Air hujan masih membasahi jalanan setelah beberapa saat lalu berhenti menetes. Aspal berwarna abu-abu seakan ingin mengatakan kepada dunia bahwa dia merdeka. Tidak ada lagi sebuah alasan untuk menjadikan dia tidak bahagia.Aku pulang dari warung yang aku jaga, jalan kaki. Siang tadi, ketika Pak Bisri datang melihat warungnya, aku memberanikan diri kepadanya bahwa aku ingin meminjam sedikit uang darinya. Aku menerangkan kepada dia bahwa aku mempunyai rencana untuk membeli handphone.“Baiklah, berapa yang kamu butuhkan?”Lalu aku menjawab dengan jawaban apa adanya. Tidak perlu bagus, yang penting bisa telpon atau paling tidak SMS. Tidak perlu bisa menjalankan aplikasi-aplikasi canggih, tidak perlu. Lagi pula, siapa yang akan aku hubungi jika menggunakan aplikasi keren itu? Bukankah nanti aku akan telepon kepada Pak Rt, yang hp-nya sangat-sangat jadul sekali?Akhirnya aku mendapatkan pinjaman sesuai dengan harga hp, tidak lebih dan tidak kurang sama sekali. Sebenarnya aku ingin membeli
“Sudah makan?” tanyaku.“Belum.” Jawabnya sangat datar bagaikan jalan tol Solo-Surabaya.“Makan, yuk!”“Belum lapar!”“Baiklah!” kataku lagi.Dia menoleh ke arahku. Rupanya, ada suatu hal yang dia ingin katakan kepadaku. Dari tadi, dia hanya diam tanpa sebab. Tidak seperti biasanya. Dia yang selalu cerewet dengan hal-hal kecil, malam ini menghilangkan hal besar, dalam hidup kita. Sekarang, aku hanya menunggu dia bicara. Kata-kataku sudah habis. Di mana lagi aku harus membeli sebuah kata? Baiklah, aku akan menunggu dia membuka mulut manisnya.Sekarang, aku berada di sebuah taman ramai kota Surabaya. Satu Minggu yang lalu aku juga kemari. Malam Minggu pula. Sekarang adalah malam Minggu. Dan, sekarang aku tidak ditemani oleh kesepian. Tapi, lebih parah lagi, aku ditemani oleh orang yang kesepian. Dia adalah Sulis orang yang kesepian, tidak jauh dari suasana hatiku. Dia selalu kesepian, kecuali pada waktu-waktu tertentu dalam hidupnya. Aku belum pernah melihat dia sesedih ini. Setahuku, d
Seiring berjalannya waktu, usia bertambah, atau bahkan berkurang, indahnya akan kita nikmati. Benarkah demikian? Apakah ada keindahan di dunia ini? Tidak ada. Keindahan adalah milik Tuhan pencipta keindahan. Jika demikian, dia yang indah itu adalah keindahan Tuhan. Pancarn sinar wajahnya, menunjukkan cahaya Tuhan. Demikian kata orang beragama yang aku dengar. Mereka, mengatakan memang keindahan itu ada pada Dia.Lalu apakah yang aku lihat sekarang ini adalah indahnya Tuhan? Benarkah demikian? Gila, aku terlalu gila memikirkan ini semua. Padahal, pekerjaan saja tidak aku pikirkan dengan serius. Siang itu, entah beberapa hari yang lalu, Sulis datang menemui aku yang sedang bekerja menunggu warung. Dia, lemas sekali. Atau, setidaknya tidak mempunyai tujuan hidup seakan. Dia, mengadukan isi hatinya kepadaku. Masih tentang pekerjaan yang dia rencanakan.“Aku sudah bosan menjadi babu terus!” aku hanya diam.“Aku ingin membuat sebuah usaha!” masih diam.“Aku sudah bosan menjadi manusia seper
