Dua Minggu berlalu dari pengajian umum itu. Banyak perubahan yang saya alami dalam keseharian. Mulai dari saya yang lebih rajin untuk belajar, tidak telat memberi makan kambing, hemat uang, sampai perlakuan santri kepada saya yang berbeda.Sore itu, saya mendapatkan telepon dari rumah. Saya diberitahu oleh salah satu pengurus pondok. Wah, saya membatin dalam hati bahwa saya akan mendapatkan kiriman. Cepat-cepat saja saya berjalan menuju kantor pondok. Kantor pondok putra terlihat sepi, tidak banyak orang. Disana, hanya ada beberapa santri yang sedang melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang telepon rumah, mencetak tugas, sampai ada yang hanya mencari-cari buku.“Nah, Akmal, ini saudara kamu telepon.” Kata seorang pengurus kepada saya setelah saya masuk kantor pondok putra.“Iya, terima kasih, kang.” Saya menjawab demikian.Lalu, saya mulai pembicaraan dengan saudara yang dimaksudkan kang pengurus tadi. Bukan orang tua saya? Ternyata bukan. Dia, yang telepon, adalah tetangga dekat sa
Akhirnya sore yang tidak pernah dinantikan semua santri, termasuk mbah Kyai, mungkin, telah datang. Semua santri sengaja dikumpulkan oleh keluarga ndalem untuk kepergian gus Malik. Suasana sepi, lengah, sedih, meskipun masih ada satu dua santri yang tertawa cengingisan.Halaman ndalem ramai oleh santri putra-putri. Sore ini kami semua harus merelakan kepergian gus Malik.“Saya pamit, dan akan kembali jika sudah mendapatkan tambahan ilmu. Tidak ada perjalanan yang sia-sia. Semoga, perjalanan saya tidak mendapatkan kesia-siaan.” Akhir dari nasihat terakhir gus Malik sebelum berangkat menuju Mesir.Jadi begini, kawan, setelah acara reunian kemarin di pondok lama gus Malik, beliau mendapatkan tawaran untuk melanjutkan pendidikan di Mesir. Langsung saja dia tidak mensia-siakan tawaran itu. Dia langsung mengambil tawaran tersebut. Dengar-dengar, ada sekitar delapan orang yang berangkat bersama dengan gus Malik.Andai saya bisa seperti dia. Nasab punya, ilmu punya, tampan juga punya. Tapi sa
Untuk kalian yang belum mengenal apa itu pesantren, mari belajar bersama dengan saya. Setidaknya, saya lebih tahu dari pada kalian yang tidak pernah menjadi santri. Walaupun saya baru tiga tahun menjadi santri, pengalaman demi pengalaman telah saya lalui dalam tempo waktu tersebut.Pesantren, adalah sebuah tempat mencari ilmu, ilmu apa saja. Disana, kita akan belajar dengan lebih banyak mengacu pada kitab para ulama salaf, meskipun tidak secara keseluruhan. Kenapa harus ulama salaf? Karena mereka tentunya lebih hebar dari pada ulama sekarang. Mereka lebih dekat dengan jaman Nabi Muhamad.Hidup di pesantren itu indah. Dulu, sebelum saya menjadi santri, pesantren saya bayangkan sebagai tempat yang meanakutkan. Pagi harus bangun sebelum Shubuh, mengaji, membaca Al-Qur’an, mengaji lagi, membaca Al-Qur’an lagi, lalu mengaji lagi. Tidak ada hal yang mengasyikkan di pesantren menurut pandangan saya waktu itu. Ditambah lagi dengan hubungan antara putra dan putri yang sangat dilarang. Apabila
Malam itu, satu hari sesudah penawaran menjadi salah satu pengurus, saya mendatangi kantor pondok. Setelah ngaji Isya, dan belajar bersama, saya berjalan menuju kantor pondok. Disana ada beberapa pengurus harian, sedang membicarakan sebuah hal. Saya tidak tertarik dengan pembicaraan mereka.Setelah mengucapkan salam, dan mereka mempersilahkan saya masuk, dengan tenang saya mengutarakan kesiapan saya.“Saya siap menjadi bagian dari pengurus keamanan.” Kata saya.Mereka bertiga nampak senang dengan kabar yang saya bawakan malam ini. Memang, saya rasa pesantren ini membutuhkan seorang pengurus pembantu, dalam melaksanakan semua kegiatan, dan melancarkan kegiatan belajar mengajar.“Apakah benar demikian?” tanya ketua pondok, “Apakah tidak ada rasa terpaksa?” lanjutnya.“Tidak, saya menerima dengan senang hati dan ikhlas. Semoga menjadi bentuk ibadah dan pengabdian saya.”Syukurlah, akhirnya malam itu saya resmi menjadi pengurus keamanan, pembantu keamanan. Saya menandatangi sebuah surat p
