Lelaki berperawakan tinggi atletis itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di pinggang saat dilihatnya Linda sedang sibuk dengan ponselnya di tepi ranjang.
"Apa yang kamu lakukan dengan ponselku?" tanya lelaki itu sedikit panik sambil merebut ponsel yang masih ada di tangan sekretarisnya itu. Walaupun dia tahu bahwa wanita itu tak akan pernah bisa membuka kunci sidik jari yang dia aplikasikan di benda pipih miliknya itu, namun wajahnya tetap saja terlihat gusar. "Sorry, Sayang. Tadi ada panggilan masuk dari istri kamu. Aku hanya melihat saja," jawab Linda sedikit takut melihat wajah atasannya yang menatapnya kurang suka. "Hei, sudah berapa kali aku bilang kan, jangan pernah sentuh benda apapun milikku," kata lelaki itu mengingatkan. "Iya maaf, aku salah, Sayang. Jangan marah ya?" rajuk wanita itu kemudian. "It's okay, kalau gitu kemarilah. Aku sudah saMalam sudah kian larut dan entah sudah berapa puluh kali Norma membuka gordyn jendela ruang tamunya hanya untuk melihat apakah suaminya sudah pulang.Hatinya bertambah gelisah saat nomer ponsel suaminya mandadak tak bisa dihubungi, padahal baru beberapa menit yang lalu masih didengarnya nada sambung walaupun panggilannya tak diangkat.Jam dinding besar di ruang tamu sudah menunjuk angka 1. Dan selama ini Beni tak pernah pulang setelat ini ke rumah.Sebagai istri, Norma bukannya tak menyadari bahwa ada yang berubah beberapa bulan belakangan dengan suaminya. Beni sudah bisa dihitung dengan jari hanya berapa kali dalam sebulan dia menyentuhnya.Ini seperti bukan kebiasaan suaminya. Belum lagi, Beni mulai telat pulang. Jika biasanya paling lambat jam 9 malam dia pasti sudah sampai di rumah dan berkumpul dengannya, sudah sebulan lebih ini dia sering pulang di atas jam 10 malam.&n
Nani mengernyit menatap layar ponselnya. Tidak biasanya kakak perempuannya itu menolak panggilan telepon darinya. Bahkan seringnya Norma adalah orang yang paling antusias menjawab teleponnya selama ini.'Ada apa dengan mbak Norma?' batinnya.Diletakkannya kembali ponsel ke meja di depannya saat melihat suaminya pulang siang itu dengan wajah kusut tak bersemangat seperti hari-hari sebelumnya."Sudah pulang, Mas?"Dito, suaminya, hanya mengangguk lemah menanggapi pertanyaan sang istri."Masih belum dapat kerjaan lagi?" tanya Nani lagi."Belum, Nan. Tadi wawancara di satu perusahaan juga gagal. Banyak sekali saingannya dan rata-rata yang mereka butuhkan orang-orang yang fresh graduate."Nani menarik nafas berat. Memandang suaminya yang nampak kelelahan. Dia tahu mencari kerja di usia suaminya sekarang ini memang tidak akan mudah, karena
"Mbak Nani tadi ke sini," Bimo menghampiri istrinya yang baru saja menyelesaikan mandinya malam itu. Linda baru saja pulang beberapa menit yang lalu dan langsung berpamitan untuk membersihkan diri."Ngapain?" tanya wanita itu sambil mulai mendudukkan diri di depan meja rias sambil mengeringkan rambut basahnya dengan handuk kecil."Mau pinjem uang, Lin. Mbak Nani kan lagi kesulitan sekarang."Pinjem uang?" Linda mengerutkan dahi ke arah suaminya. "Dari mana kakakmu itu tau sih kalau aku hari ini aku gajian? Langsung mau pinjem uang aja." Linda terkekeh ringan sembaru menggeleng-gelengkan kepalanya."Memangnya hari ini kamu gajian?" tanya Bimo."Iya. Ini kan udah sebulan aku kerja, Mas.""Oiya ya, nggak kerasa. Tapi aku tadi nggak bilang kalau mbak Nani mau pinjem uangnya sama kamu lho, Lin." Kali ini Bimo yang terkekeh."Trus sama siapa?" Li
"Mbak, kamu kenapa?" Nani panik saat melihat kakaknya turun dari motor dan langsung menangis sesenggukan masuk ke dalam rumahnya."Mbak." Nani berusaha mengajak bicara kakaknya yang mulai menangis lebih kencang setelah mendudukkan diri di sofa rumahnya itu.Dito, suaminya, yang hanya memperhatikan dua kakak beradik itu hanya mengedikkan bahu tak mengerti saat istrinya melemparkan pandangan penuh tanya ke arahnya.Karena kebingungan, beberapa saat lamanya Nani pun hanya bisa menepuk-nepuk punggung Norma lembut berusaha menenangkannya tanpa bisa berkata apa-apa lagi."Mbak Norma kenapa sih?" tanya Nani kemudian saat dilihatnya kakaknya sedikit lebih tenang."Mas Beni, Nan. Dia mau menceraikanku," ucapnya dengan terbata. Nani menutup mulut dengan telapak tangannya saking kagetnya."Lho tapi kenapa, Mbak?""Dia sudah berbuat serong,
