“Selamat malam para pendengar setia Radio Gordan FM, kembali lagi dengan saya, Rizki Alamsyah dalam siaran ‘Cerita Misteri' . Pada malam jum'at kali ini, cerita akan berasal dari salah satu rumah di daerah Bandung Timur. Bersama kami, telah hadir Bapak Farhan selaku pemilik rumah dan juga Pak Haji Asep sebagai tetangga sekaligus saksi dari beberapa kejadian misteri di rumah ini. “
Suara sang penyiar yang cukup familiar di telingaku terdengar lebih bagus saat mendengarkannya langsung. Sebenarnya, sesekali aku pernah mendengar siaran ini bersama mang Danu tetapi tak pernah selesai karena takut. Aku tak menyangka kalau saat ini rumahku sendirilah yang akan diangkat ceritanya.
“Bu, aku kaya lihat teh Nining di luar,” bisikku pada ibu di sebelahku.
“Mungkin kamu salah lihat, Nak. Ibu sudah sms bu Popon untuk menjaga adik-adikmu. Kamu jangan berisik, ya? Banyak berdoa saat siaran berlangsung,” tegas ibu.
Setengah jam berlalu ayah sudah menceritakan semua kejadian janggal yang kami alami. Lelaki yang mereka sebut Kyai Usman itu hanya diam dan sesekali menebarkan pandangan ke ssekeliling rumah tanpa kata. Persis seperti yang Pak haji Asep lakukan beberapa waktu lalu. Selang beberapa lama kemudian, ia dipersilahkan berbicara oleh sang penyiar.
“Saya rasa, apapun yang terjadi di rumah ini tidak ada hubungannya dengan sang pemilik asli alias almarhum Pak Sutrisno,” jelas Kyai Usman.
“Apa maksudnya, Pak Kyai?” tanya ayah.
“Rumah ini merupakan portal atau jalur utama berbagai macam makhluk yang datang dan pergi berlalu-lalang dari sana,”
Seketika kami tersentak. Bukan tanpa alasan, Kyai Usman berbicara seperti itu seraya mengarahkan tangannya ke belakang alias ke rumah pak Darman yang sedang dibangun.
“La-lu, apakah semua makhluk itu berniat jahat pada kami?” tanya ayah resah.
“Kalau sampai di tahap jahat dan menyakiti mungkin tidak. Ada beberapa yang jahil lalu pergi hanya sekedar lewat. Namun, ada satu hal yang saya khawatirkan, saya sudah berdiskusi sebelumnya dengan Pak Asep .... Saya persilahkan beliau yang menjelaskan.”
“Hatur nuhun, Pak Usman. Jadi, aya hiji makhluk yang pada awalnya hanya jahil. Tapi, karena ada ketertarikan dengan sesuatu di sini, dia sering kembali dan datang hanya untuk berdiam diri di sini.”
Jantungku berdegup kencang mendengar ucapan pak Asep. Ibu menggenggam erat tanganku saat mendengar itu. Rasanya, aku sudah tak mau tinggal di sini lagi untuk sedetik saja. Atmosfer ruangan yang tadinya biasa saja, kini jadi terasa sesak dan panas.
“Ibu, bagaimana ini?!” bisikku pada ibu ketakutan.
“Ssttt …. tenang Sayang, tenang. Ingat pesan Ibu, berdoalah yang terbaik.”
Ibu menenangkanku walaupun aku tau ia sangat khawatir dengan situasi seperti ini. Waktu menujukkan sudah larut malam dan aku lumayan mengantuk. Namun, aku sangat kasihan melihat ibu, perempuan seorang diri di sini. Jadi, aku memutuskan untuk menemaninya sampai acara selesai.
“Apakah ada hal yang sebaiknya kami lakukan, Kyai, Pak Asep?” tanya ayah penuh harap.
“Sebaiknya kita mengadakan pengajian rutin setidaknya selama tujuh hari berturut-turut. Sembari melakukan pengajian, Pak Asep akan mencari tau lebih lanjut tentang rumah Pak Darman,” jawab Kyai Usman.
Akhirnya, acara pun selesai. Para kru membereskan peralatan dan berbincang-bincang satu sama lain. Setelah diberi wejangan sesuai arahan Kyai Usman dan pak Asep, orang tuaku sepakat menjalaninya mulai besok.