Siang ini adalah hari yang biasa, sama seperti ratusan hari sebelumnya dalam hidup saya. Matahari begitu panasnya mengudarakan keringat, serta beberapa awan mengambang pada birunya langit siang. Indah tapi tidak untuk dinikmati.Pada jam intirahat sekolah, saya menyempatkan diri untuk minum secangkir kopi. Kali ini saya tidak bersama dengan Alfin. Iya, siang ini saya berada pada sebuah warung dekat sekolah, tidak terlalu ramai. Saya senang dengan suasana di sana, tenang, bisa merenungkan tentang kehidupan.Siang ini saya bersama dengan salah satu teman akrab saya, yaitu Ghofur. Dia adalah salah satu santri yang berasal dari Brebes, Jawa Tengah. Penikmat kopi pula seperti saya.“Mal, dengar-dengar kamu sekarang sudah menjadi pengurus.” Kata dia kepada saya, ketika cangkir kopinya hampir terangkat menuju bibirnya.Saya tidak langsung menjawab, menirukan gayanya yang mengangkat cangkir kopi sebelum bicara, dan ketika hampir menyentuh bibir, barulah saya bicara, “Hanya menjadi pembantu ke
Sore hari, selepas pengajian, saya merenungkan kembali sebuah cerita yang dengan cerita itu, saya menemukan sebuah arti baru dalam keluarga. Saya mendengarkan kisah itu dari gus Malik, beberapa tahun yang lalu. Beliau dengan gaya kasnya, menceritakan dengan seksama, runtut, serta mudah dipahami kisah salah satu sahabat nabi. Dia adalah Hudzaifah bin Utbah. Begini cerita yang selalu saya ingat itu :Saat itu, Nabi tengah berdakwah kepada kaum Quraiys, Makkah. Namun, lebih dari sepuluh tahun, mereka tetap saja tidak menerima dakwah Nabi, tidak menerima datangnya Islam. Masih banyak yang menyembah berhala, menyembah patung-patung yang merupakan benda mati itu. Akhirnya, Nabi mendapatkan perintah untuk hijrah menuju Madinah.Madinah adalah tempat yang baru untuk Nabi dan sahabat yang mengikuti langkha Nabi. Di sana, tentunya tidak mudah untuk memulai hidup, walaupun kaum Ansor selalu membantu sahabat Muhajirin. Demikian, banyak muslim yang mengikuti Nabi Hijarh. Dengan demikian, mereka ha
Hari berganti bulanpun berjalan. Jam demi menit telah kami lalui. Rintangan tentunya ada, dan halangan tidak dapat dipungkiri. Berbagai luka menjadi hal biasa, yang memang akan selalu ada. Pondok kami masih sama dalam hal bangunan, tapi sepertinya selalu berkembang dalam urusan pengajian. Hidup memang selalu membutuhkan perkembangan, dan memang harus berkembang.Dua hari yang lalu, ada sebuah pengumuman tentang lomba. MTQ, Mutsabaqoh Tilawatil Qur’an. Pasti kalian sudah sering sekali mendengar kata itu. Tapi, ini berbeda kawan, yang mengadakan bukan pengurus aslinya. Lomba ini diselenggarakan oleh beberapa pondok pesantren yang bekerja sama, dalam rangka meningkatkan semangat belajar santri. Tidak banyak, hanya sekitar lima belas pondok pesantren yang bekerja sama. Pondok kami adalah salah satu pondok yang mengikuti kerja sama tersebut.Dalam lomba MTQ ini, setiap pondok wajib mengirimkan beberapa wakilnya untuk mengikuti perlombaan. Kelas satu MTS tiga anak, kelas dua juga demikian,
