“Kamu kalau ada keperluan lain, boleh pulang, Jendra. Yudith sudah sadar dan sedang istirahat di kamarnya sama mama.” Galuh menghampiri Rajendra yang baru membersihkan diri dan berganti pakaian dengan yang ia bawa di mobilnya. “Aku sudah membatalkan semua janji kerja, aku akan di sini sampai tahlilan nanti malam untuk bantu apa saja. Keluarga kalian lebih banyak perempuan kan? siapa tahu butuh tambahan tenaga laki-laki. Tidak menerima tahu luar dulu kan?” Rajendra menelisik ruangan mereka berada, kursi-kursi besar masih berantakan di tepi-tepi dinding. “Enggak akan terima tamu luar di rumah ini, kami tidak ingin Yudith mendapat tatap duka cita saat ia sedang terpuruk. Hanya akan ada kita-kita dan tetangga sebelah rumah, itu juga hanya kami undang untuk tahlilan saja. Mereka sepakat hanya ikut memakamkan tadi dan tidak akan datang ke sini setelahnya. Semua sudah papa urus, kamu bantu aku saja berarti pindah-pindahkan meja kursi. Yang perem
Tangisan Yudith belum juga reda setelah tubuhnya di rengkuh Rajendra untuk waktu yang lama. Bahkan Rajendra sudah membawanya ke sofa paling dekat dengan tempat mereka berpelukan. “It’s ok menangislah, Yudith .... “ Yudith mengeratkan pelukan, lebih tepatnya mencengkeram kemeja di punggung Rajendra dengan kedua telapak tangannya. Upaya kuatnya satu minggu terakhir kini luluh lantak di hadapan laki-laki yang tidak ia perkirakan akan berada di sampingnya saat ini. Satu jam telah berlalu, isak menyakitkan sudah tidak terdengar, sengal nafas hebat sudah sirna sepenuhnya, cengkeraman penuh kepedihan sudah tidak terasa lagi. Tubuh Yudith terkulai tanpa daya dalam pelukan Rajendra. “Tidur,” lirih Rajendra. Yudith dipindahkan ke kamarnya dan meminta mbak di rumah melepas pakaian kerja Yudith saat ia sudah pergi dari rumah sang wanita. Yudith benar-benar kelelahan bukan hanya karena menangis. Ia mengalami kesulitan t
Satu tahun setelah kepergian mama Yudith “Aurora ... Aunty bawa ke rumah ya, bobo sama Aunty.” Yudith mengendus pipi gembil putri pertama Galuh dan Elana. “Enak saja, Aunty buat sendiri sana,” kekeh Galuh. “Ih enggak boleh bicara jorok depan anak, Bang.” Yudith mendaratkan cubitan pada lengan Galuh yang duduk di sampingnya yang menggendong Aurora di pelukan. “Maaf lupa, gih sana menikah. Enggak ingin bobok dipeluk-peluk?” ledek Galuh kembali. “Papa ... jangan godain Aunty Yudith dong, nanti mengambek enggak mau ajak Aurora main lagi.” Elana, wanita lemah lembut suami Galuh datang membawa nampan berisi minuman untuk kedua tamunya. “Aunty Yudith kelamaan mikirnya, nanti om Jendra keburu capek menunggu,” kekeh Galuh. “Capek ya silakan mundur,” timpal Yudith ringan. Rajendra di kursinya melepas tawa, tidak tersinggung tentu saja. Ia baru bisa menje
“Bagaimana aku percaya kalau dari tadi kamu meringis terus? sakit perut?” tanya Yudith menahan tawa. “Iya benar sakit perut, aku menumpang ke kamar mandi ya.” Rajendra keluar mobil langsung. Yudith melepas tawa segera ikut turun untuk membukakan pintu, saat pintunya terbuka, Rajendra langsung ngacir ke kamar mandi ruang tamu tanpa permisi lebih dulu. “Ya ampun,” kekeh Yudith. Yudith membuatkan teh hangat setelah melepas heels, ia berjalan di rumah tanpa alas kaki. Membiarkan dinginnya pualam lantai bersentuhan dengan kulit kakinya secara langsung. “Better?” tanya Yudith saat melihat Rajendra keluar dari kamar mandi dengan pakaian berantakan dan jas di tangannya, tidak ada lagi tampilan rapi seperti yang ia lihat beberapa saat lalu “Sungguh memalukan, aku menahan diri dari tadi untuk kasih cincin. Malah perutnya enggak mau bekerja sama, astaga.” Rajendra duduk di samping Yudith
