Waktu terus berjalan, hari berganti hari. Sudah seminggu sejak Marcel dan Rihana pergi bulan madu. Di bawah sinar matahari yang cerah, Abidin dan istrinya, Destia, duduk bersama di teras rumah mereka. Mereka menikmati sarapan pagi yang disajikan dengan penuh kasih sayang oleh Destia.Destia adalah seorang wanita yang setia kepada suaminya. Meskipun pernikahan mereka telah menghadapi banyak ujian, termasuk masalah keuangan dan konflik keluarga, Destia selalu berusaha menjaga keharmonisan rumah tangga. Kini, mereka hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan, meskipun Abidin sedang menghadapi masalah kesehatan yang serius.Namun, di balik senyum dan kebahagiaan yang mereka tunjukkan, ada rencana tersembunyi yang Destia rancang. Dia ingin memanfaatkan Marcel, teman lama Abidin yang juga memiliki hubungan dengan perusahaan besar yang dipimpin oleh ayah Marcel. Destia berbicara pelan kepada Abidin, “Kang mas, Marcell itu orangnya baik. Kita bisa memanfaatkannya. Bagaimana menurutmu?”Abidin mem
Marcell dan Rihana saling memandang, mata mereka penuh dengan kecemasan. Di depan mereka, telah ditemukan kartu identitas milik Mustafa. Kartu Identitas yang tersembunyi di pasir adalah miliknya. Marcell merasa ada yang tidak beres, dan Rihana memegang tangannya dengan penuh ketegangan."Kenapa kartu identitas Pak Mustafa ada di sini?" gumam Marcell, suaranya hampir tak terdengar.Rihana menelan ludah, matanya tak lepas dari kartu identitas itu. "Kak Marcell, lebih baik kita pergi dari tempat ini," jawabnya dengan suara bergetar. Marcell mengerti, sehingga bulan madu mereka berhenti demi keselamatan mereka.Mustafa adalah penjahat kakap yang pernah menculik Rihana. Daripada ada masalah, mereka lebih memilih untuk menghindar. Marcell menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa mereka harus segera pergi sebelum Mustafa menyadari kehadiran mereka.Dengan hati-hati, Marcell menarik tangan Rihana dan mulai berjalan menjauh. Mereka berusaha untuk tidak menarik perhati
Bayangan di ambang pintu semakin jelas, dan ternyata itu adalah seorang pria bertopeng dengan senjata di tangannya. Marcel dan Rihana menahan napas, jantung mereka berdegup kencang. Pria itu melangkah masuk, matanya tajam mengawasi mereka. "Bos ingin bicara dengan kalian," katanya dengan suara dingin. Marcel dan Rihana saling memandang, ketakutan dan ketidakpastian menyelimuti mereka. Apakah ini akhir dari usaha mereka untuk melarikan diri Atau apakah ada harapan yang tersisa? Pria bertopeng itu mendekat, mengangkat senjatanya. "Ayo, jangan coba-coba melawan," ancamnya. Dengan tangan masih terikat, Marcel dan Rihana tidak punya pilihan selain mengikuti perintahnya. Mereka dibawa keluar dari gudang, menuju ke arah yang tidak mereka ketahui. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Nasib mereka kini tergantung pada keputusan Mustafa. Mereka dibawa melewati jalan setapak yang sempit dan berliku. Dikelilingi oleh pepohonan yang lebat. Suara burung dan hewan liar terdengar di kejauhan, menam
