyaratkan agar aku mengiyakan ucapannya. Oh, tentu saja tidak! Aku bukan Anna yang dia kenal dulu. Anna yang dulu sudah mati ... sifatnya. Dan semua itu berawal dari mereka yang tak pernah ada rasa menghargai.Aku tersenyum lalu membalas tatapan Mas Hendra. " Tentu saja ... tidak dong, Mas."Aku langsung berjalan menuju Ibu dan memeluknya.Dapat kurasakan tangan Ibu membalas pelukanku. Namun, detak jantung Ibu pun bisa kurasakan. Berdetak lebih cepat dari biasanya. Kubilang jatuh cinta, tidak mungkin, dong. Masa Ibu jeruk makan jeruk. Sudah pasti ini adalah detak jantung rasa gugup dan takut yang bercampur menjadi satu."Ibu apa kabar, Anna kira Ibu sakit. Soalnya Mas Hendra tiba-tiba mengirim pesan dadakan mengatakan bahwa ia akan menginap di rumah Ibu," ucapku sambil melepaskan pelukan pada Ibu."Tapi Anna lihat Ibu baik-baik saja, bahkan sekarang sehat sekali. Namun, Mas Hendra malah seolah-olah mengatakan bahwa Ibu sedang sakit. Kalo tidak sakit, apa ada acara di rumah Ibu?""Anna, ayo pulang. Mas bilang merindukan Ibu, bukan bilang Ibu sakit. Jangan mengada-ada kamu ini. Ayo kita pulang saja.""Apa sih, Mas. Biasanya kamu nggak gini, kamu kenapa sih kayak orang yang takut gitu. Lagian Ibu yang punya rumah aja nggak ada masalah sama sekali kalo aku mau bertamu ke rumah Ibu. Kok kamu sebagai anaknya seperti nggak rela jika aku berada di sini.""Hendra!" ucap Ibu penuh penekanan."Ibu nggak masalahkan kalo Anna ke sini. Wajar dong Anna sebagai menantu ke rumah Ibu, kan Ibu mertua Anna. Lagian nih Bu ya, pesan yang dikirimkan Mas Hendra itu bikin Anna khawatir, takut terjadi apa-apa sama Ibu. Makanya Anna inisiatif buat ke rumah Ibu dan melihat langsung kondisi situasi di sini.""Hendra mengirimkan pesan?" tanya Ibu padaku. Aku mengangguk. Mata Ibu langsung beralih pada Mas Hendra."Memangnya apa pesan yang dikirimkan Hendra untukmu, An?" tanya Ibu padaku."Dia melarang Anna untuk ke rumah Ibu, Anna bilang ingin ikut. Tapi malah tak dibolehkan olehnya, kalo seandainya nggak dibolehin ngapain laporan segala macam sama Anna, apalagi sampai melarang Anna untuk ke rumah Ibu. Dia malah bilang bahwa Mas Hendra hanya merindukan Ibu, makanya mau ke rumah Ibu. Emang sosweet sih suamiku ini," ucapku lalu mengedipkan mata pada Mas Hendra. Mas Hendra tersenyum kaku karena sekarang dia masih ditatap Ibu dengan tatapan yang tajam. Setajam pisau."Ah iya, Hendra ini memang begitu. Padahal sudah besar," ucap Ibu. Namun aku tau pasti ada kekesalan di dalam nada suaranya."Hendra kamu kok gitu sih! Lain kali kalo mau ke rumah Ibu, ajak istrimu. Bukan malah melarangnya ke sini. Kalo nggak mau ngajak, nggak usah pakai kirim pesan ngelarang Anna untuk mampir ke rumah Ibu!" bentak Ibu tiba-tiba.Entah dia marah karena Mas Hendra yang tidak mengajakku ke rumahnya atau mungkin marah karena Mas Hendra melakukan hal ceroboh yang bisa saja setelah ini menghancurkan mereka semua."Maaf, Bu," jawab Mas Hendra lesu."Minta maaf sama Anna, bukan sama Ibu. Ibu nggak suka ya kalo kamu berbuat semena-mena sama istrimu sendiri. Jangan jadi lelaki yang tak bertanggungjawab Hendra, sekarang minta maaf sama Anna. Awas aja, ya, Ibu nggak mau dengar Anna disakiti lagi sama kamu. Ibu penyek-penyek kamu nanti."Wah ... wah ... sungguh hebat mereka bermain peran."Sayang, maafkan, Mas." Dia mendekatiku lalu mengusap lenganku pelan. aku hanya diam tak menjawab ucapannya."Jadi, nggak papa kan, Bu. Kalo Anna ke rumah Ibu sekarang?" tanyaku lagi."Iya, nggak papa dong Sayang. Sudah, jangan dipikirin omongan suamimu itu. Dia memang sengaja pengen bikin Ibu marah sepertinya. Ayo masuk ke dalam, masa daritadi cuma berdiri aja di sini. Nah, kebetulan banget Ibu juga lagi masak banyak," ucap Ibu lalu menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam rumah.Sambil berjalan, aku menatap Mas Hendra yang terlihat salah tingkah.Matanya menuju ruang tamu, gerak-gerik Mas Hendra sangat gelisah. Aku pun sama, saat ini mencari-cari keberadaan wanita itu. Namun tak kutemukan di sini, entah di mana dia bersembunyi.