Adrian, dan Clara berkemas. Lalu pergi ke Bandung, dilajukannya jeep Adrian dengan kecepatan tinggi, beberapa jam kemudian sampailah mereka di perkebunan sekaligus kantor Agro Darma Group, di sana sudah terlihat Ki Darma dan Mala, menunggunya. “Clara, Kakek senang kamu menyanggupi keinginan Kakek,“ ucap Ki Darma, seraya menghampiri cucu satu-satunya itu. “Iya Kakek, justru Clara ingin minta maaf pada Kakek, kerena kekacauan ini,” balas Clara. Lalu dipeluknya Ki Darma. Untuk beberapa saat melepas rindu, berlahan Clara mengurai pelukannya. “Aku akan melihat, stok buah di gudang penyimpanan,” sela Adrian. “Adrian, aku juga ingin ke sana,” sahut Ki Darma. Lalu Ki Darma dan Adrian, melangkah menuju gudang penyimpanan hasil perkebunanan. Sementara itu Clara dan Mala, mempersiapkan rapat. “Mala, apa kamu sudah mengumumkan pada semua divisi, untuk rapat siang ini?” tanya Clara, sembari menghempaskan tubuhnya di kursi kerja. “Sudah Bu Clara,” jawab Mala. “Mala. Bagaimana menurutmu d
Bramastio masih berdecak kesal, wajahnya mengeras, telapak tangan mengepal, bunyi ponsel membuyarkan kemarahannya, Thomas papanya meneleponnya. “Hallo, Pa,” sapa Bramastio. “Papa ingin bicara denganmu, ini masalah serius tentang perusahaan, Papa tunggu kamu di rumah!” perintah Thomas dengan nada tinggi. Bramastio semakin kesal, ia sudah mengira, jika Papanya sudah mengetahui laporan dari manager operasional, pelanggan yang komplain, dan berdampak pada penurunan penjualan. Bram segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beberapa menit kemudian tibalah Bram di rumahnya, segera di langkahkan kakinya begitu keluar dari mobil menuju ruang kerja Thomas. “Duduklah, Papa ingin bicara serius denganmu!” perintah Thomas, ketika melihat Bram muncul dari balik pintu. Tanpa bicara Bram menuruti perintah Thomas, terlihat jelas wajah Thomas menegang, setelah Bram duduk di kursi depan meja kerja Thomas, tiba-tiba lembaran berkas di lempar di wajah Bram. “Keputusan apa yang kamu ambil, h
Clara mendesah pelan, ia bangkit berdiri dengan di bantu Adrian. Keduanya menuju mobil, beberapa staff dan security yang melihat kejadian juga ikut ke kantor polisi, untuk memberi kesaksian. Adrian juga memanggil seorang pengacara untuk membela kasusnya. Waktu menjelang malam, Clara dan rombongan tiba di kantor polisi, laporan Clara di catat, dan di lakukan visum, hasil kekerasan yang Elin lakukan pada Clara. “Semua laporan sudah kami catat, semua bukti, rekaman cctv dan hasil visum kami simpan, sebagai barang bukti, dan kesaksian para saksi juga sudah kami catat,” ucap polisi. “Baik Pak, terima kasih atas kerja sama Bapak,” balas Adrian. Adrian dan Clara kembali ke rumah Ki Darma. Terlihat Ki Darma cemas melihat wajah Clara yang memar dengan bibir yang berdarah. “Aku sudah dengar kejadian siang tadi di kantor, Kakek akan membalas perbuatan Elin,” ujar Ki Darma dengan nada tinggi, pria tua itu terlihat marah. “Kakek tidak usah membalas dendam, biar hukum yang berbicara, kita liha
Mendengar persyaratan Clara, Bram mendesah kesal, di pegangnya bahu Clara dengan kasar. “Kamu tahu ‘kan, Mamaku sangat egois, pasti Mama tidak mau merendahkan diri meminta maaf pada Pak Hanggoro!” bentak Bram. Clara, mengibaskan cengkraman tangan Bramastio dari bahunya, dengan tatapan tajam ia berucap, ”Kalau begitu, Bu Elin, akan masuk penjara,” ancam Clara. “Clara, kamu keterlaluan!” bentak Bram. “Mamamu yang keterlaluan, dia datang tiba-tiba di kantorku dan memukulku, selalu seperti itu, Bu Elin menghakimi orang seenaknya, apa salahku Bram, dari dulu dia selalu ingin menyingkirkanku. Tolong jangan lagi usik kehidupanku, sudah cukup kalian membuatku menderita,” ucap Clara. “Maafkan keluargaku Clara, aku tahu semua ini salah keluargaku,” balas Bram pelan, ada rasa penyesalan di sudut netra Bram. “Kalau begitu, kalian semua harus meminta maaf pada ayah Hanggoro, hanya itu persyaratanku,” jawab Clara, lalu bergegas pergi menjauh dari Bramastio. Clara menghampiri Adrian dan pen