Terkadang, saya bingung memikirkan tentang dimanakah letak keadilan Tuhan. Bahkan, dalam memikirkan tentang keadilan Tuhan, saya sempat membuat beberapa bait sajak. Apakah Tuhan benar-benar adil? Terkadang saya berpikir bahwa Tuhan itu tidak adil sama sekali. Inilah bait sajak yang saya ciptakan beberapa saat lalu.Tuhan Tak AdilTuhan…Kenapa sekiranya melati itu Kau ciptakan,Namun tiada indah untuk diriku.Harumnya menghidupkannya,Merahnya mengharumkan jiwa,Tapi kenapa mematikan untuk diriku?Durinya tertawa pada yang lain,Lalu kenapa memarahiku?Tuhan…Kau curang,Kau tak adil.Adakah bunga untukku selain melati itu?Apakah semua bunga sama bagiku,Mematikan…Tuhan…Kau… kau… sungguh membenciku,Kau memberiku mata, memberiku hati,Namun, hanya mataku yang bernyawa karnanya,Kenapa hatiku tak merasakan indahnya? Kenapa?Kenapa mataku bahagia namun hatiku terbisu?Adakah… ini adalah bungaku?Bunga kesedihan, kepahitan, dan penderitaan abadi?Bahkan, ketika saya menuliskan sajak i
Entah kenapa, malam ini, Rabu malam Kamis, saya disuruh menghadap kepada Kyai Shodiq. Kesalahan apa lagi yang saya kalukan sehingga disuruh menghadap beliau? Apakah sekarang sapinya yang hilang? Tidak mungkin.“Kang Akmal, ditimbali mbah Kyai.” Begitu kata salah satu teman saya.“Iya.” Jawab saya.Tergesa-gesa saya memakai baju lengan panjang, membenarkan sarung, mencari kopyah hitam saya. Sekarang sudah cukup malam, pukul setengah sepuluh. Tidak seperti biasanya mbah Kyai menimbali santrinya. Baiklah, saya akan segera menghadap beliau.Halaman ndalem terlihat sepi. Biasanya, dari halaman ndalem itu selalu terdengar suara tamu-tamu mbah Kyai membahas sebuah ilmu. Banyak sekali tamu mbah Kyai setiap harinya, hingga biasanya sampai larut malam. Tapi sepertinya tidak dengan malam ini, keadaan sudah sepi.Pintu utama ndalem mbah Kyai masih terbuka lebar, lampu menyala terang. Kondisi dalam juga sepi. Dari luar saya melihat disana hanya ada mbah Kyai dan gus Malik sedang membicarakan sesua
Jadi begini kawan, kami sholat isya’ pula ketika bertemu dengan kakek yang entah siapa namanya. Dari pada nanti sibuk mencari air untuk wudzu lagi, lebih baik menunggu sejenak dan sudah tidak khawatir lagi.Sampai larut malam, kira-kira pukul sebelas malam, kami belum berhasil menemukan kambing mbah Kyai. Entah kemana kambing keparat itu pergi. Ah, karena kesalahan saya siang tadi, malam ini saya dan Alfin tidak mengikuti pengajian setelah maghrib dan isya’.Kami duduk di bawah pohon rindang tengah hutan, dengan penerangan satu senter yang sudah tidak terang lagi. Demi menghemat baterai, yang satu tidak kami nyalakan. Dingin tidak terkira dibawah pohon ini, banyak nyamuk pula. Jika bukan kambing mbah Kyai, maka sudah saya tinggalkan tempat ini sejak tadi.“Apakah kita akan tidur disini?” tanya Alfin padaku.“Yah, apakah kamu bisa tidur. Kalau aku mungkin bisa-bisa saja.”Saya sudah terbiasa dengan nyamuk banyak, hawa dingin, suasana gelap, namun tidak dengan tengah-tengah hutan. Waktu
Bukan sebuah waktu yang pendek bagi saya. Tiga tahun, waktu yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, serta memerlukan sebuah impian. Karena tiga tahun, masa yang akan datang tergambarkan.Menjadi santri itu berat, tidak sembarangan orang akan kuat. Berbagai ujian akan datang ketika seseorang mendatangi pesantren dengan niat mencari ilmu.Pertama, tentu harus siap bepisah dengan keluarga, teman-teman, dan orang terdekat lainnya. Bahkan, untuk anak yang tidak siap berpisah dengan orang tua, ujian pertama ini akan menjadi ujian terberat.Kedua, adalah peraturan-peraturan yang mengikat, terasa seperti mengekang santri. Mulai dari dilarang menonton televisi, sampai dilarang berhubungan dengan lawan jenis. Berat? Untuk yang sudah terbiasa melakukan, lalu datang ke pesantren, akan sulit meninggal-kan kebiasanan tersebut.Tiga, pesantren mengajarkan santrinya siap mlarat. Artinya, semua santri selama hidup dalam lingkungan pesantren harus hidup apa adanya, makan apa adanya, layaknya orang mlara
