“Seperti apa wajahnya, Nak?! Jelaskan pada Ibu!”
“Yang Tasya ingat, semula wajahnya seperti Teh Nining. Namun, saat sampai di atas, wajahnya berubah menjadi hi-hi-hitam dan ma-tanya merah menyala ….”
Di saat Tasya menjelaskan sosok menyeramkan itu, tiba-tiba tubuhnya terkelulai lemas dan ia tak sadarkan diri.
Kami semua panik, ibu segera menelepon ayah. Badan Tasya menjadi panas dan suhunya mencapai tiga puluh sembilan derajat celcius dan masih dalam keadaan pingsan. Kami masih menunggu kehadiran ayah yang tak kunjung datang. Ibu memutuskan untuk tidak memberitahu atau meminta tolong pada siapa pun karna akhir-akhir ini ia merasa sudah banyak merepotkan banyak orang.
Malam itu suasana benar-benar mencekam, aku menahan tangis karena takut melihat kondisi adikku yang seperti ini. Syukurlah beberapa saat kemudian, perlahan Tasya mulai membuka matanya, gelisah yang menghampiri kami setidaknya berkurang sedikit saat ini.
“Bu, to-tolong usir dia, Bu! Suruh dia pergi!” rintih Tasya mengarahkan jari telunjuknya ke arah belakang Ibu.
Entah apa yang ia lihat, di sini jelas-jelas hanya ada aku, ibu, Robi, teh Nining, dan Tasya sendiri. Apa ia berhalusinasi? Ekspresi dengan wajah yang pucat seperti mengisyaratkan ketakutan atas apa yang dilihatnya.
“Apa maksudmu, Nak?? Nggak ada siapa pun di sini. Tenang ya, Sayang. Badanmu panas sekali,” lirih ibu khawatir.
“Ti-tidak, Bu. Li-lihat! Perempuan itu pergi ke arah kamar mandi. Usir dia! Dia orang jahat!”
Tak tahan melihat Tasya yang terus meracau, Ibu mengunci pandangannya dengan tatapan penuh amarah. Ia mengangkat tubuhnya berdiri dan langsung pergi berjalan ke arah sosok itu seperti yang Tasya ucapkan. Ibu terkejut lantaran pintu penghubung kamar ini dan kamar cuci sudah terbuka lebar. Aku hanya bisa mengintip apa yang ibu lakukan ini dari balik tembok dengan gemetar.
Ibu terdiam terpaku melihat sesosok wanita yang sedang membelakanginya. Dengan menggunakan setelan kebaya dan kain samping batik juga rambut yang disanggul lengkap dengan hiasan berwarna perak.
“Si-siapa, kamu?!!” bentak ibu dengan nada goyang dan gemetar.
Wanita itu memalingkan wajah dan tubuhnya perlahan. Ia maju tanpa hentakan langkah dan kaki yang tak menapak tanah ke arah ibu. Kini, ibu dan wanita itu berhadapan langsung hanya berjarak satu meter saja.
Rasa takut seakan tertutup oleh kekesalan di wajah ibu , ia geram terhadap sosok yang mengganggu keluargaku ini.
“Apa maumu?! Jangan ganggu kami! Pergi dari sini!”
Wanita itu masih terdiam dan tersenyum sinis tanpa kata pada ibu. Lalu, tiba-tiba ia mengarahkan jarinya ke dinding yang di baliknya adalah Tasya yang sedang terbaring lemah.
“Aku bilang, jangan ganggu anakku!”
Kemarahan ibu dapat kurasakan saat itu. Matanya melotot dengan wajah yang memerah menandakan ia mampu menghadapi apa pun demi keselamatan anaknya bahkan iblis sekali pun.
“A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim, aku berlindung kepada Allah Subhanahu w* ta'ala dari setan yang terkutuk!”
Gumaman ibu saat membaca doa berhasil membuatku merinding dan meteskan air mata. Perlahan, wanita itu berubah wujud menjadi makhluk yang sangat menyeramkan sama persis dengan perkataan Tasya tadi.
“Aaaaaargh! Aku akan kembaliiii!
Teriak wanita itu seraya menghilang perlahan seperti api yang di tiup menyisakan asap. Di saat yang sama, ibu tiba-tiba pingsan bertepatan dengan ayah yang baru saja pulang dan langsung menggendong ibu dan mengangkatnya ke kasur.
