Aku menatap bapak intens, "apa polisi yang mengabarkan kerumah gak bilang apa-apa?"
"Mereka cuma bilang ini kecelakaan tunggal, dan kamu satu-satunya yang selamat..." kata kak Farhan, ibuk dari tadi gak ngomong apa-apa. Beliau hanya memelukku dan menangis, aku tau ibukku sangat takut. Aku pernah melewati masa kritis saat kelas 3 SMK, bedanya waktu itu terjadi aku dalam pengaruh gendham yang memang pengirimnya menginginkan nyawaku. Sedangkan sekarang murni kecelakaan. "Biasanya bapak bisa tanya ke polisi apa-apa, kenapa bapak gak tanya?" ujarku ngerasa aneh juga. "Karena yang datang itu orang e sok banget mbak! Junior abal abal merasa bener sendiri ya gitu..." sahut Vian membuat bapak dan kak Farhan terkekeh. Bukan hal baru jika seorang oknum akan merasa hebat saat berhadapan dengan orang awam."Bapak udah bilang sama Juan," kata bapak menjeda ucapannya sesaat, "dia akan membantu pengusutan kecelakaan ini, apalagi dari keterangan yang kamu sampaikan ke p"Mbak belum tidur?" Tanya Vian menyadarkanku dari lamunan, dan melihat ponselku yang sudah mati."Baru bangun, terus hubungin Silvi..." jawabku akhirnya setelah sadar panggilan tadi sudah berakhir."Mbak serius mau ngilang?" tanya Vian lalu mendekatiku dan duduk di dekatku."Serius...""Temen-temen mbak kan ada juga yang deket sama aku, kalau mereka cariin mbak gimana?""Bilang aja kamu nggak tau,""Oke, kalau itu bisa ngobatin sakitnya mbak aku dukung aja...""Janji ya yan, ibuk sama bapak jangan sampai tau aku di usir dari kosan...""Iya...""Beneran?""Iya mbak... kak Farhan juga udah bilang ke aku kemarin, masalah kos mbak jangan sampai bapak ibu tau. Kak Farhan takut bapak sama ibu mikir... nanti kalau aku udah ada duit aku bantuin mbak...""Nggak usah, untuk urusan kos yang satu ini nggak usah. Aku akan menyelesaikannya dengan caraku...""Mbak jangan sungkan sama aku...""E
"Mohon maaf, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak Andika sekeluarga. Saya menolak pinangan ini..." kataku dengan sekali tarikan nafas, nggak sia-sia semalaman berusaha menghafal kalimat itu. Setelah seharian kemarin aku membuat wajah ibu murung meskipun beliau selalu menampakkan keceriaannya di depanku, setidaknya bapak dan ibu tidak memaksakan kehendak seperti yang Vian katakan beberapa minggu yang lalu. Aku tidak perlu ragu menolak Juan, pada akhirnya dia akan menemukan wanita yang lebih baik dan sempurna untuk berdiri sebagai makmum di belakangnya.Dengan segala basa-basi nya acara lamaran ini berakhir dengan penolakan dariku, aku langsung pergi tanpa harus mengucapkan maaf yang kelewat batas. Untuk alasan dan kawan-kawannya biar bapak yang menjelaskan pada rombongan Juan. Aku memutar roda kursiku menuju taman samping rumah, sore ini suasana yang sejuk membuatku ingin bercengkerama dengan segenap anggrek yang sudah menjadi penghuni tetap tamanku.
"Aku akan pulang ke Gwangju Ra..."Aku masih diam menatapnya yang asik makan malam dari layar ponselku, aku tak tau harus mengatakan apa. Bagiku dia akan berada di pulau yang berbeda denganku terasa berat, meskipun kedekatan kami hanya sebatas teman."Ah, aku tiba-tiba ingat semua pesan yang kau kirimkan padaku. Jadi kamu perawat ya?" katanya membuatku ingat satu hal, aku cuti sudah hampir satu semester, dan belum mendapat pekerjaan apapun. Ditambah dengan aku yang masih teraphy jalan, bahkan semua artikel yang ku kirim ke perusahaan jurnalis tidak pernah mendapat balasan. Bapak dan ibuku juga sedang dalam masa pemulihan ekonomi, hampir setiap hari orang tuaku pergi pagi dan pulang sore. Vian sudah kembali ke pekerjaannya, dan kak Farhan sudah sibuk dengan magangnya."Nggak, aku cuti bang.""Cuti?""Iya, sudah hampir satu semester. Entah kenapa aku malah nggak ada keinginan untuk melanjutkan lagi. Aku mau mengejar cita-citaku untuk jadi dokter, meski
Aku masih nggak nyangka adikku yang dulu selama sebelum dia SMP selalu ada di belakangku, selalu jadi alasan aku bertengkar dengan orang lain, sering menjadi alasan aku hampir mematahkan tangan orang karena membully adikku yang memang cenderung pendiam ketika di luar rumah. Itu dulu, sekarang dia hampir menjadi suami orang, dan dia memang banyak berubah sejak SMA. Tidak sependiam dan sepemalu saat masih anak-anak. Aku menatap foto keluarga yang terpajang di ruang depan, senyumku mengembang tanpa permisi. Pernikahan Vian memang dadakan, malam itu dia bilang ingin menikahi Nada, besoknya ngajak lamaran, dia bahkan sudah menyiapkan semuanya. Dasar! Dua minggu berlalu dan hari inilah dia akan mengucap qobiltu. Semua sibuk pagi ini, kami mempersiapkan untuk pergi rombongan ke rumah Nada, ijab qobul akan di lakukan disana."Kamu ini nggak laku apa gimana sih Ra? Masa adeknya dulu yang nikah?"Aku menoleh ke sumber suara, dia budhe Indri anak ke 5 nenekku. Kakaknya bapak
