Wanita itu mendengkus, ia terlihat menghela napas panjang sambil memikirkan sesuatu.
"Sebentar, ya, Mbak. Saya telepon suami dulu," ucapnya setelah sekian lama berpikir dalam kebisuan."Oh, iya!" Aku tersentak karena sedari tadi terus berusaha memikirkan cara-cara apa untuk membalas mereka berdua.Wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku dress yang ia kenakan. Lalu menghubungi lelaki yang sampai saat ini masih berstatus suamiku juga.Dasar pelakor! Modal merampas jatah milik orang dan mau segala macam yang wah. Memangnya dia pikir seberapa banyak uang Mas Gandhi itu sehingga bisa seenaknya saja minta ini itu pada suami orang. Nikmati saja hari-harimu itu sampai kau tahu siapa sebenarnya Mas Gandhi."Halo, Sayang! Ada apa telepon? Mas sedang meeting di kantor!" Suara pengkhianat itu terdengar dari ponsel yang dipegang Safira.Aku harus terus menguatkan hatiku karena pemandangan yang terjadi saat ini begitu menyakitkan. Safira dan Mas Gandhi saling menyapa dengan panggilan mesra.Rupanya Safira sedang melakukan panggilan video dan otomatis suara pria buaya itu dapat kudengar dengan jelas. Untungnya, posisiku sedang membelakanginya dan lantas menjauh sambil berpura-pura sibuk agar tidak ketahuan oleh Mas Gandhi dari sana."Mas, ini aku lagi sama Mbak Lisya, orang yang mau dekor ruangan untuk acara babyshower aku," ucap Safira dengan suara manja selembut sutera.Di usianya yang mungkin sudah kepala tiga, Safira bisa berlagak seperti seorang anak ABG dengan suara lembut dan manja."Hhmm ... dekor? Kan sudah Mas bilang supaya mas aja yang cari jasa dekornya!" sahut Mas Gandhi dengan suara bergetar penuh waspada. Dia pasti takut jika Safira malah menggunakan jasa dekor istrinya dan perselingkuhannya ini akan ketahuan olehku.Sayangnya, kamu terlambat, Mas. Istrimu yang satu ini tidak cukup cerdas untuk menyembunyikan statusnya sebagai gundik."Aku gak mau ngerepotin kamu, Sayang. Kamu pasti masih capek karena baru pulang dari luar kota. Sudah, biar aku saja. Aku sudah ketemu jasa dekor yang bagus, kok!" sanggah Safira."S-siapa namanya?" Lelaki itu bertanya agak tergagap. Aku hanya mendengarkan sambil terus berusaha menata hati. Aku harus tegar demi masa depan Melisa. Jika lelaki itu telah berkhianat, maka tidak akan aku biarkan dia terus berada dalam kejayaan. Jangan ditanya seperti apa keadaan di dalam sini, rasanya panas dan terbakar. Tanpa terasa, setetes bulir bening meluncur dari sudut mata. Aku memang benci, tapi tidak bisa memungkiri jika masih ada rasa yang tertinggal di dalam sini.Aku mungkin masih punya cinta, tapi pengkhianatan ini sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk melupakannya. Aku tidak sudi berbagi keringat dengan wanita lain. Biar aku buang saja sampah pada tempatnya."Namanya Mbak Lisya, Mas!""Oh ... syukurlah. Terus, ada apa?" ujar Mas Gandhi terdengar lega.Dia pikir Lisya itu siapa? Ada baiknya juga aku selalu menggunakan nama depanku jika dalam urusan pekerjaan seperti ini. Mas Gandhi pasti tidak menyangka jika Lisya yang dimaksud adalah aku--istrinya, Alisya Shanum."Kamu tambahin lagi ya biaya untuk dekorasinya, yang kamu kasih itu gak cukup, Mas!" rengek Safira. Wanita itu menjatuhkan bobot pada sofa kecil berwarna merah, lalu bersandar sembari mengelus perut buncitnya.Sungguh pemandangan yang sangat memuakkan.Setelah menyusuri perut berisi benih dari pergumulannya dengan Mas Gandhi, mataku menoleh pada sebuah cincin berlian yang melingkar di jari manis Safira. Indah sekali. Aku bahkan tidak