Dua bulan sudah aku mendapatkan pekerjaan yang rasanya sangat tidak aku sukai. Sebenarnya pekerjaannya tidak berat, hanya saja aku menganggapnya rendah. Aku hanya mendapatkan pekerjaan pada sebuah warung kecil, atau kalian mungkin lebih sering menyebutnya dengan warteg. Aku hanya menjadi orang yang menunggu warung itu, membuat kopi, menyajikan makanan sesuai dengan pesanan pembeli, dan selanjutnya menghitung semua uang yang harus dia bayarkan.Siang ini aku hanya diam diri bersama hamparan kemacetan jalan di depan warung. Jalannya tidak terlalu besar, tapi entah kenapa masih ada penyebab kemacetan. Siang ini juga hujan lebat sejak pagi, tidak ada kata reda sama sekali. Apakah Nganjuk saat ini juga hujan? Apakah orang tuaku juga baik-baik saja di sana? Semoga Tuhan mendengar doaku ketika tengah-tengah malam itu.Tidak ramai warung ini, masih saja seperti hari-hari yang lalu. Ketika aku menghitung pendatang yang datang pada warung ini, ternyata jumlahnya tidak lebih dari seratus orang s
Air hujan masih membasahi jalanan setelah beberapa saat lalu berhenti menetes. Aspal berwarna abu-abu seakan ingin mengatakan kepada dunia bahwa dia merdeka. Tidak ada lagi sebuah alasan untuk menjadikan dia tidak bahagia.Aku pulang dari warung yang aku jaga, jalan kaki. Siang tadi, ketika Pak Bisri datang melihat warungnya, aku memberanikan diri kepadanya bahwa aku ingin meminjam sedikit uang darinya. Aku menerangkan kepada dia bahwa aku mempunyai rencana untuk membeli handphone.“Baiklah, berapa yang kamu butuhkan?”Lalu aku menjawab dengan jawaban apa adanya. Tidak perlu bagus, yang penting bisa telpon atau paling tidak SMS. Tidak perlu bisa menjalankan aplikasi-aplikasi canggih, tidak perlu. Lagi pula, siapa yang akan aku hubungi jika menggunakan aplikasi keren itu? Bukankah nanti aku akan telepon kepada Pak Rt, yang hp-nya sangat-sangat jadul sekali?Akhirnya aku mendapatkan pinjaman sesuai dengan harga hp, tidak lebih dan tidak kurang sama sekali. Sebenarnya aku ingin membeli
“Sudah makan?” tanyaku.“Belum.” Jawabnya sangat datar bagaikan jalan tol Solo-Surabaya.“Makan, yuk!”“Belum lapar!”“Baiklah!” kataku lagi.Dia menoleh ke arahku. Rupanya, ada suatu hal yang dia ingin katakan kepadaku. Dari tadi, dia hanya diam tanpa sebab. Tidak seperti biasanya. Dia yang selalu cerewet dengan hal-hal kecil, malam ini menghilangkan hal besar, dalam hidup kita. Sekarang, aku hanya menunggu dia bicara. Kata-kataku sudah habis. Di mana lagi aku harus membeli sebuah kata? Baiklah, aku akan menunggu dia membuka mulut manisnya.Sekarang, aku berada di sebuah taman ramai kota Surabaya. Satu Minggu yang lalu aku juga kemari. Malam Minggu pula. Sekarang adalah malam Minggu. Dan, sekarang aku tidak ditemani oleh kesepian. Tapi, lebih parah lagi, aku ditemani oleh orang yang kesepian. Dia adalah Sulis orang yang kesepian, tidak jauh dari suasana hatiku. Dia selalu kesepian, kecuali pada waktu-waktu tertentu dalam hidupnya. Aku belum pernah melihat dia sesedih ini. Setahuku, d
Seiring berjalannya waktu, usia bertambah, atau bahkan berkurang, indahnya akan kita nikmati. Benarkah demikian? Apakah ada keindahan di dunia ini? Tidak ada. Keindahan adalah milik Tuhan pencipta keindahan. Jika demikian, dia yang indah itu adalah keindahan Tuhan. Pancarn sinar wajahnya, menunjukkan cahaya Tuhan. Demikian kata orang beragama yang aku dengar. Mereka, mengatakan memang keindahan itu ada pada Dia.Lalu apakah yang aku lihat sekarang ini adalah indahnya Tuhan? Benarkah demikian? Gila, aku terlalu gila memikirkan ini semua. Padahal, pekerjaan saja tidak aku pikirkan dengan serius. Siang itu, entah beberapa hari yang lalu, Sulis datang menemui aku yang sedang bekerja menunggu warung. Dia, lemas sekali. Atau, setidaknya tidak mempunyai tujuan hidup seakan. Dia, mengadukan isi hatinya kepadaku. Masih tentang pekerjaan yang dia rencanakan.“Aku sudah bosan menjadi babu terus!” aku hanya diam.“Aku ingin membuat sebuah usaha!” masih diam.“Aku sudah bosan menjadi manusia seper