Kedatangan matahari menandakan pagi tiba. Sekarang, matahari setengah tinggi ke atas. Dipandangi dari segala penjuru. Membelai setiap mata yang melihat. Mengantarkan pada otak sebuah kenikmatan tiada batasan. Dialah matahari. Makhluk yang paling setia menemani manusia ketika menginginkan sebuah penerangan.Nanti malam, bersama dengan Sulis, aku akan memulai sebuah pekerjaan baru. Namun temanya masih sama, menunggu sebuah tempat. Jika siang hari aku menunggu warung makanan, maka malam hari aku akan menunggu warung kopi sederhana. Tidak apa-apa, namanya juga kehidupan. Nanti, bila sudah datang waktunya, dan aku sangat percaya, akan datang sebuah rencana Tuhan yang tidak mengijinkanku menunggu lagi. Tapi menjadi bos. Entah kapan saat itu akan terjadi. Aku masih saja menunggu.***Beberapa hari ini, setelah pertemuan itu aku tidak melihat Mei. Kenapa dia tidak datang untuk makan? Apakah dia sudah bosan dengan makanan warung kami? Ah, biarkan saja, nanti kalau dia berminat datang, akan dat
Semenjak bincang-bincang kemarin dengan Mei, rasanya aku ingin segera pulang, bertemu dengan Ibu, Bapak, dan juga Binti tentunya.“Binti, rasanya aku ingin segera pulang.” Kataku malam tadi pada dia, lewat telepon.“Aku bahagia jika kamu pulang. Tapi percayalah, andai kamu tidak pulang, aku akan tetap menjaga Ibumu.” Balasnya.“Bagaimana keadaan Ibuku?”“Belum ada perkembangan. Alhamdulilah, sekarang setiap sore ada dokter kecamatan yang datang memeriksa, itupun atas usulan Pak Rt.” Kabar baik darinya.Syukurlah, Pak Rt memang Rt terbaik selama hidupku. Maafkan aku Pak Rt, aku selalu membuatmu repot, aku selalu saja meminta bantuan padamu. Aku berjanji, pulang nanti akan kubawakan oleh-oleh dari Surabaya. Semoga aku bisa memenuhinya.“Sudah makan?” tanyaku tulus pada Binti.“Sudah, sudah dua kali bahkan.”“Ha? Satu hari makan hanya dua kali?”“Iya, biar hemat, dan tidak kelebihan berat badan.”“Kamu tahu?”“Tahu apa?”“Wanita yang sedikit gemuk itu malah imut?”‘Tidak, aku tidak perc
Malam terakhir sebelum kembali pulang, aku menyempatkan diri keluar rumah. Menuju keramaian malam kota Surabaya.Aku kagum dengan keindahan Surabaya. Memang benar apa yang dikatakan Pak Rt, bahwa Surabaya itu kota indah, ramai, besar pula. Tidak ada yang disanksikan dari pernyataan itu.Di pinggiran jalan, bersama beberapa kenalanku selama ini, anak muda-muda perantau, kami menyanyikan lagu riang dengan iringan sebuah gitar.Kalau hanya memainkan senar, aku adalah ahlinya. Dahulu sebelum aku berangkat, hampir setiap malam kegiatanku dengan teman-teman kampung ada-lah menyanyi bersama tanpa guna, seperti saat ini.“Kami anak rantau, jarang makan enak, tidurpun tak nyenyak...” lirik-lirik lagu kami.Aku tidak sadar, ternyata saat ini telah pukul satu malam. Sulis pasti sekarang tengah sendirian menjalankan tugas menjaga angkringan. Jahat sekali aku.Tidak, aku berjanji, setelah besok kembali dari kampung, aku akan membantunya setiap malam. Tidak digaji? Tidak masalah.“Kawan, aku pamit
Malamnya, aku duduk santai di depan rumah dengan Bapak, Ibu, dan Mei tentunya. Kami membincangkan banyak sekali hal pada malam itu. Mulai keadaan desa ketika aku mulai meninggalkannya, hingga aku kembali pada saat ini.Sepertinya tetangga kanan-kiri sudah mendengar berita kepulanganku. Entah siapa yang memberitakan, tapi tahu-tahu Pak Rt dan anaknya, Wawan, mendatangi rumahku. Jadilah rumahku malam itu sangat ramai oleh tamu-tamu yang ingin bertemu denganku, seperti orang penting saja.“Alhamdulilah, anakmu sudah pulang.” Kata Pak Rt kepada Ibuku.Syukurlah, Ibuku sudah terbangun dari kamar tidurnya. Tapi aku tetap tidak tega saja melihat dia, seperti menahan sebuah rasa sakit besar.“Iya, Pak Rt. Aku juga menyesal kenapa tidak pulang langsung ketika mendengar berita Ibu sakit.” Balasku pada Pak Rt yang tengah menikmati kopi panasnya malam ini.Bukan ibu yang membuatkan kopi, tapi aku sendiri.Entah kemana Binti tidak terlihat wajah manisnya. Mungkin, dia belum mendengar berita kedata
