“Oh, jadi itu awal mulanya. Ah, itukan cuma suara saja, Kak. Bisa jadi, itu beneran tikus seperti kata om Farhan. Iya kan, Om?” tanya Gina pada ayahku.
Ayah hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Gina sambil meminum secangkir kopi.
“Ih, itukan baru permulaan, Gin! Masih ada cerita selanjutnya yang lebih aneh. Lagi pula, mana ada suara tikus berlari dengan suara sekeras itu. Aku bahkan ingat sekali sampai sekarang jelasnya suara itu,” jelasku pada Gina.
“Terus, kelanjutannya bagaimana?”
“Lebih baik, makan baksonya dulu Neng Gina, Neng Dara …. Keburu dingin, nanti kan bisa lanjut cerita lagi,” ucap mas Bejo memotong pembicaraan kami.
“Benar juga kata Mas Bejo. Eh, tapi penasaran deh. Kita sambil cerita-cerita aja, ya. Waktu Mas sering berjualan keliling komplek, pas lewat rumah kakek pernah mengalami sesuatu atau kejadian aneh nggak?” tanyaku penasaran.
“Yaa …. Kalau dulu sih pernah, terutama pasca almarhum Pak Sutrisno sudah ndak adaada dan neng Dara sudah ndak tinggal di sana, setiap kali lewat situ sering terdengar lagu-lagu sunda. Suaranya kecil tapi jelas terdengar kalau sumbernya dari dalam rumah,” cerita mas Bejo dengan logat Jawa nya yang khas.
“Wah, serius Mas?!” tanya Gina kaget.
“Iya, dan itu sudah menjadi rahasia umum. Kalau tetangga-tetangga area situ sih, sudah pada tau, Neng.”
Ucapan mas Bejo mungkin benar adanya. Karena, aku sempat mendengar cerita dari beberapa tetangga, kalau mereka juga sering mendengar alunan lagu Sunda dari dalam rumah kakek.
Bagaimana dengan pak Darman? Saat itu, rumahnya masih dalam tahap pembangunan. Namun, ada hal yang cukup mengherankan yaitu, rumahnya tak kunjung rampung dan memakan waktu yang sangat lama untuk di bangun. Entah apa yang salah, tapi beberapa orang beranggapan kalau posisi rumah tusuk satelah yang memberi aura negatif dan menghambat pembangunan rumah pak Darman.
“Saat itu Mamang ingat sekali. Sepulang kuliah, Mamang berjalan kaki dari gerbang komplek menuju rumah. Karena tampak depan rumah sudah bisa terlihat dari ujung jalan, dari kejauhan Mamang melihat seseorang sedang berdiri dari dalam rumah di depan jendela dengan tangan kanannya yang diletakkan di kaca, entah siapa tidak tau orangnya. Yang terlihat jelas hanyalah, ia seorang perempuan. Rambutnya menjuntai sepinggang, pandangan dan postur tubuhnya lurus seperti sedang menunggu Mamang pulang ke rumah,” sela mang Danu ikut bercerita.
Kami semua terdiam. Aku cukup merinding mendengar hal itu karena ini pertama kalinya mendengar mang Danu bercerita tentang pengalamanya. Kami memang jarang bertemu di hari-hari biasa karena sekarang ia sudah bekerja di luar kota.
“Jadi, itu alasan Mamang tidak pernah pulang?”
“Iya, itu alasannya. Sebenarnya, Mamang tidak tega pada kamu Dara, Tasya dan juga Robi. Namun, jujur saja saat itu Mamang takut juga. Karena tau kalau perempuan itu bukanlah salah satu dari kalian. Ah, pokoknya mah, ngeri kalau diingat-ingat.”
“Hiiii, seram juga, ya. Tapi aku penasaran deh siapa wanita itu,” tutur Gina.
“Lalu, setelah Mang Danu memutuskan untuk tidak pulang, kemana Mamang pergi?” tanyaku lagi.
“Ke rumah teman di blok bawah, itu si Fajar. Mamang sering menginap di sana kalau lagi malas pulang ke rumah.”