“Bu, Bu, bangun, Bu. Istigfar, Bu.”
“Ya-Yah, tolong, to-tolong usir wanita itu,” rintih ibu dengan tubuh yang masih lemas.
“Sudah pergi, Bu. Sudah, tenanglah, Ayah ada di sini.”
“Ta-tapi, Tasya ….”
“Tasya ada di sebelah Ibu, kondisinya sudah baikan sekarang.”
“Syukurlah.”
Ibu menatap langit-langit rumah sejenak sambil menangis dan memeluk Tasya, aku dan Robi.
“Apa sebaiknya kita pindah saja dari sini?” tanya ayah khawatir.
“Keuangan kita belum cukup untuk pindah, Yah. Lagi pula, Nining belum sebulan mengurus anak-anak.”
“Ah, baiklah nanti Ayah pikirkan lagi solusi terbaik.”
Ketika suasana sudah berangsur tenang, tiba-tiba terdengar samar suara dari arah ruang tamu. Suara yang tak asing di telinga kami. Sepertinya, itu suara angklung yang terhembus angin. Angin? Dari mana datangnya angin di ruangan tertutup malam-malam begini?
“Ning, tolong kamu cek di depan. Mungkin saya lupa menutup pintu karena terburu-buru, jadi ada angin masuk,” kata Ayah.
Hiasan angklung itu berada tepat di atas meja utama di ruang tamu. Terdiri dari delapan buah angklung dengan nada yang di gantung bersamaan dalam ukuran terbesar hingga terkecil.
“Baik, Pak.”
Teh Nining lantas menuju ruang tamu guna memastikan apa yang terjadi di sana.
“Di sini tidak ada apa-apa, Pak!” seru teh Nining.
“Syukurlah, tolong sekalian kunci pintu rumah ya, Ning,” perintah ayah berteriak dari kamar.
Sungguh tak biasa. Gemercik kunci terdengar seakan teh Nining dalam keadaan yang terburu-buru dan ingin segera pergi dari tempatnya berada.
“Sudah dikunci pintunya, Ning? Oh ya, tolong buatkan segelas susu untuk Tasya.”
“Iya, Pak. Ini pintunya sudah saya …. Arrrggghhh!”
Kami semua terkejut mendengar teriakan teh Nining. Aku yang masih belum sepenuhnya melupakan kejadian ibu dan wanita tadi, sangat kesal dan ingin sekali berteriak …. Ada apa lagi sih, ini?!
“Toloooong, Pak, Bu , toloong!!”
Dengan sigap ibu langsung memelukku, Tasya dan Robi. Ia seakan tau kalau makhluk yang ditemuinya tadi memang belum benar-benar pergi dari tempat ini.
Ayah berlari menuju ruang tamu sementara kami menunggu di kamar. Lalu, ia memopong teh Nining agar berkumpul bersama kami. Lalu ia kembali dan mengambil samurai yang terpajang di dinding dan berdiri tepat di tengah rumah.
Melihat gelagat ayah yang sudah emosi, aku dan ibu menghampirinya dan mencoba menenangkan ayah.
“Sok, kaluar! Tong kieu carana!” berang ayah sambil melihat ke sekitar dengan mata yang melotot.
Duk …. Duk …. Duk ….
Suara itu …. Suara yang sangat kukenali. Suara yang muncul saat aku sendiri waktu itu. Dan lagi, suaranya berasal dari lantai dua!
“Urang teu sieun ka maraneh, Gusti Allah hiji-hijina nu di pikasieun ku urang!” tantang ayah.
Kalimatnya sudah sangat kasar. Hal itu membuatku semakin khawatir akan keselamatan keluarga ini tatkala ayah yang terlihat sangat emosi.
“Yah, Yah! Istigfar, Yah!” tegur ibu.
“Nggak, Bu! Setan-setan ini sudah berlebihan mengganggu keluarga kita!” hardik ayah geram.
Aku hanya bisa menangis melihat hal ini. Ya Allah, apa salah kami? Kenapa Kau biarkan kami menderita seperti ini??
“Pak, Pak Farhan! Aya naon, Pak!! Buka pantona!”
Aku mengalihkan pandangan tatkala mendengar suara riuh beberapa orang yang sepertinya berada di depan pintu rumah.