***Pantas saja dia tak kutemui di ruang tamu, ternyata dia sudah berada di meja makan. Aku menelisik dirinya yang sepertinya masih terlihat muda."Kenalin, Ann. Ini Sandra, sepupu jauh Hendra," ucap Ibu padaku."Sepupu jauh darimana, Bu, kok Anna baru lihat?" tanyaku pada Ibu yang sedang menyiapkan piring. Aku menatap Sandra yang terlihat salah tingkah."Sepupu jauh, Ann, kan tadi udah dibilang sama Ibu. Masa kamu ulang lagi pertanyaannya," ucap Mas Hendra dengan nadan yang terdengar kesal."Lho, santai dong, Mas, kok jadi jealous gitu. Aku kan cuma nanya, soalnya waktu kita nikah dulu aku sama sekali nggak lihat ada dia di pernikahan kita.""Dia sibuk sekolah di luar negeri, makanya nggak ada hadir di pernikahan kita. Udah ah, tinggal kenalan aja ribet banget kamu sama pertanyaan-pertanyaan nggak jelas kamu itu.""Mas, bisa santai nggak! Aku nanya baik-baik lho, tapi kamu kenapa jadi marah-marah nggak jelas gitu sama aku.""Sudah-sudah kok pada berdebat sih. Anna biar Ibu jelaskan, Sandra ini sepupu jauh Hendra anak dari adik Ibu. Pokoknya dia baru pertama kali lah ke sini.""Nah gini kan enak jelasinnya. Oh jadi baru pertama kali ya ke sini?" tanyaku langsung menatap Sandra."I-iya, Mbak," jawabnya kaku dan tergagap, lalu menampakkan senyuman yang terpaksa. Setelah itu, wanita yang diperkenalkan sebagai sepupu Mas Hendra ini mengulurkan tangan padaku.Aku menyambutnya ramah, seolah tidak terjadi apa-apa. Biarlah kuikuti saja dahulu sampai mana mereka akan bermain-main denganku."Sandra," katanya menyebutkan nama dirinya."Anna," jawabku sambil menyambut uluran tangannya.Tatapan mata kami bertemu, aku masih menampilkan senyum ramahku. Sedangkan dia menatapku dari atas hingga bawah. Seperti sedang menelisik."Kayaknya tangan kita lengket ya, Mbak. Nggak bisa dilepas soalnya," ucapku padanya. Ia nampak terkejut dengan ucapannya."E-eh, maaf, Mbak," ucapnya lalu buru-buru melepaskan genggaman tangannya padaku.Aku mengangguk, lalu bertanya, "Mbak sejak kapan di sini?""Udah beberapa minggu," jawabnya."Owalah, lumayan lama berarti, ya," ujarku, lalu menatap Ibu dan juga Mas Hendra bergantian.Dia mengangguk tersenyum canggung."Udah punya pacar, Mbak?" tanyaku padanya."Sayang, itu privasi dia. Nggak pantes nanya kayak begitu." Mas Hendra langsung menjawab."Mending makan dulu, yuk. Kayaknya suasananya canggung banget, apalagi Anna baru sekali bertemu sama Sandra," ujar Ibu menengahi kami."Saya punya pacar, Mbak." Tanpa diduga Sandra menjawab pertanyaanku."E-eh, udah ayo kita makan dulu." Mas Hendra menarik lenganku, menimbulkan rasa sakit."Aww!" teriakku menampilkan wajah sakit."E-eh maaf, Sayang!" Mas Hendra buru-buru meniup lenganku yang memerah. Aku menatap Sandra, kulirik tangannya mengepal.Sepertinya ada yang terbakar api cemburu nih!