memilikinya.Entah darimana asalnya uang yang diberi Mas Gandhi pada wanita ini sehingga bisa memanjakannya dengan barang-barang mewah dan berkelas. Padahal, posisinya hanya karyawan biasa di kantor."Waduh ... memangnya berapa lagi, Sayang? Ini saja aku sudah habis sepuluh juta untuk catering, belum lagi potografer dan souvenir. Sekarang kamu minta tambahin uang dekor lagi? Yang sederhana saja, Fira!" bantah Mas Gandhi namun terkesan hati-hati.Luar biasa, ternyata sampai seroyal ini dia pada wanita gundiknya. Pantas saja dia tidak begitu peduli pada urusan renovasi rumah beberapa bulan lalu, rupanya uang yang dia punya dihabiskan untuk merenovasi keinginan sang gundik."Gak mau, Mas. Aku maunya yang itu!" Safira merajuk, tingkahnya seperti seorang anak kecil yang tidak diberi uang jajan. Ia bahkan berpura-pura menangis seperti anak kecil. Dan entah apa yang mereka bicarakan selanjutnya, karena Safira telah meninggalkan aku sendiri di ruangan ini. Wanita dengan make up setebal lima senti itu masuk ke kamarnya.Aku jengah melihat tingkah Safira yang terlihat kekanak-kanakan. Bagaimana bisa Mas Gandhi menyukai seorang wanita yang terlihat dewasa namun tingkahnya tidak kalah jauh dengan Melisa? Ah ... b*doh sekali, nafsu memang bisa mengalahkan segalanya.Aku tidak tahu orderan kali ini merupakan berkah atau musibah. Jika aku tolak, artinya aku sedang melepas rezeki namun bila aku terima, aku akan semakin menemukan hal-hal menyakitkan lainnya.Entah berkah atau musibah, mungkin seperti inilah cara Allah membongkar rahasia besar yang selama ini disembunyikan oleh Mas Gandhi. Jika aku tidak dapat orderan ini, pasti aku tidak akan tahu sama sekali jika ada wanita lain yang turut menikmati hasil keringat suamiku, bahkan mungkin keringatku juga.Aku bersyukur meski akhirnya harus menanggung luka yang menganga sendirian. Aku yakin akan ada hikmah di balik ini semuanya. Yang penting aku harus tetap kuat dan tegar demi memberi hadiah manis untuk para pengkhianat ini nanti.Tiba-tiba wanita itu datang dan menghampiriku. Wajahnya yang sempat murung kembali cerah seperti di awal tadi."Gimana, Mbak?" lontarku."Jadi, Mbak. Ini saya kasih DP lima juta dulu, ya. Sisanya lusa kalau semua sudah beres, ya!" ucapnya sembari mengulas senyuman manis.Safira pasti bingung ke mana hendak menyembunyikan wajahnya dariku jika hanya untuk membayar dua belas juta saja harus berdebat panjang dengan sang suami. Dengan segala kesombongan yang ia sampaikan tadi, rasanya mustahil jika Mas Gandhi tidak mengabulkan keinginannya.Aku mengangguk, menghitung lembaran merah yang ia serahkan lalu mencatatnya di kertas kwitansi yang memang selalu ada di dalam tasku.Aku jadi penasaran. Dari mana Mas Gandhi mendapatkan uang untuk memanjakan gundiknya ini? Apa dia punya sumber uang yang lain lagi selain bekerja di kantor? Aku harus segera menyelidiki.Setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku pun berpamitan pergi apalagi jam sudah hampir menunjukkan pukul dua belas siang. Melisa akan pulang sebentar lagi dan aku tidak ingin membuat anak itu menunggu terlalu lama.Sebelum beranjak dari rumah ini, aku menyempatkan diri untuk bertanya sedikit pada Safira. Kebetulan dia mengantarku sampai depan pintu."Kalau saya boleh tahu, berapa usia Mbak Safira?" celetukku. Aku sungguh penasaran dengan perempuan centil dengan wajah dewasa ini."Saya? Usia saya dua puluh tiga, Mbak!" ungkapnya dan itu membuatku ingin tertawa sekencang-kencangnya."Memangnya kenapa, Mbak?" sosornya dengan dahi yang