Ternyata, kang Duloh dan para tetangga datang. Mereka mendengar suara ribut dari dalam rumah kami dan datang melihat keadaan kami karena khawatir.
“Abdi tos teu kiat, Kang. Karunya, teu tega ningal murangkalih sareng istri teu tenang di rumah ieu di ganggu wae,” cerita ayah sambil tertunduk di hadapan Kang Duloh terdengar lirih.
“Bapa tenang heula, istigfar ….” balas Kang Duloh.
Seakan memotong percakapan ayah dan kang Duloh. Mang Danu datang menghampiri kami di tengah-tengah kerumunan.
“A Farhan, aya naon ieu?!”
“Geus, teu kudu nyaho. Jug indit, urang mah teu butuh maneh, Danu!” pungkas ayah ketus tanpa menatap mang Danu sedikit pun.
Nampaknya, ayah cukup kecewa pada mang Danu. Kalau boleh jujur, aku pun sama. Di situasi seperti ini kami sangat membutuhkan pertolongannya. Tapi, ia jarang pulang ke rumah atau bahkan mampir sedikit saja. Para tetanggalah yang sering menolong kami.
“Dangukeun heula Danu, A. Ayeuna Danu ngarti permasalahana naon, Insya Allah, Danu aya solusi.”
Mang Danu dan ayah sudah pergi sejak tadi pagi entah kemana. Setelah tadi malam keduanya berdebat dan dilerai oleh kang Duloh, akhirnya mereka berdamai dengan sebuah kesepakatan. Kami yang masih trauma karena kejadian semalam, memutuskan untuk menginap di rumah salah satu tetangga yaitu, rumah bu Popon. “Percaya ka Danu, A Farhan. Danu siga kieu sanes dihaja. Insya Allah solusi ieu berhasil. ” Sedikitnya, itulah pembicaraan yang terdengar antara ayah dan pamanku itu. Untung saja, kondisi Tasya sudah lumayan membaik walaupun ia sempat mengigau tak jelas saat tidur. “Neng Dara, Tasya, Robi kalau ada apa-apa bilang sama Ibu dan tidur di sini, jangan sungkan,” ajak bu Popon pada kami. “I-iya, Bu. Dara nggak berani cerita karena takut merepotkan. Lagi pula sekarang udah ada teh Nining yang menjaga kami.” “Ah, siga ka saha wae atuh, Neng. Kalian kan sudah lama di sini. Terutama, Ibu juga kenal baik dengan almarhum Pak Sutrisno. Kalian sudah Ib
“Selamat malam para pendengar setia Radio Gordan FM, kembali lagi dengan saya, Rizki Alamsyah dalam siaran ‘Cerita Misteri' . Pada malam jum'at kali ini, cerita akan berasal dari salah satu rumah di daerah Bandung Timur. Bersama kami, telah hadir Bapak Farhan selaku pemilik rumah dan juga Pak Haji Asep sebagai tetangga sekaligus saksi dari beberapa kejadian misteri di rumah ini. “ Suara sang penyiar yang cukup familiar di telingaku terdengar lebih bagus saat mendengarkannya langsung. Sebenarnya, sesekali aku pernah mendengar siaran ini bersama mang Danu tetapi tak pernah selesai karena takut. Aku tak menyangka kalau saat ini rumahku sendirilah yang akan diangkat ceritanya. “Bu, aku kaya lihat teh Nining di luar,” bisikku pada ibu di sebelahku. “Mungkin kamu salah lihat, Nak. Ibu sudah sms bu Popon untuk menjaga adik-adikmu. Kamu jangan berisik, ya? Banyak berdoa saat siaran berlangsung,” tegas ibu. Setengah jam berlalu ayah sudah menceritakan semua ke