Bicara mengenai cita-cita, saya ingin menjadi manusia sungguhan. Apakah saat ini saya bukan manusia sungguhan? Bukan begitu maksudnya. Saya ingin menjadi orang sukses, banyak uang, mobil, dan hal-hal yang menandakan saya adalah orang kaya. Dalam sebuah karir, cita-cita saya adalah menjadi Ustadz, seperti Abdul Somad. Lc. terkenal. Setelah menikah saya ingin hidup bahagia dan membahagiakan keluarga saya. Anak-anak saya cerdas, pintar, dan mengikuti jejak langkah saya. Kemudian, setelah mati masuk surga. Ekspektasi banyak yang tidak sesuai dengan kondisi, berbeda pula dengan sebuah realisasi. Tapi diantara itu semua yang paling penting adalah menjalani. Banyak harapan, boleh saja, asalkan tidak membuat putus jalan.Cita-cita saya sangat luhur, bukan? Saya ingin menjadi orang yang bahagia dunia akhirat. Ketika hidup di dunia, saya ingin menjadi orang kaya, bahagia. Dan ketika mati nanti, masih nanti, masih lama, saya ingin menjadi orang yang masuk surga. Indah sekali dalam anganan.Ber
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yang diberikan mama
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, mungkin Mama dan Papa bisa bantu?” Papa malah salah tangkap kali ini. Bukan itu yang aku maksud, Pa, tapi
Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?****Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan sarapan pagi bersama-sama.Oh
Pagi hari, seperti biasa, setelah berkali-kali dibangunkan Mama.Kali ini, aku sudah mandi dengan air hangat. Dan sudah memakai seragam sekolah.Seperti biasa, aku dan keluarga berkumpul sebelum malakukan aktivitas masing-masing. Sarapan.“kamu kok nggak seperti biasanya, Nisa?” Mama mulai pembicaraan di meja makan.“Nggak sama bagaimana sih, Ma?” Aku balik bertanya.“Tidak biasanya kan kamu berangkat sekolah memakai parfum sewangi ini? Atau jangan-jangan …,” Mama menolah ke arah Papa, tidak melanjutkan pembicaraan.“Biarin saja, Ma. Nisa kan sudah mulai dewasa. Wajar saja jika dia mulai memperhatikan penampilan. Tidak seperti Mama dulu, yang selalu berpakaian kusut jika berangkat sekolah.” Sahut Papa, sepertinya sedang berpihak kepadaku, tidak membela Mama yang mengejekku.Mama merengut, pertanda bahwa Mama tidak suka diejek seperti itu. Tapi tidak dengan Papa, dia masih tertawa sekali-kali melihat Mama yang masih merengut.Ini sungguh pagi yang indah. Di luar sana, matahari bersinar
Pulang sekolah, siang hari.Aku sudah sampai di rumah, setelah perjalanan setengah jam naik angkutan umum.Mama terlihat sibuk membersihkan peralatan bekas masak di dapur. Inilah pekerjaan Mama setiap hari di rumah, membersihkan rumah, mencuci, serta menunggu kami yang pulang sekolah dan kerja.Makan siang sebenarnya sudah siap di meja dapur, tapi demi melihat Mama yang masih sibuk kerja, aku tidak jadi makan duluan, menunggu Mama selesai.Aku sudah ganti baju, ganti pakaian biasa, dan menggantung seragam sekolah di lemari kamar, dipakai lagi besok.Sambil menunggu Mama selesai mencuci peralatan, entah apa saja namanya yang dicuci Mama selama ini, aku membaca novel di depan Tv yang menyala. Aku sangat suka sekali membaca novel, terutama novel yang sangat kental dengan kisah fiksinya, tentang masa depan bangsa ini yang akan tenggelam.Setelah Mama selesai mencuci, Mama menghampiriku.“Kamu belum makan, Nisa?” Mama bertanya dengan nada yang sedikit kelelahan.“Mama lama banget tadi kerj