--Next?"Saya punya pacar, Mbak." Tanpa diduga Sandra menjawab pertanyaanku."E-eh, udah ayo kita makan dulu." Mas Hendra menarik lenganku, menimbulkan rasa sakit."Aww!" teriakku menampilkan wajah sakit."E-eh maaf, Sayang!" Mas Hendra buru-buru meniup lenganku yang memerah. Aku menatap Sandra, kulirik tangannya mengepal.Sepertinya ada yang terbakar api cemburu nih!"Sayang kok kasar sih!" tanyaku berpura-pura kesal pada Mas Hendra. Aku melirik Sandra yang raut wajahnya berubah sangat kesal. Bodo amat lah, akan kubuar dia terbakar hingga ke akar-akar rambutnya. Sampai meledak sekali pun itu kepala, aku tak peduli."Nggak sengaja, Sayang," ujar Mas Hendra aku melihat ada raut khawatir di matanya. Entah benar-benar khawatir atau dia hanya berpura-pura saja. Karena jujur saja, setelah aku tahu kebusukan mereka, rasanya sangat susah membedakan mana serius dan juga dua rius ... eh maksudnya pura-pura saja."Kamu sengaja, ya," ucapku dengan sendu, sengaja menampilkan raut wajah seperti orang yang
Tambah panas tuh si pelakor.Mas Hendra lalu menggendongku di punggungnya. Sambil berjalan aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Kau selingkuh, kuhancurkan karirmu," ucapku."D-dek," ucap Mas Hendra terdengar parau. Detak jantungnya terasa lebih cepat berdetak."Kira-kira, bagus nggak, Mas, kalo Adek buat cerita dengan judul itu?" tanyaku lagi.Mas Hendra lalu mengembuskan napasnya. Dan menarik napas lebih panjang.Nggak papa, Mas Hendra harus senam jantung siang-siang. Siapa suruh bermain-main denganku, pikirku. ***"Mas, buka mulutnya," ucapku pada Mas Hendra.Saat berada di di meja makan tadi, berbagai cara kulakukan untuk membuat panas orang ke tiga dalam rumah tangga kamu. Bahkan aneka makanan yang dimasak oleh Ibu pun bermacam-macam. Rupanya tadi sambutan istimewa memang diberikan pada wanita yang duduk di depanku tadi. Aku masih memikirkan kejadian yang ada di meja makan tadi, dari perubahan Mas Hendra, kekesalan orang ke tiga sampai gugupnya wajah Ibu ketika melihatku.Bena
Mas Hendra lalu mengantarkanku ke luar rumah."Mau Mas antar, Sayang?" tanyanya padaku. Aku menggelengkan kepala."Nggak usah, Mas, aku pakai taksi saja," ucapku padanya. Aku baru ingat bahwa saat ini mobilku berada di rumah Kak Resi. Aku berharap dia tak curiga."Oh baiklah, hati-hati ya, Sayang," katanya. Aku mengangguk lalu melambaikan tangan padanya sampai ia kembali menutup pintu rumah.Mereka tidak tau, bahwa di sana hapeku tertinggal. Kita lihat saja, mereka akan hancur dengan sendirinya. Aku bergegas pergi ke rumah Kak Resi."Anna, bagaimana?" tanya Kak Resi saat aku baru saja sampai ke dalam rumahnya."Mereka pintar memainkan akting mereka, Kak. Namun mereka salah bermain-main dengan seorang Anna. Saat ini saja mereka sudah masuk dalam perangkap Anna.""Maksudmu bagaimana, Anna?" tanya Kak Resi. Saat ini hanya kamu berdua yang ada di rumah ini, suami Kak Resi sedang pergi bekerja dan anaknya masih tidur siang."Aku sengaja meninggalkan ponselku di tempat Ibu, serta aku juga m
***Setelah selesai melakukan ritual mandi, aku baru ingat dengan rekaman suara tadi. Hampir saja aku melupakan itu.Bergegas aku mengambil ponsel yang berada di atas kasur dan memutar rekaman suara mereka.[Mas.] Suara mulai terdengar. Suara ini milik Sandra.Sambil mengoleskan krim wajah aku juga fokus dengan pembicaraan mereka.[Gimana, aku ngerasa Mbak Anna mulai curiga.] Ini adalah suara Sandra. Ternyata benar, mereka sudah mulai curiga bahwa aku mengetahui permainan busuk mereka bertiga.[Bicara apa kamu ini, Sayang. Anna itu bodoh, dia tak akan mungkin tahu bahwa kita adalah sepasang kekasih. Lagipula, ucapannya tadi tak perlu diambil pusing, orang yang berpendidikan tinggi sepertinya memang pandai berbicara karena merasa diri lebih pintar daripada orang lain.]Kurang ajar! Bisa-bisanya Mas Hendra menjelek-jelekkan aku. Dasar suami tidak tau diri, sudah numpang hidup diberi nyaman malah semena-mena terhadapku.Amarah dalam hatiku terasa menggebu-gebu mendengar rekaman suara ini.
