“Kamu tegang ya, Bang?” Yudith menyenggol lengan Galuh, mereka baru sampai di pengadilan untuk menghadiri hasil keputusan kasus Xander. “Sedikit, aku sangat berharap dia dapatkan hukuman sesuai tuntutan kita. Itu saja belum dihitung biaya pengobatan kamu, kenapa sih kamu enggak menuntut juga yang itu?” Galuh merapikan lengan kemejanya sebelum melangkah berdampingan dengan Yudith. Yudith dan Galuh sudah ditunggu Rajendra dan pengacara kantor mereka yang datang lebih dulu. Yudith akhirnya memutuskan datang, ia akan melihat bagaimana tampang dua wanita ular di sana saat hakim mengetuk palu memberikan keputusan final. “Biar tahun penjaranya makin lama,” kelakar Yudith. “Mana ada seperti itu jalannya hukum.” Galuh akhirnya ikut tertawa. Mereka mendengarkan jalannya sidang dengan seksama, Yudith duduk di antara Galuh dan Rajendra. “Enggak perlu saling melotot, Dek. Nanti gampar saj
“Suka enggak?” Rajendra bertanya usai mereka menyelesaikan makanan pertama mereka berupa pasta. “Suka, enak enggak meninggalkan rasa melekat di lidah. Tapi bukan untuk yang dikonsumsi harian. Seminggu sekali ok lah. Pemiliknya memang berkecimpung di dunia makanan?” Yudith mengangkat gelas tingginya. “Dia pemilik Odyssey Restauraant di Italia,” jawab Rajendra. “Oh ya? pantas kental sekali sama rasa restoran di sana. Yang di sana ditinggal? Besar sekali padahal,” timpal Yudith. “Tentu saja enggak, istrinya yang pegang sementara dia melancarkan yang di sini satu dua tahun dulu katanya. Nanti baru adiknya yang meneruskan, adiknya sedang pendidikan di bidang sama di Perancis. Keluarga besarnya berkecimpung didunia kuliner semua, hebat sekali mereka. Katanya sedang dalam perjalanan ke sini tadi pas aku beri tahu aku datang.” Rajendra bersandar dengan pandangan tertuju pada Yudith. “I see ... amazin
“Yes, yang mengejutkan lainnya adalah Celie menyimpan uang cash satu koper penuh. Aku pakai itu untuk membayar rumah sakitnya. Kemungkinan dia menghindari pemakaian kartu atau sejenisnya agar tidak terlacak, mungkin ya? Ya sudah pas hari kedua belum juga siuman, aku dihubungi papa kenapa belum pulang apa ada masalah dan sebagainya. Sudah ada niatan meninggalkan dia tanpa siapa-siapa saat tiba-tiba sebuah pesan di ponselnya masuk, pesannya singkat sekali. Honey sudah cukup ya waktu sendirinya, kamu di mana. Langsung aku telepon dong. Dia Arayan, aku enggak sempat bertemu dia karena Galuh mengirimi aku tiket pesawat satu jam kemudian harus terbang. Dia marah aku keluyuran setelah selesai urusan dengan klien. Aku titipkan semua barang Celie pada rumah sakit sebelum Arayan datang. Sudah sampai sana saja,” desah Yudith. “Celie bilang kamu bagai momy untuknya, kalai kalian berpisah saat dia belum sadar lalu bagaimana ceritanya sahabatan?” tanya Rajendra.