mengkerut. Dia mungkin menyadari perubahan pada mimik wajahku.Astaga! Aku salah besar. Kupikir dengan penampilan yang mencolok seperti itu, usia Safira itu sudah kepala tiga. Rupanya usianya masih dua puluhan bahkan masih lebih muda dariku."Oh ... enggak, saya kira seumuran saya," terangku sambil terkikih dalam hati. Aku tidak mungkin berterus terang mengatakan jika aku menyangka dia sudah kepala tiga, bisa-bisa dia tersinggung dan membatalkan kesepakatan ini.Huh, lucu sekali. Rupanya Safira ini golongan pelakor muda yang berwajah tua.Aku kembali memacu motorku di jalanan menuju sekolah tempat Melisa menuntut ilmu dua tahun ini. Gadis kesayanganku itu pasti sudah menungguku di dekat pintu gerbang sekolahnya.Ah ... aku tidak bisa menjelaskan betapa hancurnya perasaan ini kala menyadari rumah tangga ini tidak baik-baik saja. Entah seperti apa reaksi Melisa nanti jika mengetahui bahwa kedua orang tuanya mungkin tidak akan bisa bersama lagi. Aku sungguh tidak sudi meneruskan pernikahan ini. Sebagai istri, aku masih bisa bertahan ketika ujian ekonomi terus menghampiri. Namun tidak pada ujian orang ketiga. Tidak ada kompensasi untuk pengkhiantan.Dulu, aku tetap setia mendampingi Mas Gandhi meski ia tidak bisa menghasilkan lebih dari tiga juta setiap bulannya karena posisinya hanya sebagai karyawan biasa, sementara kebutuhan hidup kian hari kian sulit. Melisa sudah mulai sekolah dan punya banyak keinginan. Aku sampai harus berjualan online demi menopang kehidupan di kota ini namun sering kehabisan modal demi mencukupi
"Mama ....!" Melisa melambai dari kejauhan, kemudian berlari ke arahku. Aku belum juga turun dari sepeda motorku tapi gadis berseragam batik itu sudah kelihatan tidak sabar.Aku tersenyum menanggapinya, lalu menunggunya keluar dari pagar sekolah."Mama ... ayo kita belanja!" ujarnya begitu antusias. Pasalnya, besok adalah hari ulang tahun Melisa dan aku sudah berjanji untuk membelikannya kue bolu kesukaannya. Selain itu, kami harus membeli segala pernak pernik ulang tahun seperti topi, souvenir dan Snack untuk dibagikan pada teman-teman sekelasnya besok. Aku sudah mendapat izin dari wali kelasnya untuk membuat sedikit acara sebelum pulang besok. Biasanya anak-anak akan pulang lebih awal di hari jum'at.Seharusnya hal ini pun menjadi aktivitas yang menyenangkan bagiku tapi sejak mengetahui kebusukan Mas Gandhi, aku jadi kehilangan semangat. Melisa sudah mengingatkan ayahnya dari jauh-jauh hari agar ikut merayakan hari ulang tahunnya di sekolah besok. Tetapi karena Mas Gandhi harus men
"Bisa kan ditransferkan sekarang?" ulangnya setelah tak kunjung mendapat sahutan dariku.Tidak salah lagi, uang lima juta itu pasti akan dia gunakan untuk tambahan biaya dekorasi gundiknya. Safira pasti terus merengek padanya untuk mengabulkan semua keinginan wanita yang penuh dengan gengsi itu."Uang lima juta, untuk apa, Mas?" tanyaku berpura-pura terkejut. Mas Gandhi memang terbiasa menggunakan uangku tapi tidak pernah sampai sebanyak ini. Lelaki itu kerap meminta bantuanku untuk sekedar mengisi bahan bakar mobilnya tapi tidak sampai jutaan. Paling tidak hanya dua ratus ribu dan polosnya aku karena tidak pernah pula menagih uang itu kembali. Jika aku tahu uang untuk membeli bahan bakar itu digunakannya untuk mendatangi Safira, maka akan aku bakar sekalian dia dengan mobilnya."Hhmm, untuk beli oleh-oleh buat kalian!" ujarnya setelah terdiam cukup lama. Cih, oleh-oleh apa lagi yang dia maksud jika saat ini saja dia sudah kembali dari luar kota dan berada di kota yang sama denganku