Dua hari telah berlalu sejak Marcell dan Rihana kembali dari bulan madu mereka yang berakhir dengan pengalaman pahit. Mereka tiba di rumah dengan perasaan campur aduk, lega karena selamat namun masih dihantui oleh bayangan Mustafa. Ketika mereka memasuki rumah, mereka disambut hangat oleh Sudarta dan Subroto.“Marcel, Rihana, selamat datang kembali!” seru Sudarta dengan senyum lebar. “Kami sangat khawatir tentang kalian.”Subroto mengangguk setuju. “Kami mendengar kabar dari polisi. Syukurlah kalian selamat.”Marcell dan Rihana saling memandang sejenak sebelum mulai menceritakan pengalaman mengerikan mereka. Mereka menceritakan bagaimana bulan madu mereka berubah menjadi mimpi buruk ketika mereka bertemu Mustafa, penjahat yang pernah menculik Rihana. Mereka menjelaskan bagaimana mereka diculik dan hampir tidak bisa melarikan diri.Sudarta dan Subroto mendengarkan dengan seksama, wajah mereka berubah serius seiring cerita berkembang. Ketika Marcell selesai bercerita, Sudarta menghela n
Marcell mempercepat langkahnya menuju sekolah TK, hatinya penuh dengan kecemasan. Ia tahu bahwa waktu sangat berharga dan setiap detik bisa berarti perbedaan antara keselamatan dan bahaya. Ketika ia tiba di sekolah, ia melihat asap tebal yang masih mengepul dari mobil yang meledak di tempat parkir. Suara sirine polisi dan pemadam kebakaran semakin mendekat.Di dalam sekolah Rihana dan Endah berusaha menenangkan anak-anak yang ketakutan. Mereka membawa anak-anak ke ruang aman di bagian belakang sekolah, jauh dari tempat ledakan. Rihana terus mencoba menghubungi Marcell, tetapi sinyal teleponnya masih terputus.Marcel berlari masuk ke dalam sekolah, mencari Rihana dengan mata penuh kecemasan. Ketika ia akhirnya menemukan Rihana dan Endah bersama anak-anak, ia merasa lega. Namun, ia tahu bahwa mereka belum sepenuhnya aman.“Kita harus segera keluar dari sini,” kata Marcel dengan suara tegas. “Pak Mustafa mungkin masih ada di sekitar sini.”Rihana mengangguk, meskipun hatinya masih berdeb
Perusahaan kini aman terkendali setelah penangkapan Mustafa. Dengan ancaman utama yang telah ditangkap, suasana di perusahaan Ruswanda mulai kembali normal. Para buruh pabrik bekerja dengan giat, merasa lega karena tidak lagi dibayangi oleh ketakutan akan serangan Mustafa. Namun, desas-desus tentang penangkapan Mustafa telah menyebar luas, baik di perusahaan pusat maupun di cabang-cabangnya.Di pabrik pusat, para pekerja berbicara dengan penuh semangat tentang penangkapan tersebut. “Akhirnya, kita bisa bekerja tanpa rasa takut,” kata seorang buruh kepada rekannya. “Mustafa sudah ditangkap, dan sekarang kita bisa fokus pada pekerjaan kita.”Rekannya mengangguk setuju. “Benar sekali. Aku mendengar bahwa polisi bekerja sama dengan Ruswanda untuk menangkapnya. Ini adalah kabar baik bagi kita semua.”Sementara itu, di perusahaan cabang yang dipimpin oleh Sudarta, suasana juga mulai membaik. Para pekerja merasa lebih aman dan termotivasi untuk bekerja lebih keras. Namun, desas-desus tentang
Namun, sebelum pertemuan berakhir, Marcell tiba-tiba berdiri dan menatap Abidin dengan tajam. “Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu, Abidin,” katanya dengan suara penuh kecurigaan.Abidin merasa jantungnya berdebar kencang, tetapi ia tetap tenang. “File itu bukan punyaku,” jawabnya dengan suara datar, mencoba mengendalikan situasi.Marcell tidak terpengaruh. “Aku belum menyebutkan file apapun,” katanya, matanya menyipit. “Bagaimana kau tahu tentang file itu?”Abidin terdiam sejenak, menyadari kesalahannya. Namun, ia segera mengubah taktik. “Aku hanya berasumsi karena kau tampak sangat serius,” katanya dengan senyum tipis. “Aku tidak tahu file apa yang kau maksud.”Marcell tidak puas dengan jawaban itu. “Kita akan menyelidiki lebih lanjut,” katanya dengan tegas. “Aku ingin kau tetap di sini sampai kita menyelesaikan ini.”Abidin merasa terpojok, tetapi ia tahu bahwa ia harus tetap tenang. “Tentu saja, Marcell. Aku akan membantu sebisa mungkin,” katanya, meskipun di dalam hatinya