Dengan perasaan kacau luar biasa, pagi itu Linda tetap berangkat ke kantor. Dia lebih takut dengan Rexy jika hari ini tak menampakkan diri di hadapan lelaki dengan hasrat tinggi itu dibanding dipertanyakan oleh suaminya kenapa dia tak datang ke rumah sakit untuk menjemputnya.Entah sudah berapa kali Rexy memperingatkannya sepagian lewat pesan agar dia tidak terlambat hari ini. Dalam hati kecilnya, sebenarnya Linda ingin sekali menemui sang suami di rumah sakit. Setidaknya dia harus tahu kabar dari uang yang diinvestasikan suaminya itu akhirnya. Tapi bagaimana caranya dia bisa menolak Rexy? Karena itu sama halnya dia akan kehilangan pekerjaannya. Dalam kondisi Bimo sedang kehilangan uang sebanyak itu, dipecat Rexy tentu bukan hal yang baik untuknya."Kamu kenapa, Sayang? Sejak datang tadi wajahmu nggak enak banget dilihat?" tegur Rexy saat mereka bertemu di ruangan boss besar Rex Coorp itu."Eeehm, nggak apa-apa, Re
Sore itu Linda pulang sedikit awal untuk melihat keadaan suaminya yang menurut kabar sudah pulang ke rumah. Namun dia sedikit kaget saat melihat kakak iparnya ternyata sedang ada di rumah ibu mertuanya. Sedikit aneh bagi Linda karena Norma berada di rumah itu dengan memakai pakaian rumahan."Lho, mbak Norma di sini?" sapa Linda saat melintasi ruang tamu. Sementara ibu mertuanya memandang kedatangannya sambil menghela nafas panjang."Mas Bimo dimana, Bu?" tanyanya lagi sambil melepas alas kakinya."Ada di kamar," jawab ibu mertuanya malas."Mbak Norma mau nginep sini ya?" tanya Linda lagi, karena merasa pertanyaannya tadi tak mendapat tanggapan dari kakak iparnya."Hmm," Norma menanggapinya dengan malas-malasan juga.Kemudian karena merasa diabaikan, Linda pun bergegas masuk ke dalam kamar. Seampainya di sana, dilihatnya suaminya sedang
"Rex, aku ada di apartemen sekarang. Bisakah aku nggak masuk dulu hari ini? Aku kacau." Suara Linda terdengar serak di telepon, membuat Rexy mengerutkan dahinya."Ada apa, Sayang? Apa ada masalah? Ya sudah nggak apa-apa. Kamu santai aja dulu di apartemen. Nanti kalau urusan kantor sudah selesai aku ke situ," kata lelaki itu."Makasih ya, Rex," ucap wanita itu."Nevermind, Sayang."Rexy meletakkan ponsel dimeja kerjanya setelah Linda menutup panggilan telepon.Beberapa menit yang lalu pimpinan Rex Coorp itu memang sudah kebingungan karena wanitanya itu belum menampakkan diri juga di ruangannya. Pagi hari dia memang selalu harus menyalurkan dulu hasratnya pada sekretarisnya itu sebelum memulai segala aktifitasnya. Amarahnya hampir saja meledak jika saja tak segera ada panggilan masuk dari Linda.Demi mendengar nada suara sedih Linda dari seberang telepon, kemarahan Rex pun
P.O.V Metta "Lhoh, ini ibu sama mas Ibas mau kemana? Kok malem-malem udah pada rapi amat?"Bik Marsih menyapa saat melihat kami berdua tak sengaja keluar dari kamar masing-masing secara bersamaan. Ibas juga nampak sudah mengenakan pakaian tuxedo anak-anaknya yang membuatnya terlihat semakin tampan.'Semakin mirip saja sama papanya,' ucapku dalam hati."Oiya aku sampai lupa kasih tau bibi kalau malam ini ada temen sekolahnya Ibas yang ngadain pesta ulang tahun, Bik. Bibi di rumah sendirian dulu nggak apa-apa ya?""Ibu mau nganter mas Ibas aja atau sekalian nungguin di sana nanti?" tanya bik Marsih sambil mengerutkan kening."Ya nungguin lah, Bik. Ini kan malem. Undangannya sekalian sama orang tuanya juga kok," jelasku."Tapi tumben mas Ibasnya pake jas begitu, Bu? Biasanya kalau ada temennya ulang tahun cuma pake kaos sam