Lelaki yang tidak aku tahu asal usulnya itu lantas mendekat pada Melisa kala menyadari buah hatiku itu menangis karena benda yang sudah berserakan dan tidak lagi berbentuk itu. Semua pernak-pernik ulang tahunnya sudah tidak layak pakai."Cup cup cup anak cantik, maaf ya, Om tidak sengaja! Kamu mau ulang tahun, ya?" Lelaki itu berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan putriku. Ia mengusap air bening yang berjatuhan dari sudut netra Melisa.Bukan hanya anak itu, aku juga merasakan kesedihan yang sama. Bahkan aku lelah. Aku dan Melisa sudah mengitari mall, mengantri dan bersusah payah membawa semuanya namun harus berakhir seperti ini. Rasanya aku pun ingin menangis tetapi malu pada pria di depanku."Iya, Om. Aku mau rayain ulang tahunku di sekolah besok. Tapi semuanya sudah rusak, huaaa!" Melisa menangis semakin kencang. Harapannya untuk merayakan ulang tahun yang berkesan bersama teman-teman sekelasnya pupus sudah. Yang tertinggal hanya kue tanpa kemeriahan yang lain."Maafin Om, ya, S
Untuk pertama kalinya aku membentak dan bicara sekeras ini pada Melisa. Ia pasti sangat terkejut dengan sikapku yang dianggap telah berubah kasar padanya.Aku sungguh dilema. Kurasa hari terberat dalam hidupku selama berumah tangga adalah hari ini. Bahkan ini lebih berat dari pada ketika aku kebingungan saat beras dan gas habis secara bersamaan. Atau ketika tak bisa beli baju lebaran.Mengetahui Mas Gandhi telah membagi cinta dan materi dengan wanita bernama Safira membuatku jadi hampir setengah gila. Sakit karena materi itu bisa digantikan. Tapi jika sakit karena patah hati rasanya tak ada ganti. Walau Mas Gandhi akan datang dan membawa seribu maaf untukku. Itu tidak akan cukup mengobati luka menganga akibat menikamku dari belakang.Sakit, benci dan sedih membaur ke dasar jiwa sehingga aku tak bisa mengendalikan emosi. Aku malah melampiaskannya pada Melisa dengan bentakan kasar dan menyakitkan. Bukannya merasa puas. Aku sungguh merasa semakin bersalah.Kulihat Melisa masih tertunduk
Rumah Kedua SuamikuSetelah sedikit berbasa-basi. Akhirnya, kami pun saling memperkenalkan diri. Sesuai dugaanku. Ternyata Rozi bukan lah orang sembarangan. Dia adalah seorang direktur dari sebuah perusahaan asuransi di Jakarta dan ke sini untuk melaksanakan tugasnya, yaitu mengunjungi anak cabang dari perusahaannya untuk memeriksa kinerja para karyawan serta keuangan di sana.Apalagi ada laporan jika di beberapa anak perusahaannya mengalami ketimpangan dalam masalah keuangan.Kebetulan semalam dia memang terburu-buru. Rozi yang biasanya ke mana-mana mengendarai mobil, menjadi kaku saat harus mengendarai sepeda motor di jalanan beraspal. Tapi kali ini dia datang mengendarai mobi ditemani sang sopir.Rozi mengaku padaku bahwa dia adalah seorang duda yang ditinggal mati oleh anak dan istrinya. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama mereka sedangkan putrinya menyusul sebelas bulan setelahnya. Dan ketika melihat Melisa. Pria itu langsung teringat akan mendiang putrinya. Apa lag
