"Mohon maaf, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak Andika sekeluarga. Saya menolak pinangan ini..." kataku dengan sekali tarikan nafas, nggak sia-sia semalaman berusaha menghafal kalimat itu. Setelah seharian kemarin aku membuat wajah ibu murung meskipun beliau selalu menampakkan keceriaannya di depanku, setidaknya bapak dan ibu tidak memaksakan kehendak seperti yang Vian katakan beberapa minggu yang lalu. Aku tidak perlu ragu menolak Juan, pada akhirnya dia akan menemukan wanita yang lebih baik dan sempurna untuk berdiri sebagai makmum di belakangnya.
Dengan segala basa-basi nya acara lamaran ini berakhir dengan penolakan dariku, aku langsung pergi tanpa harus mengucapkan maaf yang kelewat batas. Untuk alasan dan kawan-kawannya biar bapak yang menjelaskan pada rombongan Juan. Aku memutar roda kursiku menuju taman samping rumah, sore ini suasana yang sejuk membuatku ingin bercengkerama dengan segenap anggrek yang sudah menjadi penghuni tetap tamanku.Mohon maaf karena typo masih bertebaran di mana-mana... 🙏
"Aku akan pulang ke Gwangju Ra..."Aku masih diam menatapnya yang asik makan malam dari layar ponselku, aku tak tau harus mengatakan apa. Bagiku dia akan berada di pulau yang berbeda denganku terasa berat, meskipun kedekatan kami hanya sebatas teman."Ah, aku tiba-tiba ingat semua pesan yang kau kirimkan padaku. Jadi kamu perawat ya?" katanya membuatku ingat satu hal, aku cuti sudah hampir satu semester, dan belum mendapat pekerjaan apapun. Ditambah dengan aku yang masih teraphy jalan, bahkan semua artikel yang ku kirim ke perusahaan jurnalis tidak pernah mendapat balasan. Bapak dan ibuku juga sedang dalam masa pemulihan ekonomi, hampir setiap hari orang tuaku pergi pagi dan pulang sore. Vian sudah kembali ke pekerjaannya, dan kak Farhan sudah sibuk dengan magangnya."Nggak, aku cuti bang.""Cuti?""Iya, sudah hampir satu semester. Entah kenapa aku malah nggak ada keinginan untuk melanjutkan lagi. Aku mau mengejar cita-citaku untuk jadi dokter, meski
Aku masih nggak nyangka adikku yang dulu selama sebelum dia SMP selalu ada di belakangku, selalu jadi alasan aku bertengkar dengan orang lain, sering menjadi alasan aku hampir mematahkan tangan orang karena membully adikku yang memang cenderung pendiam ketika di luar rumah. Itu dulu, sekarang dia hampir menjadi suami orang, dan dia memang banyak berubah sejak SMA. Tidak sependiam dan sepemalu saat masih anak-anak. Aku menatap foto keluarga yang terpajang di ruang depan, senyumku mengembang tanpa permisi. Pernikahan Vian memang dadakan, malam itu dia bilang ingin menikahi Nada, besoknya ngajak lamaran, dia bahkan sudah menyiapkan semuanya. Dasar! Dua minggu berlalu dan hari inilah dia akan mengucap qobiltu. Semua sibuk pagi ini, kami mempersiapkan untuk pergi rombongan ke rumah Nada, ijab qobul akan di lakukan disana."Kamu ini nggak laku apa gimana sih Ra? Masa adeknya dulu yang nikah?"Aku menoleh ke sumber suara, dia budhe Indri anak ke 5 nenekku. Kakaknya bapak