“Oh, iya-iya, aku ingat. Om Fajar pernah telpon ke rumah dan menanyakan mengenai kabar kami. Dia bilang kalau ada apa-apa, segera meminta pertolongan pada tetangga. Kedengarannya ia cukup khawatir saat itu, karena seperti biasa aku hanya bertiga dengan Tasya dan Robi. Ayah dan Ibu belum pulang. Lalu dengan santainya Mamang menginap di rumah om Fajar??”
“Iya, hahahahha. Dia khawatir pisan mikirin kalian, Mamang juga sih, hanya saja Mamang yakin kalian bisa survive! Haha.”
“Wah gila sih, jahat banget loh Mang Danu. Kasian tau Kak Dara ih! Parahh!” gerutu Gina ikut kesal.
Ternyata, hal itulah yang menyebabkan mang Danu jarang pulang. Walaupun memang setiap hari aku selalu menantinya dan berharap menjaga kami di rumah, namun kalau mengalami hal seseram itu, aku pun akan berpikir dua kali untuk pulang ke rumah.
“Jadi …. Kira-kira siapakah wanita itu??!” celetuk mas Bejo.
“Hanya Tuhan yang tau, Mas. Hahaha .…” jawab mang Danu.
Siapa wanita itu? Apa yang ia lakukan di rumah itu saat aku dan keluargaku berada di dalamnya? Begitu pula dengan lagu-lagu sunda tadi. Memang, semasa hidup setiap pagi Kakek selalu memutarkan lagu khas sunda dan itu menjadi rutinitas setiap pagi. Tapi kan, Kakek sudah nggak ada? Lalu siapa yang memutarkan lagu-lagu itu?
“Sudah, jangan cerita hantu-hantu terus. Anak muda jaman sekarang sukanya horor melulu,” ucap om Agung meledek kami.
Walaupun takut, aku sangat tertarik sekali mendengar cerita lainnya yang dialami oleh mang Danu. Masih banyak hal yang belum aku ceritakan karena aku masih ragu, apakah itu memang berhubungan dengan hal mistis atau hanya sugesti saja.
“Ih! Om Agung diam deh, yang tua sama yang tua saja, kita yang muda lagi asik cerita-cerita, nih! Lanjut dong Kak Dara, seru nih,” hardik Gina.
“Lalu, apakah Ayah dan Ibu tidak pernah melihat sosok itu selama kalian tinggal di sana?” tanyaku.
“Kalau kami, jelas banyak sekali pengalaman misterius dan aneh juga. Tapi, kami tidak bisa cerita banyak saat itu karena kalau kami takut, kalian pun anak-anak pasti akan takut juga.”
“Iya, benar apa kata Ibu. Kami tidak punya pilihan, karena kita tinggal dirumah itu ya… kita harus menguatkan diri atas apa pun yang terjadi,” jawab Ayah bantu menjelaskan.
“Memang sih, Om juga pernah mendengar sesuatu di sana, terutama di area paviliun yang tepat bersebelahan dengan sumur di ujung rumah. Inget teu, Dara?” tanya om Agung padaku.
“Inget banget! Itu salah satu area yang sangat aku takuti. Karena, walaupun sumur itu ditutup dengan papan kayu, namun dinding ruanganya terdapat ukiran berbentuk harimau berwarna kuning. Aku ingat sekali dan tak mau sekali pun masuk ke dalam ruangan itu,” jawabku seraya menggelengkan kepala.
“Emangna, ngadenge sora naon, Gung?” tanya Ayahku ikut penasaran.
“Tak lain dan tak bukan, suara geraman. Siga kieu: Hmmmm, jelas pisan di telinga. Yakin eta mah nggak salah dengar. Mungkin, ada siluman maung di situ. Hahaha, hereuy ketang. Jangan terlalu serius atuh!”
“Hah?? Siluman? Yang benar saja, Om! Jangan bercanda, dong.” Ucap Gina protes dengan kerutan didahinya.
“Eh tapi, kalau suara geraman itu benar. Nah, kalau soal siluman, ngga tau tah. Cuma asal denger aja.”