"Wah ... mama cantik sekali!" puji Melisa saat memindai penampilan baruku. Aku baru selesai mengambil tiga paket perawatan sekaligus. Rambut, wajah dan badan di salon terpercaya di kota ini. Walau harus merogoh kocek yang cukup dalam. Namun usahaku ini tidak sia-sia. Aku tampil glow up dengan kulit yang lebih cerah dan bersih.Rambutku yang ikal telah mendapat perawatan keratin sehingga tampil lurus dan bersinar."Beneran?" godaku lagi pada Puteri semata wayangku. Melisa kubawa juga ke salon untuk menemaniku karena aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Anak itu menungguku di tempat bermain khusus anak yang memang disediakan oleh pihak salon."Benar, Ma. Mama cantik sekali," celotehnya dengan tatapan kagum melihat tampilan ibunya. Senyum merekah tak lepas dari wajahku sedari tadi, karena sejak mematut diri di cermin, aku menyadari bahwa aku masih sangat cantik dan memikat.Aku masih lebih cantik ketimbang Safira yang pandai berpoles make up itu.Setelah melakukan semua pe
Tiba lah hari yang aku tunggu-tunggu. Di mana aku telah mempersiapkan kejutan istimewa untuk Safira dan juga Mas Gandhi. Aku akan menjadikan kejutan manis ini sebagai hadiah spesial di hari bahagia mereka. Mereka tak akan bisa melupakan momen itu sampai kapan pun. Bahkan kejutan ini akan menjadi mimpi buruk di setiap malam keduanya."Belajar yang benar ya, Sayang. Mama sudah penuhi janji untuk merayakan ulang tahunmu bersama teman-teman. Jadi, kamu gak boleh bikin Mama kecewa!" ujarku pada Melisa di sela acara sarapan kami.Anak gadisku itu tersenyum riang dan mengangguk mengiyakan. Melisa terlihat sangat bahagia hari ini. Selain karena pesta ulang tahunnya yang berjalan sempurna, juga karena ia tahu bahwa papanya akan pulang dari luar kota besok. Akan tetapi, sebelum Mas Gandhi menginjakkan kaki di rumah ini. Aku akan lebih dahulu mengejutkannya sehingga kakinya itu akan merasa berat untuk datang ke rumah yang sudah ia tinggalkan selama sepekan ini. Biar saja ia tak kembali ke sini
Aku dan Bu Elfita menoleh menuju sumber suara. Kakiku sedikit berjengit saat mengetahui siapa lelaki yang memanggilku dengan begitu akrab. Senyuman manis ia tunjukkan pada kami berdua.Ia adalah Rozi. Lelaki itu tersenyum sambil mendekatiku yang masih berusaha menekan irama jantung yang tidak beraturan sebab tidak menyangka, jika aku akan bertemu dengannya untuk yang kesekian kali.Mau apa dia ke sini? "R-Rozi ...."Pria itu mendekat sambil membuka kaca mata hitamnya."Di mana Melisa? Aku membawa sesuatu untuknya," sosor pria itu yang kemudian mengambil posisi di antara aku dan Bu Elfita.Pria itu mengangguk sopan pada wali kelas Melisa yang nampak menyoroti kami secara bergantian. Wajah tampan yang dihiasi senyuman menawan itu sempat membuat Bu Elfita salah tingkah sebentar.Ya, kurasa perempuan mana yang tidak akan terpesona dengan penampilan paripurna yang dimiliki lelaki ini. Wajahnya yang tampan dengan gesture tubuh yang menawan membuat siapa saja enggan mengalihkan pandang dari
"Aku benci Mama, aku mau ikut papa saja. Mama jahat, mama kejam!"Tubuhku merosot di depan pintu kamar putriku. Buliran kristal jatuh membasahi pipi. Tidak ada yang sanggup aku lakukan untuk saat ini, kecuali hanya memukul-mukul daun pintu, berharap agar anak itu keluar lalu meminta maaf padaku. Sakit sekali. Kata-kata Melisa barusan seperti sebuah godam yang menghantam ulu hati. Aku bisa berdiri tegar ketika Mas Gandhi menyakiti hati ini dengan pengkhianatan yang ia lakukan, tetapi hati ini tidak bisa menahan sakitnya mendapat bentakan dari darah daging yang aku besarkan.Melisa ... kenapa anak itu ikut-ikutan menyakitihatiku? Padahal ia lah satu-satunya alasan untukku kuat dan tetap bertahan. Hampir setengah bulan ia menjalani hari tanpa sosok seorang ayah, hatinya jadi membatu. Bagaimana jika selamanya? Sudah menjadi hal yang lumrah jika seorang anak perempuan lebih lengket kepada ayahnya, dan hal itu terjadi pada Melisa.Ya Tuhan, apa salahku, kenapa putri yang aku didik sejak