Thing...Aku menatap ponselku enggan, notifikasi dari email. Aku hapal nada itu, palingan cuma notifikasi lanjutan dari fakebook, atau tewiter, atau malah ekstragram. Masa bodoh dengan itu, sudah seminggu sejak kejadian video call yang berakhir kegelapan karena entah apa yang Gidae dan pacarnya itu lakukan aku bahkan tidak membuka lagi ektragramku, malas, aku juga butuh pengobatan untuk hatiku yang sudah terlanjur berharap dengan sikap manisnya Gidae selama ini. Aku wanita normal, sangat wajar kan kalau perasaanku yang semula hanya mengagumi berubah menjadi perasan suka layaknya seorang perempuan menyukai seorang lelaki? Lagian juga Gidae gak kalah tampan dari Rounin, aku lemah dengan pesona ketampanan.Ddrrrrttt...Kali ini hanya getar panjang, artinya panggilan telephon masuk ke nomer biasa. Aku mengambil ponselku, melihat nama Silvi terpampang di sana. "Assalamu'alaikum Vi, how are you?" Sapa ku tanpa basa-basi."Fine Ara kawai..." sahut Silvi dengan suara imutn
Apa aku memang se egois itu? Tapi aku juga belum siap jika harus berhadapan dengan mereka semua. Seribet itu pemikiranku. Aku bahkan tidak bisa tidur malam ini, rasa kantukku lenyap seiring memikirkan Fatira dan Manda. Aku mengambil ponselku, mencari nama Silvi.Tuuuuuuuttttt....Tuuuuuuutttt....Tuuuuuuuuutttt...Nada sambung panggilan menguar sepenjuru kamar, sudah pasti ku loudspeaker, tak peduli nanti bapak ibuku mendengarnya. Aku sudah pusing dengan kenyataan ini."Hallo..." suara serak Silvi menyapaku, baru juga jam 10. Tumben udah tidur?"Bangun tidur?" selorohku dan dia terkekeh sesaat."Aku capek Ra.""Habis ngapain emang?""Maraton ke rumah sakit,""Siapa yang sakit?""Nggak ada.""Lha terus?""Fatira pengen bakso kadipolo..."Hening."Apa Fatira sering ngidam?" tanyaku sedikit merasa bersalah."Nggak juga, tapi kayaknya emang sengaja nggak minta kalau nggak pengen banget..." sa
"Mohon maaf, saya akan membicarakan beasiswa ini dengan orang tua saya dulu. Terimakasih."Balasku tak mengindahkan pesan-pesannya sebelum ini, aku memilih menganggap ungkapan formalku sebagai profesionalitas. Aku mematikan data selular, menatap segenap jajaran anggrek di depan jendela kamarku. "Cattleya, perasaanku ini aneh kah?" tanyaku pada anggrek bulan berwarna ungu itu, dia bukan jenis cattleya, tapi aku menamainya begitu. Suka-suka ku lah. Aku yang punya."Cattleya... aku suka sama dia... tapi, ah... aku nggak suka kalau harus ingat bagaimana pacar Gidae menciumnya... itu menyakitkan!" kataku lagi pada anggrekku.Aku menatap ponselku lagi, membuka file dokumen unduhan. Undangan beasiswa resmi itu tadi sudah ku unduh. Aku masih menikmati tulisan demi tulisan yang membuatku hampir melayang, tapi aku sangsi dengan ijin dari orang tuaku. Hanya tinggal memberi tanda tangan, dan tiba-tiba aku di rundung perasaan gelisah.Seandainya pun di ijinkan apa a
Baik bapak maupun ibu sama-sama tidak pernah membahas beasiswa itu lagi, padahal padahal kejadian hari itu aku sampai parah nangisnya, baiklah! Tangisanku memang tidak berharga, haha. Sambil memasukkan data-data yang memungkinkan mendapat beasiswa dari perusahaan swasta, aku mulai disibukkan dengan kegiatan di sanggar teather. Aku suka segala macam bentuk seni, termasuk seni peran, ketika aku memasukkan data diriku ke Culturic Theather sebenarnya aku pengen masuk ke bagian Sutradara atau setidaknya asisten Sutradara. Tapi karena aku nggak pernah sekolah di perperanan jadi ya aku di masukkan pada bagian pelatihan, karena aku punya sertifikat Swara Theater jaman aku masih SMA, ya meskipun theater garapan ektrakulikuler pun dan tidak seterkenal Theater Koma, setidaknya pengalaman jaman SMA itu cukup membantu posisiku di Culturic Theater. Kesibukan ini membuatku bisa mengabaikan rasa kecewaku yang nggk jdi kuliah, udah lah nanti jadi sedih juga. Sekaligus salah satu caraku menemukan ide