*Tok! Tok! Tok!Terdengar bunyi ketukan pintu.Aku bergegas menyelesaikan rajutanku, setelah hampir satu jam lamanya, akhirnya topi rajut itu sudah kuselesaikan.Aku bergegas membukakan pintu, dan menghampiri Mas Hendra yang berdiri di depanku."Sayang!". Ia lalu mencium pipi kiri dan memeluk pinggang ini. Ada perasaan berbeda saat Mas Hendra menyentuhku. Entahlah, ada rasa tak suka saat bibir itu mendarat di pipi ini."Aku samperin di toko, kamunya nggak ada. Eh ternyata udah di rumah," ucap Mas Hendra."Pulang duluan aku tadi, Mas," ucapku tersenyum.Kami berdua lalu duduk di sofa ruang tamu."Bagus banget topinya, bikinan kamu lagi ya, Yang?" tanyanya padaku."Iya, Mas. Cantik nggak?" tanyaku padanya."Cantik banget, istriku emang serba bisa. Jadi tambah sayang," ucapnya yang hanya kusambut dengan senyum kecil di bibir. Serba bisa dia bilang, padahal dia baru saja menjelek-jelekkan aku di depan selingkuhannya. Mas Hendra memang pandai menebar kata-kata manis untuk memikat korbannya
Dengan santai aku duduk di meja makan, masih terngiang jelas pembicaraan mereka di dalam kamar mandi tadi. Di dalam rumah pun, mereka tak segan saling mengabari.Sepertinya ini akan sangat menyenangkan, dua manusia yang sedang di mabuk asmara akan kubuat mereka hancur.Kuambil ponsel di sebelah piringku. Lalu menekan nomor seseorang."Halo."[ .... ]"Ya, selamat malam. Aku memang perlu bantuanmu, tolong cek apakah ada jejak digital yang buruk tentang Mas Hendra di perusahaan Papa?" tanyaku pada orang di seberang sana.[ .... ]"Oh begitukah, baiklah besok kita atur jam pertemuan kita. Jangan sampai Mas Hendra tau. Oh satu lagi, ya, Arga, tolong nonaktifkan seluruh ATM yang diberikan perusahaan pada Mas Hendra, ya," ucapku padanya.[ .... ]"Tidak perlu banyak bertanya, jika dia marah nanti. Tinggal bilang saja, itu sudah ketentuan perusahaan." Kujelaskan pada Arga, karena dia yang banyak tanya.[ .... ]"Kalo banyak kartunya, ya nonaktifkan saja semua. Ini perintahku, kamu tau bukan
"Mas, aku udah selesai nih belanja. Yuk pulang," ucap Sandra kekasihku beberapa bulan ini. Umurku dengannya terpaut 10 tahun. Dia gadis manis yang mampu meluluhkan perasaanku.Pertama kali melihat wajahnya aku sudah mulai jatuh cinta. Kami bertemu saat tak sengaja temanku Andre mengajak untuk bertemu dengan gadis-gadis kuliahan yang cantik.Karena saat itu aku terdorong rasa penasaran, jadi kuiyakan apa katanya. Kami bertemu di sebuah club malam, tentunya istriku Anna tak tahu. Tahu apa dia, orang dia saja sangat bucin akut padaku.Jadi menutupi ini semua adalah hal mudah bagiku. Aku menyembunyikan perselingkuhanku bersama dengan Sandra.Lanjut lagi, malam itu Sandra terlihat sangat cantik dengan dres merah selutut. Terlihat sangat anggun, aku saja sampai tak berkedip menatapnya."Bro! Jangan terlalu ditatap nanti lu naksir tau," ujar Andre kala itu. Aku lalu mengalihkan tatapanku pada Sandra yang terlihat menyilaukan mata.Dari teman-temannya kulihat Sandra yang paling pemalu. Dia du