“Pak Farhan, saya ingin menanyakan sesuatu. Tapi, mohon maaf kalau ini sifatnya sedikit pribadi namun penting untuk diketahui karena berhubungan dengan rumah ini. Apakah Bapak atau istri Bapak memiliki benda pelindung diri atau semacam jimat?” tanya Kyai Usman pada ayah.
“Sama sekali tidak, Kyai. Kalau boleh jujur, saya tidak berani mencoba hal-hal seperti itu apalagi menggunakannya. Me-memangnya kenapa, Pak?” ujar ayah penasaran.
“Begini, hal semacam ini memang sudah lumrah dan masih banyak orang yang memercayainya. Menurut penglihatan batin saya, sosok yang saya sebutkan saat siaran tadi berasal dan tinggal dari sebuah jimat.”
“Ya Allah ….”
Tubuh ayah melemas, ia lalu menyandarkan bahunya di sofa seperti sudah tak mampu mendengar lagi sesuatu yang aneh tentang di rumah ini.
“Sing sabar, Farhan. Didinya kudu apal oge, makhluk eta teh can lila tinggal di dieu.”
Meskipun pak haji Asep sudah menjelaskan kalau sosok itu belum lama tinggal di sini, namun ayah masih tetap terkulai lemas dengan tatapan kosong tanpa merespon.
“Memangnya, seperti apa rupa jimat itu, Pak?” celetukku asal bertanya pada pak Asep.
“Beda-beda, Neng. Ada berupa bagian dari dari tubuh hewan seperti, kumis atau kuku. Atau, sesuatu yang dibungkus dengan kain yang tak lazim bentuknya. Kurang lebih siga kitu, Neng.”
“Oh, kalau ada sesuatu yang kecil dibalut dengan kain hitam berbentuk kotak, itu jimat, bukan?”
Suasana menjadi hening seketika. Nampaknya, aku salah memberikan pertanyaan karena seisi ruangan kini melihatku dengan wajah heran. Aku yang bingung merapatkan badan pada ibu karena malu.
“Da-Dara, di mana kamu melihat benda seperti itu?” ucap ayah menegakkan kembali tubuhnya.
Sekilas, aku memang pernah melihat benda itu. Namun, aku tak tau kalau itulah yang dinamakan jimat walaupun benda itu tak berbentuk seperti benda biasa. Di satu waktu, saat aku bermain di kamar teh Nining, ia sedang menelepon ibunya dengan bahasa sunda yang tak ku pahami. Ditengah percakapan keduanya, terdengar teh Nining menyelipkan kata ‘jimat’ sambil memegang barang tersebut.
“Yah, tunggu. Biar Ibu yang bicara dengan Dara.”
Aku menceritakan semuanya pada ibu sesuai dengan ingatanku tadi. Aku berharap pernyataanku ini tak akan menambah masalah nantinya.
“Lalu, apakah kamu tau dimana teh Nining menyimpannya?” tanya ibu pelan.
“A-aku nggak tau persis, Bu. Karena saat itu aku sedang bermain boneka bersama Tasya di kamar teh Nining,” jelasku.
“Baiklah, terima kasih, Sayang. Kamu anak pintar dan pemberani.”
“Ibu, memangnya jimat itu apa? Apakah berbahaya?” tanyaku penasaran.
“Ibu tidak bisa menjelaskan sekarang, Nak. Nanti akan ibu jelaskan di waktu yang tepat. Ngomong-ngomong, kamu belum ngantuk? Ayo tidur, ibu antarkan ke rumah Bu Popon.”
“Belum, Bu. Aku mau menemani Ibu saja. Lagi pula, besok libur sekolah.”
Ibu lantas melanjutkan berdiskusi dengan Ayah dan yang lainnya tentang informasi yang kuberikan tadi. Entah mengapa, tiba-tiba rasa takut menghampiriku ketika mengingat teh Nining. Sampai saat ini, ia masih saja mondar mandir mengintip kami dari kejauhan dengan gelisah.
