Akhir-akhir ini aku sering sedih tanpa sebab. Mana mungkin tiada sebab? Mungkin aku yang belum mengetahui penyebabnya. Binti? Biasa saja. Aku tidak sedih karena dia. Kayu bakar? Masih banyak di belakang. Bayam? Sudah tumbuh juga di belakang. Lalu apa yang seharusnya menjadi penyebab kesedihan ini?Aku memegangi buku yang diberikan Binti dua hari lalu. Indah, seperti yang memberi. Aku tidak tega mencoretnya dengan tangan berdosaku. Aku tidak tega melihatnya menjadi hitam. Akhirnya aku belum memberikan tulisan sama sekali kepada buku itu sampai saat ini.Aku membayangkan wajah Binti ketika memberikan buku itu. Dia sedikit tersenyum. Walaupun sedikit, rasanya seperti madu paling mahal. Manis sekali. Mungkin dia kasihan kepadaku yang putus sekolah.Sudah dua hari ini aku tidak melihat Binti lewat depan rumahku untuk berangkat sekolah. Satu hari karena hari Minggu. Dan hari Senin sengaja aku tidak menunggu dia di depan rumah. Aku memilih minum kopi bersama ayam di belakang rumah, tempatku
Dua bulan berjalan menyenangkan, sekaligus agak membingungkan. Berkali-kali aku datang ke toko milik ibunya Binti. Berkali-kali pula aku melihat senyum manisnya. Berkali-kali pula aku tidak dapat menyimpulkan, apakah isi hati ini perlu dikeluarkan. Jika tidak, aku takut akan membuat sesak. Lalu, satu sudut hatiku berpendapat bahwa beban harus tersampaikan.Sore itu, sekali dari berkali-kali datang ke toko Binti, aku berusaha sekuat jiwa dan raga untuk menyampaikan niat, bahwa aku mencintainya. Namun sepertinya saat itu gagal kembali. Bahwa aku akan merantau, meninggalkan desa ini untuk beberapa bulan. Bahwa aku mencintainya, dan berharap, atau lengkapnya meminta kepadanya untuk menungguku kembali. Bahwa cintaku hanya untuknya. Aku harap sebaliknya juga sama.Tapi apalah daya, bahwa aku yang mencintainya, sama sekali tidak mempunyai kuasa. Sore itu aku hanya membeli cabai hijau, dan juga merah. Pedas, seperti kehilangan senyum indah itu. Sore-sore yang lainnya, ketika mencari-cari alas
Dua bulan menunggu, akhirnya ibu memanggilku dengan serius. Aku datang kepadanya, di balai rumah. Di sana, hanya ada aku dan Ibu. Bapak entah kemana tidak ada di rumah. Biasanya, lepas maghrib dia main kerumah teman, bercanda ria di sana. Atau, bicara soal masa-masa kecil dahulu.“Tujuh hari lagi kamu akan berangkat, nak!” kata Ibu kepadaku.Tujuh hari lagi, berarti sudah sangat pendek waktuku di desa ini. Apa yang akan aku lakukan? Biaya belum ada, aku harus datang kepada Pak Rt. Dia akan membantu, mungkin.“Tenang saja, biaya sudah ibu tanggung. Kamu tinggal berangkat saja!” katanya lagi.Bibirku bergetar, seperti ada rasa baru dalam hidup yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Rasanya, aku tidak percaya dengan apa yang Ibu katakan tadi.“Ibu sudah jual jagung yang selama ini kita rawat!” tambahnya.Oh, aku menangis kali ini. Ternyata ibu menahanku untuk tidak merantau saat itu karena belum ada biaya untuk ongkos berangkat. Rasanya aku malu. Rasanya aku sangat bersalah atas penj