Selepas kepergian dua orang yang merupakan suruhan rentenir tersebut, aku masuk ke dalam rumah dan menggeledah isi lemari. Ya, aku baru sadar bahwa laci di mana berkas-berkas penting itu tersimpan sudah tidak ada di tempatnya. Terlalu sibuk mengurus anak, suami, dan rumah membuatku tak pernah memeriksa berkas dan aset yang kupunya. Rasa percaya pada suami yang terlalu besar pun membuat aku tidak memiliki rasa curiga sama sekali."Keterlaluan sekali kamu, Mas. Kau gadaikan rumah ini demi perempuan matre itu!" desisku tak habis pikir. Tak ingatkah ia bagaimana perjuangan mendapatkan rumah ini dulu? Matanya sudah benar-benar dibutakan oleh nafsu dunia. Mas Gandhi bahkan tak ingat lagi bahwa ia masih punya Melisa di sini.Pikiran yang kalut membawa langkah kaki ini menuju sebuah meja kerja yang biasa digunakan mas Gandhi untuk duduk sembari menekuri layar laptop setiap malam. Meja itu telah aku kosongkan. Di atasnya kususun beberapa majalah dan katalog milikku. Sedetik kemudian aku bar
Seusai kepergian mama, aku lantas memesan taksi sebab waktu sudah menunjukkan pukul 12.30. Aku harus segera pergi untuk menyusul Melisa di sekolahnya. Sambil menunggu taksi yang aku pesan tiba, aku pergunakan waktuku untuk mengeluarkan barang-barang Mas Gandhi yang kukemas tadi dan meletakkannya di depan pintu. Jika pria itu datang, ia bisa langsung mengambil semuanya tanpa harus menungguku kembali.Rupanya tak lama setelah itu, Mas Gandhi menghubungiku melalui panggilan video. Aku yang sudah bertekad untuk tidak ingin membicarakan apapun lagi segera memblokir kontaknya agar ia tak bisa lagi menghubungiku.Tak berselang lama, muncul pula panggilan masuk dari Kak Duma. Aku tersentak, sebab baru terpikir tentang bagaimana nasibnya setelah aku tinggal pergi dari acara baby shower Safira tadi.[Oh, jadi begitu, ya, Kak? Kasihan sekali dia, ya!] ucapku setelah Kak Duma menjelaskan apa yang terjadi seusai kepergianku.Safira mendapat banyak cemoohan dari para tamu undangan yang datang ke r
Plak, Plak!Sebagai istri yang selalu patuh, aku tak pernah berani melakukan ini sebelumnya. Sekedar memukul nyamuk di pipinya pun aku tak sanggup. Tetapi apa balasan yang ia berikan atas baktiku ini? Ia malah menghadiahi luka batin yang mungkin tak akan bisa sembuh."Shanum!" sentaknya dengan mata yang memerah. Pria itu berhasil memegangi pergelangan tanganku tetapi aku lekas menepisnya. Jijik sekali rasanya disentuh oleh pria ini lagi."Lepaskan!" Aku mendorong bahunya hingga Mas Gandhi mundur beberapa langkah ke belakang. Tak ingin menyerah begitu saja, ia berlari ke hadapanku untuk mencegah langkah kakiku. "Mau apa lagi?" hardikku. Hatiku yang panas semakin terbakar oleh tingkahnya yang terus saja menghalangi kepergianku. "Jangan pergi, Shanum. Aku akan jelaskan semuanya!" rengeknya memelas iba dariku. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, Mas. Karena semuanya sudah sangat jelas. Kau punya perempuan lain selain aku dan kau akan memiliki dua anak sebentar lagi! Jadi, urus saja istr
