Mang Danu dan ayah sudah pergi sejak tadi pagi entah kemana. Setelah tadi malam keduanya berdebat dan dilerai oleh kang Duloh, akhirnya mereka berdamai dengan sebuah kesepakatan. Kami yang masih trauma karena kejadian semalam, memutuskan untuk menginap di rumah salah satu tetangga yaitu, rumah bu Popon.
“Percaya ka Danu, A Farhan. Danu siga kieu sanes dihaja. Insya Allah solusi ieu berhasil. ”
Sedikitnya, itulah pembicaraan yang terdengar antara ayah dan pamanku itu. Untung saja, kondisi Tasya sudah lumayan membaik walaupun ia sempat mengigau tak jelas saat tidur.
“Neng Dara, Tasya, Robi kalau ada apa-apa bilang sama Ibu dan tidur di sini, jangan sungkan,” ajak bu Popon pada kami.
“I-iya, Bu. Dara nggak berani cerita karena takut merepotkan. Lagi pula sekarang udah ada teh Nining yang menjaga kami.”
“Ah, siga ka saha wae atuh, Neng. Kalian kan sudah lama di sini. Terutama, Ibu juga kenal baik dengan almarhum Pak Sutrisno. Kalian sudah Ibu anggap cucu sendiri.”
“Hatur nuhun, Bu Popon. Sekali lagi, punten kalau merepotkan,” tutur Ibuku dengan senyum segan.
“Neng Ambar, apa sudah nanya-nanya sama Pak Haji Asep?” sela bu Popon sedikit berbisik pada ibuku.
“Kemarin saya sempat minta tolong sama beliau pas Robi sakit. Tapi selebihnya saya nggak banyak cerita, Bu. Karena saya terlalu fokus sama keadaan Robi,” jawab ibu.
“Oh, kalau gitu, kita tunggu saja Farhan dan Danu pulang. Mudah-mudahan usaha mereka membuahkan hasil.”
Bu Popon memang tetangga yang cukup lama tinggal di sini dan sangat mengenal kakek dan nenekku. Oleh karena itu, tak heran jika beliau sangat baik pada kami. Terlebih, ia belum memiliki cucu. Namun, ada hal yang cukup aneh akhir-akhir ini. Semenjak kehadiran teh Nining, beliau sudah jarang bertamu atau sekedar mampir ke rumah kami. Apa bu Popon tak menyukai teh Nining? Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
“Neng, dari kemarin, Ibu teh mau nanya sesuatu tapi takut salah,” ujar bu Popon pada ibu ragu-ragu.
Aku cukup heran dengan sikap teh Nining. Dari dalam rumah, aku melihatnya menemani adik-adikku bermain di luar dengan ekspresi yang tak biasa. Sesekali ia terdiam dengan wajah murung. Memang, semenjak kejadian ada ular saat itu, ia lebih banyak diam dan tak ceria seperti biasanya.
“Neng Ambar, punten pisan Ibu mau tanya, pengasuhnya anak-anak berasal dari mana, ya?” tanya bu Popon.
“Oh, Nining? Dari Ciamis, Bu. Memangnya kenapa?”
“Aduh, Ibu ngga enak mau ngomong.”
“Loh, nggak pa-pa, santai saja …. Ada apa, Bu?”
“Entah kenapa, setiap Ibu melihat Nining, Ibu merasakan ada sesuatu dari dirinya. Kemarin siang, nggak sengaja Ibu melihat Nining menggendong Tasya ke loteng lantai dua rumahmu, saat itu Ibu sedang menjemur pakaian di lantai atas. Ketika ibu sedang memerhatikan mereka, tak lama kemudian ia menengok ke arah Ibu dengan raut wajah yang datar. Aduh Neng, jujur saja, kalau Ibu ingat itu langsung merinding. Saat itu, Ibu langsung cepat-cepat turun ke bawah sampai lupa kalau masih ada baju basah yang belum dijemur.”
Cerita bu Popon terdengar sangat meyakinkan. Mengingat, kejadian Tasya yang tiba-tiba ada di lantai dua seorang diri sangatlah mengejutkan keluargaku. Apakah ini ada hubungannya dengan apa yang diceritakan bu Popon? Dalam benakku.
“Apa Ibu yakin nggak salah lihat?” tanya Ibuku penasaran.