"Eh, iya kak... apa?" tanya Arda dengan tampang polosnya."Kedepan," pintaku membuatnya membola tapi tetap mengikuti instruksiku maju ke depan 24 peserta lain."Bisa kamu contohkan latihan olah vokal?" tukasku dengan wajah datar."Ng," gumam Arda dengan menatap Arial seakan minta bantuan."Kenapa ng?" tanyaku menahan untuk tidak terbahak melihat muka bingung nya."Aku gak tau kak...""Kok bisa?" Kali ini bukan suaraku, tapi suara Arial. Kalau dia udah buka suara aku memilih mundur, menyaksikan drama komedi apa yang habis ini akan terjadi. ### "Mau pulang mbak?" Tanya Arial menahan langkahku yang mengarah ke depan sanggar, udah jam 5 sore. Biasanya masih ada angkot, mungkin kloter terakhir."Kamu pikir aku mau nginep sini?" tanyaku balik."Haha, nggak berubah dari dulu kalau di tanyain bukannya jawab malah balik tanya," tukas Arial membuatku terkekeh pelan."Kebiasaan kok susah ngerubahnya," kataku lalu be
Hampir dua bulan aku berkutat dengan theater, dan sekali menemani delegasi dari sanggar yang di percaya ikut event. Ada rasa campur aduk dari mulai seneng, emosi, sedih untuk setiap inci proses dalam pengemasan pertunjukan yang menarik. Rasanya seperti membesarkan seorang anak, meskipun aku belum tau rasanya menjadi seorang ibu bagaimana, tapi sungguh aku bersyukur ada di sanggar ini dan mencintai setiap jengkal apapun yang berhubungan dengan komponen di sanggar ini. Anggap aku mulai bisa merelakan kelukaan ku beberapa bulan lalu, anggap aku tidak lagi mempermasalahkan sakit hatiku terpaksa menunda impianku, anggap aku baik-baik saja dengan kesibukanku di sanggar selama dua bulan ini. Tau apa yang kulakukan sejak aku menolak tawaran Gidae? Aku tidak pernah sekalipun membuka email yang bersangkutan dengannya, memblokir semua akun yang berhubungan dengannya. Orang tuaku juga tidak lagi membahas tentang pernikahan dan jodoh seperti saat Vian menikah, sepertinya mereka memahami keadaank
"Bangun, waktu subuh hampir habis. Kita juga harus take off jam 7." Ujar Gidae lembut sebelum mengecup dahi Ara perlahan. "Abang...!" Protes Ara akhirnya memaksakan matanya terbuka, tanpa sadar dirinya tersenyum saat lelaki itu menatapnya intens. Akan selalu ada hal-hal yang tak terduga dalam hidup, seperti halnya kehadiran seseorang yang semula rasanya tidak mungkin. Mengharapkan dan di harapkan seringkali sangat berbeda. Ara menghela nafas panjang. Setelah hari ini ia yakin kehidupannya pasti berubah drastis. Hidup bersama orang yang dia kagumi tapi mungkin hatinya bukan untuk Ara. Semua ingatan tentang bagaimana mereka bisa bertemu sampai dirinya harus bersikap layaknya orang yang lupa ingatan. Ara tidak ingin melampui batas yang sudah Tuhan ciptakan. Tidak sekalipun. Ia tidak akan memaksakan sesuatu yang memang bukan untuknya. Tapi juga akan selalu mengejar apa yang Ara rasa memang sudah seharusnya. Hidup tidak selalu menyulitkan. Tapi juga tidak selalu menyenangkan. Di satu
"bang, siapa mereka ini?" Tanya Ara setelah selesai memakan bubur nya sembari menunjukkan gambar dari laptopnya."Ini ibu, ini bapak, ini Farhan, ini Vian, dan ini kamu..." Jawab Gidae sambil menunjuk foto keluarga Ara, gadis itu mengernyit, dari mana Gidae tau tentang keluarganya."Apa ini foto keluarga?""Iya...""Banyak foto seperti ini, tapi Abang nggak ada... Mwonde noui uri orabeoni jinja yo?""Aku benar-benar kakak mu, aku Abang mu... Cukup hanya aku yang kamu punya saat ini... Aku tidak ingin mengorbankan kebahagiaan mu lagi... Maaf... Aku egois..." Kata Gidae menggenggam tangan Ara erat, ini bahkan lebih cepat dari yang bisa gadis itu duga."Apa sebelum kecelakaan ini aku tidak bahagia?" Tanya Ara yang sedikit mengimprovisasi perannya, mengingat tadi Gidae mengatakan kalau ia kecelakaan makanya sampai koma."Bahkan mereka menghalangi mimpimu, mereka mengabaikan perasaanmu, mereka memilih mendahuluk
