Seusai kepergian mama, aku lantas memesan taksi sebab waktu sudah menunjukkan pukul 12.30. Aku harus segera pergi untuk menyusul Melisa di sekolahnya. Sambil menunggu taksi yang aku pesan tiba, aku pergunakan waktuku untuk mengeluarkan barang-barang Mas Gandhi yang kukemas tadi dan meletakkannya di depan pintu. Jika pria itu datang, ia bisa langsung mengambil semuanya tanpa harus menungguku kembali.Rupanya tak lama setelah itu, Mas Gandhi menghubungiku melalui panggilan video. Aku yang sudah bertekad untuk tidak ingin membicarakan apapun lagi segera memblokir kontaknya agar ia tak bisa lagi menghubungiku.Tak berselang lama, muncul pula panggilan masuk dari Kak Duma. Aku tersentak, sebab baru terpikir tentang bagaimana nasibnya setelah aku tinggal pergi dari acara baby shower Safira tadi.[Oh, jadi begitu, ya, Kak? Kasihan sekali dia, ya!] ucapku setelah Kak Duma menjelaskan apa yang terjadi seusai kepergianku.Safira mendapat banyak cemoohan dari para tamu undangan yang datang ke r
Selepas kepergian dua orang yang merupakan suruhan rentenir tersebut, aku masuk ke dalam rumah dan menggeledah isi lemari. Ya, aku baru sadar bahwa laci di mana berkas-berkas penting itu tersimpan sudah tidak ada di tempatnya. Terlalu sibuk mengurus anak, suami, dan rumah membuatku tak pernah memeriksa berkas dan aset yang kupunya. Rasa percaya pada suami yang terlalu besar pun membuat aku tidak memiliki rasa curiga sama sekali."Keterlaluan sekali kamu, Mas. Kau gadaikan rumah ini demi perempuan matre itu!" desisku tak habis pikir. Tak ingatkah ia bagaimana perjuangan mendapatkan rumah ini dulu? Matanya sudah benar-benar dibutakan oleh nafsu dunia. Mas Gandhi bahkan tak ingat lagi bahwa ia masih punya Melisa di sini.Pikiran yang kalut membawa langkah kaki ini menuju sebuah meja kerja yang biasa digunakan mas Gandhi untuk duduk sembari menekuri layar laptop setiap malam. Meja itu telah aku kosongkan. Di atasnya kususun beberapa majalah dan katalog milikku. Sedetik kemudian aku bar
"Aku benci Mama, aku mau ikut papa saja. Mama jahat, mama kejam!"Tubuhku merosot di depan pintu kamar putriku. Buliran kristal jatuh membasahi pipi. Tidak ada yang sanggup aku lakukan untuk saat ini, kecuali hanya memukul-mukul daun pintu, berharap agar anak itu keluar lalu meminta maaf padaku. Sakit sekali. Kata-kata Melisa barusan seperti sebuah godam yang menghantam ulu hati. Aku bisa berdiri tegar ketika Mas Gandhi menyakiti hati ini dengan pengkhianatan yang ia lakukan, tetapi hati ini tidak bisa menahan sakitnya mendapat bentakan dari darah daging yang aku besarkan.Melisa ... kenapa anak itu ikut-ikutan menyakitihatiku? Padahal ia lah satu-satunya alasan untukku kuat dan tetap bertahan. Hampir setengah bulan ia menjalani hari tanpa sosok seorang ayah, hatinya jadi membatu. Bagaimana jika selamanya? Sudah menjadi hal yang lumrah jika seorang anak perempuan lebih lengket kepada ayahnya, dan hal itu terjadi pada Melisa.Ya Tuhan, apa salahku, kenapa putri yang aku didik sejak
Aku dan Bu Elfita menoleh menuju sumber suara. Kakiku sedikit berjengit saat mengetahui siapa lelaki yang memanggilku dengan begitu akrab. Senyuman manis ia tunjukkan pada kami berdua.Ia adalah Rozi. Lelaki itu tersenyum sambil mendekatiku yang masih berusaha menekan irama jantung yang tidak beraturan sebab tidak menyangka, jika aku akan bertemu dengannya untuk yang kesekian kali.Mau apa dia ke sini? "R-Rozi ...."Pria itu mendekat sambil membuka kaca mata hitamnya."Di mana Melisa? Aku membawa sesuatu untuknya," sosor pria itu yang kemudian mengambil posisi di antara aku dan Bu Elfita.Pria itu mengangguk sopan pada wali kelas Melisa yang nampak menyoroti kami secara bergantian. Wajah tampan yang dihiasi senyuman menawan itu sempat membuat Bu Elfita salah tingkah sebentar.Ya, kurasa perempuan mana yang tidak akan terpesona dengan penampilan paripurna yang dimiliki lelaki ini. Wajahnya yang tampan dengan gesture tubuh yang menawan membuat siapa saja enggan mengalihkan pandang dari
