Setelah sampai di Jakarta, Adrian menuju ke rumah Hanggoro, hari sudah malam, tapi Adrian tidak dapat menunda keinginannya untuk menanyakan beberapa hal pada Hanggoro, ayah Clara. Ia pun dengan cepat melajukan kendaraannya menuju kediaman Hanggoro, setelah sampai ia bergegas menemui Hanggoro. “Adrian, ada apa mukamu serius banget?” tanya Hanggoro begitu membukakan pintu, terlihat Adrian dengan wajah tegang. Tanpa menjawab, Adrian masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa diikuti Hanggoro, Bi Atik tampak keluar kamar, dan segera mengambilkan Adrian minum, begitu mengetahui Adrian datang, dan setelah itu mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu. Wajah Adrian begitu lelah dan tegang, setelah meneguk minuman yang ada di hadapannya, Adrian mengambil ponselnya dan memperlihatkan gambar Jihan dan Ki Darma pada Hanggoro. “Clara, Ki Darma,” ucap Hanggoro dengan raut wajah terkejut hal itu membuat Bi Atik penasaran dan ia pun mendekat dan melihat ke arah layar ponsel. “Clara bersama Ki Darma ka
Sesampainya di kantor, Jihan memikirkan ucapan kakeknya. Ia pun tersenyum sendiri, kemudian berubah menjadi sedih, bagaimanapun ia belum dapat mengingat apapun. Apakah di masa lalunya ada seorang pria yang mencintainya atau yang dicintainya? Semuanya itu masih teka-teki. Jihan mengingat kembali pertemuanya dengan Adrian di kantor kemarin. JIhan sangat terkejut pagi itu, ternyata CEO Baskoro Group adalah Adrian, seseorang yang ia kagumi, suara merdunya di Cafe Rainbow benar-benar menghinoptisnya. Saat Adrian masuk ruangan rapat, ia berdiri mematung seolah–olah Adrian terkejut melihat JIhan atau mungkin terpesona melihatnya, tapi entahlah tatapannya pada Jihan begitu aneh, seakan ada yang ingin ia ucapkan tapi di tahan, bisik Jihan dalam hati Terus terang Jihan sangat senang dipertemukan dengan Adrian seperti ini, setelah ia bersusah payah ingin berjumpa dengan Adrian di Cafe Rainbow, Jihan benar-benar tidak menyangka akhirnya ia bertemu Adrian di kantornya sendiri. Undan
Malam semakin larut, Jihan dan Adrian terbawa dalam suasana romantis kafe. Akhirnya mereka menyadari kalau waktu semakin malam dan tanpa mereka sadari ada sepasang mata memandang dengan sorot mata kecewa. Mala, yang sedari SMA menjadi pengagum Adrian juga ada di kafe itu, mengawasi Jihan dan Adrian dengan menahan rasa cemburu di dada sambil sesekali mengusap titik embun yang berada di sudut matanya. “Adrian, ayo kita pulang, sudah pukul sebelas lebih,” ajak Jihan sambil matanya melirik jam yang melingkar di tangannya, tak biasanya Jihan keluar rumah sampai selarut itu. “Yuk, sebentar aku ke kasir dulu,” Adrian melangkahkan kaki ke meja kasir dan kemudian membayar. Setelah itu mereka berdua ke luar kafe dan langsung tancap gas meninggalkan kafe. Mobil membelah sepinya jalanan kanan dan kiri jalan hanya ada jurang, Jihan nampak memejamkan matanya. Tiba-tiba dia berteriak. “Awasss!” Nafasnya terengah-engah. Adrian menghentikan jeepnya, Adrian tahu betul apa yang dirasakan Jihan, ja
Hubungan Adrian dan Jihan sudah tersebar di kalangan karyawan perkebunan, hubungan mereka semakin dekat, setiap weekend Jihan dan Adrian menghabiskan waktu bersama. Dan Adrian mempunyai kesempatan untuk mengajak Jihan ke Jakarta. Sedikit demi sedikit Adrian berusaha mengajak Jihan ke tempat–tempat yang biasa mereka kunjungi. Supaya Jihan dapat sembuh dari amnesia. Dan minggu pagi, Adrian mengajak Jihan ke food court. Di sana sudah ada Hanggoro dan Bi Atik yang menunggu. “Bang Hanggo, apa benar Adrian akan mengajak Clara ke sini menemui kita?” tanya Atik dengan gelisah. “Iya, Adrian janji akan membawa Clara, kamu harus kendalikan dirimu, saat ini Clara adalah Jihan. Berpura-puralah tidak mengenalnya, biar dia mengingat sendiri setiap kejadian di masa lalu,” jelas Hanggoro. Atik mengangguk tanda mengerti penjelasan Hanggoro. Tak lama kemudian sebuah jeep berhenti di area parkir. Adrian dan Jihan turun dari mobil. Adrian menggandeng tangan Jihan mesra mereka menuju food court, terilh