Thing...Aku menatap ponselku enggan, notifikasi dari email. Aku hapal nada itu, palingan cuma notifikasi lanjutan dari fakebook, atau tewiter, atau malah ekstragram. Masa bodoh dengan itu, sudah seminggu sejak kejadian video call yang berakhir kegelapan karena entah apa yang Gidae dan pacarnya itu lakukan aku bahkan tidak membuka lagi ektragramku, malas, aku juga butuh pengobatan untuk hatiku yang sudah terlanjur berharap dengan sikap manisnya Gidae selama ini. Aku wanita normal, sangat wajar kan kalau perasaanku yang semula hanya mengagumi berubah menjadi perasan suka layaknya seorang perempuan menyukai seorang lelaki? Lagian juga Gidae gak kalah tampan dari Rounin, aku lemah dengan pesona ketampanan.Ddrrrrttt...Kali ini hanya getar panjang, artinya panggilan telephon masuk ke nomer biasa. Aku mengambil ponselku, melihat nama Silvi terpampang di sana. "Assalamu'alaikum Vi, how are you?" Sapa ku tanpa basa-basi."Fine Ara kawai..." sahut Silvi dengan suara imutn
Apa aku memang se egois itu? Tapi aku juga belum siap jika harus berhadapan dengan mereka semua. Seribet itu pemikiranku. Aku bahkan tidak bisa tidur malam ini, rasa kantukku lenyap seiring memikirkan Fatira dan Manda. Aku mengambil ponselku, mencari nama Silvi.Tuuuuuuuttttt....Tuuuuuuutttt....Tuuuuuuuuutttt...Nada sambung panggilan menguar sepenjuru kamar, sudah pasti ku loudspeaker, tak peduli nanti bapak ibuku mendengarnya. Aku sudah pusing dengan kenyataan ini."Hallo..." suara serak Silvi menyapaku, baru juga jam 10. Tumben udah tidur?"Bangun tidur?" selorohku dan dia terkekeh sesaat."Aku capek Ra.""Habis ngapain emang?""Maraton ke rumah sakit,""Siapa yang sakit?""Nggak ada.""Lha terus?""Fatira pengen bakso kadipolo..."Hening."Apa Fatira sering ngidam?" tanyaku sedikit merasa bersalah."Nggak juga, tapi kayaknya emang sengaja nggak minta kalau nggak pengen banget..." sa
"Mohon maaf, saya akan membicarakan beasiswa ini dengan orang tua saya dulu. Terimakasih."Balasku tak mengindahkan pesan-pesannya sebelum ini, aku memilih menganggap ungkapan formalku sebagai profesionalitas. Aku mematikan data selular, menatap segenap jajaran anggrek di depan jendela kamarku. "Cattleya, perasaanku ini aneh kah?" tanyaku pada anggrek bulan berwarna ungu itu, dia bukan jenis cattleya, tapi aku menamainya begitu. Suka-suka ku lah. Aku yang punya."Cattleya... aku suka sama dia... tapi, ah... aku nggak suka kalau harus ingat bagaimana pacar Gidae menciumnya... itu menyakitkan!" kataku lagi pada anggrekku.Aku menatap ponselku lagi, membuka file dokumen unduhan. Undangan beasiswa resmi itu tadi sudah ku unduh. Aku masih menikmati tulisan demi tulisan yang membuatku hampir melayang, tapi aku sangsi dengan ijin dari orang tuaku. Hanya tinggal memberi tanda tangan, dan tiba-tiba aku di rundung perasaan gelisah.Seandainya pun di ijinkan apa a
Baik bapak maupun ibu sama-sama tidak pernah membahas beasiswa itu lagi, padahal padahal kejadian hari itu aku sampai parah nangisnya, baiklah! Tangisanku memang tidak berharga, haha. Sambil memasukkan data-data yang memungkinkan mendapat beasiswa dari perusahaan swasta, aku mulai disibukkan dengan kegiatan di sanggar teather. Aku suka segala macam bentuk seni, termasuk seni peran, ketika aku memasukkan data diriku ke Culturic Theather sebenarnya aku pengen masuk ke bagian Sutradara atau setidaknya asisten Sutradara. Tapi karena aku nggak pernah sekolah di perperanan jadi ya aku di masukkan pada bagian pelatihan, karena aku punya sertifikat Swara Theater jaman aku masih SMA, ya meskipun theater garapan ektrakulikuler pun dan tidak seterkenal Theater Koma, setidaknya pengalaman jaman SMA itu cukup membantu posisiku di Culturic Theater. Kesibukan ini membuatku bisa mengabaikan rasa kecewaku yang nggk jdi kuliah, udah lah nanti jadi sedih juga. Sekaligus salah satu caraku menemukan ide