“Akhirnya, ketemu juga jimat sialan ini!” racau ayah yang suaranya terdengar olehku. “Eh, tong asal ngomong, Farhan! Pamali!” tegur pak Asep. Aku paham mengapa ayah sangat kesal sekaligus senang saat menemukan jimat itu. Aku pun tak menyangka jika teh Nining ada hubungannya dengan semua ini. Seseorang yang ku anggap sebagai malaikat penjaga, ternyata menyimpan keburukan di baliknya. Setidaknya, itulah yang ada dalam benakku pada wanita yang menjaga aku dan kedua adikku itu. “Baiklah. Sekarang, kita hanya perlu bicara pada Nining. Ia pasti lebih tau tentang jimat ini. Bu Ambar, bisa tolong panggilkan Nining ke sini?” papar kyai Usman. “Ba-baik, Kyai. Dara, kamu tunggu di sini sebentar sama Mang Danu, ya? Ibu jemput teh Nining sebentar,” ucap ibu pada kyai Usman beriringan dengan bicara padaku. “Oh ya, Pak Farhan. Para kru akan pulang duluan, saya di sini ditemani oleh Rizki saja, dia membawa kamera pribadi untuk dokumentasi bilamana nantinya di
“Solusi Danu semalam nggak ada gunanya, kan? Nining pergi, tapi kita tetap seperti ini dan sudah jelas kalau akar semua ini bukan hanya dari Nining saja! Mau sampai kapan kita begini, Yah?! Kasihan anak-anak! ” Suara bising membangunkanku pagi ini. Aku pergi mengintip dari sela-sela pintu kamar untuk melihat keadaan. Dan benar saja, yang kudengar tadi adalah suara ibu yang kini sedang berdebat dengan ayah. Ibu duduk di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, ayah mondar-mandir terlihat kebingungan sambil sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. “Kyai Usman dan Pak Asep hanya menyarankan kita untuk pengajian dulu. Kegiatan itu tidak butuh banyak pengeluaran, yang penting niatnya saja. Insya Allah keadaan kita akan segera membaik,” jelas ayah menenangkan. “Niat sih niat, Yah. Tapi, nggak mungkin juga kalau kita mengadakan penganian tanpa konsumsi. Sedangkan saat ini kita nggak punya uang sama sekali,” gumam ibu kesal. “Setidaknya, Ayah bisa pi
“Ya Allah, Tasya! Kok kamu bisa di sini, sih?!” seru ibu terkejut. Alih-alih mencari Tasya di tempat lain, kami justru menemukannya tertidur di salah satu anak tangga yang menuju lantai dua rumah ini. Padahal, aku, ayah dan ibu sempat mondar mandir melewati tangga itu tapi tak mengira kalau Tasya akan berada di sana karena kita semua tau, area itu selalu gelap. Mendengar ibu berteriak cukup keras dan ayah yang segera menggendongnya ke kamar, tentunya Tasya terbangun sdengan tatapan bingung melihat kami yang panik. “A-ada apa, Bu? “ tanyanya polos sambil masih memegang erat boneka kesayangannya. “Ngapain sih kamu tidur di tangga?” ucapku mendahului bertanya. “Ng-nggak tau, Kak. Emangnya, kenapa? Dari tadi aku tidur di kamar, kok,” jawab Tasya yakin. “Kalau dia mengigau, dia pasti akan jatuh saat menaiki tangga. Lagi pula, Tasya kan nggak berani ke atas sendirian,” ujar ayah. “Lalu, bagaimana Tasya bisa tiba-tiba tidur di tangga?
Tak terasa, sudah satu minggu kami menempati kontrakan mungil ini. Saking nyamannya dengan suasana baru, kami hampir lupa mengecek bagaimana keadaan rumah kakek sekarang. “Dara, pulang sekolah nanti, kamu ikut ayah ke rumah kakek, ya? Sekalian bawa panci yang ibu bilang kemarin. Lagian ibu ini ada-ada aja, kok bisa sih panci itu ketinggalan?!” canda ayah geleng-geleng kepala. “Siap, Yah. Sekalian aku juga mau bawa baju tidurku yang ketinggalan di jemuran, hehe.” Saat jam pulang sekolah tiba, ayah sudah menungguku di gerbang. Ia melambaikan tangannya kepadaku dan aku langsung berlari ke arahnya stepat saat bel sekolah berbunyi. Kami berjalan kaki menuju rumah kakek. Dari ujung jalan, tampak depan rumah kakek sudah mulai terlihat. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari rumah itu. Apa mungkin aku salah lihat? “Bentar-bentar. Kok , itu ….” Langkah ayah terhenti. Sepertinya, ia melihat sesuatu yang janggal sama sepertiku tadi. “Yy-Yah, kok ….