Kedatangan matahari menandakan pagi tiba. Sekarang, matahari setengah tinggi ke atas. Dipandangi dari segala penjuru. Membelai setiap mata yang melihat. Mengantarkan pada otak sebuah kenikmatan tiada batasan. Dialah matahari. Makhluk yang paling setia menemani manusia ketika menginginkan sebuah penerangan.Nanti malam, bersama dengan Sulis, aku akan memulai sebuah pekerjaan baru. Namun temanya masih sama, menunggu sebuah tempat. Jika siang hari aku menunggu warung makanan, maka malam hari aku akan menunggu warung kopi sederhana. Tidak apa-apa, namanya juga kehidupan. Nanti, bila sudah datang waktunya, dan aku sangat percaya, akan datang sebuah rencana Tuhan yang tidak mengijinkanku menunggu lagi. Tapi menjadi bos. Entah kapan saat itu akan terjadi. Aku masih saja menunggu.***Beberapa hari ini, setelah pertemuan itu aku tidak melihat Mei. Kenapa dia tidak datang untuk makan? Apakah dia sudah bosan dengan makanan warung kami? Ah, biarkan saja, nanti kalau dia berminat datang, akan dat
Semenjak bincang-bincang kemarin dengan Mei, rasanya aku ingin segera pulang, bertemu dengan Ibu, Bapak, dan juga Binti tentunya.“Binti, rasanya aku ingin segera pulang.” Kataku malam tadi pada dia, lewat telepon.“Aku bahagia jika kamu pulang. Tapi percayalah, andai kamu tidak pulang, aku akan tetap menjaga Ibumu.” Balasnya.“Bagaimana keadaan Ibuku?”“Belum ada perkembangan. Alhamdulilah, sekarang setiap sore ada dokter kecamatan yang datang memeriksa, itupun atas usulan Pak Rt.” Kabar baik darinya.Syukurlah, Pak Rt memang Rt terbaik selama hidupku. Maafkan aku Pak Rt, aku selalu membuatmu repot, aku selalu saja meminta bantuan padamu. Aku berjanji, pulang nanti akan kubawakan oleh-oleh dari Surabaya. Semoga aku bisa memenuhinya.“Sudah makan?” tanyaku tulus pada Binti.“Sudah, sudah dua kali bahkan.”“Ha? Satu hari makan hanya dua kali?”“Iya, biar hemat, dan tidak kelebihan berat badan.”“Kamu tahu?”“Tahu apa?”“Wanita yang sedikit gemuk itu malah imut?”‘Tidak, aku tidak perc
Malam terakhir sebelum kembali pulang, aku menyempatkan diri keluar rumah. Menuju keramaian malam kota Surabaya.Aku kagum dengan keindahan Surabaya. Memang benar apa yang dikatakan Pak Rt, bahwa Surabaya itu kota indah, ramai, besar pula. Tidak ada yang disanksikan dari pernyataan itu.Di pinggiran jalan, bersama beberapa kenalanku selama ini, anak muda-muda perantau, kami menyanyikan lagu riang dengan iringan sebuah gitar.Kalau hanya memainkan senar, aku adalah ahlinya. Dahulu sebelum aku berangkat, hampir setiap malam kegiatanku dengan teman-teman kampung ada-lah menyanyi bersama tanpa guna, seperti saat ini.“Kami anak rantau, jarang makan enak, tidurpun tak nyenyak...” lirik-lirik lagu kami.Aku tidak sadar, ternyata saat ini telah pukul satu malam. Sulis pasti sekarang tengah sendirian menjalankan tugas menjaga angkringan. Jahat sekali aku.Tidak, aku berjanji, setelah besok kembali dari kampung, aku akan membantunya setiap malam. Tidak digaji? Tidak masalah.“Kawan, aku pamit
Malamnya, aku duduk santai di depan rumah dengan Bapak, Ibu, dan Mei tentunya. Kami membincangkan banyak sekali hal pada malam itu. Mulai keadaan desa ketika aku mulai meninggalkannya, hingga aku kembali pada saat ini.Sepertinya tetangga kanan-kiri sudah mendengar berita kepulanganku. Entah siapa yang memberitakan, tapi tahu-tahu Pak Rt dan anaknya, Wawan, mendatangi rumahku. Jadilah rumahku malam itu sangat ramai oleh tamu-tamu yang ingin bertemu denganku, seperti orang penting saja.“Alhamdulilah, anakmu sudah pulang.” Kata Pak Rt kepada Ibuku.Syukurlah, Ibuku sudah terbangun dari kamar tidurnya. Tapi aku tetap tidak tega saja melihat dia, seperti menahan sebuah rasa sakit besar.“Iya, Pak Rt. Aku juga menyesal kenapa tidak pulang langsung ketika mendengar berita Ibu sakit.” Balasku pada Pak Rt yang tengah menikmati kopi panasnya malam ini.Bukan ibu yang membuatkan kopi, tapi aku sendiri.Entah kemana Binti tidak terlihat wajah manisnya. Mungkin, dia belum mendengar berita kedata