Kami terdiam dan saling menatap satu sama lain. Tiba-tiba suasana di warung bakso mas Bejo menjadi hening seketika. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang dan berencana menginap di rumah tante Eva karena masih dalam suasana liburan bersama keluarga, cerita pun akan kulanjutkan pada Gina sesampainya disana. Namun, ada yang masih mengganjal dalam hatiku,
‘Mungkinkah benar-benar ada siluman di rumah itu?’
Hari yang dinanti pun tiba. Kami memanfaatkan hari libur ini dengan membersihkan rumah bersama. Aku mendapat bagian membersihkan area ruang tamu. “Dara, kamu sapu dan pel bagian ini, ya? Cukup sampai ruang tamu saja, ruang tengah biar jadi bagian Tasya supaya dia bisa belajar beres-beres rumah.” “Siap, Bu!” sahutku. Aku menyapu semua sudut ruangan serta kolong meja dan kursi. Banyak sekali debu yang sudah menggumpal di sana. Ketika aku tarik sapu dari kolong kursi, aku melihat sesuatu yang cukup aneh. Seperti plastik namun rapuh, warnanya transparan dan sedikit kekuningan dengan bentuk yang panjang walaupun sudah ada beberapa bagian yang koyak karena sudah terbalut debu. “Tasyaaa! Kalau jajan, buang sampah ke tempatnya dong! Jangan di taruh di mana saja, ini ada bekas makananmu di kolong kursi!” teriakku kesal. “Iya, Kak. Maaf, tapi aku nggak buang sampah ke situ kok, Kak.” Tasya tertunduk menghampiriku. “Lalu, ini apa?! Duh, sudahlah.
“Jahat banget, ih Kak Dara! Aku inget banget kejadian itu, Kakak malah tidur lagi, jadinya terpaksa aku tidur padahal haus banget,” keluh Tasya ketus. “Hahahaha, habisnya aku juga takut, Tas. Menurut kamu, Kakak berani? Hahaha,” jawabku sambil tertawa geli. “Kalau kamu, Robi. Masih inget nggak sama kejadian kamu ngamuk-ngamuk itu?” tanya Gina pada Robi. “Engga, Kak.” “Pasti lah Robi nggak bakalan inget, dia kan masih kecil. Aku juga sama, masih anak-anak. Jadi sama takutnya saat itu,” ucapku memperjelas. “Terus, apa sekarang Kakak tau penyebab semua kejadian misterius di rumah itu?” “Nggak tau, sih. Sekilas, emang pernah dengar penyebabnya dari opini orang-orang, tapi masih simpang siur.” “Kayaknya seru kalau kita mecahin misteri ini, kaya di film-film gitu, hehe,” ujar Gina terlihat antusias. “Ada ada aja kamu, Gin. Tapi, kamu harus denger dulu semua cerita dari berbagai sumber tentang rumah itu, baru kita nyimpulin se
“Perkenalkan ini Teh Nining, dia yang akan menjaga kalian selama ibu dan ayah bekerja. Jangan pada nakal, ya?!” Perempuan itu tersenyum manis pada kami. Ia terlihat masih muda, umurnya sekitar dua puluh sampai dua puluh tiga tahunan. Ia mengenakan kaos polos dan celana kain, dengan rambut panjang setengah punggung yang diikat kepang. Kami mengobrol banyak dengan teh Nining. Sejauh ini, ia terlihat baik dan ramah. Kalau dilihat dari raut wajahnya, untuk kesan pertama melihat kondisi kami dan keadaan rumah ini, ia cukup nyaman tanpa ada ekspresi ketidaksukaan. “Ning, kamar kamu di sini, ya. Kamu tidak harus memasak, kamu hanya fokus untuk menjaga anak-anak saja dan boleh juga kalau kamu mau sedikit membersihkan rumah,” perintah ibu. “Muhun, Bu.” Ibu menempatkan teh Nining di kamar paviliun yang bersebelahan dengan ruangan sumur Sebenarnya, itu bukanlah kamar. Hanya saja, ruanganya cukup luas dan bisa untuk difungsikan sebagai kamar tidur.
