“Jangan terlalu percaya diri, urusan saya di sini adalah sebagai pengacara bapak Xander dan ibu maharani. Bukan Anda yang ingin kami temui, melainkan ibu Yudith.” Clara berbicara dengan ketenangan, seolah ia tidak ada urusan sama Galuh. “Lebih tepatnya pengacara kantor kami, bukan Yudith seorang. Jika Anda tahu bagaimana prosedurnya, tidak mungkin seorang pengacara meminta bertemu orang yang memberikan tuntutan tanpa di dampingi pengacaranya. Kalian mau melakukan pengancaman? Mau melakukan tindakan penyerangan lagi?” desak Galuh. Clara mendengus tanpa menjawab, sementara istri Xander hanya terdiam mendengarkan di samping pengacara. “Sepertinya saya buang-buang waktu saja ke sini. Kita bertemu dua hari lagi jangan cemas Ibu Maharani, di pengadilan tentu saja dan saya bisa pastikan semua tuntutan dari kamu akan dikabulkan hakim. Selamat siang.” Galuh yang bahkan belum duduk sedari datang menemui Maharani segera membalikkan ba
“Sumpah aku enggak tahan kamu pakai lipstik baby pink. Tolong maafkan aku, aku tahu aku seharusnya .... “ Perkataan Rajendra terputus mana kala kerah kemejanya ditarik dan kini ia yang melebarkan mata dengan apa yang dilakukan Yudith setelahnya. Prediksinya akan apa yang ia lakukan adalah paling jauh akan mendapatkan tamparan kemudian caci maki akan keluar dari mulut Yudith. Namun ternyata bukan hal itu yang dilakukan Yudith. Yudith membalas kecupannya dengan sebuah ciuman, bukan hanya menempelkan bibir namun ciuman seorang dewasa yang sesungguhnya. “Jangan jadi pengecut.” Yudith melepas ciuman sepihak mereka saat merasa Rajendra hendak membalasnya, ia sengaja melakukannya dengan membisikkan satu peringatan. “Aku bukan pengecut, aku takut kamu masih membenci aku,” desah Rajendra sebal karena ia belum sempat membalas sentuhan bibir Yudith namun sudah harus merelakannya. Yudith menahan tangan Rajendra yang hen
“Kamu tegang ya, Bang?” Yudith menyenggol lengan Galuh, mereka baru sampai di pengadilan untuk menghadiri hasil keputusan kasus Xander. “Sedikit, aku sangat berharap dia dapatkan hukuman sesuai tuntutan kita. Itu saja belum dihitung biaya pengobatan kamu, kenapa sih kamu enggak menuntut juga yang itu?” Galuh merapikan lengan kemejanya sebelum melangkah berdampingan dengan Yudith. Yudith dan Galuh sudah ditunggu Rajendra dan pengacara kantor mereka yang datang lebih dulu. Yudith akhirnya memutuskan datang, ia akan melihat bagaimana tampang dua wanita ular di sana saat hakim mengetuk palu memberikan keputusan final. “Biar tahun penjaranya makin lama,” kelakar Yudith. “Mana ada seperti itu jalannya hukum.” Galuh akhirnya ikut tertawa. Mereka mendengarkan jalannya sidang dengan seksama, Yudith duduk di antara Galuh dan Rajendra. “Enggak perlu saling melotot, Dek. Nanti gampar saj
“Suka enggak?” Rajendra bertanya usai mereka menyelesaikan makanan pertama mereka berupa pasta. “Suka, enak enggak meninggalkan rasa melekat di lidah. Tapi bukan untuk yang dikonsumsi harian. Seminggu sekali ok lah. Pemiliknya memang berkecimpung di dunia makanan?” Yudith mengangkat gelas tingginya. “Dia pemilik Odyssey Restauraant di Italia,” jawab Rajendra. “Oh ya? pantas kental sekali sama rasa restoran di sana. Yang di sana ditinggal? Besar sekali padahal,” timpal Yudith. “Tentu saja enggak, istrinya yang pegang sementara dia melancarkan yang di sini satu dua tahun dulu katanya. Nanti baru adiknya yang meneruskan, adiknya sedang pendidikan di bidang sama di Perancis. Keluarga besarnya berkecimpung didunia kuliner semua, hebat sekali mereka. Katanya sedang dalam perjalanan ke sini tadi pas aku beri tahu aku datang.” Rajendra bersandar dengan pandangan tertuju pada Yudith. “I see ... amazin