Hujan belum datang setiap hari, masih jarang-jarang. Desa ini selalu indah dengan setiap musimnya. Kemarau kami indah dengan debu-debu, daun jati menggugurkan diri, panas udara, lalu datang sapuan angin menyejukkan. Dan yang tidak kalah dengan keindahan pantai di Bali adalah musim layangan. Setiap sore, angin yang stabil, tidak terlalu kencang, selalu menjadi incaran anak-anak desa. Termasuk diriku yang mengejar angin itu untuk menerbangkan layangan. Di desa kami, remaja sepertiku masih sangat layak bermain layangan, bukan hanya anak-anak kecil.Sore ini panas, tidak terlalu panas juga. Langit mendung, menampakkan awan yang tidak terlalu hitam, hanya keabu-abuan. Angin dingin menyampaikan salam kepada penduduk desa, bahwa Tuhan sedang bahagia di atas sana. Bahagialah orang desa saat itu, walaupun persediaan beras mereka sudah tidak cukup untuk besok lusa.“Pegangnya yang bener, To… Kamto kamprett!” kata seorang anak yang tidak terima. Layanganya tersangkut di dahan pohon mangga.Sumil
Dua hari berselang, aku berjalan bersama Binti menuju sebuah bukit kecil desa kami. Orang-orang tidak ada yang menanam apapun di sana, tanahnya penuh dengan batu-batuan. Batu besar ada di sana, batu kecil juga ada, bahkan batu bintang juga banyak berserakan di sana. Meskipun begitu, pohon pisang masih banyak, seakan memang tidak ada habisnya. Mereka bergerombolan, seakan membuat geng-geng dengan pohon pisang lainnya.Di sana, di bukit itu, sudah ada banyak anak-anak dan pemuda sepertiku. Mereka adalah orang-orang yang bosan dengan kehidupan desa depan rumah. Akhirnya mereka memilih menghabiskan waktu awal malam dengan mencari sensasi di atas bukit. Bukit itu dinamakan dengan nama fenomenal, ‘Bukit Seribu Harapan’. Bagiku nama itu tidak terlalu istimewa, aku lebih memilih menamakan bukit itu dengan nama ‘Bukit Tursina’. Kalian tahu apa itu bukit tursina? Itu adalah tempat Nabi Musa a.s mendapatkan wahyu secara langsung dari Allah.Tempatnya gelap, tiada penerang apapun selain bintang-b
Matahari mengintip dari balik awan hitam pagi hari, sepertinya dia akan menangis. Pagi-pagi betul aku sudah mandi di sungai. Di sana, aku mandi bersama dengan sapi-sapi yang sedang dimandikan pula. Banyak orang desa yang memandikan sapinya dipagi hari, mungkin agar sapi itu menjadi semangat hidup. Ini adalah hari yang aku nantikan selama beberapa hari lalu.Siang ini, jadwalku adalah akan berangkat menuju kota Surabaya. Nanti, yang akan mengantarkan aku adalah Suwadi, aku pernah menceritakan kepada kalian tentang siapa dia. Teras rumahku ramai oleh orang-orang yang ingin menyaksikan kepergianku. Aku malu, baru kali ini ada orang beramai-ramai menyaksikanku. Ibuku membuatkan mereka semua yang datang satu gelas kopi, setiap satu orang satu gelas kopi.Aku memasukkan pakaian kedalam tas yang sudah kemarin dicuci. Mungkin Ibu kalau tidak Bapak yang mencucinya, tahu-tahu sudah siap sedia. Orang-orang memperhatikanku layaknya melihat seorang artis akan naik panggung. Aku risih dibuatnya, ba
Kotanya ramai, tidak sesepi yang aku bayangkan ketika akan berangkat. Kagum aku dengan keindahan gedung tinggi itu, hotel-hotel yang menjadi bahan obrolan dengan teman-teman di desa. Baru kali ini aku melihat keindahan gedung dari jarak dekat. Sebelumnya, aku hanya melihat-lihat dari koran bekas bungkus cabai, atau bahkan hanya mendengar cerita Pak Rt.Tadi sore, entah jam berapa aku lupa melihat jam, atau mungkin aku baru sadar ternyata aku tidak punya jam tangan, sampailah aku bersama satu orang laki-laki dan perempuan itu di sebuah kota yang dinamakan Surabaya. Tahukah kalian asal-usul kota ini? Ceritanya sudah sangat masyhur, bahkan sampai menjadi lambang kota Surabaya, kelewatan jika kalian mengaku orang Indonesia tapi tidak mempunyai pengetahuan tentang asal-usulnya, terutama kota Surabaya.Sulis masih bersama denganku, dengan kakaknya juga. Mungkin masih belum tega meninggalkan aku sendirian yang tidak tahu arah. Jadilah dia menemani aku keliling terminal, entah apa yang kita c
