Jihan, mengerjap-ngerjapkan matanya, sinar mentari menyapa tubuhnya dari sela–sela korden, ia pun bangkit, dan sejenak duduk di atas tempat tidur, aroma roti bakar, tercium. Bergegas Jihan menuju kamar mandi dan membersikan diri, setelah itu di langkahkan kakinya keluar dari kamar. “Pagi cantik,” sapa Adrian, yang telah rapi dengan kemeja warna biru tua. “Mau kemana sudah rapi?” tanya Jihan. “Tadi Mamaku telepon, dia baru saja tiba di Jakarta dan ingin bertemu dengan kita, Mama ingin melihat dan berkenalan denagn calon menantunya, Clara,” jelas Adrian, dengan memegang kedua bahu Jihan. “Oh, selama ini kamu jarang bercerita tentang Mamamu.” “Iya, Mama dan Papa cerai, dan sejak itu Mama memilih pergi ke Singapura. Di sana Mama memiliki galeri seni lukis. Aku sendiri kurang paham, kenapa Mama memilih pergi dari Papa, padahal papa selalu mendukung bakat seni Mama,” ujar Adrian, netranya nanar mengarah ke balkon apartemen, mengenang perpisahan Papa dan Mamanya yang sempat membuatnya
Mendengar ancaman Mamanya, Adrian, bangkit berdiri. Lalu dengan nada datar ia berucap, ”Terserah Mama, sejak dulu Mama memang selalu memikirkan keinginan Mama, tidak pernah mau mengerti keinginanku, Adrian sudah dewasa, aku sudah menentukan pilihan wanita yang akan menjadi istriku,” ucap Adrian, lalu melangkah pergi, keluar dari kamar hotel. Hari mulai gelap ketika Adrian sampai di apartemennya, terlihat Jihan berdiri di balkon, menatap kosong hamparan lampu-lampu kota. “Jihan,” sapa Adrian, tepat di belakang Jihan, seketika Jihan menoleh. “Adrian, Aku tidak mendengar kamu datang,” ucap Jihan, dengan datar. Lalu Adrian, mengajak Jihan untuk makan malam, Adrian menata menu yang di belinya tadi, lalu Jihan dan Adrian mulai menikmati makan malam, suasana hening, hanya bunyi sendok dan piring yang saling beradu. “Kamu, tidak usah merisaukan ucapan Mamaku, yang terpenting, Papa selalu mendukung kita,” ucap Adrian memecah keheningan. “Bukan itu yang aku pikirkan, aku tidak menyangka
“Saya Jihan, CEO Agro Darma Group,” ucap Jihan. “Oohh maaf, Anda mirip sekali dengan mantan istriku Clara, jadi aku spontan mengira kamu Clara, padahal Clara sudah meninggal.” “Maaf Pak Bram, saya turut berduka.” “Terima kasih.” Terlihat jelas ada rasa penyesalan dan kesedian di mata Brammastio, lalu Pak Bram mempersilakan Jihan duduk di kursi depan mejanya. Kemudian Jihan mulai membicarakan masalah pekerjaan. “Begini Pak Bram, kedatangan saya ke sini, karena ingin membicarakan perihal pihak Bapak yang komplain terhadap Agro Darma, mengenai suplay buah yang cepat membusuk,” kata Jihan dengan serius. “Iya memang kami mengajukan komplain dan ganti rugi terhadap Agro Darma,” balas Bram, sambil terus memandang Jihan dengan pandangan yang aneh. “Bisakah saya melihat buah-buahan yang kami suplay, Pak Bram,” pinta Jihan pada Bram. “Oke, mari saya antar.” Keduanya pun keluar ruangan, menuju gudang penyimpanan, sebuah ruangan pendingin khusus untuk sayur dan buah. “Stok yang di gu
Setelah pertemuan Bram dengan Jihan. Bram nampak galau, ia sangat ingin kembali menemui Jihan, bahkan bukan hanya ingin bertemu, tapi dia ingin melamar Jihan untuk dijadikan istrinya. Entah apa yang dirasakanya, cintanya pada Clara memang masih ia rasakan sampai-sampai ia jatuh cinta pada pandangan pertama, dengan wanita yang mirip dengan Clara. Bram masih terpaku di meja kantornya, padahal hari menjelang malam dan jam kantor telah usai. Bukan masalah pekerjaan yang dia pikirkan, tapi Jihan, wanita yang serupa dengan Clara. “Apa ada orang yang mirip sekali, padahal bukan saudara kembar,” gumam Bram dalam hati. Sesekali dia mendesah. Hari sudah mulai gelap, Bram melangkahkan kaki menuju mobilnya dan pergi meninggalkan swalayan menuju rumahnya. Sesampainya di rumah mewahnya, ia menuju kamar tanpa menghiraukan Elin, mamanya yang di lewatinya, seakan-akan ia tak melihat waktu berpapasan dengan Elin. “Ada apa dengan Bram, melamun sambil jalan, jatuh tahu rasa dia, sampai mamanya nggak