"jaga rahasia ini dari kakak saya..." Kataku membuat salah satu perawat memelototkan matanya.Ok kakak nemu di rumah sakit, ku ikuti sandiwaramu."Buat saya terlihat seperti lupa ingatan di depan kakak saya, apa yang membuat saya ada di sini pasti menyakiti perasaannya, saya tau dia pasti khawatir dan sempat berpikir ada yg salah dengan otak saya. Kalau saya di nyatakan lupa ingatan, mungkin kakak akan terbebas dari rasa yang mengganggu hatinya. Akhhh.. aku ngomong apaan sih? Tapi serius dok, anda paham maksud saya kan? Dalam domestik kedokteran, kebidanan, dan keperawatan ada kode etik untuk tidak menyampaikan keadaan pasien tanpa seijin pasien kan?" Kataku panjang lebar di sela-sela mereka memeriksaku."Saya paham, tapi kakak anda sangat menunggu kesadaran anda kembali sejak terhitung 18 hari anda koma, anda juga harus memikirkan bagaimana perasaannya nanti jika tau kondisi anda di luar ekspektasi." Kata dokter ber name tag Hariyadi."Saya dengar percakapan dokte
"mbak jangan gila! Apa yang kamu lakuin?" teriakan Arial hampir saja membuatku gagal fokus dengan tujuan yang hampir ku capai, aku tau ini salah. Tapi aku lelah. Sangat lelah. "aku memang gila! Kenapa? Nggak suka!!!" teriakku emosional, coba dia nggak ngagetin aku barusan? Aku gak perlu buang-buang waktu percumah. "tapi gak dengan cara kaya gini mbak! Tolong mbak dengerin aku!" teriak Arial frustasi. "nggak! Aku capek Ar!" "aku bilang berhenti mbak!" "nggak!" "mbakkkkkk!" Byuuuuuurrrrrrrr.... Dinginnya air sungai kurasakan di kulitku. Aku tau mungkin hidupku akan berakhir hari ini, saat ini. Aku menyerah, menyerah dengan semua hal yang harus ku terima. Biar kan aku pergi. Mengakhiri semuanya, aku lelah, aku merasa tak bisa melewati semua lebih dari ini. Aku tak akan mampu lebih jauh lagi, Kupikir ini yang terbaik untuk kita. Maafkan aku bapak...
Hampir dua bulan aku berkutat dengan theater, dan sekali menemani delegasi dari sanggar yang di percaya ikut event. Ada rasa campur aduk dari mulai seneng, emosi, sedih untuk setiap inci proses dalam pengemasan pertunjukan yang menarik. Rasanya seperti membesarkan seorang anak, meskipun aku belum tau rasanya menjadi seorang ibu bagaimana, tapi sungguh aku bersyukur ada di sanggar ini dan mencintai setiap jengkal apapun yang berhubungan dengan komponen di sanggar ini. Anggap aku mulai bisa merelakan kelukaan ku beberapa bulan lalu, anggap aku tidak lagi mempermasalahkan sakit hatiku terpaksa menunda impianku, anggap aku baik-baik saja dengan kesibukanku di sanggar selama dua bulan ini. Tau apa yang kulakukan sejak aku menolak tawaran Gidae? Aku tidak pernah sekalipun membuka email yang bersangkutan dengannya, memblokir semua akun yang berhubungan dengannya. Orang tuaku juga tidak lagi membahas tentang pernikahan dan jodoh seperti saat Vian menikah, sepertinya mereka memahami keadaank