“Seperti apa wajahnya, Nak?! Jelaskan pada Ibu!” “Yang Tasya ingat, semula wajahnya seperti Teh Nining. Namun, saat sampai di atas, wajahnya berubah menjadi hi-hi-hitam dan ma-tanya merah menyala ….” Di saat Tasya menjelaskan sosok menyeramkan itu, tiba-tiba tubuhnya terkelulai lemas dan ia tak sadarkan diri. Kami semua panik, ibu segera menelepon ayah. Badan Tasya menjadi panas dan suhunya mencapai tiga puluh sembilan derajat celcius dan masih dalam keadaan pingsan. Kami masih menunggu kehadiran ayah yang tak kunjung datang. Ibu memutuskan untuk tidak memberitahu atau meminta tolong pada siapa pun karna akhir-akhir ini ia merasa sudah banyak merepotkan banyak orang. Malam itu suasana benar-benar mencekam, aku menahan tangis karena takut melihat kondisi adikku yang seperti ini. Syukurlah beberapa saat kemudian, perlahan Tasya mulai membuka matanya, gelisah yang menghampiri kami setidaknya berkurang sedikit saat ini. “Bu, to-tolong usir dia, Bu
Mang Danu dan ayah sudah pergi sejak tadi pagi entah kemana. Setelah tadi malam keduanya berdebat dan dilerai oleh kang Duloh, akhirnya mereka berdamai dengan sebuah kesepakatan. Kami yang masih trauma karena kejadian semalam, memutuskan untuk menginap di rumah salah satu tetangga yaitu, rumah bu Popon. “Percaya ka Danu, A Farhan. Danu siga kieu sanes dihaja. Insya Allah solusi ieu berhasil. ” Sedikitnya, itulah pembicaraan yang terdengar antara ayah dan pamanku itu. Untung saja, kondisi Tasya sudah lumayan membaik walaupun ia sempat mengigau tak jelas saat tidur. “Neng Dara, Tasya, Robi kalau ada apa-apa bilang sama Ibu dan tidur di sini, jangan sungkan,” ajak bu Popon pada kami. “I-iya, Bu. Dara nggak berani cerita karena takut merepotkan. Lagi pula sekarang udah ada teh Nining yang menjaga kami.” “Ah, siga ka saha wae atuh, Neng. Kalian kan sudah lama di sini. Terutama, Ibu juga kenal baik dengan almarhum Pak Sutrisno. Kalian sudah Ib
“Selamat malam para pendengar setia Radio Gordan FM, kembali lagi dengan saya, Rizki Alamsyah dalam siaran ‘Cerita Misteri' . Pada malam jum'at kali ini, cerita akan berasal dari salah satu rumah di daerah Bandung Timur. Bersama kami, telah hadir Bapak Farhan selaku pemilik rumah dan juga Pak Haji Asep sebagai tetangga sekaligus saksi dari beberapa kejadian misteri di rumah ini. “ Suara sang penyiar yang cukup familiar di telingaku terdengar lebih bagus saat mendengarkannya langsung. Sebenarnya, sesekali aku pernah mendengar siaran ini bersama mang Danu tetapi tak pernah selesai karena takut. Aku tak menyangka kalau saat ini rumahku sendirilah yang akan diangkat ceritanya. “Bu, aku kaya lihat teh Nining di luar,” bisikku pada ibu di sebelahku. “Mungkin kamu salah lihat, Nak. Ibu sudah sms bu Popon untuk menjaga adik-adikmu. Kamu jangan berisik, ya? Banyak berdoa saat siaran berlangsung,” tegas ibu. Setengah jam berlalu ayah sudah menceritakan semua ke
“Akhirnya, ketemu juga jimat sialan ini!” racau ayah yang suaranya terdengar olehku. “Eh, tong asal ngomong, Farhan! Pamali!” tegur pak Asep. Aku paham mengapa ayah sangat kesal sekaligus senang saat menemukan jimat itu. Aku pun tak menyangka jika teh Nining ada hubungannya dengan semua ini. Seseorang yang ku anggap sebagai malaikat penjaga, ternyata menyimpan keburukan di baliknya. Setidaknya, itulah yang ada dalam benakku pada wanita yang menjaga aku dan kedua adikku itu. “Baiklah. Sekarang, kita hanya perlu bicara pada Nining. Ia pasti lebih tau tentang jimat ini. Bu Ambar, bisa tolong panggilkan Nining ke sini?” papar kyai Usman. “Ba-baik, Kyai. Dara, kamu tunggu di sini sebentar sama Mang Danu, ya? Ibu jemput teh Nining sebentar,” ucap ibu pada kyai Usman beriringan dengan bicara padaku. “Oh ya, Pak Farhan. Para kru akan pulang duluan, saya di sini ditemani oleh Rizki saja, dia membawa kamera pribadi untuk dokumentasi bilamana nantinya di