"S-shanum!" ucap Mas Gandhi kaget. Jarak kami tidak terlalu jauh, sehingga aku masih bisa mendengar suara Mas Gandhi dan bisa melihat bagaimana raut wajah yang pias itu.Mas Ghandi melihatku seperti melihat hantu. Bibirnya bergerak ingin mengucapkan sesuatu namun urung dilakukan karena Safira telah memotong ucapannya."Shanum? Mbak Lisya?!" Safira kaget. Ia masih mengenaliku sebagai Lisya--pemilik dekorasi yang ia pakai jasanya.Mata Safira tak bisa diam, ia menatap aku dan Mas Gandhi bergantian dengan sorot tajam penuh tanda tanya."Jadi, itu istrimu, Mas?" Safira menyentak lengan Mas Gandhi, tetapi yang ditanya hanya diam tak bersuara."Ya, Safira. Aku Alisya Shanum, pemilik sweet decoration sekaligus istri dari lelaki yang kau sebut sebagai suami," ucapku karena Mas Gandhi urung berkata apapun. Lelaki pengkhianat itu pasti masih shock berat.Aku menjelaskan dengan tatapan yang lurus pada wanita itu. Safira terperangah dengan mulut yang terbuka lebar.Sama halnya Mas Gandhi, Safira
Tiba lah hari yang aku tunggu-tunggu. Di mana aku telah mempersiapkan kejutan istimewa untuk Safira dan juga Mas Gandhi. Aku akan menjadikan kejutan manis ini sebagai hadiah spesial di hari bahagia mereka. Mereka tak akan bisa melupakan momen itu sampai kapan pun. Bahkan kejutan ini akan menjadi mimpi buruk di setiap malam keduanya."Belajar yang benar ya, Sayang. Mama sudah penuhi janji untuk merayakan ulang tahunmu bersama teman-teman. Jadi, kamu gak boleh bikin Mama kecewa!" ujarku pada Melisa di sela acara sarapan kami.Anak gadisku itu tersenyum riang dan mengangguk mengiyakan. Melisa terlihat sangat bahagia hari ini. Selain karena pesta ulang tahunnya yang berjalan sempurna, juga karena ia tahu bahwa papanya akan pulang dari luar kota besok. Akan tetapi, sebelum Mas Gandhi menginjakkan kaki di rumah ini. Aku akan lebih dahulu mengejutkannya sehingga kakinya itu akan merasa berat untuk datang ke rumah yang sudah ia tinggalkan selama sepekan ini. Biar saja ia tak kembali ke sini
"Wah ... mama cantik sekali!" puji Melisa saat memindai penampilan baruku. Aku baru selesai mengambil tiga paket perawatan sekaligus. Rambut, wajah dan badan di salon terpercaya di kota ini. Walau harus merogoh kocek yang cukup dalam. Namun usahaku ini tidak sia-sia. Aku tampil glow up dengan kulit yang lebih cerah dan bersih.Rambutku yang ikal telah mendapat perawatan keratin sehingga tampil lurus dan bersinar."Beneran?" godaku lagi pada Puteri semata wayangku. Melisa kubawa juga ke salon untuk menemaniku karena aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Anak itu menungguku di tempat bermain khusus anak yang memang disediakan oleh pihak salon."Benar, Ma. Mama cantik sekali," celotehnya dengan tatapan kagum melihat tampilan ibunya. Senyum merekah tak lepas dari wajahku sedari tadi, karena sejak mematut diri di cermin, aku menyadari bahwa aku masih sangat cantik dan memikat.Aku masih lebih cantik ketimbang Safira yang pandai berpoles make up itu.Setelah melakukan semua pe
Rumah Kedua SuamikuSetelah sedikit berbasa-basi. Akhirnya, kami pun saling memperkenalkan diri. Sesuai dugaanku. Ternyata Rozi bukan lah orang sembarangan. Dia adalah seorang direktur dari sebuah perusahaan asuransi di Jakarta dan ke sini untuk melaksanakan tugasnya, yaitu mengunjungi anak cabang dari perusahaannya untuk memeriksa kinerja para karyawan serta keuangan di sana.Apalagi ada laporan jika di beberapa anak perusahaannya mengalami ketimpangan dalam masalah keuangan.Kebetulan semalam dia memang terburu-buru. Rozi yang biasanya ke mana-mana mengendarai mobil, menjadi kaku saat harus mengendarai sepeda motor di jalanan beraspal. Tapi kali ini dia datang mengendarai mobi ditemani sang sopir.Rozi mengaku padaku bahwa dia adalah seorang duda yang ditinggal mati oleh anak dan istrinya. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama mereka sedangkan putrinya menyusul sebelas bulan setelahnya. Dan ketika melihat Melisa. Pria itu langsung teringat akan mendiang putrinya. Apa lag