"S-sayang." Hendra berucap dengan gugup saat mengetahui Anna datang. Tatapan matanya menggambarkan ketakutan."Kekasih apa maksudnya?" tanya Anna berpura-pura tak tahu."Kalian sepasang kekasih?" tanya Anna lagi sambil tertawa mengejek."Anna, ini nggak seperti apa yang kamu pikirkan. San-""Memangnya apa yang sedang aku pikirkan, Mas. Kamu seperti sedang tahu saja apa yang kupikirkan. Mana mungkin aku akan berpikir bahwa kalian sepasang kekasih. Bukankah kalian itu saudara, benar 'kan, Sandra?" tanya Anna sambil memiringkan kepalanya menatap Sandra dengan senyuman yang tak dapat diartikan."B-benar, Mbak." Sandra menjawab tak tentu arahnya. Daritadi dia masih setia memegang pergelangan tangan Hendra suami Anna."Nah itu, Sandra aja bilang benar, Mas. Kamu tak perlu khawatir begitu, seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan saja," ujar Anna pada Hendra. Perkataan Anna malah membuat Hendra semakin menegang."Iya, Sayang. Aku pikir kamu akan berpikir yang bukan-bukan tentang kami berdua
"Pergilah ... memang itu yang kuinginkan, aku memang sudah lama ingin berakhir dari laki-laki bodoh sepertimu, Zoe ...." tutur Sandra setelah punggung Zoe tak nampak lagi di pandangan mata.Bahkan Sandra sama sekali tak merasa kehilangan saat Zoe pergi begitu saja. Padahal selama ini, tak Sandra temukan laki-laki yang begitu mencintainya. Sandra malah membuangnya begitu saja dan mungkin saja setelah ini Sandra akan merasakan penyesalan dan juga kehilangan yang sangat mendalam.***"Bagaimana, Bu, apakah ada perkembangan? Apa Hendra akan segera ke luar dari penjara yang menyebalkan ini?" tanya Hendra pada sang Ibu yang saat ini mengunjungi dirinya."Ibu masih mencari cara Hendra, masalahnya bukti yang diberikan Anna memang sangatlah kuat hingga membuat Ibu sangat sulit untuk mengeluarkanmu dari sini. Lagipun, jika Ibu menggunakan kekuasaan justru Anna lebih memiliknya. Dia lebih kaya dari kita, Ibu saat ini benar-benar sangat bingung tak tahu harus bagaimana lagi caranya agar kamu bisa
"Bawa sekalian komplotanmu itu! Jangan membuat emosiku habis karena harus berhadapan dengan kalian yang tak tau diri itu!" teriak Bagaskara mengiri langkah kaki Ibu Hendra yang ke luar dari rumah milik Anna.***"Masih berani rupanya dia menunjukkan wajahnya di depan kita. Sudah bersalah, tidak mau mengaku malah membuat karangan cerita seolah-olah dia yang paling tersakiti. Ayah sangat-sangat heran dengan tingkah manusia yang seperti Hendra dan ibunya itu."Biarlah, Ayah, Anna berharap Hendra mendapatkan hukuman yang setimpal atas kesalahannya. Jangan sampai uang yang bekerja untuk membuat Hendra bebas." Anna berucap, dia khawatir jika Hendra dengan sangat mudah akan ke luar dari penjara.Karena Anna tau, keluarga Hendra juga banyak yang termasuk keluarga terpandang. Bisa dibilang berpengaruh di dalam dunia kerja kepolisian.Bisa saja mereka melakukan segala cara agar tuduhan malah berbalik kepada Anna dan keluarganya."Tenang saja, mereka bisa bermain curang. Kita bisa lebih curang d
"Jaga mulutmu, jalang kecil. Anakku dalam masalah itu juga karenamu, jangan membuatku buta dan langsung menghabisimu di sini," ancam Ibu Hendra yang membuat Sandra terdiam dengan penyesalan yang amat banyak.'Seharusnya dari awal aku tak usah ikut campur permasalahan mereka. Ternyata keluarga Hendra sejahat ini,' batin Sandra meringis menahan ketakutan di dalam dirinya yang sekarang sedang bergejolak."M-maafkan aku, Ibu," ucap Sandra. Ia lalu menundukkan kepalanya."Kamu tenang saja Hendra, Ibu akan