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, persiapan pernikahan Adrian dan Clara sudah dilakukan. Dengan bantuan jasa wedding organizer, membuat Adrian dan Clara lebih mudah dalam melakukan persiapan pernikahan, kebahagian terpancar di kedua mata mereka demikian juga Baskoro, Hanggoro dan Atik, menjelang pernikahan kedua belah pihak keluarga sering bertemu dan ini menambah keakraban kedua keluarga. “Ada yang kurang dalam keluarga kita, Kakek belum membuka hati untuk menerima Ayah, dan juga Mama Reka belum merestui pernikahan kita,” keluh Clara. “Jangan khawatir Clara, Papa akan bicara pada Mamanya Adrian dan Ki Darma. Bagaimana pun, kami sudah bersahabat sejak lama, dan impiannya adalah melihatmu menikah dengan Adrian. Papa pastikan Ki Darma akan datang di hari pernikahanmu,” ucap Baskoro mencoba menghibur Clara yang nampak sedih, karena hubungan Ayah Hanggoro dan Kakeknya belum membaik dan juga Reka mamanya Adrian, belum memberi restu. “Tuh ‘kan, Papa sudah janji, jangan be
Tok!..tok!... pintu kamar hotel di ketuk oleh seseorang, Adrian dan Clara saling pandang. “Apa kamu pesan sesuatu ?” tanya Adrian, pada Clara. “Tidak,” balas Clara, kepalanya menggeleng pelan “Sebentar, biar aku yang buka,” ucap Adrian, seraya bangkit dari sofa, dan menuju pintu. ”Siapa?” tanya Adrian pada seseorang di balik pintu. “Mama, Adrian.” Adrian langsung membuka pintu, begitu mendengar suara mamanya. “Mama,” sapa Adrian. Reka, memasuki kamar, tanpa di minta Adrian, terlihat Clara terkejut, tapi ia berusaha bersikap tenang, dan menghampiri Mama mertuanya. “Selamat malam Mama Reka,” sapa Clara pelan, sambil memeluk Reka. Untuk sesat Reka terdiam, lalu melangkahkan kakinya menuju sofa, dengan pelan ia menghempaskan tubuhnya di sofa. “Kebetulan Mama ada pameran lukisan di Labuan Bajo, dan Papamu bilang kamu bulan madu di sini, jadi Mama putuskan menemui kalian,” kata Reka, netranya menatap bergantian Clara dan Adrian yang duduk di tepi ranjang. “Kenapa Mama tidak datang
Clara terkejut, mendengar penawaran Reka. Lalu dengan pelan ia berbicara. “Tapi, jika Mama salah atas dugaan Ibu Nilam yang masih hidup dan bersama Papa Bas, apakah Mama akan merestui pernikahanku dengan Adrian,” balas Clara ragu. “Iya, aku akan memberi restu, bahkan, kamu akan aku hadiahi sebuah galeri lukisan yang ada di Jakarta sebagai hadiah pernikahan kalian, tapi jika Nilam ibumu terbukti masih hidup dan menjalin hubungan dengan Baskoro, kamu harus bersedia berpisah dari Adrian, karena aku tidak ingin mempunyai menantu anak seoarang pelakor seperti Nilam.” Reka berucap dengan nada tegas. Clara terdiam, cukup lama ia masih memikirkan tentang keingian Reka, pernikahannya dengan Adrian di pertaruhkan, tapi ia begitu penasaran atas ucapan Reka, dan Clara juga yakin, jika Ibunya telah meninggal. “Baik, Ma. Clara, menyetujui kesepakatan ini,” balas Clara masih ragu tapi menyanggupi persyaratan Reka. “Baguslah, aku harap kamu menepati janjimu itu,” timpal Reka. Reka bangkit dari
“Hah sudahlah, tidak ada gunanya berdebat dengan kalian, jika belum ada bukti,” ucap Reka, sambil berjalan menuju dapur mengabaikan Hanggoro, Atik dan Adrian serta Clara. ”Aku ke sini, minta air panas. Adrian besok suruh orang untuk pasang kompor di apartemen Mama,” pinta Reka, sambil menyalakan kompor, dan merebus air, setelah mendidih dituangkan di sebuah cangkir. “Iya Ma, besok Adrian, akan suruh orang untuk memasang kompor dan keperluan lainnya yang Mama butuhkan,” jawab Adrian. “Ya sudah, aku permisi dulu, silakan lanjutkan makan malamnya,” ucap Reka, sambil melangkah keluar apartemen. Hanggoro, Atik dan Clara serta Adrian melanjutkan makan malam mereka, susana begitu hening, hanya terdengar suara dentingan sendok, dan garpu yang beradu dengan piring, mereka tenggelam pada pikiran masing-masing, terutama Hanggoro, jauh di dalam hatinya, ia terusik dengan pernyataan Reka, tentang Nilam istrinya. Seusai makan malam Hangoro dan Atik duduk di sofa. “Adrian, Clara, ayah ingin bic