“Aku tak mengerti, siapa sebenarnya pria bertopeng ini? Pak Mustafa sudah dipenjara, tapi masih ada saja yang membuat usil kepada kami,” kata Marcell dengan suara penuh frustasi. Ia berjalan mondar-mandir di ruang rapat, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya.Sudarta hanya bisa terdiam, wajahnya menunjukkan kebingungan yang sama. Ia juga bingung sebenarnya siapa dalang di balik semua ini. “Ayah juga tidak tahu, Marcell. Semua ini sangat aneh. Kita sudah meningkatkan keamanan, tapi ancaman masih terus datang.”Marcell menghela napas panjang dan duduk di kursinya. “Kita harus menemukan jawabannya. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini, Ayah.”Sementara itu, di tempat persembunyiannya, Abidin merasa puas dengan kekacauan yang telah ia ciptakan. Ia tahu bahwa Marcell dan Sudarta sedang kebingungan dan itu memberinya keuntungan. Dengan topeng yang selalu ia kenakan, identitasnya tetap tersembunyi dan ia bisa bergerak bebas tanpa dicurigai.Abidi
Marcel mengikuti dokter ke ruang perawatan intensif. Di sana, ia melihat anak itu terbaring dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Marcel merasa hatinya hancur melihat kondisi anak itu. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apa saja untuk membantu anak itu pulih.Saat Marcel keluar dari ruang perawatan, ia bertemu dengan seorang wanita yang tampak sangat cemas. Namun, ia sangat terkejut saat melihat siapa wanita itu. “Mrs. Andrian?” Marcel sangat kaget atas kehadirannya di ruang perawatan itu. Matanya penuh air mata, dan di belakangnya berdiri dua orang bodyguard yang tampak siap siaga.Mrs. Andrian menatap Marcel dengan tatapan dingin. “Apa yang kamu lakukan di sini, Marcel?” tanyanya dengan suara yang penuh kemarahan.Marcel merasa tubuhnya gemetar. “Saya… saya hanya ingin memastikan anak itu baik-baik saja,” jawabnya dengan suara bergetar.Mrs. Andrian menggelengkan kepala. “Kamu sudah cukup membuat masalah, Marcel. Sekarang, keluar dari sini sebe
“Ka Ruswanda,” kata Sumarni, istri Subroto, dengan nada penuh keprihatinan. “Aku tahu apa yang sudah terjadi pada kalian.” Ruswanda hanya bisa mengangguk, tak ada daya dan upaya untuk membantah atau menjelaskan lebih lanjut.“Ini semua salahku, Sumarni,” kata Ruswanda dengan suara bergetar [pada adik kandungnya. “Mengapa dulu aku mengkhianati Ratna saat aku tahu bahwa aku mandul, sehingga aku selingkuh dengan Nayla. Dengan perbuatan kejam, aku pun tidur dengannya.”“Astaghfirullahaladzim! Teganya kamu, Kak Ruswanda,” kata Sumarni, matanya membelalak dengan kekecewaan dan kemarahan.“Tapi semua ini aku sudah bertaubat, sehingga aku mengusir Nayla saat dia hamil, dan sampai saat ini, aku tidak pernah berjumpa dengan anakku,” kata Ruswanda, suaranya penuh penyesalan.Istri Ruswanda, yang duduk di sampingnya, hanya bisa merasa cemburu mendengar pengakuan suaminya. Hatinya terasa perih, namun ia mencoba untuk tetap tenang.Sumarni menghela napas panjang. “Kak, aku tahu ini berat, tapi kamu