Waktu menunjukkan pukul 5:00 pagi, aku tak melihat ayah dirumah. Ibu bilang ia sudah menuju rumah Kakek untuk beres beres disana. “Dara, nanti pulang sekolah ibu jemput, ya? Biar kita bisa bantu ayah membereskan rumah Kakek,” ujar ibu padaku. “Loh, bukannya kata Mang Danu, yang mau liat rumah itu pagi-pagi, Bu?” tanyaku. “Nggak jadi. Katanya, dia datang jam satu siang, Dar,” jawab ibu. ‘Yeay!’ ucapku dalam hati kegirangan. Karena aku penasaran siapa sih artis yang akan datang itu? Aku berharap, ia tertarik untuk membeli rumah Kakek.Karena sangat senang, aku memberi tau pada teman-teman sekolahku tentang kabar ini. Mereka yang sama antusiasnya denganku, terus bertanya-tanya siapakah artis itu. “Beneran, Dara? Rumah aku kan deket sama rumahmu, nanti aku mampir, ah. Pengen foto bareng sama artis,” celetuk Yuni teman sebangkuku. Waktu berlalu akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Jam menunjukkan saatnya pulang dan aku langsung bergegas
“Hoaam …. Nggak kerasa udah mau subuh aja. Soalnya, cerita Kak Dara nggak seru, sih,” ucap Gina yang nampaknya mulai mengantuk. “Tidur, yuk? Aku juga udah ngantuk, nih. Kapan-kapan lanjut lagi, oke?” jawabku. “Lah, Emangnya, masih ada cerita lain, Kak?” “Kalau berdasarkan pengalaman aku dulu ya cuma itu aja, sih. Cuma, kalau mau tau cerita dengan versi lain, bisa tanya Mang Danu gitu.” Kami semua akhirnya tertidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Tiga jam bercerita tanpa henti membuat mulutku seakan berbusa. Sebenarnya, ada satu hal yang belum aku ceritakan pada Gina karena alasan takut di bilangnya kepedean. Cerita itu adalah, sedikitnya mungkin aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hingga saat ini. “Pagi semua! Bangun, bangun euy, bangun! Yang merasa cucu kakek Soetrisno berkumpul di sini,” seru mang Danu dengan membawa kertas dan pulpen di tangannya. “Aya naon, Mang Danu?” tanya Gina heran. “Tadi malem, mang
Saat ini, aku memutuskan untuk menambah list tentang hal-yang paling kubenci di dunia ini yaitu, lampu sensor. Benci, sangat benci, di rumah ini hanya ada aku, mang Danu dan Gina saja. Om Agung sedangberada di rumah temannya yang berbeda blok dari sini. Lalu, mengapa lampu sensor di lorong itu masih menyala hingga kini?! ‘Bodo Amat!’ dalam benakku saat itu. Aku memalingkan wajah dan tak mau lagi menoleh ke belakang walaupun sangat ingin. Saat sedang asik-asiknya menonton tv dan sesekali berbincang dengan yang lain. Sesuatu mengalihkan perhatian kami secara bersamaan. Bruk …. Klontang …. Pranggg …. Kami bertiga saling melempar pandang dalam diam. Suara itu …. Seperrti ada seseorang yang melakukan aktifitas di dapur. “Saha eta, Dar?” tanya mang Danu. “Nggak tau, Mang. Jangan nanya ke aku lah, kita the di sini kan Cuma bertiga. Jadi degdegan gini,” jawabku resah seakan tau ada sesuatu yang tak beres berkaca dari kejadian lampu tad