“Ibu tunggu di sini saja biar Ayah, Kyai Usman dan Pak Asep yang cari ke kamar Nining. Kalau memang tidak ada, kita ajak ngobrol Nining baik-baik,” ujar ayah pada ibu.
Aku sangat bingung mengapa anak kecil sepertiku diperbolehkan ikut melihat kegiatan ini. Ditambah lagi, Kyai Usman selalu melirik padaku tanpa kata yang membuatku sangat risih.
Ayah, Kyai Usman dan pak Asep bergegas menuju kamar teh Nining. Sebelum sampai ke sana, tiba-tiba Kyai Usman menghampiriku.
“Neng Dara, bukan suatu kebetulan kamu bisa menyaksikan kegiatan ini. Saya yakin, suatu saat, kamu yang akan membuka semua misteri dan menyelamatkan keluargamu. Untuk saat ini, biarlah semua masih menjadi pertanyaan di benakmu. Nanti juga kau akan paham ….”
“Akhirnya, ketemu juga jimat sialan ini!” racau ayah yang suaranya terdengar olehku. “Eh, tong asal ngomong, Farhan! Pamali!” tegur pak Asep. Aku paham mengapa ayah sangat kesal sekaligus senang saat menemukan jimat itu. Aku pun tak menyangka jika teh Nining ada hubungannya dengan semua ini. Seseorang yang ku anggap sebagai malaikat penjaga, ternyata menyimpan keburukan di baliknya. Setidaknya, itulah yang ada dalam benakku pada wanita yang menjaga aku dan kedua adikku itu. “Baiklah. Sekarang, kita hanya perlu bicara pada Nining. Ia pasti lebih tau tentang jimat ini. Bu Ambar, bisa tolong panggilkan Nining ke sini?” papar kyai Usman. “Ba-baik, Kyai. Dara, kamu tunggu di sini sebentar sama Mang Danu, ya? Ibu jemput teh Nining sebentar,” ucap ibu pada kyai Usman beriringan dengan bicara padaku. “Oh ya, Pak Farhan. Para kru akan pulang duluan, saya di sini ditemani oleh Rizki saja, dia membawa kamera pribadi untuk dokumentasi bilamana nantinya di
“Solusi Danu semalam nggak ada gunanya, kan? Nining pergi, tapi kita tetap seperti ini dan sudah jelas kalau akar semua ini bukan hanya dari Nining saja! Mau sampai kapan kita begini, Yah?! Kasihan anak-anak! ” Suara bising membangunkanku pagi ini. Aku pergi mengintip dari sela-sela pintu kamar untuk melihat keadaan. Dan benar saja, yang kudengar tadi adalah suara ibu yang kini sedang berdebat dengan ayah. Ibu duduk di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, ayah mondar-mandir terlihat kebingungan sambil sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. “Kyai Usman dan Pak Asep hanya menyarankan kita untuk pengajian dulu. Kegiatan itu tidak butuh banyak pengeluaran, yang penting niatnya saja. Insya Allah keadaan kita akan segera membaik,” jelas ayah menenangkan. “Niat sih niat, Yah. Tapi, nggak mungkin juga kalau kita mengadakan penganian tanpa konsumsi. Sedangkan saat ini kita nggak punya uang sama sekali,” gumam ibu kesal. “Setidaknya, Ayah bisa pi
“Ya Allah, Tasya! Kok kamu bisa di sini, sih?!” seru ibu terkejut. Alih-alih mencari Tasya di tempat lain, kami justru menemukannya tertidur di salah satu anak tangga yang menuju lantai dua rumah ini. Padahal, aku, ayah dan ibu sempat mondar mandir melewati tangga itu tapi tak mengira kalau Tasya akan berada di sana karena kita semua tau, area itu selalu gelap. Mendengar ibu berteriak cukup keras dan ayah yang segera menggendongnya ke kamar, tentunya Tasya terbangun sdengan tatapan bingung melihat kami yang panik. “A-ada apa, Bu? “ tanyanya polos sambil masih memegang erat boneka kesayangannya. “Ngapain sih kamu tidur di tangga?” ucapku mendahului bertanya. “Ng-nggak tau, Kak. Emangnya, kenapa? Dari tadi aku tidur di kamar, kok,” jawab Tasya yakin. “Kalau dia mengigau, dia pasti akan jatuh saat menaiki tangga. Lagi pula, Tasya kan nggak berani ke atas sendirian,” ujar ayah. “Lalu, bagaimana Tasya bisa tiba-tiba tidur di tangga?