“Aku enggak menghindari kamu, kamu bisa dilaporkan orang nanti memotong jalan. Minggirkan mobilnya sebelum kamu di geruduk mobil belakang.” Yudith menoleh ke belakangnya, takut tiba-tiba macet karena mereka. “Kita bicara dulu,” tegas Rajendra. “Iya awas dulu, cari tempat buat bicara.” Yudith melebarkan mata pada Rajendra untuk segera menyingkirkan Rajendra mengangguk menuju mobilnya dan menjalankan kembali, Yudith hanya mengirimkan pesan singkat mengenai tempat mana yang akan ia tuju untuk berbicara. “Bicara apa sih?” tanya Yudith setelah meneguk air dinginnya. “Kamu menghindari aku karena di larang mama kamu berhubungan sama aku? mama kamu bilang memang beliau melarang aku dekati kamu apa pun alasannya. Aku memang berterus terang sama mama kamu mengenai maksud aku dan mama kamu melarang keras. Tapi aku sudah bilang enggak akan berhenti berusaha yakinkan beliau. Aku tahu aku punya kesempatan
Yudith diam mendengarkan perkataan Galuh yang mengurus semuanya dengan sangat cepat. Ia hanya terduduk di atas karpet permadani ruang tengah rumahnya dengan satu tangan menyentuh kain putih yang menutupi sekujur tubuh mamanya. “Yang besar hatinya, Sayang.” Seorang kerabat baru datang memeluk Yudith dan hanya di jawab sang wanita anggukan tanpa suara. Mama Yudith menghembuskan nafas terakhirnya setelah lima jam berada di ICU, mengalami pecah pembuluh darah. Saat dokter memberitahukan kepergian mamanya, Yudith tidak menangis, tidak pingsan, tidak meraung atau sejenisnya. Ia hanya diam berdiri tegak bagai raga tanpa nyawa. Rangkulan Galuh maupun Mbak rumah yang masih menemani mereka tidak ia rasakan sedikitpun. Galuh yang mengambil alih mengurus semuanya, ia memang bertanggung jawab pada Yudith selepas papanya meninggal. Kini berita duka kembali menyambangi wanita semata wayang tersebut. Galuh sangat tahu Yudith tidak menangis
“Kamu kalau ada keperluan lain, boleh pulang, Jendra. Yudith sudah sadar dan sedang istirahat di kamarnya sama mama.” Galuh menghampiri Rajendra yang baru membersihkan diri dan berganti pakaian dengan yang ia bawa di mobilnya. “Aku sudah membatalkan semua janji kerja, aku akan di sini sampai tahlilan nanti malam untuk bantu apa saja. Keluarga kalian lebih banyak perempuan kan? siapa tahu butuh tambahan tenaga laki-laki. Tidak menerima tahu luar dulu kan?” Rajendra menelisik ruangan mereka berada, kursi-kursi besar masih berantakan di tepi-tepi dinding. “Enggak akan terima tamu luar di rumah ini, kami tidak ingin Yudith mendapat tatap duka cita saat ia sedang terpuruk. Hanya akan ada kita-kita dan tetangga sebelah rumah, itu juga hanya kami undang untuk tahlilan saja. Mereka sepakat hanya ikut memakamkan tadi dan tidak akan datang ke sini setelahnya. Semua sudah papa urus, kamu bantu aku saja berarti pindah-pindahkan meja kursi. Yang perem
Tangisan Yudith belum juga reda setelah tubuhnya di rengkuh Rajendra untuk waktu yang lama. Bahkan Rajendra sudah membawanya ke sofa paling dekat dengan tempat mereka berpelukan. “It’s ok menangislah, Yudith .... “ Yudith mengeratkan pelukan, lebih tepatnya mencengkeram kemeja di punggung Rajendra dengan kedua telapak tangannya. Upaya kuatnya satu minggu terakhir kini luluh lantak di hadapan laki-laki yang tidak ia perkirakan akan berada di sampingnya saat ini. Satu jam telah berlalu, isak menyakitkan sudah tidak terdengar, sengal nafas hebat sudah sirna sepenuhnya, cengkeraman penuh kepedihan sudah tidak terasa lagi. Tubuh Yudith terkulai tanpa daya dalam pelukan Rajendra. “Tidur,” lirih Rajendra. Yudith dipindahkan ke kamarnya dan meminta mbak di rumah melepas pakaian kerja Yudith saat ia sudah pergi dari rumah sang wanita. Yudith benar-benar kelelahan bukan hanya karena menangis. Ia mengalami kesulitan t
Satu tahun setelah kepergian mama Yudith “Aurora ... Aunty bawa ke rumah ya, bobo sama Aunty.” Yudith mengendus pipi gembil putri pertama Galuh dan Elana. “Enak saja, Aunty buat sendiri sana,” kekeh Galuh. “Ih enggak boleh bicara jorok depan anak, Bang.” Yudith mendaratkan cubitan pada lengan Galuh yang duduk di sampingnya yang menggendong Aurora di pelukan. “Maaf lupa, gih sana menikah. Enggak ingin bobok dipeluk-peluk?” ledek Galuh kembali. “Papa ... jangan godain Aunty Yudith dong, nanti mengambek enggak mau ajak Aurora main lagi.” Elana, wanita lemah lembut suami Galuh datang membawa nampan berisi minuman untuk kedua tamunya. “Aunty Yudith kelamaan mikirnya, nanti om Jendra keburu capek menunggu,” kekeh Galuh. “Capek ya silakan mundur,” timpal Yudith ringan. Rajendra di kursinya melepas tawa, tidak tersinggung tentu saja. Ia baru bisa menje