"Eh, iya kak... apa?" tanya Arda dengan tampang polosnya."Kedepan," pintaku membuatnya membola tapi tetap mengikuti instruksiku maju ke depan 24 peserta lain."Bisa kamu contohkan latihan olah vokal?" tukasku dengan wajah datar."Ng," gumam Arda dengan menatap Arial seakan minta bantuan."Kenapa ng?" tanyaku menahan untuk tidak terbahak melihat muka bingung nya."Aku gak tau kak...""Kok bisa?" Kali ini bukan suaraku, tapi suara Arial. Kalau dia udah buka suara aku memilih mundur, menyaksikan drama komedi apa yang habis ini akan terjadi. ### "Mau pulang mbak?" Tanya Arial menahan langkahku yang mengarah ke depan sanggar, udah jam 5 sore. Biasanya masih ada angkot, mungkin kloter terakhir."Kamu pikir aku mau nginep sini?" tanyaku balik."Haha, nggak berubah dari dulu kalau di tanyain bukannya jawab malah balik tanya," tukas Arial membuatku terkekeh pelan."Kebiasaan kok susah ngerubahnya," kataku lalu be
Baik bapak maupun ibu sama-sama tidak pernah membahas beasiswa itu lagi, padahal padahal kejadian hari itu aku sampai parah nangisnya, baiklah! Tangisanku memang tidak berharga, haha. Sambil memasukkan data-data yang memungkinkan mendapat beasiswa dari perusahaan swasta, aku mulai disibukkan dengan kegiatan di sanggar teather. Aku suka segala macam bentuk seni, termasuk seni peran, ketika aku memasukkan data diriku ke Culturic Theather sebenarnya aku pengen masuk ke bagian Sutradara atau setidaknya asisten Sutradara. Tapi karena aku nggak pernah sekolah di perperanan jadi ya aku di masukkan pada bagian pelatihan, karena aku punya sertifikat Swara Theater jaman aku masih SMA, ya meskipun theater garapan ektrakulikuler pun dan tidak seterkenal Theater Koma, setidaknya pengalaman jaman SMA itu cukup membantu posisiku di Culturic Theater. Kesibukan ini membuatku bisa mengabaikan rasa kecewaku yang nggk jdi kuliah, udah lah nanti jadi sedih juga. Sekaligus salah satu caraku menemukan ide
"Mohon maaf, saya akan membicarakan beasiswa ini dengan orang tua saya dulu. Terimakasih."Balasku tak mengindahkan pesan-pesannya sebelum ini, aku memilih menganggap ungkapan formalku sebagai profesionalitas. Aku mematikan data selular, menatap segenap jajaran anggrek di depan jendela kamarku. "Cattleya, perasaanku ini aneh kah?" tanyaku pada anggrek bulan berwarna ungu itu, dia bukan jenis cattleya, tapi aku menamainya begitu. Suka-suka ku lah. Aku yang punya."Cattleya... aku suka sama dia... tapi, ah... aku nggak suka kalau harus ingat bagaimana pacar Gidae menciumnya... itu menyakitkan!" kataku lagi pada anggrekku.Aku menatap ponselku lagi, membuka file dokumen unduhan. Undangan beasiswa resmi itu tadi sudah ku unduh. Aku masih menikmati tulisan demi tulisan yang membuatku hampir melayang, tapi aku sangsi dengan ijin dari orang tuaku. Hanya tinggal memberi tanda tangan, dan tiba-tiba aku di rundung perasaan gelisah.Seandainya pun di ijinkan apa a
Apa aku memang se egois itu? Tapi aku juga belum siap jika harus berhadapan dengan mereka semua. Seribet itu pemikiranku. Aku bahkan tidak bisa tidur malam ini, rasa kantukku lenyap seiring memikirkan Fatira dan Manda. Aku mengambil ponselku, mencari nama Silvi.Tuuuuuuuttttt....Tuuuuuuutttt....Tuuuuuuuuutttt...Nada sambung panggilan menguar sepenjuru kamar, sudah pasti ku loudspeaker, tak peduli nanti bapak ibuku mendengarnya. Aku sudah pusing dengan kenyataan ini."Hallo..." suara serak Silvi menyapaku, baru juga jam 10. Tumben udah tidur?"Bangun tidur?" selorohku dan dia terkekeh sesaat."Aku capek Ra.""Habis ngapain emang?""Maraton ke rumah sakit,""Siapa yang sakit?""Nggak ada.""Lha terus?""Fatira pengen bakso kadipolo..."Hening."Apa Fatira sering ngidam?" tanyaku sedikit merasa bersalah."Nggak juga, tapi kayaknya emang sengaja nggak minta kalau nggak pengen banget..." sa