“Yakin sekali Ibu tidak salah lihat, Neng. Tadinya Ibu mau cerita, tapi keburu dengar ada kejadian di rumah Eneng jadi nggak sempat,” jawab bu Popon.
“Menurut Ibu, apakah hadirnya Nining ada hubunganya dengan kejadian kemarin, Bu?”
“Ibu nggak berani jawab Neng, takut salah.”
Ibu terdiam dan menengok ke luar melalui jendela tempat adik-adikku dan teh Nining bermain.
Akhirnya, yang dinanti pun tiba. Tak lama setelah percakapan antara ibu dan bu Popon selesai, datanglah Ayah dan mang Danu.
“Begini, Bu. Fajar, temannya Danu kan kerja di salah satu radio terkenal di kota ini, Radio Gordan. Ibu tau kan?” tutur ayah pada ibu.
“Iya, Ibu tau. Terus, gimana?” jawab ibu.
“Nah, di radio Gordan kan ada siaran Cerita Misteri setiap malam jum’at. Kebanyakan, cerita yang disiarkan di acara itu adalah kisah nyata. Danu dan Fajar berinisiatif untuk mengangkat cerita kita ke sana,” lanjut ayah.
“Yang benar saja Yah, situasi sedang menghawatirkan begini sempat-sempatnya cari celah untuk hal tidak penting seperti itu. Yang kita butuhkan itu solusi, Yah!” pungkas ibu dengan nada yang meninggi.
“Teh Ambar, tenang heula. Dengar dulu penjelasan kami. Bukan itu maksud dan tujuanya. Kieu, Teh. Kan di acara itu kebanyakan dari kisah nyata. Biasanya, setelah cerita disiarkan, dari pihak Gordan sendiri menyediakan jasa untuk membantu pengusiran makhluk di tempat tersebut dengan sukarela atas dasar menolong sesama,” jelas mang Danu.
“Memangnya, orang seperti apa yang akan membantu itu? Dan, apa kamu yakin perbuatan ini bukan termasuk syirik? Di agama kita kan dilarang?!” ujar ibu resah.
“Ah, ini bukan hal seperti kitu , Teh. Mereka bukan dukun atau semacamnya, anggap saja mereka adalah perantara kita dengan Allah. Dan setau Danu mah, mereka tetap berdasar dengan agama kita kok, Teh. Nggak melenceng kemana-mana.”
Ibu terdiam sejenak, rautnya menyiratkan antara pasrah dan kebingungan. Aku menggenggam jemari ibu dengan erat untuk menyemangatinya. Ia menatapku tersenyum dilanjutkan dengan menghela napas. Bu Popon ikut meyakinkan ibu dengan memberi anggukan serta senyum haru.
“Hmm … Baiklah. Kalau memang cara ini bisa membantu, Teteh harap Pak Haji Asep dilibatkan, ia lebih dulu tau tentang situasi di rumah ini. Jadi, dia bisa menjelaskan detailnya. Satu hal lagi, kalau keadaan di rumah ini semakin memburuk karena kedatangan mereka, kamu harus tanggung jawab ya, Danu?!” tegas ibu pada mang Danu.
Saat itu, semua orang bergegas melakukan rencana yang mereka buat atas rumah ini. Ayahku melibatkan Pak Haji Asep sebagai saksi untuk diwawancarai nanti malam saat team dari Radio Gordan datang.
“Cara ini akan berhasil kan, Bu?” tanyaku penuh harap.
“Doakan yang terbaik ya, Nak. Ah, iya. Kalau kamu melihat, atau merasakan sesuatu, beri tau Ibu atau Ayah ya, Nak.”
Beruntung, aku diajak oleh ibu mengikuti acara ini walaupun hanya sekedar melihat-lihat. Kedua adikku berada di rumah bu Popon bersama teh Nining.
Waktu menunjukkan jam delapan malam. Team radio Gordan sudah datang dan bersiap memasang berbagai peralatan guna kepentingan siaran. Kami menyambut mereka sengan hangat begitu pun sebaliknya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Ada satu orang yang berbeda penampilannya dari yang lain. Ia mengenakan pakaian serba putih dan alas kepala melingkar dengan warna serupa serta janggut yang cukup panjang.
“Pak Farhan, perkenalkan ini Kyai Usman yang akan memantau rumah ini serta berjalannya acara bersama Pak Haji Asep dari pihak Bapak,” ungkap salah satu kru radio.