“Kamu dicari Aurora.” Galuh yang baru memasuki ruang kantor Yudith. “Oh ya? sudah dua minggu rupanya aku enggak ke rumah ya dari Singapura. Nanti deh minggu, sehat ponakan aku?” Yudith bersandar pada kursi dengan segaris senyuman mengingat keponakan cantik nan mungilnya. “Sehat, buat jantungan, buat keringat dingin. Tadi pagi kamu tahu? manjat mobil yang lagi di panasi dan enggak ada yang lihat. Mamanya pikir sama aku, aku pikir sama mamanya. Ya ampun anak perempuan hobinya ekstrem.” Galuh menggelengkan kepala disertai mengelus dada. Yudith melepas tawa ikut menggelengkan kepala, membayangkannya saja sudah ikut ngilu. Anak usia satu setengah tahun memanjat mobil sendirian tanpa orang dewasa. Bagaimana kalau pintu tertutup sebelum ditemukan, sangat menyeramkan. “Aduh ... pakai cerita, kan kangennya jadi tambah parah. Mau bilang aku dicariin Aurora saja?” tanya Yudith karena tahu pasti bukan hanya hal terseb
Yudith mengulas senyum tipis mendengar pertanyaan dar klien yang cukup mengejutkan. Mengangguk kecil, Yudith tidak membantah. “Betul sekali, kami sudah bercerai hampir dua tahun lalu,” jawab Yudith. “Tapi bukan Ibu Yudith yang diperkenalkan sebagai istri pak Rajendra pada saya di Kanada. Pak Rajendra memutuskan saya dan mengatakan akan menikah saat itu dengan wanita bernama Clara. Saya kaget saat kita bekerja sama dan mendengar jika Ibu Yudith adalah mantan istri dari mantan kekasih saya.” Ucapan Reina diakhiri sebuah tawa kecil. Yudith menyandarkan punggungnya santai, tidak marah atau tersinggung. Ia memandang balik sosok Reina yang sedang melempar umpan. Yudith jeli melihat hal tersebut, ia paham Reina bukan hanya ingin tahu masa lalunya melainkan ingin memainkan egonya. “Kehidupan sebelum menikah kami dulu, terlebih saat beliau berada di luar negeri, itu bukan urusan saya. Jadi sebenarnya apa yang ingin
Part 64 Tepat Terkaan “Jendra .... “ Yudith masih cukup sadar saat mendorong tubuh Rajendra yang mengimpitnya di belakang pintu tertutup oleh tangan Rajendra yang mendorongnya masuk sebelum menciumnya dalam. “Apa aku buat salah?” Rajendra bertanya di sela sengal nafas dan menyentuh bibir merah bengkak Yudith dengan ibu jarinya. “Hah?” Yudith belum sepenuhnya menginjak bumi setelah dibawa terbang melayang oleh sentuhan lembut Rajendra. “Kamu kenapa menghindari aku dan jutek sekali? Aku berbuat salah tanpa aku tahu apa salahnya dan kamu enggak ada niatan bicara?” Rajendra melengkapi pertanyaannya masih dengan memeluk pinggang Yudith erat. “Bisa lepas dulu? aku lagi mandi tadi.” Yudith kembali mendorong kuat dada Rajendra yang menempelinya saat teringat bahwa ia tidak mengenakan apa pun di balik selembar handuk kimononya. Wajah merona Yudith seketika membuat Rajendra sadar dan
“Aurora cantik .... aunty datang.” Yudith berseru lantang memasuki rumah Galuh di minggu pagi pukul sembilan. “Hai aunty, aku sedang sarapan.” Mama Aurora balas menyapa hangat penuh senyuman, duduk berhadapan dengan si cantik Aurora yang duduk di babychair mengenakan bib silikon dan mulut celemotan. Aurora berseru Aunty lengkap kaki dan tangannya bergerak-gerak semangat meminta diangkat dari kursi tingginya. Yudith melepas tawa, meletakan tentengan di meja makan depan keponakan dan mamanya untuk menunduk mencium pipi gembil Aurora sebelum duduk. “Nanti ya gendongnya, makan dulu sampai habis. Nanti kita main, Aurora sama mama sehat?” Yudith mendaratkan tempel pipi pada mama si cantik seraya bertanya. “Sehat Aunty, hanya Aurora sedang tumbuh gigi sekali dua. Jadi makannya agak susah. Mamanya juga sehat, Aunty sehat? kok enggak sama om Jendra?” Mama Aurora membiarkan Yudith mengambil alih menyuapi si kecil yang masih tidak sabar ingin bangun dari baby chair. “Oh ya? geraham?” Yudith