“Solusi Danu semalam nggak ada gunanya, kan? Nining pergi, tapi kita tetap seperti ini dan sudah jelas kalau akar semua ini bukan hanya dari Nining saja! Mau sampai kapan kita begini, Yah?! Kasihan anak-anak! ” Suara bising membangunkanku pagi ini. Aku pergi mengintip dari sela-sela pintu kamar untuk melihat keadaan. Dan benar saja, yang kudengar tadi adalah suara ibu yang kini sedang berdebat dengan ayah. Ibu duduk di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, ayah mondar-mandir terlihat kebingungan sambil sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. “Kyai Usman dan Pak Asep hanya menyarankan kita untuk pengajian dulu. Kegiatan itu tidak butuh banyak pengeluaran, yang penting niatnya saja. Insya Allah keadaan kita akan segera membaik,” jelas ayah menenangkan. “Niat sih niat, Yah. Tapi, nggak mungkin juga kalau kita mengadakan penganian tanpa konsumsi. Sedangkan saat ini kita nggak punya uang sama sekali,” gumam ibu kesal. “Setidaknya, Ayah bisa pi
Saat ini, aku memutuskan untuk menambah list tentang hal-yang paling kubenci di dunia ini yaitu, lampu sensor. Benci, sangat benci, di rumah ini hanya ada aku, mang Danu dan Gina saja. Om Agung sedangberada di rumah temannya yang berbeda blok dari sini. Lalu, mengapa lampu sensor di lorong itu masih menyala hingga kini?! ‘Bodo Amat!’ dalam benakku saat itu. Aku memalingkan wajah dan tak mau lagi menoleh ke belakang walaupun sangat ingin. Saat sedang asik-asiknya menonton tv dan sesekali berbincang dengan yang lain. Sesuatu mengalihkan perhatian kami secara bersamaan. Bruk …. Klontang …. Pranggg …. Kami bertiga saling melempar pandang dalam diam. Suara itu …. Seperrti ada seseorang yang melakukan aktifitas di dapur. “Saha eta, Dar?” tanya mang Danu. “Nggak tau, Mang. Jangan nanya ke aku lah, kita the di sini kan Cuma bertiga. Jadi degdegan gini,” jawabku resah seakan tau ada sesuatu yang tak beres berkaca dari kejadian lampu tad
Malam itu, Gina bercerita padaku kalau sebenarnya ia mendengar percakapan antara aku dan paman Danu. Hanya saja, Gina tak terlalu merasa takut akan hal itu. Memang, waktu kecil Gina dikenal sebagai anak yang penakut dan hampir tidak pernah mau menginap di rumah kakek saat acara keluarga besar, terkecuali orang tuanya, yaitu Tante Eva ikut menginap juga."Akan kubuktikan kalau aku tak sepenakut dulu! Hahaha." ucapnya padaku.Keesokan harinya, Paman agung dan istrinya sudah pergi pagi-pagi meninggalkan rumah karena suatu urusan. Agenda kami bertiga hari ini adalah menanyakan beberapa hal mengenai perkembangan rumah ini setelah aku dan keluarga tak lagi tinggal disana. Ditambah dengan Pak Haji Asep yang kini telah tiada, kami berencana akan silaturahmi pada keluarga beliau."Mulai dari siapa dulu, Paman?" tanya Gina."Sebaiknya, rumah Bu Popon. Terakhir kemarin kita datang kesini, beliau sedang diluar kota. Kebetulan tadi paman li
