Marcell dan Rihana saling memandang, mata mereka penuh dengan kecemasan. Di depan mereka, telah ditemukan kartu identitas milik Mustafa. Kartu Identitas yang tersembunyi di pasir adalah miliknya. Marcell merasa ada yang tidak beres, dan Rihana memegang tangannya dengan penuh ketegangan."Kenapa kartu identitas Pak Mustafa ada di sini?" gumam Marcell, suaranya hampir tak terdengar.Rihana menelan ludah, matanya tak lepas dari kartu identitas itu. "Kak Marcell, lebih baik kita pergi dari tempat ini," jawabnya dengan suara bergetar. Marcell mengerti, sehingga bulan madu mereka berhenti demi keselamatan mereka.Mustafa adalah penjahat kakap yang pernah menculik Rihana. Daripada ada masalah, mereka lebih memilih untuk menghindar. Marcell menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa mereka harus segera pergi sebelum Mustafa menyadari kehadiran mereka.Dengan hati-hati, Marcell menarik tangan Rihana dan mulai berjalan menjauh. Mereka berusaha untuk tidak menarik perhati
Bayangan di ambang pintu semakin jelas, dan ternyata itu adalah seorang pria bertopeng dengan senjata di tangannya. Marcel dan Rihana menahan napas, jantung mereka berdegup kencang. Pria itu melangkah masuk, matanya tajam mengawasi mereka. "Bos ingin bicara dengan kalian," katanya dengan suara dingin. Marcel dan Rihana saling memandang, ketakutan dan ketidakpastian menyelimuti mereka. Apakah ini akhir dari usaha mereka untuk melarikan diri Atau apakah ada harapan yang tersisa? Pria bertopeng itu mendekat, mengangkat senjatanya. "Ayo, jangan coba-coba melawan," ancamnya. Dengan tangan masih terikat, Marcel dan Rihana tidak punya pilihan selain mengikuti perintahnya. Mereka dibawa keluar dari gudang, menuju ke arah yang tidak mereka ketahui. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Nasib mereka kini tergantung pada keputusan Mustafa. Mereka dibawa melewati jalan setapak yang sempit dan berliku. Dikelilingi oleh pepohonan yang lebat. Suara burung dan hewan liar terdengar di kejauhan, menam
Dua hari telah berlalu sejak Marcell dan Rihana kembali dari bulan madu mereka yang berakhir dengan pengalaman pahit. Mereka tiba di rumah dengan perasaan campur aduk, lega karena selamat namun masih dihantui oleh bayangan Mustafa. Ketika mereka memasuki rumah, mereka disambut hangat oleh Sudarta dan Subroto.“Marcel, Rihana, selamat datang kembali!” seru Sudarta dengan senyum lebar. “Kami sangat khawatir tentang kalian.”Subroto mengangguk setuju. “Kami mendengar kabar dari polisi. Syukurlah kalian selamat.”Marcell dan Rihana saling memandang sejenak sebelum mulai menceritakan pengalaman mengerikan mereka. Mereka menceritakan bagaimana bulan madu mereka berubah menjadi mimpi buruk ketika mereka bertemu Mustafa, penjahat yang pernah menculik Rihana. Mereka menjelaskan bagaimana mereka diculik dan hampir tidak bisa melarikan diri.Sudarta dan Subroto mendengarkan dengan seksama, wajah mereka berubah serius seiring cerita berkembang. Ketika Marcell selesai bercerita, Sudarta menghela n
Marcell mempercepat langkahnya menuju sekolah TK, hatinya penuh dengan kecemasan. Ia tahu bahwa waktu sangat berharga dan setiap detik bisa berarti perbedaan antara keselamatan dan bahaya. Ketika ia tiba di sekolah, ia melihat asap tebal yang masih mengepul dari mobil yang meledak di tempat parkir. Suara sirine polisi dan pemadam kebakaran semakin mendekat.Di dalam sekolah Rihana dan Endah berusaha menenangkan anak-anak yang ketakutan. Mereka membawa anak-anak ke ruang aman di bagian belakang sekolah, jauh dari tempat ledakan. Rihana terus mencoba menghubungi Marcell, tetapi sinyal teleponnya masih terputus.Marcel berlari masuk ke dalam sekolah, mencari Rihana dengan mata penuh kecemasan. Ketika ia akhirnya menemukan Rihana dan Endah bersama anak-anak, ia merasa lega. Namun, ia tahu bahwa mereka belum sepenuhnya aman.“Kita harus segera keluar dari sini,” kata Marcel dengan suara tegas. “Pak Mustafa mungkin masih ada di sekitar sini.”Rihana mengangguk, meskipun hatinya masih berdeb