Tak terasa, sudah satu minggu kami menempati kontrakan mungil ini. Saking nyamannya dengan suasana baru, kami hampir lupa mengecek bagaimana keadaan rumah kakek sekarang. “Dara, pulang sekolah nanti, kamu ikut ayah ke rumah kakek, ya? Sekalian bawa panci yang ibu bilang kemarin. Lagian ibu ini ada-ada aja, kok bisa sih panci itu ketinggalan?!” canda ayah geleng-geleng kepala. “Siap, Yah. Sekalian aku juga mau bawa baju tidurku yang ketinggalan di jemuran, hehe.” Saat jam pulang sekolah tiba, ayah sudah menungguku di gerbang. Ia melambaikan tangannya kepadaku dan aku langsung berlari ke arahnya stepat saat bel sekolah berbunyi. Kami berjalan kaki menuju rumah kakek. Dari ujung jalan, tampak depan rumah kakek sudah mulai terlihat. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari rumah itu. Apa mungkin aku salah lihat? “Bentar-bentar. Kok , itu ….” Langkah ayah terhenti. Sepertinya, ia melihat sesuatu yang janggal sama sepertiku tadi. “Yy-Yah, kok ….
Waktu menunjukkan pukul 5:00 pagi, aku tak melihat ayah dirumah. Ibu bilang ia sudah menuju rumah Kakek untuk beres beres disana. “Dara, nanti pulang sekolah ibu jemput, ya? Biar kita bisa bantu ayah membereskan rumah Kakek,” ujar ibu padaku. “Loh, bukannya kata Mang Danu, yang mau liat rumah itu pagi-pagi, Bu?” tanyaku. “Nggak jadi. Katanya, dia datang jam satu siang, Dar,” jawab ibu. ‘Yeay!’ ucapku dalam hati kegirangan. Karena aku penasaran siapa sih artis yang akan datang itu? Aku berharap, ia tertarik untuk membeli rumah Kakek.Karena sangat senang, aku memberi tau pada teman-teman sekolahku tentang kabar ini. Mereka yang sama antusiasnya denganku, terus bertanya-tanya siapakah artis itu. “Beneran, Dara? Rumah aku kan deket sama rumahmu, nanti aku mampir, ah. Pengen foto bareng sama artis,” celetuk Yuni teman sebangkuku. Waktu berlalu akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Jam menunjukkan saatnya pulang dan aku langsung bergegas
“Hoaam …. Nggak kerasa udah mau subuh aja. Soalnya, cerita Kak Dara nggak seru, sih,” ucap Gina yang nampaknya mulai mengantuk. “Tidur, yuk? Aku juga udah ngantuk, nih. Kapan-kapan lanjut lagi, oke?” jawabku. “Lah, Emangnya, masih ada cerita lain, Kak?” “Kalau berdasarkan pengalaman aku dulu ya cuma itu aja, sih. Cuma, kalau mau tau cerita dengan versi lain, bisa tanya Mang Danu gitu.” Kami semua akhirnya tertidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Tiga jam bercerita tanpa henti membuat mulutku seakan berbusa. Sebenarnya, ada satu hal yang belum aku ceritakan pada Gina karena alasan takut di bilangnya kepedean. Cerita itu adalah, sedikitnya mungkin aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hingga saat ini. “Pagi semua! Bangun, bangun euy, bangun! Yang merasa cucu kakek Soetrisno berkumpul di sini,” seru mang Danu dengan membawa kertas dan pulpen di tangannya. “Aya naon, Mang Danu?” tanya Gina heran. “Tadi malem, mang