Malam itu, Gina bercerita padaku kalau sebenarnya ia mendengar percakapan antara aku dan paman Danu. Hanya saja, Gina tak terlalu merasa takut akan hal itu. Memang, waktu kecil Gina dikenal sebagai anak yang penakut dan hampir tidak pernah mau menginap di rumah kakek saat acara keluarga besar, terkecuali orang tuanya, yaitu Tante Eva ikut menginap juga."Akan kubuktikan kalau aku tak sepenakut dulu! Hahaha." ucapnya padaku.Keesokan harinya, Paman agung dan istrinya sudah pergi pagi-pagi meninggalkan rumah karena suatu urusan. Agenda kami bertiga hari ini adalah menanyakan beberapa hal mengenai perkembangan rumah ini setelah aku dan keluarga tak lagi tinggal disana. Ditambah dengan Pak Haji Asep yang kini telah tiada, kami berencana akan silaturahmi pada keluarga beliau."Mulai dari siapa dulu, Paman?" tanya Gina."Sebaiknya, rumah Bu Popon. Terakhir kemarin kita datang kesini, beliau sedang diluar kota. Kebetulan tadi paman li
“Hoaam …. Nggak kerasa udah mau subuh aja. Soalnya, cerita Kak Dara nggak seru, sih,” ucap Gina yang nampaknya mulai mengantuk. “Tidur, yuk? Aku juga udah ngantuk, nih. Kapan-kapan lanjut lagi, oke?” jawabku. “Lah, Emangnya, masih ada cerita lain, Kak?” “Kalau berdasarkan pengalaman aku dulu ya cuma itu aja, sih. Cuma, kalau mau tau cerita dengan versi lain, bisa tanya Mang Danu gitu.” Kami semua akhirnya tertidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Tiga jam bercerita tanpa henti membuat mulutku seakan berbusa. Sebenarnya, ada satu hal yang belum aku ceritakan pada Gina karena alasan takut di bilangnya kepedean. Cerita itu adalah, sedikitnya mungkin aku bisa merasakan kehadiran makhluk halus hingga saat ini. “Pagi semua! Bangun, bangun euy, bangun! Yang merasa cucu kakek Soetrisno berkumpul di sini,” seru mang Danu dengan membawa kertas dan pulpen di tangannya. “Aya naon, Mang Danu?” tanya Gina heran. “Tadi malem, mang
Waktu menunjukkan pukul 5:00 pagi, aku tak melihat ayah dirumah. Ibu bilang ia sudah menuju rumah Kakek untuk beres beres disana. “Dara, nanti pulang sekolah ibu jemput, ya? Biar kita bisa bantu ayah membereskan rumah Kakek,” ujar ibu padaku. “Loh, bukannya kata Mang Danu, yang mau liat rumah itu pagi-pagi, Bu?” tanyaku. “Nggak jadi. Katanya, dia datang jam satu siang, Dar,” jawab ibu. ‘Yeay!’ ucapku dalam hati kegirangan. Karena aku penasaran siapa sih artis yang akan datang itu? Aku berharap, ia tertarik untuk membeli rumah Kakek.Karena sangat senang, aku memberi tau pada teman-teman sekolahku tentang kabar ini. Mereka yang sama antusiasnya denganku, terus bertanya-tanya siapakah artis itu. “Beneran, Dara? Rumah aku kan deket sama rumahmu, nanti aku mampir, ah. Pengen foto bareng sama artis,” celetuk Yuni teman sebangkuku. Waktu berlalu akhirnya waktu yang dinanti pun tiba. Jam menunjukkan saatnya pulang dan aku langsung bergegas
Tak terasa, sudah satu minggu kami menempati kontrakan mungil ini. Saking nyamannya dengan suasana baru, kami hampir lupa mengecek bagaimana keadaan rumah kakek sekarang. “Dara, pulang sekolah nanti, kamu ikut ayah ke rumah kakek, ya? Sekalian bawa panci yang ibu bilang kemarin. Lagian ibu ini ada-ada aja, kok bisa sih panci itu ketinggalan?!” canda ayah geleng-geleng kepala. “Siap, Yah. Sekalian aku juga mau bawa baju tidurku yang ketinggalan di jemuran, hehe.” Saat jam pulang sekolah tiba, ayah sudah menungguku di gerbang. Ia melambaikan tangannya kepadaku dan aku langsung berlari ke arahnya stepat saat bel sekolah berbunyi. Kami berjalan kaki menuju rumah kakek. Dari ujung jalan, tampak depan rumah kakek sudah mulai terlihat. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari rumah itu. Apa mungkin aku salah lihat? “Bentar-bentar. Kok , itu ….” Langkah ayah terhenti. Sepertinya, ia melihat sesuatu yang janggal sama sepertiku tadi. “Yy-Yah, kok ….