Malam itu, Marcel kembali ke ruang kerjanya. Ia merasa lega setelah berbicara dengan ayahnya, namun ia tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Ia harus terus bekerja keras untuk mengungkap kebenaran dan menghancurkan Ruswanda.Saat Marcel pergi ke toilet, Sudarta yang merasa penasaran memutuskan untuk masuk ke kamar Marcel. Ia melihat laptop Marcel yang masih menyala dan dokumen-dokumen yang tersebar di meja. Dengan hati-hati, Sudarta mendekati meja dan mulai membaca dokumen-dokumen tersebut.Wajah Sudarta berubah pucat saat ia menyadari apa yang sedang direncanakan oleh putranya. “Marcel… apa yang kamu lakukan?” gumamnya dengan suara bergetar. Ia tidak percaya bahwa Marcel berencana untuk menghancurkan Ruswanda, teman dekatnya selama bertahun-tahun.Marcel kembali dari toilet dan terkejut melihat ayahnya di ruang kerjanya. “Pak, apa yang sedang Anda lakukan di sini?” tanya Marcel dengan nada cemas.Sudarta menatap Marcel dengan mata yang penuh kekecewaan. “Marcel, apa maksud semua in
Siang itu, suasana di perusahaan Ruswanda sangat kacau. Semua pekerja berdemo memenuhi halaman depan perusahaan. Mereka membawa spanduk dan berteriak menuntut keadilan. “Kami butuh gaji yang layak!” “Hentikan pemotongan upah!” “Ruswanda, dengarkan kami!” teriakan-teriakan itu menggema di seluruh area pabrik.Ruswanda duduk di kantornya, wajahnya tampak pucat dan penuh kebingungan. Perusahaan yang ia bangun dengan susah payah selama bertahun-tahun kini berada di ambang kebangkrutan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Setiap hari, laporan keuangan yang masuk semakin memperlihatkan kondisi perusahaan yang semakin memburuk. Utang menumpuk, proyek-proyek tertunda, dan kepercayaan investor mulai goyah.Ruswanda tidak memiliki anak. Ia selalu fokus pada karir dan bisnisnya, sehingga tidak pernah berpikir untuk membangun keluarga. Kini, di saat-saat sulit seperti ini, ia merasa kesepian. Tidak ada satupun yang ingin mewarisi perusahaannya. Tidak ada yang peduli dengan nasibnya.Di luar kantor,
Sudarta kini telah kembali ke rumah, ditemani oleh istrinya, Ibu Ratih. Setelah menjalani operasi jantung yang cukup berat, Sudarta membutuhkan perawatan intensif agar kesehatannya tetap terjaga. Perjalanan pulang dari rumah sakit terasa panjang dan melelahkan, namun Sudarta merasa lega bisa kembali ke rumahnya yang nyaman.Setibanya di rumah, suasana terasa sepi. Tidak ada satupun yang menyambut kedatangan mereka, kecuali pembantu setia mereka, Siti. Sudarta merasa ada yang aneh, biasanya anaknya, Marcel, selalu ada di rumah untuk menyambutnya."Hari ini, aku tidak melihat anakku Marcel, kemanakah dia?" tanya Sudarta dengan nada khawatir."Tadi pagi katanya dia ke perusahaan pusat ingin menemui Pak Ruswanda, Pak," jawab Siti dengan sopan."Ke perusahaan pusat? Ada masalah apa ya, Bu?" tanya Sudarta lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.Ibu Ratih tampak bingung. Ia tahu bahwa ada masalah besar di perusahaan, namun ia tidak ingin membuat suaminya khawatir, terutama saat kondisi
“Alex?” sahut Abidin, suaranya penuh dengan kejutan dan ketidakpercayaan. Semua mata tertuju kepada seseorang yang berdiri di ambang pintu. Alex, keponakan dari Mustafa, ayahnya Abidin, baru saja keluar dari penjara. Skandal besar yang melibatkan perusahaan RSTI dan Mustafa telah membuatnya mendekam di balik jeruji besi selama bertahun-tahun.Kini, Alex hadir dengan wajah yang berbeda. Wajah yang dulu penuh dengan kesombongan dan ambisi kini tampak lebih tenang dan penuh penyesalan. Dia melangkah masuk ke rumah Abidin yang sedang berkabung, membawa aura yang berbeda dari sebelumnya.\“Alex, bagaimana kabarmu? Mengapa kau bisa bebas dari penjara?” tanya Abidin dengan nada penasaran. Matanya menatap tajam ke arah Alex, yang berdiri di ambang pintu dengan senyum tipis di wajahnya.Alex menatap Nayla yang berdiri di samping Abidin dan tersenyum. “Sebelumnya, saya turut berduka dengan kematian istrimu, Abidin,” jawabnya dengan suara rendah namun jelas. “Aku juga ingin mengucapkan terima ka