Rumah Kedua Suamiku[Lihat ini, bagus sekali kan? Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu, Shanum?]"Pesan dari Eva, calon istri dari teman sekantor suamiku sekaligus sahabatku di waktu SMA dulu. Ia memperlihatkan sebuah Bros motif pintu Aceh berwarna gold, manis sekali.Dahiku mengernyit untuk beberapa saat, bukan karena memandangi keindahan Bros itu. Tapi memikirkan tentang sejak kapan Irfan--tunangan Eva sudah kembali ke Medan sementara suamiku sama sekali belum pulang. Sepanjang ingatanku, Mas Gandhi dan Irfan memang diutus ke Aceh untuk menjadi perwakilan bagi kantor mereka selama seminggu. Namun baru tiga hari di sana, kenapa Eva sudah mendapatkan oleh-oleh?[Wah bagus sekali. Memangnya Irfan sudah pulang?] balasku untuk memastikan dugaanku.[Sudah. Dia sudah tiba sejak pagi dan sekarang sedang di rumahku mengantarkan oleh-oleh untuk kami sekeluarga. Kamu dapat oleh-oleh apa dari suamimu? Suami kamu sudah di rumah 'kan?]Aku tidak lagi membalas pesan dari Eva sebab tiba-tiba hati
"Ini siapa?" tanyaku sembari menunjuk poto berukuran paling besar dan mencolok di antara yang lainnya. Aku berusaha untuk berpikir positif mungkin kebetulan saja wajah pria di poto itu memang memiliki paras yang sama dengan suamiku.Aku sadar telah melemparkan sebuah pertanyaan konyol, sebab semua orang tentu dapat menebak jika laki-laki yang mengenakan jas hitam di samping Safira itu adalah suaminya. Apalagi mereka sedang mengenakan pakaian khas pengantin. Namun jiwa penasaran ku terus meronta-ronta untuk mempertegas dugaanku bahwa pria itu bukan lah Mas Gandhi.Aku pernah dengar nenekku bilang bahwa di dunia ini ada tujuh orang yang memiliki wajah serupa, dan mungkin pria ini adalah salah satu dari enam manusia yang memiliki wajah sama dengan Mas Gandhi."Suamiku, dong, Mbak. Masa' suami Mbak Lisya," celotehnya tertawa geli. Mungkin baginya ini lucu namun bagiku ini seperti petaka.Wajah, tubuh dan gaya lelaki itu persis sekali dengan Mas Gandhi. Dan aku harap, pertanyaan terakhir i
"Iya, maksud saya Mbak sudah pernah ketemu dengan mantan istrinya itu?" ucapku ketus. Jika kuturuti nafsuku saat ini, aku ingin sekali menjambak rambut dan mencakar wajah wanita bernama Safira ini. Dia telah lancang merebut suamiku dan merampas semua yang seharusnya menjadi milikku. Rumah, mobil dan fasilitas ini seharusnya menjadi milikku, bukan dia."Oh, belum sih, Mbak!" ucapnya sembari nyengir kuda. Tangan kanannya memainkan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai begitu saja.Dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat betapa mulusnya kulit gundik Mas Gandhi ini. Bersih, putih tak bernoda. Kukunya juga sangat terawat dan indah, menandakan bahwa ia tidak pernah sama sekali menyentuh deterjen apalagi meremas kain pel. Sangat berbeda denganku yang setiap hari harus bergelut dengan semua pekerjaan rumah tangga yang seakan tidak ada habisnya. Sungguh Mas Gandhi telah memberi fasilitas yang spesial untuk wanita ini. Salon dan juga ART. Entah berapa duit yang ia habiskan setiap bulan
Wanita itu mendengkus, ia terlihat menghela napas panjang sambil memikirkan sesuatu."Sebentar, ya, Mbak. Saya telepon suami dulu," ucapnya setelah sekian lama berpikir dalam kebisuan."Oh, iya!" Aku tersentak karena sedari tadi terus berusaha memikirkan cara-cara apa untuk membalas mereka berdua.Wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku dress yang ia kenakan. Lalu menghubungi lelaki yang sampai saat ini masih berstatus suamiku juga.Dasar pelakor! Modal merampas jatah milik orang dan mau segala macam yang wah. Memangnya dia pikir seberapa banyak uang Mas Gandhi itu sehingga bisa seenaknya saja minta ini itu pada suami orang. Nikmati saja hari-harimu itu sampai kau tahu siapa sebenarnya Mas Gandhi."Halo, Sayang! Ada apa telepon? Mas sedang meeting di kantor!" Suara pengkhianat itu terdengar dari ponsel yang dipegang Safira.Aku harus terus menguatkan hatiku karena pemandangan yang terjadi saat ini begitu menyakitkan. Safira dan Mas Gandhi saling menyapa dengan panggilan mesra. Rupan