“Ya Allah, Tasya! Kok kamu bisa di sini, sih?!” seru ibu terkejut. Alih-alih mencari Tasya di tempat lain, kami justru menemukannya tertidur di salah satu anak tangga yang menuju lantai dua rumah ini. Padahal, aku, ayah dan ibu sempat mondar mandir melewati tangga itu tapi tak mengira kalau Tasya akan berada di sana karena kita semua tau, area itu selalu gelap. Mendengar ibu berteriak cukup keras dan ayah yang segera menggendongnya ke kamar, tentunya Tasya terbangun sdengan tatapan bingung melihat kami yang panik. “A-ada apa, Bu? “ tanyanya polos sambil masih memegang erat boneka kesayangannya. “Ngapain sih kamu tidur di tangga?” ucapku mendahului bertanya. “Ng-nggak tau, Kak. Emangnya, kenapa? Dari tadi aku tidur di kamar, kok,” jawab Tasya yakin. “Kalau dia mengigau, dia pasti akan jatuh saat menaiki tangga. Lagi pula, Tasya kan nggak berani ke atas sendirian,” ujar ayah. “Lalu, bagaimana Tasya bisa tiba-tiba tidur di tangga?
“Solusi Danu semalam nggak ada gunanya, kan? Nining pergi, tapi kita tetap seperti ini dan sudah jelas kalau akar semua ini bukan hanya dari Nining saja! Mau sampai kapan kita begini, Yah?! Kasihan anak-anak! ” Suara bising membangunkanku pagi ini. Aku pergi mengintip dari sela-sela pintu kamar untuk melihat keadaan. Dan benar saja, yang kudengar tadi adalah suara ibu yang kini sedang berdebat dengan ayah. Ibu duduk di sofa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, ayah mondar-mandir terlihat kebingungan sambil sesekali mengusap wajahnya dengan kasar. “Kyai Usman dan Pak Asep hanya menyarankan kita untuk pengajian dulu. Kegiatan itu tidak butuh banyak pengeluaran, yang penting niatnya saja. Insya Allah keadaan kita akan segera membaik,” jelas ayah menenangkan. “Niat sih niat, Yah. Tapi, nggak mungkin juga kalau kita mengadakan penganian tanpa konsumsi. Sedangkan saat ini kita nggak punya uang sama sekali,” gumam ibu kesal. “Setidaknya, Ayah bisa pi
“Akhirnya, ketemu juga jimat sialan ini!” racau ayah yang suaranya terdengar olehku. “Eh, tong asal ngomong, Farhan! Pamali!” tegur pak Asep. Aku paham mengapa ayah sangat kesal sekaligus senang saat menemukan jimat itu. Aku pun tak menyangka jika teh Nining ada hubungannya dengan semua ini. Seseorang yang ku anggap sebagai malaikat penjaga, ternyata menyimpan keburukan di baliknya. Setidaknya, itulah yang ada dalam benakku pada wanita yang menjaga aku dan kedua adikku itu. “Baiklah. Sekarang, kita hanya perlu bicara pada Nining. Ia pasti lebih tau tentang jimat ini. Bu Ambar, bisa tolong panggilkan Nining ke sini?” papar kyai Usman. “Ba-baik, Kyai. Dara, kamu tunggu di sini sebentar sama Mang Danu, ya? Ibu jemput teh Nining sebentar,” ucap ibu pada kyai Usman beriringan dengan bicara padaku. “Oh ya, Pak Farhan. Para kru akan pulang duluan, saya di sini ditemani oleh Rizki saja, dia membawa kamera pribadi untuk dokumentasi bilamana nantinya di
“Selamat malam para pendengar setia Radio Gordan FM, kembali lagi dengan saya, Rizki Alamsyah dalam siaran ‘Cerita Misteri' . Pada malam jum'at kali ini, cerita akan berasal dari salah satu rumah di daerah Bandung Timur. Bersama kami, telah hadir Bapak Farhan selaku pemilik rumah dan juga Pak Haji Asep sebagai tetangga sekaligus saksi dari beberapa kejadian misteri di rumah ini. “ Suara sang penyiar yang cukup familiar di telingaku terdengar lebih bagus saat mendengarkannya langsung. Sebenarnya, sesekali aku pernah mendengar siaran ini bersama mang Danu tetapi tak pernah selesai karena takut. Aku tak menyangka kalau saat ini rumahku sendirilah yang akan diangkat ceritanya. “Bu, aku kaya lihat teh Nining di luar,” bisikku pada ibu di sebelahku. “Mungkin kamu salah lihat, Nak. Ibu sudah sms bu Popon untuk menjaga adik-adikmu. Kamu jangan berisik, ya? Banyak berdoa saat siaran berlangsung,” tegas ibu. Setengah jam berlalu ayah sudah menceritakan semua ke