“Hoaam …. Nggak kerasa udah mau subuh aja. Soalnya, cerita Kak Dara nggak seru, sih,” ucap Gina yang nampaknya mulai mengantuk. “Tidur, yuk? Aku juga udah ngantuk, nih. Kapan-kapan lanjut lagi, oke?” jawabku. “Lah, Emangnya, masih ada cerita lain, Kak?” “Kalau berdasarkan pengalaman aku dulu ya cuma itu aja, sih. Cuma, kalau mau tau cerita dengan versi lain, bisa tanya Mang Danu gitu.” Kami semua akhirnya tertidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Tiga jam bercerita tanpa henti membuat mulutku seakan berbusa. Sebenarnya, ada satu hal yang belum aku ceritakan pada Gina karena alasan takut di bilangnya kepedean. Cerita itu adalah, sedikitnya mungkin aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hingga saat ini. “Pagi semua! Bangun, bangun euy, bangun! Yang merasa cucu kakek Soetrisno berkumpul di sini,” seru mang Danu dengan membawa kertas dan pulpen di tangannya. “Aya naon, Mang Danu?” tanya Gina heran. “Tadi malem, mang
Waktu menunjukkan pukul 5:00 pagi, aku tak melihat ayah dirumah. Ibu bilang ia sudah menuju rumah Kakek untuk beres beres disana. “Dara, nanti pulang sekolah ibu jemput, ya? Biar kita bisa bantu ayah membereskan rumah Kakek,” ujar ibu padaku. “Loh, bukannya kata Mang Danu, yang mau liat rumah itu pagi-pagi, Bu?” tanyaku. “Nggak jadi. Katanya, dia datang jam satu siang, Dar,” jawab ibu. ‘Yeay!’ ucapku dalam hati kegirangan. Karena aku penasaran siapa sih artis yang akan datang itu? Aku berharap, ia tertarik untuk membeli rumah Kakek.Karena sangat senang, aku memberi tau pada teman-teman sekolahku tentang kabar ini. Mereka yang sama antusiasnya denganku, terus bertanya-tanya siapakah artis itu. “Beneran, Dara? Rumah aku kan deket sama rumahmu, nanti aku mampir, ah. Pengen foto bareng sama artis,” celetuk Yuni teman sebangkuku. Waktu berlalu akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Jam menunjukkan saatnya pulang dan aku langsung bergegas
Tak terasa, sudah satu minggu kami menempati kontrakan mungil ini. Saking nyamannya dengan suasana baru, kami hampir lupa mengecek bagaimana keadaan rumah kakek sekarang. “Dara, pulang sekolah nanti, kamu ikut ayah ke rumah kakek, ya? Sekalian bawa panci yang ibu bilang kemarin. Lagian ibu ini ada-ada aja, kok bisa sih panci itu ketinggalan?!” canda ayah geleng-geleng kepala. “Siap, Yah. Sekalian aku juga mau bawa baju tidurku yang ketinggalan di jemuran, hehe.” Saat jam pulang sekolah tiba, ayah sudah menungguku di gerbang. Ia melambaikan tangannya kepadaku dan aku langsung berlari ke arahnya stepat saat bel sekolah berbunyi. Kami berjalan kaki menuju rumah kakek. Dari ujung jalan, tampak depan rumah kakek sudah mulai terlihat. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari rumah itu. Apa mungkin aku salah lihat? “Bentar-bentar. Kok , itu ….” Langkah ayah terhenti. Sepertinya, ia melihat sesuatu yang janggal sama sepertiku tadi. “Yy-Yah, kok ….
“Ya Allah, Tasya! Kok kamu bisa di sini, sih?!” seru ibu terkejut. Alih-alih mencari Tasya di tempat lain, kami justru menemukannya tertidur di salah satu anak tangga yang menuju lantai dua rumah ini. Padahal, aku, ayah dan ibu sempat mondar mandir melewati tangga itu tapi tak mengira kalau Tasya akan berada di sana karena kita semua tau, area itu selalu gelap. Mendengar ibu berteriak cukup keras dan ayah yang segera menggendongnya ke kamar, tentunya Tasya terbangun sdengan tatapan bingung melihat kami yang panik. “A-ada apa, Bu? “ tanyanya polos sambil masih memegang erat boneka kesayangannya. “Ngapain sih kamu tidur di tangga?” ucapku mendahului bertanya. “Ng-nggak tau, Kak. Emangnya, kenapa? Dari tadi aku tidur di kamar, kok,” jawab Tasya yakin. “Kalau dia mengigau, dia pasti akan jatuh saat menaiki tangga. Lagi pula, Tasya kan nggak berani ke atas sendirian,” ujar ayah. “Lalu, bagaimana Tasya bisa tiba-tiba tidur di tangga?