Perusahaan kini aman terkendali setelah penangkapan Mustafa. Dengan ancaman utama yang telah ditangkap, suasana di perusahaan Ruswanda mulai kembali normal. Para buruh pabrik bekerja dengan giat, merasa lega karena tidak lagi dibayangi oleh ketakutan akan serangan Mustafa. Namun, desas-desus tentang penangkapan Mustafa telah menyebar luas, baik di perusahaan pusat maupun di cabang-cabangnya.Di pabrik pusat, para pekerja berbicara dengan penuh semangat tentang penangkapan tersebut. “Akhirnya, kita bisa bekerja tanpa rasa takut,” kata seorang buruh kepada rekannya. “Mustafa sudah ditangkap, dan sekarang kita bisa fokus pada pekerjaan kita.”Rekannya mengangguk setuju. “Benar sekali. Aku mendengar bahwa polisi bekerja sama dengan Ruswanda untuk menangkapnya. Ini adalah kabar baik bagi kita semua.”Sementara itu, di perusahaan cabang yang dipimpin oleh Sudarta, suasana juga mulai membaik. Para pekerja merasa lebih aman dan termotivasi untuk bekerja lebih keras. Namun, desas-desus tentang
Namun, sebelum pertemuan berakhir, Marcell tiba-tiba berdiri dan menatap Abidin dengan tajam. “Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu, Abidin,” katanya dengan suara penuh kecurigaan.Abidin merasa jantungnya berdebar kencang, tetapi ia tetap tenang. “File itu bukan punyaku,” jawabnya dengan suara datar, mencoba mengendalikan situasi.Marcell tidak terpengaruh. “Aku belum menyebutkan file apapun,” katanya, matanya menyipit. “Bagaimana kau tahu tentang file itu?”Abidin terdiam sejenak, menyadari kesalahannya. Namun, ia segera mengubah taktik. “Aku hanya berasumsi karena kau tampak sangat serius,” katanya dengan senyum tipis. “Aku tidak tahu file apa yang kau maksud.”Marcell tidak puas dengan jawaban itu. “Kita akan menyelidiki lebih lanjut,” katanya dengan tegas. “Aku ingin kau tetap di sini sampai kita menyelesaikan ini.”Abidin merasa terpojok, tetapi ia tahu bahwa ia harus tetap tenang. “Tentu saja, Marcell. Aku akan membantu sebisa mungkin,” katanya, meskipun di dalam hatinya
“Aku tak mengerti, siapa sebenarnya pria bertopeng ini? Pak Mustafa sudah dipenjara, tapi masih ada saja yang membuat usil kepada kami,” kata Marcell dengan suara penuh frustasi. Ia berjalan mondar-mandir di ruang rapat, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya.Sudarta hanya bisa terdiam, wajahnya menunjukkan kebingungan yang sama. Ia juga bingung sebenarnya siapa dalang di balik semua ini. “Ayah juga tidak tahu, Marcell. Semua ini sangat aneh. Kita sudah meningkatkan keamanan, tapi ancaman masih terus datang.”Marcell menghela napas panjang dan duduk di kursinya. “Kita harus menemukan jawabannya. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini, Ayah.”Sementara itu, di tempat persembunyiannya, Abidin merasa puas dengan kekacauan yang telah ia ciptakan. Ia tahu bahwa Marcell dan Sudarta sedang kebingungan dan itu memberinya keuntungan. Dengan topeng yang selalu ia kenakan, identitasnya tetap tersembunyi dan ia bisa bergerak bebas tanpa dicurigai.Abidi
Matahari bersinar dengan terang, memberikan kehangatan yang menyelimuti kota. Namun, suasana di perusahaan cabang Sangar terasa mencengkam. Pagi itu, Ruswanda, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih, berjalan dengan langkah mantap menuju kantor. Ia ingin bertemu dengan teman lamanya, Sudarta, yang kini menjadi salah satu petinggi di perusahaannya tersebut.Setibanya di kantor, Ruswanda disambut oleh resepsionis yang ramah. “Selamat pagi, Pak Ruswanda. Pak Sudarta sudah menunggu di ruang rapat,” katanya sambil tersenyum.Ruswanda mengangguk dan mengikuti arahan resepsionis menuju ruang rapat. Ketika pintu terbuka, ia melihat Sudarta duduk di ujung meja, terlihat sibuk dengan tumpukan dokumen di depannya. Wajah Sudarta tampak lelah, tetapi ia tersenyum lebar ketika melihat Ruswanda.“Pak Ruswanda! Sudah lama sekali kita tidak bertemu,” kata Sudarta sambil bangkit dari kursinya dan memeluk temannya.“Pak Sudarta, senang sekali bisa bertemu denganmu lagi,” jawab Ruswanda