mencari segala cara untuk bisa mengeluarkanmu. Keluarga kita banyak, Om Rezamu adalah seorang polisi, dia pasti bisa membantumu untuk ke luar dari sini." Ibu Hendra berucap sambil tersenyum sinis.Setelah beberapa menit berbicara, Hendra kembali dibawa masuk oleh petugas polisi. Sandra dan Ibu Hendra lalu memilih untuk segera pulang ke rumah."Sandra, jangan pernah berpikir untuk bisa pergi begitu saja dari masalah ini. Kamu harus tahu, kamu juga masuk dalam permasalahan yang sudah terjad
"Peluk aku, Zoe, setidaknya untuk terakhir kalinya," kata Sandra lirik. Zoe dengan cepat membawa Sandra ke dalam pelukannya. Mereka menangis dan saling menguatkan."Maafkan aku," kata Sandra di dalam pelukan Zoe. Dia menangis semakin kencang, merasakan sesak yang tak kunjung redanya.Setelah dirasa tenang, Sandra melepaskan pelukannya dari Zoe. Dia menghapus air matanya yang masih membasah di pipi."Berbahagialah, kau lelaki baik, Zoe. Aku beruntung bisa dicintaimu dengan begitu dalam. Aku juga beruntung sudah menjadi sosok wanita yang kau banggakan dan lindungi.""Sandra ....""Maafkan aku, karena selama ini sudah banyak mengecewakanmu. Maafkan aku, karena sudah membuatmu merasakan sakit yang berkali-kali. Sekali lagi, aku minta maaf, Zoe.""Aku titip Mama dan adikku. Tolong sampaikan nanti saat kamu pulang, bahwa aku baik-baik saja. Aku akan selalu ada dalam hati mereka. Terima kasih Zoe, sudah menjadi lelaki terbaik. Menjadi tameng di saat aku rapuh dan terpuruk. Aku tak pernah m
“San ….” Zoe mengejar Sandra yang mulai menjauh. Sandra menghempaskan tangan Zoe dengan kasar. Saat ini dia benar-benar sangat marah dengan Zoe yang tak memahami posisi dirinya.“Apalagi? Aku capek tau nggak, Zoe. Kamu nggak pernah ngertiin posisi aku. Nggak pernah sekalipun menjadi penyemangat dalam hidup aku. Aku sama kamu itu Cuma nambah pikiran, karena kamu orang yang sangat egois. Pengennya dimengerti tapi nggak pernah mau ngerti posisi aku. Coba kamu pikir pernh nggak sekali aja kamu jangan ngehakimin aku!”“Kamu sebenarnya pacarku apa bukan sih? Ke mana peranmu sebagai seorang kekasih. Aku Cuma mau saat aku terpuruk seperti ini, kamu harusnya selalu ngedukung aku sekalipun aku salah!”“Nggak bisa lah, San. Gimana maksudnya aku harus ngedukung kamu di situasi apa saja, Itu saja sudah salah. Aku nggak janji bakalan terus jadi yang terbaik buat kamu, tapi setidaknya aku pengen buktiin kalo aku selalu ada untuk kamu.” Zoe yang daritadi hanya diam langsung angkat bicara di kala Sandr
Hari ini Sandra berangkat ke kampusnya setelah tiga hari tak masuk kelas. Sepanjang jalan, mata para mahasiswa dan siswi tak lepas darinya.Padahal selama ini, Sandra bukanlah mahasiswi yang terkenal. Bisa juga dibilang tak terlalu populer. Jadi, sekarang dia heran mengapa dirinya menjadi pusat perhatian."Aneh, emang ada yang salah ya dengan penampilanku, kok daritadi mereka ngelihatin aku terus," ujarnya pada diri sendiri. Ia berjalan dengan cepat untuk sampai ke dalam kelas.Sama halnya di dalam kelas, baru saja sampai tatapan tajam langsung dilayangkan padanya."Wih, yang baru esek-esek sama banyak om-om dan suami-suami orang. Masih punya muka ternyata muncul di kampus, nggak malu apa, ya udah bikin nama kampus tercoreng.""Iya lho, sampai kesebar gitu beritanya. Apa nggak malu gitu, 'kan, dengan sengaja dia nyebarin dirinya sendiri sebagai penggoda lelaki yang sudah beristri. Kalo aku sih malu, ya, saking pengennya dia kuliah sampai harus ngorbanin harga diri.""Bener banget! Ngg