“Baiklah, sekitar satu jam lagi siaran akan segera dimulai. Kami persilahkan Ibu Ambar dan Bapak Farhan, serta Pak Asep untuk bercerita senyaman mungkin saat diwawancara nanti. Karena kami menyiarkan siaran langsung,” jelas sang penyiar.
Ibu dan ayah hanya mengangguk. Aku yakin, mereka juga sedikit canggung melakukan ini karena tidak biasa. Rasanya, kegiatan ini seperti acara di film-film dan keluargaku adalah artisnya.
“Adik kecil, kalau mau cerita juga boleh,” ucap team radio.
“Ehh …. Tidak. Dia di sini hanya untuk menemani saya saja. Dia sudah cerita banyak pada saya. Nanti, akan saya ceritakan semuanya, ” sanggah ibu.
Kami semua berkumpul di ruang tamu dengan menyalakan lampu redup berwarna kuning dan mematikan lampu di ruangan lain. Tujuannya, supaya lebih fokus pada cerita dan team radio ini berharap akan ada sesuatu yang terjadi saat siaran dimulai.
Tak ada yang aneh sejauh ini. Sampai, aku melihat seseorang dari sela-sela gorden jendela yang sedang mengintip dari luar rumah namun terlihat ragu-ragu.
‘Teh Nining? Apa yang sedang ia lakukan? Bukannya ia menjaga Tasya dan Robi di rumah bu Popon?’
“Selamat malam para pendengar setia Radio Gordan FM, kembali lagi dengan saya, Rizki Alamsyah dalam siaran ‘Cerita Misteri' . Pada malam jum'at kali ini, cerita akan berasal dari salah satu rumah di daerah Bandung Timur. Bersama kami, telah hadir Bapak Farhan selaku pemilik rumah dan juga Pak Haji Asep sebagai tetangga sekaligus saksi dari beberapa kejadian misteri di rumah ini. “ Suara sang penyiar yang cukup familiar di telingaku terdengar lebih bagus saat mendengarkannya langsung. Sebenarnya, sesekali aku pernah mendengar siaran ini bersama mang Danu tetapi tak pernah selesai karena takut. Aku tak menyangka kalau saat ini rumahku sendirilah yang akan diangkat ceritanya. “Bu, aku kaya lihat teh Nining di luar,” bisikku pada ibu di sebelahku. “Mungkin kamu salah lihat, Nak. Ibu sudah sms bu Popon untuk menjaga adik-adikmu. Kamu jangan berisik, ya? Banyak berdoa saat siaran berlangsung,” tegas ibu. Setengah jam berlalu ayah sudah menceritakan semua ke
“Akhirnya, ketemu juga jimat sialan ini!” racau ayah yang suaranya terdengar olehku. “Eh, tong asal ngomong, Farhan! Pamali!” tegur pak Asep. Aku paham mengapa ayah sangat kesal sekaligus senang saat menemukan jimat itu. Aku pun tak menyangka jika teh Nining ada hubungannya dengan semua ini. Seseorang yang ku anggap sebagai malaikat penjaga, ternyata menyimpan keburukan di baliknya. Setidaknya, itulah yang ada dalam benakku pada wanita yang menjaga aku dan kedua adikku itu. “Baiklah. Sekarang, kita hanya perlu bicara pada Nining. Ia pasti lebih tau tentang jimat ini. Bu Ambar, bisa tolong panggilkan Nining ke sini?” papar kyai Usman. “Ba-baik, Kyai. Dara, kamu tunggu di sini sebentar sama Mang Danu, ya? Ibu jemput teh Nining sebentar,” ucap ibu pada kyai Usman beriringan dengan bicara padaku. “Oh ya, Pak Farhan. Para kru akan pulang duluan, saya di sini ditemani oleh Rizki saja, dia membawa kamera pribadi untuk dokumentasi bilamana nantinya di