Malam itu, Gina bercerita padaku kalau sebenarnya ia mendengar percakapan antara aku dan paman Danu. Hanya saja, Gina tak terlalu merasa takut akan hal itu. Memang, waktu kecil Gina dikenal sebagai anak yang penakut dan hampir tidak pernah mau menginap di rumah kakek saat acara keluarga besar, terkecuali orang tuanya, yaitu Tante Eva ikut menginap juga."Akan kubuktikan kalau aku tak sepenakut dulu! Hahaha." ucapnya padaku.Keesokan harinya, Paman agung dan istrinya sudah pergi pagi-pagi meninggalkan rumah karena suatu urusan. Agenda kami bertiga hari ini adalah menanyakan beberapa hal mengenai perkembangan rumah ini setelah aku dan keluarga tak lagi tinggal disana. Ditambah dengan Pak Haji Asep yang kini telah tiada, kami berencana akan silaturahmi pada keluarga beliau."Mulai dari siapa dulu, Paman?" tanya Gina."Sebaiknya, rumah Bu Popon. Terakhir kemarin kita datang kesini, beliau sedang diluar kota. Kebetulan tadi paman li
Saat ini, aku memutuskan untuk menambah list tentang hal-yang paling kubenci di dunia ini yaitu, lampu sensor. Benci, sangat benci, di rumah ini hanya ada aku, mang Danu dan Gina saja. Om Agung sedangberada di rumah temannya yang berbeda blok dari sini. Lalu, mengapa lampu sensor di lorong itu masih menyala hingga kini?! ‘Bodo Amat!’ dalam benakku saat itu. Aku memalingkan wajah dan tak mau lagi menoleh ke belakang walaupun sangat ingin. Saat sedang asik-asiknya menonton tv dan sesekali berbincang dengan yang lain. Sesuatu mengalihkan perhatian kami secara bersamaan. Bruk …. Klontang …. Pranggg …. Kami bertiga saling melempar pandang dalam diam. Suara itu …. Seperrti ada seseorang yang melakukan aktifitas di dapur. “Saha eta, Dar?” tanya mang Danu. “Nggak tau, Mang. Jangan nanya ke aku lah, kita the di sini kan Cuma bertiga. Jadi degdegan gini,” jawabku resah seakan tau ada sesuatu yang tak beres berkaca dari kejadian lampu tad
Saat ini, aku memutuskan untuk menambah list tentang hal-yang paling kubenci di dunia ini yaitu, lampu sensor. Benci, sangat benci, di rumah ini hanya ada aku, mang Danu dan Gina saja. Om Agung sedangberada di rumah temannya yang berbeda blok dari sini. Lalu, mengapa lampu sensor di lorong itu masih menyala hingga kini?! ‘Bodo Amat!’ dalam benakku saat itu. Aku memalingkan wajah dan tak mau lagi menoleh ke belakang walaupun sangat ingin. Saat sedang asik-asiknya menonton tv dan sesekali berbincang dengan yang lain. Sesuatu mengalihkan perhatian kami secara bersamaan. Bruk …. Klontang …. Pranggg …. Kami bertiga saling melempar pandang dalam diam. Suara itu …. Seperrti ada seseorang yang melakukan aktifitas di dapur. “Saha eta, Dar?” tanya mang Danu. “Nggak tau, Mang. Jangan nanya ke aku lah, kita the di sini kan Cuma bertiga. Jadi degdegan gini,” jawabku resah seakan tau ada sesuatu yang tak beres berkaca dari kejadian lampu tad
Malam itu, Gina bercerita padaku kalau sebenarnya ia mendengar percakapan antara aku dan paman Danu. Hanya saja, Gina tak terlalu merasa takut akan hal itu. Memang, waktu kecil Gina dikenal sebagai anak yang penakut dan hampir tidak pernah mau menginap di rumah kakek saat acara keluarga besar, terkecuali orang tuanya, yaitu Tante Eva ikut menginap juga."Akan kubuktikan kalau aku tak sepenakut dulu! Hahaha." ucapnya padaku.Keesokan harinya, Paman agung dan istrinya sudah pergi pagi-pagi meninggalkan rumah karena suatu urusan. Agenda kami bertiga hari ini adalah menanyakan beberapa hal mengenai perkembangan rumah ini setelah aku dan keluarga tak lagi tinggal disana. Ditambah dengan Pak Haji Asep yang kini telah tiada, kami berencana akan silaturahmi pada keluarga beliau."Mulai dari siapa dulu, Paman?" tanya Gina."Sebaiknya, rumah Bu Popon. Terakhir kemarin kita datang kesini, beliau sedang diluar kota. Kebetulan tadi paman li