Siang itu, berganti menjadi gelap dan suasana di rumah sakit semakin sunyi. Abidin duduk di ruang tunggu dengan perasaan gundah gulana. Pikirannya terus-menerus memutar kejadian tragis yang baru saja terjadi. Melihat istrinya, Destia, ditabrak oleh sebuah mobil adalah pemandangan yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Rasa bersalah dan penyesalan menghantui setiap pikirannya.Di sudut ruangan, Rina sebagai selingkuhannya, berdiri dengan wajah penuh kecemasan. Dia merasa tidak nyaman berada di sana, mengetahui bahwa kehadirannya hanya akan memperburuk situasi. "Kang Mas, aku sungguh tak tahu jika kamu sudah menikah," katanya dengan suara pelan, hampir berbisik. "Aku akan pergi dari sini."Abidin menatap Rina dengan tatapan bingung. Dia merasa bimbang, tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena telah mengkhianati Destia, tetapi di sisi lain, dia juga merasa ada perasaan yang tidak bisa dia abaikan terhadap Rina. "Rina, tunggu," katanya dengan suara gemetar. "
Abidin merasa putus asa. Dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya. "Sayang, aku akan berhenti mengunjungi mucikari. Aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa aku benar-benar menyesal."Destia terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Abidin. "Kau benar-benar akan berhenti? Kau benar-benar akan berubah?"Abidin mengangguk dengan tegas. "Ya, Sayang. Aku berjanji. Aku akan berubah. Aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari kamu."Destia menatap Abidin dengan tatapan penuh keraguan. "Baiklah, Mas. Aku akan memberimu satu kesempatan lagi. Tapi ingat, ini adalah kesempatan terakhirmu. Jika kau mengkhianatiku lagi, aku tidak akan pernah memaafkanmu."Abidin merasa lega mendengar kata-kata Destia. "Terima kasih, Sayang. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu lagi."Namun, di balik janji manisnya, Abidin menyembunyikan niat yang licik. Dia tidak pernah puas dengan istrinya dan selalu mencari wanita lain untuk memuaskan h
Ruswanda memasuki ruangan Sudarta dengan langkah cepat, merasa cemas tentang kondisi sahabat lamanya. Namun, langkahnya terhenti seketika saat melihat Nayla duduk di samping tempat tidur Sudarta. Wajahnya berubah kaget, dan dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Nayla?" gumamnya dengan suara pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Nayla menoleh dan melihat Ruswanda berdiri di ambang pintu. Hatinya berdebar kencang dan berbagai perasaan bercampur aduk dalam dirinya. "Sialan, kenapa dia ada di sini," pikir Nayla dalam hati, merasa canggung dan tidak nyaman dengan situasi ini. Mereka berdua saling menatap dalam keheningan yang canggung. Kenangan masa lalu yang suram kembali menghantui pikiran mereka. Nayla teringat bagaimana Ruswanda telah mengkhianatinya dan meninggalkannya dalam keadaan hamil, sementara Ruswanda merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya kepada Nayla. Sudarta, yang terbaring lemah di tempat tidur, merasakan ketegangan di antara mereka