“Solusi Danu semalam nggak ada gunanya, kan? Nining pergi, tapi kita tetap seperti ini dan sudah jelas kalau akar semua ini bukan hanya dari Nining saja! Mau sampai kapan kita begini, Yah?! Kasihan anak-anak! ” Suara bising membangunkanku pagi ini. Aku pergi mengintip dari sela-sela pintu kamar untuk melihat keadaan. Dan benar saja, yang kudengar tadi adalah suara ibu yang kini sedang berdebat dengan ayah. Ibu duduk di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, ayah mondar-mandir terlihat kebingungan sambil sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. “Kyai Usman dan Pak Asep hanya menyarankan kita untuk pengajian dulu. Kegiatan itu tidak butuh banyak pengeluaran, yang penting niatnya saja. Insya Allah keadaan kita akan segera membaik,” jelas ayah menenangkan. “Niat sih niat, Yah. Tapi, nggak mungkin juga kalau kita mengadakan penganian tanpa konsumsi. Sedangkan saat ini kita nggak punya uang sama sekali,” gumam ibu kesal. “Setidaknya, Ayah bisa pi
“Ya Allah, Tasya! Kok kamu bisa di sini, sih?!” seru ibu terkejut. Alih-alih mencari Tasya di tempat lain, kami justru menemukannya tertidur di salah satu anak tangga yang menuju lantai dua rumah ini. Padahal, aku, ayah dan ibu sempat mondar mandir melewati tangga itu tapi tak mengira kalau Tasya akan berada di sana karena kita semua tau, area itu selalu gelap. Mendengar ibu berteriak cukup keras dan ayah yang segera menggendongnya ke kamar, tentunya Tasya terbangun sdengan tatapan bingung melihat kami yang panik. “A-ada apa, Bu? “ tanyanya polos sambil masih memegang erat boneka kesayangannya. “Ngapain sih kamu tidur di tangga?” ucapku mendahului bertanya. “Ng-nggak tau, Kak. Emangnya, kenapa? Dari tadi aku tidur di kamar, kok,” jawab Tasya yakin. “Kalau dia mengigau, dia pasti akan jatuh saat menaiki tangga. Lagi pula, Tasya kan nggak berani ke atas sendirian,” ujar ayah. “Lalu, bagaimana Tasya bisa tiba-tiba tidur di tangga?
Tak terasa, sudah satu minggu kami menempati kontrakan mungil ini. Saking nyamannya dengan suasana baru, kami hampir lupa mengecek bagaimana keadaan rumah kakek sekarang. “Dara, pulang sekolah nanti, kamu ikut ayah ke rumah kakek, ya? Sekalian bawa panci yang ibu bilang kemarin. Lagian ibu ini ada-ada aja, kok bisa sih panci itu ketinggalan?!” canda ayah geleng-geleng kepala. “Siap, Yah. Sekalian aku juga mau bawa baju tidurku yang ketinggalan di jemuran, hehe.” Saat jam pulang sekolah tiba, ayah sudah menungguku di gerbang. Ia melambaikan tangannya kepadaku dan aku langsung berlari ke arahnya stepat saat bel sekolah berbunyi. Kami berjalan kaki menuju rumah kakek. Dari ujung jalan, tampak depan rumah kakek sudah mulai terlihat. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari rumah itu. Apa mungkin aku salah lihat? “Bentar-bentar. Kok , itu ….” Langkah ayah terhenti. Sepertinya, ia melihat sesuatu yang janggal sama sepertiku tadi. “Yy-Yah, kok ….