“Hoaam …. Nggak kerasa udah mau subuh aja. Soalnya, cerita Kak Dara nggak seru, sih,” ucap Gina yang nampaknya mulai mengantuk. “Tidur, yuk? Aku juga udah ngantuk, nih. Kapan-kapan lanjut lagi, oke?” jawabku. “Lah, Emangnya, masih ada cerita lain, Kak?” “Kalau berdasarkan pengalaman aku dulu ya cuma itu aja, sih. Cuma, kalau mau tau cerita dengan versi lain, bisa tanya Mang Danu gitu.” Kami semua akhirnya tertidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Tiga jam bercerita tanpa henti membuat mulutku seakan berbusa. Sebenarnya, ada satu hal yang belum aku ceritakan pada Gina karena alasan takut di bilangnya kepedean. Cerita itu adalah, sedikitnya mungkin aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hingga saat ini. “Pagi semua! Bangun, bangun euy, bangun! Yang merasa cucu kakek Soetrisno berkumpul di sini,” seru mang Danu dengan membawa kertas dan pulpen di tangannya. “Aya naon, Mang Danu?” tanya Gina heran. “Tadi malem, mang
Waktu menunjukkan pukul 5:00 pagi, aku tak melihat ayah dirumah. Ibu bilang ia sudah menuju rumah Kakek untuk beres beres disana. “Dara, nanti pulang sekolah ibu jemput, ya? Biar kita bisa bantu ayah membereskan rumah Kakek,” ujar ibu padaku. “Loh, bukannya kata Mang Danu, yang mau liat rumah itu pagi-pagi, Bu?” tanyaku. “Nggak jadi. Katanya, dia datang jam satu siang, Dar,” jawab ibu. ‘Yeay!’ ucapku dalam hati kegirangan. Karena aku penasaran siapa sih artis yang akan datang itu? Aku berharap, ia tertarik untuk membeli rumah Kakek.Karena sangat senang, aku memberi tau pada teman-teman sekolahku tentang kabar ini. Mereka yang sama antusiasnya denganku, terus bertanya-tanya siapakah artis itu. “Beneran, Dara? Rumah aku kan deket sama rumahmu, nanti aku mampir, ah. Pengen foto bareng sama artis,” celetuk Yuni teman sebangkuku. Waktu berlalu akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Jam menunjukkan saatnya pulang dan aku langsung bergegas
Tak terasa, sudah satu minggu kami menempati kontrakan mungil ini. Saking nyamannya dengan suasana baru, kami hampir lupa mengecek bagaimana keadaan rumah kakek sekarang. “Dara, pulang sekolah nanti, kamu ikut ayah ke rumah kakek, ya? Sekalian bawa panci yang ibu bilang kemarin. Lagian ibu ini ada-ada aja, kok bisa sih panci itu ketinggalan?!” canda ayah geleng-geleng kepala. “Siap, Yah. Sekalian aku juga mau bawa baju tidurku yang ketinggalan di jemuran, hehe.” Saat jam pulang sekolah tiba, ayah sudah menungguku di gerbang. Ia melambaikan tangannya kepadaku dan aku langsung berlari ke arahnya stepat saat bel sekolah berbunyi. Kami berjalan kaki menuju rumah kakek. Dari ujung jalan, tampak depan rumah kakek sudah mulai terlihat. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari rumah itu. Apa mungkin aku salah lihat? “Bentar-bentar. Kok , itu ….” Langkah ayah terhenti. Sepertinya, ia melihat sesuatu yang janggal sama sepertiku tadi. “Yy-Yah, kok ….