Dua bulan sudah aku mendapatkan pekerjaan yang rasanya sangat tidak aku sukai. Sebenarnya pekerjaannya tidak berat, hanya saja aku menganggapnya rendah. Aku hanya mendapatkan pekerjaan pada sebuah warung kecil, atau kalian mungkin lebih sering menyebutnya dengan warteg. Aku hanya menjadi orang yang menunggu warung itu, membuat kopi, menyajikan makanan sesuai dengan pesanan pembeli, dan selanjutnya menghitung semua uang yang harus dia bayarkan.Siang ini aku hanya diam diri bersama hamparan kemacetan jalan di depan warung. Jalannya tidak terlalu besar, tapi entah kenapa masih ada penyebab kemacetan. Siang ini juga hujan lebat sejak pagi, tidak ada kata reda sama sekali. Apakah Nganjuk saat ini juga hujan? Apakah orang tuaku juga baik-baik saja di sana? Semoga Tuhan mendengar doaku ketika tengah-tengah malam itu.Tidak ramai warung ini, masih saja seperti hari-hari yang lalu. Ketika aku menghitung pendatang yang datang pada warung ini, ternyata jumlahnya tidak lebih dari seratus orang s
Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua
Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu
Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara
Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi
Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?****Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan sarapan pagi bersama-sama.Oh
Pagi hari, seperti biasa, setelah berkali-kali dibangunkan Mama.Kali ini, aku sudah mandi dengan air hangat. Dan sudah memakai seragam sekolah.Seperti biasa, aku dan keluarga berkumpul sebelum malakukan aktivitas masing-masing. Sarapan.“kamu kok nggak seperti biasanya, Nisa?” Mama mulai pembicaraan di meja makan.“Nggak sama bagaimana sih, Ma?” Aku balik bertanya.“Tidak biasanya kan kamu berangkat sekolah memakai parfum sewangi ini? Atau jangan-jangan …,” Mama menolah ke arah Papa, tidak melanjutkan pembicaraan.“Biarin saja, Ma. Nisa kan sudah mulai dewasa. Wajar saja jika dia mulai memperhatikan penampilan. Tidak seperti Mama dulu, yang selalu berpakaian kusut jika berangkat sekolah.” Sahut Papa, sepertinya sedang berpihak kepadaku, tidak membela Mama yang mengejekku.Mama merengut, pertanda bahwa Mama tidak suka diejek seperti itu. Tapi tidak dengan Papa, dia masih tertawa sekali-kali melihat Mama yang masih merengut.Ini sungguh pagi yang indah. Di luar sana, matahari bersinar
Pulang sekolah, siang hari.Aku sudah sampai di rumah, setelah perjalanan setengah jam naik angkutan umum.Mama terlihat sibuk membersihkan peralatan bekas masak di dapur. Inilah pekerjaan Mama setiap hari di rumah, membersihkan rumah, mencuci, serta menunggu kami yang pulang sekolah dan kerja.Makan siang sebenarnya sudah siap di meja dapur, tapi demi melihat Mama yang masih sibuk kerja, aku tidak jadi makan duluan, menunggu Mama selesai.Aku sudah ganti baju, ganti pakaian biasa, dan menggantung seragam sekolah di lemari kamar, dipakai lagi besok.Sambil menunggu Mama selesai mencuci peralatan, entah apa saja namanya yang dicuci Mama selama ini, aku membaca novel di depan Tv yang menyala. Aku sangat suka sekali membaca novel, terutama novel yang sangat kental dengan kisah fiksinya, tentang masa depan bangsa ini yang akan tenggelam.Setelah Mama selesai mencuci, Mama menghampiriku.“Kamu belum makan, Nisa?” Mama bertanya dengan nada yang sedikit kelelahan.“Mama lama banget tadi kerj