Jihan, mengerjap-ngerjapkan matanya, sinar mentari menyapa tubuhnya dari sela–sela korden, ia pun bangkit, dan sejenak duduk di atas tempat tidur, aroma roti bakar, tercium. Bergegas Jihan menuju kamar mandi dan membersikan diri, setelah itu di langkahkan kakinya keluar dari kamar. “Pagi cantik,” sapa Adrian, yang telah rapi dengan kemeja warna biru tua. “Mau kemana sudah rapi?” tanya Jihan. “Tadi Mamaku telepon, dia baru saja tiba di Jakarta dan ingin bertemu dengan kita, Mama ingin melihat dan berkenalan denagn calon menantunya, Clara,” jelas Adrian, dengan memegang kedua bahu Jihan. “Oh, selama ini kamu jarang bercerita tentang Mamamu.” “Iya, Mama dan Papa cerai, dan sejak itu Mama memilih pergi ke Singapura. Di sana Mama memiliki galeri seni lukis. Aku sendiri kurang paham, kenapa Mama memilih pergi dari Papa, padahal papa selalu mendukung bakat seni Mama,” ujar Adrian, netranya nanar mengarah ke balkon apartemen, mengenang perpisahan Papa dan Mamanya yang sempat membuatnya
Mendengar ancaman Mamanya, Adrian, bangkit berdiri. Lalu dengan nada datar ia berucap, ”Terserah Mama, sejak dulu Mama memang selalu memikirkan keinginan Mama, tidak pernah mau mengerti keinginanku, Adrian sudah dewasa, aku sudah menentukan pilihan wanita yang akan menjadi istriku,” ucap Adrian, lalu melangkah pergi, keluar dari kamar hotel. Hari mulai gelap ketika Adrian sampai di apartemennya, terlihat Jihan berdiri di balkon, menatap kosong hamparan lampu-lampu kota. “Jihan,” sapa Adrian, tepat di belakang Jihan, seketika Jihan menoleh. “Adrian, Aku tidak mendengar kamu datang,” ucap Jihan, dengan datar. Lalu Adrian, mengajak Jihan untuk makan malam, Adrian menata menu yang di belinya tadi, lalu Jihan dan Adrian mulai menikmati makan malam, suasana hening, hanya bunyi sendok dan piring yang saling beradu. “Kamu, tidak usah merisaukan ucapan Mamaku, yang terpenting, Papa selalu mendukung kita,” ucap Adrian memecah keheningan. “Bukan itu yang aku pikirkan, aku tidak menyangka
“Saya Jihan, CEO Agro Darma Group,” ucap Jihan. “Oohh maaf, Anda mirip sekali dengan mantan istriku Clara, jadi aku spontan mengira kamu Clara, padahal Clara sudah meninggal.” “Maaf Pak Bram, saya turut berduka.” “Terima kasih.” Terlihat jelas ada rasa penyesalan dan kesedian di mata Brammastio, lalu Pak Bram mempersilakan Jihan duduk di kursi depan mejanya. Kemudian Jihan mulai membicarakan masalah pekerjaan. “Begini Pak Bram, kedatangan saya ke sini, karena ingin membicarakan perihal pihak Bapak yang komplain terhadap Agro Darma, mengenai suplay buah yang cepat membusuk,” kata Jihan dengan serius. “Iya memang kami mengajukan komplain dan ganti rugi terhadap Agro Darma,” balas Bram, sambil terus memandang Jihan dengan pandangan yang aneh. “Bisakah saya melihat buah-buahan yang kami suplay, Pak Bram,” pinta Jihan pada Bram. “Oke, mari saya antar.” Keduanya pun keluar ruangan, menuju gudang penyimpanan, sebuah ruangan pendingin khusus untuk sayur dan buah. “Stok yang di gu
Setelah pertemuan Bram dengan Jihan. Bram nampak galau, ia sangat ingin kembali menemui Jihan, bahkan bukan hanya ingin bertemu, tapi dia ingin melamar Jihan untuk dijadikan istrinya. Entah apa yang dirasakanya, cintanya pada Clara memang masih ia rasakan sampai-sampai ia jatuh cinta pada pandangan pertama, dengan wanita yang mirip dengan Clara. Bram masih terpaku di meja kantornya, padahal hari menjelang malam dan jam kantor telah usai. Bukan masalah pekerjaan yang dia pikirkan, tapi Jihan, wanita yang serupa dengan Clara. “Apa ada orang yang mirip sekali, padahal bukan saudara kembar,” gumam Bram dalam hati. Sesekali dia mendesah. Hari sudah mulai gelap, Bram melangkahkan kaki menuju mobilnya dan pergi meninggalkan swalayan menuju rumahnya. Sesampainya di rumah mewahnya, ia menuju kamar tanpa menghiraukan Elin, mamanya yang di lewatinya, seakan-akan ia tak melihat waktu berpapasan dengan Elin. “Ada apa dengan Bram, melamun sambil jalan, jatuh tahu rasa dia, sampai mamanya nggak