“Ya Allah, Tasya! Kok kamu bisa di sini, sih?!” seru ibu terkejut. Alih-alih mencari Tasya di tempat lain, kami justru menemukannya tertidur di salah satu anak tangga yang menuju lantai dua rumah ini. Padahal, aku, ayah dan ibu sempat mondar mandir melewati tangga itu tapi tak mengira kalau Tasya akan berada di sana karena kita semua tau, area itu selalu gelap. Mendengar ibu berteriak cukup keras dan ayah yang segera menggendongnya ke kamar, tentunya Tasya terbangun sdengan tatapan bingung melihat kami yang panik. “A-ada apa, Bu? “ tanyanya polos sambil masih memegang erat boneka kesayangannya. “Ngapain sih kamu tidur di tangga?” ucapku mendahului bertanya. “Ng-nggak tau, Kak. Emangnya, kenapa? Dari tadi aku tidur di kamar, kok,” jawab Tasya yakin. “Kalau dia mengigau, dia pasti akan jatuh saat menaiki tangga. Lagi pula, Tasya kan nggak berani ke atas sendirian,” ujar ayah. “Lalu, bagaimana Tasya bisa tiba-tiba tidur di tangga?
“Solusi Danu semalam nggak ada gunanya, kan? Nining pergi, tapi kita tetap seperti ini dan sudah jelas kalau akar semua ini bukan hanya dari Nining saja! Mau sampai kapan kita begini, Yah?! Kasihan anak-anak! ” Suara bising membangunkanku pagi ini. Aku pergi mengintip dari sela-sela pintu kamar untuk melihat keadaan. Dan benar saja, yang kudengar tadi adalah suara ibu yang kini sedang berdebat dengan ayah. Ibu duduk di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, ayah mondar-mandir terlihat kebingungan sambil sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. “Kyai Usman dan Pak Asep hanya menyarankan kita untuk pengajian dulu. Kegiatan itu tidak butuh banyak pengeluaran, yang penting niatnya saja. Insya Allah keadaan kita akan segera membaik,” jelas ayah menenangkan. “Niat sih niat, Yah. Tapi, nggak mungkin juga kalau kita mengadakan penganian tanpa konsumsi. Sedangkan saat ini kita nggak punya uang sama sekali,” gumam ibu kesal. “Setidaknya, Ayah bisa pi
“Akhirnya, ketemu juga jimat sialan ini!” racau ayah yang suaranya terdengar olehku. “Eh, tong asal ngomong, Farhan! Pamali!” tegur pak Asep. Aku paham mengapa ayah sangat kesal sekaligus senang saat menemukan jimat itu. Aku pun tak menyangka jika teh Nining ada hubungannya dengan semua ini. Seseorang yang ku anggap sebagai malaikat penjaga, ternyata menyimpan keburukan di baliknya. Setidaknya, itulah yang ada dalam benakku pada wanita yang menjaga aku dan kedua adikku itu. “Baiklah. Sekarang, kita hanya perlu bicara pada Nining. Ia pasti lebih tau tentang jimat ini. Bu Ambar, bisa tolong panggilkan Nining ke sini?” papar kyai Usman. “Ba-baik, Kyai. Dara, kamu tunggu di sini sebentar sama Mang Danu, ya? Ibu jemput teh Nining sebentar,” ucap ibu pada kyai Usman beriringan dengan bicara padaku. “Oh ya, Pak Farhan. Para kru akan pulang duluan, saya di sini ditemani oleh Rizki saja, dia membawa kamera pribadi untuk dokumentasi bilamana nantinya di
“Selamat malam para pendengar setia Radio Gordan FM, kembali lagi dengan saya, Rizki Alamsyah dalam siaran ‘Cerita Misteri' . Pada malam jum'at kali ini, cerita akan berasal dari salah satu rumah di daerah Bandung Timur. Bersama kami, telah hadir Bapak Farhan selaku pemilik rumah dan juga Pak Haji Asep sebagai tetangga sekaligus saksi dari beberapa kejadian misteri di rumah ini. “ Suara sang penyiar yang cukup familiar di telingaku terdengar lebih bagus saat mendengarkannya langsung. Sebenarnya, sesekali aku pernah mendengar siaran ini bersama mang Danu tetapi tak pernah selesai karena takut. Aku tak menyangka kalau saat ini rumahku sendirilah yang akan diangkat ceritanya. “Bu, aku kaya lihat teh Nining di luar,” bisikku pada ibu di sebelahku. “Mungkin kamu salah lihat, Nak. Ibu sudah sms bu Popon untuk menjaga adik-adikmu. Kamu jangan berisik, ya? Banyak berdoa saat siaran berlangsung,” tegas ibu. Setengah jam berlalu ayah sudah menceritakan semua ke