Waktu menunjukkan pukul 5:00 pagi, aku tak melihat ayah dirumah. Ibu bilang ia sudah menuju rumah Kakek untuk beres beres disana. “Dara, nanti pulang sekolah ibu jemput, ya? Biar kita bisa bantu ayah membereskan rumah Kakek,” ujar ibu padaku. “Loh, bukannya kata Mang Danu, yang mau liat rumah itu pagi-pagi, Bu?” tanyaku. “Nggak jadi. Katanya, dia datang jam satu siang, Dar,” jawab ibu. ‘Yeay!’ ucapku dalam hati kegirangan. Karena aku penasaran siapa sih artis yang akan datang itu? Aku berharap, ia tertarik untuk membeli rumah Kakek.Karena sangat senang, aku memberi tau pada teman-teman sekolahku tentang kabar ini. Mereka yang sama antusiasnya denganku, terus bertanya-tanya siapakah artis itu. “Beneran, Dara? Rumah aku kan deket sama rumahmu, nanti aku mampir, ah. Pengen foto bareng sama artis,” celetuk Yuni teman sebangkuku. Waktu berlalu akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Jam menunjukkan saatnya pulang dan aku langsung bergegas
“Hoaam …. Nggak kerasa udah mau subuh aja. Soalnya, cerita Kak Dara nggak seru, sih,” ucap Gina yang nampaknya mulai mengantuk. “Tidur, yuk? Aku juga udah ngantuk, nih. Kapan-kapan lanjut lagi, oke?” jawabku. “Lah, Emangnya, masih ada cerita lain, Kak?” “Kalau berdasarkan pengalaman aku dulu ya cuma itu aja, sih. Cuma, kalau mau tau cerita dengan versi lain, bisa tanya Mang Danu gitu.” Kami semua akhirnya tertidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Tiga jam bercerita tanpa henti membuat mulutku seakan berbusa. Sebenarnya, ada satu hal yang belum aku ceritakan pada Gina karena alasan takut di bilangnya kepedean. Cerita itu adalah, sedikitnya mungkin aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hingga saat ini. “Pagi semua! Bangun, bangun euy, bangun! Yang merasa cucu kakek Soetrisno berkumpul di sini,” seru mang Danu dengan membawa kertas dan pulpen di tangannya. “Aya naon, Mang Danu?” tanya Gina heran. “Tadi malem, mang
Malam itu, Gina bercerita padaku kalau sebenarnya ia mendengar percakapan antara aku dan paman Danu. Hanya saja, Gina tak terlalu merasa takut akan hal itu. Memang, waktu kecil Gina dikenal sebagai anak yang penakut dan hampir tidak pernah mau menginap di rumah kakek saat acara keluarga besar, terkecuali orang tuanya, yaitu Tante Eva ikut menginap juga."Akan kubuktikan kalau aku tak sepenakut dulu! Hahaha." ucapnya padaku.Keesokan harinya, Paman agung dan istrinya sudah pergi pagi-pagi meninggalkan rumah karena suatu urusan. Agenda kami bertiga hari ini adalah menanyakan beberapa hal mengenai perkembangan rumah ini setelah aku dan keluarga tak lagi tinggal disana. Ditambah dengan Pak Haji Asep yang kini telah tiada, kami berencana akan silaturahmi pada keluarga beliau."Mulai dari siapa dulu, Paman?" tanya Gina."Sebaiknya, rumah Bu Popon. Terakhir kemarin kita datang kesini, beliau sedang diluar kota. Kebetulan tadi paman li
Saat ini, aku memutuskan untuk menambah list tentang hal-yang paling kubenci di dunia ini yaitu, lampu sensor. Benci, sangat benci, di rumah ini hanya ada aku, mang Danu dan Gina saja. Om Agung sedangberada di rumah temannya yang berbeda blok dari sini. Lalu, mengapa lampu sensor di lorong itu masih menyala hingga kini?! ‘Bodo Amat!’ dalam benakku saat itu. Aku memalingkan wajah dan tak mau lagi menoleh ke belakang walaupun sangat ingin. Saat sedang asik-asiknya menonton tv dan sesekali berbincang dengan yang lain. Sesuatu mengalihkan perhatian kami secara bersamaan. Bruk …. Klontang …. Pranggg …. Kami bertiga saling melempar pandang dalam diam. Suara itu …. Seperrti ada seseorang yang melakukan aktifitas di dapur. “Saha eta, Dar?” tanya mang Danu. “Nggak tau, Mang. Jangan nanya ke aku lah, kita the di sini kan Cuma bertiga. Jadi degdegan gini,” jawabku resah seakan tau ada sesuatu yang tak beres berkaca dari kejadian lampu tad