Hai, Teman-teman, dan ini adalah cerita yang keempat. Oke, semoga kalian suka dengan ceritaku. ***Pagi hari yang cerah.Udara masih sangat terasa dingin, sehingga aku masih belum beranjak keluar dari tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 05:30 WIB, terlalu pagi jika aku bangun sekarang. Aku mengembalikan smartphone kesamping tempatku tidur setelah mengetahui jam berapa sekarang.Namun sayang, tidak bertahan lama aku bisa membaringkan diri di atas tempat tidur, sebab pintu sudah diketuk keras dari luar. Nampaknya Mama sudah bangun, dan sepertinya juga menyuruhku bangun.“Nisa … Bangun. Sudah siang ini, masih tidur saja.” Benar yang aku duga, pasti Mama kalau jam segini mengetuk pintu.“Iya ma, sebentar lagi aku juga bangun.”“NISA, jangan nanti-nanti. Sekarang juga BANGUN. Nanti kalau punya suami mau jadi apa kamu.”Ini yang selalu menyebalkan dari Mama, setiap kali aku bangun pagi, selalu masa depan, suami, yang Mama bicarakan agar aku segera bangun.Tapi benar juga, setelah aku pik
Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua
Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu
Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara
Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi
Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?****Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan sarapan pagi bersama-sama.Oh
Pagi hari, seperti biasa, setelah berkali-kali dibangunkan Mama.Kali ini, aku sudah mandi dengan air hangat. Dan sudah memakai seragam sekolah.Seperti biasa, aku dan keluarga berkumpul sebelum malakukan aktivitas masing-masing. Sarapan.“kamu kok nggak seperti biasanya, Nisa?” Mama mulai pembicaraan di meja makan.“Nggak sama bagaimana sih, Ma?” Aku balik bertanya.“Tidak biasanya kan kamu berangkat sekolah memakai parfum sewangi ini? Atau jangan-jangan …,” Mama menolah ke arah Papa, tidak melanjutkan pembicaraan.“Biarin saja, Ma. Nisa kan sudah mulai dewasa. Wajar saja jika dia mulai memperhatikan penampilan. Tidak seperti Mama dulu, yang selalu berpakaian kusut jika berangkat sekolah.” Sahut Papa, sepertinya sedang berpihak kepadaku, tidak membela Mama yang mengejekku.Mama merengut, pertanda bahwa Mama tidak suka diejek seperti itu. Tapi tidak dengan Papa, dia masih tertawa sekali-kali melihat Mama yang masih merengut.Ini sungguh pagi yang indah. Di luar sana, matahari bersinar
Pulang sekolah, siang hari.Aku sudah sampai di rumah, setelah perjalanan setengah jam naik angkutan umum.Mama terlihat sibuk membersihkan peralatan bekas masak di dapur. Inilah pekerjaan Mama setiap hari di rumah, membersihkan rumah, mencuci, serta menunggu kami yang pulang sekolah dan kerja.Makan siang sebenarnya sudah siap di meja dapur, tapi demi melihat Mama yang masih sibuk kerja, aku tidak jadi makan duluan, menunggu Mama selesai.Aku sudah ganti baju, ganti pakaian biasa, dan menggantung seragam sekolah di lemari kamar, dipakai lagi besok.Sambil menunggu Mama selesai mencuci peralatan, entah apa saja namanya yang dicuci Mama selama ini, aku membaca novel di depan Tv yang menyala. Aku sangat suka sekali membaca novel, terutama novel yang sangat kental dengan kisah fiksinya, tentang masa depan bangsa ini yang akan tenggelam.Setelah Mama selesai mencuci, Mama menghampiriku.“Kamu belum makan, Nisa?” Mama bertanya dengan nada yang sedikit kelelahan.“Mama lama banget tadi kerj