“Solusi Danu semalam nggak ada gunanya, kan? Nining pergi, tapi kita tetap seperti ini dan sudah jelas kalau akar semua ini bukan hanya dari Nining saja! Mau sampai kapan kita begini, Yah?! Kasihan anak-anak! ” Suara bising membangunkanku pagi ini. Aku pergi mengintip dari sela-sela pintu kamar untuk melihat keadaan. Dan benar saja, yang kudengar tadi adalah suara ibu yang kini sedang berdebat dengan ayah. Ibu duduk di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, ayah mondar-mandir terlihat kebingungan sambil sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. “Kyai Usman dan Pak Asep hanya menyarankan kita untuk pengajian dulu. Kegiatan itu tidak butuh banyak pengeluaran, yang penting niatnya saja. Insya Allah keadaan kita akan segera membaik,” jelas ayah menenangkan. “Niat sih niat, Yah. Tapi, nggak mungkin juga kalau kita mengadakan penganian tanpa konsumsi. Sedangkan saat ini kita nggak punya uang sama sekali,” gumam ibu kesal. “Setidaknya, Ayah bisa pi
“Akhirnya, ketemu juga jimat sialan ini!” racau ayah yang suaranya terdengar olehku. “Eh, tong asal ngomong, Farhan! Pamali!” tegur pak Asep. Aku paham mengapa ayah sangat kesal sekaligus senang saat menemukan jimat itu. Aku pun tak menyangka jika teh Nining ada hubungannya dengan semua ini. Seseorang yang ku anggap sebagai malaikat penjaga, ternyata menyimpan keburukan di baliknya. Setidaknya, itulah yang ada dalam benakku pada wanita yang menjaga aku dan kedua adikku itu. “Baiklah. Sekarang, kita hanya perlu bicara pada Nining. Ia pasti lebih tau tentang jimat ini. Bu Ambar, bisa tolong panggilkan Nining ke sini?” papar kyai Usman. “Ba-baik, Kyai. Dara, kamu tunggu di sini sebentar sama Mang Danu, ya? Ibu jemput teh Nining sebentar,” ucap ibu pada kyai Usman beriringan dengan bicara padaku. “Oh ya, Pak Farhan. Para kru akan pulang duluan, saya di sini ditemani oleh Rizki saja, dia membawa kamera pribadi untuk dokumentasi bilamana nantinya di
“Selamat malam para pendengar setia Radio Gordan FM, kembali lagi dengan saya, Rizki Alamsyah dalam siaran ‘Cerita Misteri' . Pada malam jum'at kali ini, cerita akan berasal dari salah satu rumah di daerah Bandung Timur. Bersama kami, telah hadir Bapak Farhan selaku pemilik rumah dan juga Pak Haji Asep sebagai tetangga sekaligus saksi dari beberapa kejadian misteri di rumah ini. “ Suara sang penyiar yang cukup familiar di telingaku terdengar lebih bagus saat mendengarkannya langsung. Sebenarnya, sesekali aku pernah mendengar siaran ini bersama mang Danu tetapi tak pernah selesai karena takut. Aku tak menyangka kalau saat ini rumahku sendirilah yang akan diangkat ceritanya. “Bu, aku kaya lihat teh Nining di luar,” bisikku pada ibu di sebelahku. “Mungkin kamu salah lihat, Nak. Ibu sudah sms bu Popon untuk menjaga adik-adikmu. Kamu jangan berisik, ya? Banyak berdoa saat siaran berlangsung,” tegas ibu. Setengah jam berlalu ayah sudah menceritakan semua ke