Malam itu, Gina bercerita padaku kalau sebenarnya ia mendengar percakapan antara aku dan paman Danu. Hanya saja, Gina tak terlalu merasa takut akan hal itu. Memang, waktu kecil Gina dikenal sebagai anak yang penakut dan hampir tidak pernah mau menginap di rumah kakek saat acara keluarga besar, terkecuali orang tuanya, yaitu Tante Eva ikut menginap juga."Akan kubuktikan kalau aku tak sepenakut dulu! Hahaha." ucapnya padaku.Keesokan harinya, Paman agung dan istrinya sudah pergi pagi-pagi meninggalkan rumah karena suatu urusan. Agenda kami bertiga hari ini adalah menanyakan beberapa hal mengenai perkembangan rumah ini setelah aku dan keluarga tak lagi tinggal disana. Ditambah dengan Pak Haji Asep yang kini telah tiada, kami berencana akan silaturahmi pada keluarga beliau."Mulai dari siapa dulu, Paman?" tanya Gina."Sebaiknya, rumah Bu Popon. Terakhir kemarin kita datang kesini, beliau sedang diluar kota. Kebetulan tadi paman li
“Hoaam …. Nggak kerasa udah mau subuh aja. Soalnya, cerita Kak Dara nggak seru, sih,” ucap Gina yang nampaknya mulai mengantuk. “Tidur, yuk? Aku juga udah ngantuk, nih. Kapan-kapan lanjut lagi, oke?” jawabku. “Lah, Emangnya, masih ada cerita lain, Kak?” “Kalau berdasarkan pengalaman aku dulu ya cuma itu aja, sih. Cuma, kalau mau tau cerita dengan versi lain, bisa tanya Mang Danu gitu.” Kami semua akhirnya tertidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Tiga jam bercerita tanpa henti membuat mulutku seakan berbusa. Sebenarnya, ada satu hal yang belum aku ceritakan pada Gina karena alasan takut di bilangnya kepedean. Cerita itu adalah, sedikitnya mungkin aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hingga saat ini. “Pagi semua! Bangun, bangun euy, bangun! Yang merasa cucu kakek Soetrisno berkumpul di sini,” seru mang Danu dengan membawa kertas dan pulpen di tangannya. “Aya naon, Mang Danu?” tanya Gina heran. “Tadi malem, mang
Waktu menunjukkan pukul 5:00 pagi, aku tak melihat ayah dirumah. Ibu bilang ia sudah menuju rumah Kakek untuk beres beres disana. “Dara, nanti pulang sekolah ibu jemput, ya? Biar kita bisa bantu ayah membereskan rumah Kakek,” ujar ibu padaku. “Loh, bukannya kata Mang Danu, yang mau liat rumah itu pagi-pagi, Bu?” tanyaku. “Nggak jadi. Katanya, dia datang jam satu siang, Dar,” jawab ibu. ‘Yeay!’ ucapku dalam hati kegirangan. Karena aku penasaran siapa sih artis yang akan datang itu? Aku berharap, ia tertarik untuk membeli rumah Kakek.Karena sangat senang, aku memberi tau pada teman-teman sekolahku tentang kabar ini. Mereka yang sama antusiasnya denganku, terus bertanya-tanya siapakah artis itu. “Beneran, Dara? Rumah aku kan deket sama rumahmu, nanti aku mampir, ah. Pengen foto bareng sama artis,” celetuk Yuni teman sebangkuku. Waktu berlalu akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Jam menunjukkan saatnya pulang dan aku langsung bergegas
Tak terasa, sudah satu minggu kami menempati kontrakan mungil ini. Saking nyamannya dengan suasana baru, kami hampir lupa mengecek bagaimana keadaan rumah kakek sekarang. “Dara, pulang sekolah nanti, kamu ikut ayah ke rumah kakek, ya? Sekalian bawa panci yang ibu bilang kemarin. Lagian ibu ini ada-ada aja, kok bisa sih panci itu ketinggalan?!” canda ayah geleng-geleng kepala. “Siap, Yah. Sekalian aku juga mau bawa baju tidurku yang ketinggalan di jemuran, hehe.” Saat jam pulang sekolah tiba, ayah sudah menungguku di gerbang. Ia melambaikan tangannya kepadaku dan aku langsung berlari ke arahnya stepat saat bel sekolah berbunyi. Kami berjalan kaki menuju rumah kakek. Dari ujung jalan, tampak depan rumah kakek sudah mulai terlihat. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari rumah itu. Apa mungkin aku salah lihat? “Bentar-bentar. Kok , itu ….” Langkah ayah terhenti. Sepertinya, ia melihat sesuatu yang janggal sama sepertiku tadi. “Yy-Yah, kok ….