Hari yang di nantikan Jihan dan Adrian semakin dekat. Undangan sudah tersebar, persiapan sudah mencapai sembilan puluh lima persen. Jihan dan Ki Darma sudah berada di Jakarta menginap di sebuah hotel bintang 7 dan nantinya di ballroom hotel tersebut di adakan acara pertunangan. Sementara itu, Hanggoro dan Atik merasa sedih, sekaligus bahagia, akhirnya Clara {Jihan} dan Adrian bertunangan, tapi mereka sedih karena tidak bisa hadir. Hanggoro dan Atik bersepakat untuk nenunggu Clara sampai sembuh dari amnesia, biarlah Clara yang datang menemui mereka. Sementara itu Jihan dan Adrian sibuk mempersiapkan pertunangan yang akan di selenggarakan sangat mewah, tamu undangan yang kebanyakan klien dan patner kerja akan menghadiri pertunangan mereka, apalagi melibatkan kedua perusahaan besar, pasti acara akan sangat meriah. “Jihan, apa kamu sudah bilang sama EO nya untuk dekorasi memakai bunga tulip warna putih,” ucap Adrian. “Sudah, bahkan aku memesan sendiri di beberapa toko bunga, aku ingin
Setelah mendengar percakapan antara Jihan dan Adrian, Bram masuk ke dalam kamar, membuat Jihan dan Adrian terkejut. “Kamu bukan Jihan, tapi Clara,” seru Bram dengan nada tinggi. Hal itu membuat Adrian marah, lalu berdiri dan mendekati Bram dengan tatapan tajam. “Jangan ikut campur masalah ini, Jihan ataupun Clara, sudah tidak ada hubungannya denganmu!” bentak Adrian, kedua tangannya mengepal ingin rasanya dia meninju wajah Bram. “Kurang ajar kamu, Adrian,”balas Bram, Sambil melayangkan pukulan ke arah Adrian, dengan sigap Adrian menghindar, dan membalas pukulan. Mereka pun terlibat baku hantam, saling pukul dan saling tinju. Sementara Jihan yang bingung dengan perkataan Bram, hanya bisa menjerit ketakutan melihat dua pria di hadapannya saling pukul dengan brutalnya. “Hentikan, tolong Adrian, Pak Bram berhenti!” teriak Jihan. Jihan pun memberanikan diri mendekati mereka, dengan maksud untuk memisahkan perkelahian, tapi naas, tanpa sengaja pukulan Bram mengenai kepala Jihan, dan m
Setelah kejadian di kamar hotel, saat malam pertunangan Clara dengan Adrian, membuat Clara mengingat masa lalunya, semalam dirawat di rumah sakit dan ketika sadar Clara mengingat sebagian dari masa lalunya. Clara mengingat namanya, mengingat pernikahannya dengan Bramastio selama 6 bulan, Clara juga megingat semua keluarga Bram. Pagi itu setelah Ki Darma mengunjunginya di rumah sakit, Clara sendirian. Tiba-tiba Bram datang, ia ada dihadapan Clara, sungguh Clara tidak percaya semua ini terjadi setelah hatinya jatuh cinta pada Adrian, kini Clara dihadapkan pada Bram, walaupun mereka sudah bercerai tapi sisa-sisa kisah cinta masih tinggal di dalam hati. Clara masih bingung, ingatanya hanya kembali sebagian, ia mengingat pernikahannya dengan Bram selama enam bulan, Clara mengingat dengan jelas pernikahan yang bahagia penuh dengan cinta, tapi yang ia bingungkan, kenapa dirinya harus bercerai, pertanyaan itu, berusaha di ingatnya kembali tapi sia-sia. “Pagi, Clara,” sapa Bram pada
Setelah ada kesepakatan, Bram dan Clara menikah lagi, maka persiapan pernikahan pun dilaksanakan, Elin tersenyum puas, keinginannya untuk mempunyai menantu sederajatpun sebentar lagi akan terwujud, Ki Darma sudah menyetujuinya, tapi karena masalah kesehatan yang sedang menurun, Ki Darma tidak bisa menghadiri pernikahan Clara dan Bram. Lagi pula pernikahan dilaksanakan secara sederhana, hanya kerabat dan tetangga yang menghadirinya. Pagi itu segala persiapan sudah dilakukan, acara pernikahan dilaksanakan di kediaman Bram, rumah sudah di dekorasi dengan indahnya, bunga-bunga sudah menghiasi seluruh sudut rumah. “Mamah yakin mau menikahkan Clara dengan Kak Bram,” bisik Dinda kepada Elin. “Yakin, Clara itu, sekarang pewaris tunggal dari Ki Darma pemilik perkebunan Agro Darma Group,” jawab Elin pelan sambil tersenyum puas. “Lalu, bagaimana dengan Hanggoro, mantan narapidana itu?” sela Dinda, menatap Elin ragu. “Halah Clara saja tidak mengingatnya, dan mudah–mudahan seperti itu selaman