“Yes, yang mengejutkan lainnya adalah Celie menyimpan uang cash satu koper penuh. Aku pakai itu untuk membayar rumah sakitnya. Kemungkinan dia menghindari pemakaian kartu atau sejenisnya agar tidak terlacak, mungkin ya? Ya sudah pas hari kedua belum juga siuman, aku dihubungi papa kenapa belum pulang apa ada masalah dan sebagainya. Sudah ada niatan meninggalkan dia tanpa siapa-siapa saat tiba-tiba sebuah pesan di ponselnya masuk, pesannya singkat sekali. Honey sudah cukup ya waktu sendirinya, kamu di mana. Langsung aku telepon dong. Dia Arayan, aku enggak sempat bertemu dia karena Galuh mengirimi aku tiket pesawat satu jam kemudian harus terbang. Dia marah aku keluyuran setelah selesai urusan dengan klien. Aku titipkan semua barang Celie pada rumah sakit sebelum Arayan datang. Sudah sampai sana saja,” desah Yudith. “Celie bilang kamu bagai momy untuknya, kalai kalian berpisah saat dia belum sadar lalu bagaimana ceritanya sahabatan?” tanya Rajendra.
“Aku enggak menghindari kamu, kamu bisa dilaporkan orang nanti memotong jalan. Minggirkan mobilnya sebelum kamu di geruduk mobil belakang.” Yudith menoleh ke belakangnya, takut tiba-tiba macet karena mereka. “Kita bicara dulu,” tegas Rajendra. “Iya awas dulu, cari tempat buat bicara.” Yudith melebarkan mata pada Rajendra untuk segera menyingkirkan Rajendra mengangguk menuju mobilnya dan menjalankan kembali, Yudith hanya mengirimkan pesan singkat mengenai tempat mana yang akan ia tuju untuk berbicara. “Bicara apa sih?” tanya Yudith setelah meneguk air dinginnya. “Kamu menghindari aku karena di larang mama kamu berhubungan sama aku? mama kamu bilang memang beliau melarang aku dekati kamu apa pun alasannya. Aku memang berterus terang sama mama kamu mengenai maksud aku dan mama kamu melarang keras. Tapi aku sudah bilang enggak akan berhenti berusaha yakinkan beliau. Aku tahu aku punya kesempatan
Yudith diam mendengarkan perkataan Galuh yang mengurus semuanya dengan sangat cepat. Ia hanya terduduk di atas karpet permadani ruang tengah rumahnya dengan satu tangan menyentuh kain putih yang menutupi sekujur tubuh mamanya. “Yang besar hatinya, Sayang.” Seorang kerabat baru datang memeluk Yudith dan hanya di jawab sang wanita anggukan tanpa suara. Mama Yudith menghembuskan nafas terakhirnya setelah lima jam berada di ICU, mengalami pecah pembuluh darah. Saat dokter memberitahukan kepergian mamanya, Yudith tidak menangis, tidak pingsan, tidak meraung atau sejenisnya. Ia hanya diam berdiri tegak bagai raga tanpa nyawa. Rangkulan Galuh maupun Mbak rumah yang masih menemani mereka tidak ia rasakan sedikitpun. Galuh yang mengambil alih mengurus semuanya, ia memang bertanggung jawab pada Yudith selepas papanya meninggal. Kini berita duka kembali menyambangi wanita semata wayang tersebut. Galuh sangat tahu Yudith tidak menangis
“Kamu kalau ada keperluan lain, boleh pulang, Jendra. Yudith sudah sadar dan sedang istirahat di kamarnya sama mama.” Galuh menghampiri Rajendra yang baru membersihkan diri dan berganti pakaian dengan yang ia bawa di mobilnya. “Aku sudah membatalkan semua janji kerja, aku akan di sini sampai tahlilan nanti malam untuk bantu apa saja. Keluarga kalian lebih banyak perempuan kan? siapa tahu butuh tambahan tenaga laki-laki. Tidak menerima tahu luar dulu kan?” Rajendra menelisik ruangan mereka berada, kursi-kursi besar masih berantakan di tepi-tepi dinding. “Enggak akan terima tamu luar di rumah ini, kami tidak ingin Yudith mendapat tatap duka cita saat ia sedang terpuruk. Hanya akan ada kita-kita dan tetangga sebelah rumah, itu juga hanya kami undang untuk tahlilan saja. Mereka sepakat hanya ikut memakamkan tadi dan tidak akan datang ke sini setelahnya. Semua sudah papa urus, kamu bantu aku saja berarti pindah-pindahkan meja kursi. Yang perem
“Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut
“Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann
“Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba
“Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny
“Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda
“Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang
“Maksud kamu?” tergagap Reina bertanya dengan posisi sudah berdiri tegak di balik gaun membalut lekuk tubuhnya. “Bukankah kalian sudah bercerai? Tidak mungkin informan aku salah memberikan laporan.” Reina masih menyerukan ketidakpercayaannya. “Benar kok, informan kamu enggak salah kasih informasi. Hanya kurang lengkap saja yang dia cari tahu. Saya menemui kamu untuk bilang satu hal, kamu dan saya tidak ada hubungan apa pun lagi sejak bertahun silam. Jadi saya tegaskan jangan melakukan kebodohan berulang. Kami akan segera menikah, kamu salah memilih lawah jika masih mengusik Yudith.” Rajendra berkata dengan tatap tertuju pada wanita berambut panjang tergerai indah. “Kamu hanya bercanda seperti tahun-tahun lalu, right? Aku sangat mengenal kamu, Rajendra. Kamu hanya sedang bermain-main saja seperti sebelumnya.” Reina bersikukuh bahwa apa yang ia lihat bukanlah kebenaran.Yudith menghela nafas panjang. “Kamu selesaikan saja s
Yudith menunjukkan layar ponsel Rajendra kepada pemiliknya, sang pemilik mengerutkan kening membaca deretan pesan di sana. “Aku enggak tahu dia dapat nomor aku dari mana, blokir saja sudah.” Rajendra mengambil ponsel dari tangan Yudith akan tetapi Yudith mengelak justru meminta Rajendra membuka ponselnya. “Paswordnya tanggal lahir kamu. Balas apa saja terserah kamu,” tukas Rajendra tidak ingin repot-repot membalas sendiri. “Kamu enggak ada keinginan bilang sama dia? jelaskan sampai dia berhenti?” tanya Yudith lengkap dengan senyum tipis.Rajendra membalas tatap Yudith sesaat. “Sini, aku telepon balik.” Yudith berdiri di hadapan Rajendra dengan tatap tenang namun dalam, menunggu apa yang hendak laki-lakinya ucapan pada perempuan kegenitan bernama Reina. “Hallo Rei ... kabar baik, dapat nomor dari mana? oh ... bertemu? Boleh, besok siang ya di PIK jam makan siang. Ok.” Rajendra memutuskan pan
“Aurora cantik .... aunty datang.” Yudith berseru lantang memasuki rumah Galuh di minggu pagi pukul sembilan. “Hai aunty, aku sedang sarapan.” Mama Aurora balas menyapa hangat penuh senyuman, duduk berhadapan dengan si cantik Aurora yang duduk di babychair mengenakan bib silikon dan mulut celemotan. Aurora berseru Aunty lengkap kaki dan tangannya bergerak-gerak semangat meminta diangkat dari kursi tingginya. Yudith melepas tawa, meletakan tentengan di meja makan depan keponakan dan mamanya untuk menunduk mencium pipi gembil Aurora sebelum duduk. “Nanti ya gendongnya, makan dulu sampai habis. Nanti kita main, Aurora sama mama sehat?” Yudith mendaratkan tempel pipi pada mama si cantik seraya bertanya. “Sehat Aunty, hanya Aurora sedang tumbuh gigi sekali dua. Jadi makannya agak susah. Mamanya juga sehat, Aunty sehat? kok enggak sama om Jendra?” Mama Aurora membiarkan Yudith mengambil alih menyuapi si kecil yang masih tidak sabar ingin bangun dari baby chair. “Oh ya? geraham?” Yudith