Sandra merebahkan dirinya di ranjang, sesaat setelah memasuki apartemen. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah selama ini uang yang diberikan untuknya adalah uang Anna juga. Jika ia, berarti dia sudah salah mengambil lawan.Padahal sebelum-sebelumnya, Anna sudah terbiasa menghadapi pria yang beristri tapi tak sampai serumit ini. Masalahnya sekarang dia sudah ketahuan menjadi simpanan suami orang lain.Drrrt ... drrrt ... drrrt ....Ponsel Sandra tiba-tiba berbunyi, Sandra mengembuskan napas dengan kesal."Perasaan baru aja ngerasain rebahan, udah ada yang ganggu aja. Pasti ini Tante Agnes nih," omelnya sambil berjalan mendekati meja dan mengambil ponsel."Halo." Dengan malas Sandra mengangkat telepon, ia kembali merebahkan diri di atas ranjang.[Kapan kau mengirimkan uangnya, Sandra. Ingat, kalo bukan karena aku, kamu tak akan bisa bertemu dengan Hendra. Jangan mentang-mentang sekarang hidupmu enak dipngkosi, jadi lupa sama aku yang sudah berjasa,] omel seseorang di seberang sana denga
Anna memandang jalanan yang terlihat lenggang. Dibukanya sedikit kaca mobil, lalu menghirup udara malam dalam-dalam. Kejadian tadi terus saja terulang dalam pikirannya.Tak menyangka dengan Hendra yang bisa-bisanya memberikan luka di dalam fisik dan juga hatinya. Lelaki yang dulu ia kira begitu tulus mencintainya, ternyata hanya mengincar hartanya saja. Anna mengembuskan napas dengan berat.Rasanya ini sangat tak bisa lagi diceritakan, bahkan ia ingin secepatnya pisah dengan Hendra yang dulu ... dulu sangat-sangat dicintainya."Arga," panggil Anna pada Arga yang sedang fokus menyetir."Ya, Bu," jawab Hendra lalu melihat Anna dari kaca di depan. Anna tak menatap Hendra, matanya masih terus fokus pada pemandangan dari luar kaca mobil."Tolong jangan beritahu Papa masalah ini. Aku tak ingin membebani pikiran Papa, aku masih bisa menyelesaikan masalahku sendirian," kata Anna, pandangannya lalu beralih menatap Arga yang hanya diam tanpa menjawab."Apa kau mendengar ucapanku, Arga? Tolong s
POV Sandra*Aku terkejut bukan main saat mendapatkan panggilan telepon dari Tante Agnes. Kuhembuskan napas dengan kasar, rasanya baru saja aku berduduk santai."Halo Tante," sapaku dari sini. [Halo, Sandra. Bisakah kamu datang ke sini, Hendra tiba-tiba tergeletak tak sadarkan diri. Badannya penuh dengan bekas tamparan sepertinya.]Aku mengernyitkan kening heran, tergeletak tak sadarkan diri. Bagaimana bisa?"Bagaimana maksudnya Tante? Sandra tak mengerti dengan apa yang Tante bicarakan," ucapku pada Tante Agnes lagi.[Ah, kau tak perlu banyak bertanya, Sandra. Cepatlah kemari, jangan tanyakan hal yang hanya membuatku semakin pusing saja. Cepat ke sini!] perintahnya tanpa segan. Aku mengerucutkan bibir kesal. Anak sama Mama ternyata sama saja, sama-sama merepotkan aku.Heran, bisa-bisanya aku bertemu dengan mereka ini. Bukannya meringankan bebanku dia malah membuat pikiranku bertambah banyak saja."Iya, Tante. Secepatnya Sandra akan ke rumah Tante," kataku. Belum selesai bicaraku Tan