“Ya Allah, Tasya! Kok kamu bisa di sini, sih?!” seru ibu terkejut. Alih-alih mencari Tasya di tempat lain, kami justru menemukannya tertidur di salah satu anak tangga yang menuju lantai dua rumah ini. Padahal, aku, ayah dan ibu sempat mondar mandir melewati tangga itu tapi tak mengira kalau Tasya akan berada di sana karena kita semua tau, area itu selalu gelap. Mendengar ibu berteriak cukup keras dan ayah yang segera menggendongnya ke kamar, tentunya Tasya terbangun sdengan tatapan bingung melihat kami yang panik. “A-ada apa, Bu? “ tanyanya polos sambil masih memegang erat boneka kesayangannya. “Ngapain sih kamu tidur di tangga?” ucapku mendahului bertanya. “Ng-nggak tau, Kak. Emangnya, kenapa? Dari tadi aku tidur di kamar, kok,” jawab Tasya yakin. “Kalau dia mengigau, dia pasti akan jatuh saat menaiki tangga. Lagi pula, Tasya kan nggak berani ke atas sendirian,” ujar ayah. “Lalu, bagaimana Tasya bisa tiba-tiba tidur di tangga?
“Solusi Danu semalam nggak ada gunanya, kan? Nining pergi, tapi kita tetap seperti ini dan sudah jelas kalau akar semua ini bukan hanya dari Nining saja! Mau sampai kapan kita begini, Yah?! Kasihan anak-anak! ” Suara bising membangunkanku pagi ini. Aku pergi mengintip dari sela-sela pintu kamar untuk melihat keadaan. Dan benar saja, yang kudengar tadi adalah suara ibu yang kini sedang berdebat dengan ayah. Ibu duduk di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, ayah mondar-mandir terlihat kebingungan sambil sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. “Kyai Usman dan Pak Asep hanya menyarankan kita untuk pengajian dulu. Kegiatan itu tidak butuh banyak pengeluaran, yang penting niatnya saja. Insya Allah keadaan kita akan segera membaik,” jelas ayah menenangkan. “Niat sih niat, Yah. Tapi, nggak mungkin juga kalau kita mengadakan penganian tanpa konsumsi. Sedangkan saat ini kita nggak punya uang sama sekali,” gumam ibu kesal. “Setidaknya, Ayah bisa pi
“Akhirnya, ketemu juga jimat sialan ini!” racau ayah yang suaranya terdengar olehku. “Eh, tong asal ngomong, Farhan! Pamali!” tegur pak Asep. Aku paham mengapa ayah sangat kesal sekaligus senang saat menemukan jimat itu. Aku pun tak menyangka jika teh Nining ada hubungannya dengan semua ini. Seseorang yang ku anggap sebagai malaikat penjaga, ternyata menyimpan keburukan di baliknya. Setidaknya, itulah yang ada dalam benakku pada wanita yang menjaga aku dan kedua adikku itu. “Baiklah. Sekarang, kita hanya perlu bicara pada Nining. Ia pasti lebih tau tentang jimat ini. Bu Ambar, bisa tolong panggilkan Nining ke sini?” papar kyai Usman. “Ba-baik, Kyai. Dara, kamu tunggu di sini sebentar sama Mang Danu, ya? Ibu jemput teh Nining sebentar,” ucap ibu pada kyai Usman beriringan dengan bicara padaku. “Oh ya, Pak Farhan. Para kru akan pulang duluan, saya di sini ditemani oleh Rizki saja, dia membawa kamera pribadi untuk dokumentasi bilamana nantinya di
“Selamat malam para pendengar setia Radio Gordan FM, kembali lagi dengan saya, Rizki Alamsyah dalam siaran ‘Cerita Misteri' . Pada malam jum'at kali ini, cerita akan berasal dari salah satu rumah di daerah Bandung Timur. Bersama kami, telah hadir Bapak Farhan selaku pemilik rumah dan juga Pak Haji Asep sebagai tetangga sekaligus saksi dari beberapa kejadian misteri di rumah ini. “ Suara sang penyiar yang cukup familiar di telingaku terdengar lebih bagus saat mendengarkannya langsung. Sebenarnya, sesekali aku pernah mendengar siaran ini bersama mang Danu tetapi tak pernah selesai karena takut. Aku tak menyangka kalau saat ini rumahku sendirilah yang akan diangkat ceritanya. “Bu, aku kaya lihat teh Nining di luar,” bisikku pada ibu di sebelahku. “Mungkin kamu salah lihat, Nak. Ibu sudah sms bu Popon untuk menjaga adik-adikmu. Kamu jangan berisik, ya? Banyak berdoa saat siaran berlangsung,” tegas ibu. Setengah jam berlalu ayah sudah menceritakan semua ke