Clara terkejut, mendengar penawaran Reka. Lalu dengan pelan ia berbicara. “Tapi, jika Mama salah atas dugaan Ibu Nilam yang masih hidup dan bersama Papa Bas, apakah Mama akan merestui pernikahanku dengan Adrian,” balas Clara ragu. “Iya, aku akan memberi restu, bahkan, kamu akan aku hadiahi sebuah galeri lukisan yang ada di Jakarta sebagai hadiah pernikahan kalian, tapi jika Nilam ibumu terbukti masih hidup dan menjalin hubungan dengan Baskoro, kamu harus bersedia berpisah dari Adrian, karena aku tidak ingin mempunyai menantu anak seoarang pelakor seperti Nilam.” Reka berucap dengan nada tegas. Clara terdiam, cukup lama ia masih memikirkan tentang keingian Reka, pernikahannya dengan Adrian di pertaruhkan, tapi ia begitu penasaran atas ucapan Reka, dan Clara juga yakin, jika Ibunya telah meninggal. “Baik, Ma. Clara, menyetujui kesepakatan ini,” balas Clara masih ragu tapi menyanggupi persyaratan Reka. “Baguslah, aku harap kamu menepati janjimu itu,” timpal Reka. Reka bangkit dari
“Hah sudahlah, tidak ada gunanya berdebat dengan kalian, jika belum ada bukti,” ucap Reka, sambil berjalan menuju dapur mengabaikan Hanggoro, Atik dan Adrian serta Clara. ”Aku ke sini, minta air panas. Adrian besok suruh orang untuk pasang kompor di apartemen Mama,” pinta Reka, sambil menyalakan kompor, dan merebus air, setelah mendidih dituangkan di sebuah cangkir. “Iya Ma, besok Adrian, akan suruh orang untuk memasang kompor dan keperluan lainnya yang Mama butuhkan,” jawab Adrian. “Ya sudah, aku permisi dulu, silakan lanjutkan makan malamnya,” ucap Reka, sambil melangkah keluar apartemen. Hanggoro, Atik dan Clara serta Adrian melanjutkan makan malam mereka, susana begitu hening, hanya terdengar suara dentingan sendok, dan garpu yang beradu dengan piring, mereka tenggelam pada pikiran masing-masing, terutama Hanggoro, jauh di dalam hatinya, ia terusik dengan pernyataan Reka, tentang Nilam istrinya. Seusai makan malam Hangoro dan Atik duduk di sofa. “Adrian, Clara, ayah ingin bic
Tidak lama kemudian security kembali dengan membawa satu botol besar air, dan memberikannya pada Clara. “Ini air yang kamu butuhkan, cepatlah pergi, nanti bosku marah, jika melihat orang asing ke sini!” perintah security. “Memangnya siapa pemilik villa ini?” tanya Clara. “Sudah, jangan banyak tanya, cepat pergi!” perintah security kesal. “Oke, terima kasih,” balas Clara, sambil meraih botol. Clara kembali berjalan menuju mobil, terlihat Reka turun dari mobil. “Clara, apa kamu melihat sesuatu yang mencurigakan?” tanya Reka penasaran. “Tidak, Ma. Villa tampak sepi, juga tidak ada mobil terparkir di situ, tapi aku sempat melihat bayangan seorang wanita dari balik jendela kamar atas,” jelas Clara. Reka berdecak kesal, ”Baskoro memang lihai menyembunyikan Nilam, tapi aku yakin, kali ini pasti akan terbukti semua kecurigaanku, tapi kita tidak bisa seharian di sini,” ucap Reka, sambil mengedarkan pandangananya di sekeliling vila. “Ma, kita pulang yuk, hari sudah menjelang sore, Mam
Clara berusaha memejamkan matanya, sepulang dari rumah Baskoro, tapi ia terus berpikir tentang motor gede dalam foto, sama persis dengan motor gede yang ada villa Bogor, apalagi Baskoro menyebut villa Bogor. Clara mulai berpikir tentang semua ucapan Reka adalah benar, dan jika itu adalah villa yang di maksud. Siapa bayangan wanita yang ada di balik jendela? Pertanyaan itu terus berputar-putar di benak Clara, hingga membuatnya sulit memejamkan matanya. Sementara itu terlihat Adrian sudah tertidur lelap di sebelahnya, setelah beberapa jam lalu, berbagi peluh, penuh cinta dan gairah yang membuncah terlampiaskan. “Pagi sayang,” sapa Adrian, memeluk Clara dari belakang, di benamkannya kepalanya di ceruk leher istrinya. Clara yang saat itu berdiri di dapur dan sedang meyeduh teh terkejut. Tapi seketika tersenyum kecil di kala merasakan pelukan hangat Adrian. “Adrian, aku hari ada pekerjaan, menemui klien di Bogor, mungkin pulang agak malam,” izin Clara. Adrian, membalikan tubuh Clara,
“Papa Baskoro,” desis Clara dengan bibir bergetar, netranya terus mengamati jendela kamar. Baskoro menutup korden jendela, sehingga menyebabkan Clara, tidak bisa melihatnya lagi. Sementara itu Adrian yang mencemaskan Clara yang tidak bisa di hubungi, Adrian melacak ponsel Clara, yang menggunakan GPS. Mobil jeepnya berhenti mengikuti arah GPS. Adrian turun dari jeepnya, matanya tajam memandang sekeliling jalanan yang nampak gelap dan sepi. “Menurut GPS ponsel Clara berada di sini, lalu kemana dia? tidak ada hotel ataupun pekantoran di sini, hanya ada beberapa villa,” gerutu Adrian, mulai khawatir. Lalu ia mencoba menghubungi ponsel Clara. Tiba-tiba tidak jauh dari tempatnya berdiri terdengar nada dering. Di carinya sumber suara, tak jauh dari jalan, Adrian menemukan ponsel Clara, dengan cepat ponsel itu di ambilnya, kini perasaan khawatir tampak terlihat di wajahnya, dengan cepat Adrian menyusuri jalanan. Kini jeepnya berhenti di sebuah villa yang berjarak 30 meter. Dengan cepat Adria
“Baiklah, untuk memastikanya kita ke sana,” ajak Adrian. “Tidak, aku tidak setuju, itu mengganggu privasi Pak Baskoro. Aku yakin, wanita itu bukan Nilam, Aku mengenal Nilam, dia tidak mungkin mengkhianatiku,” timpal Hanggoro dengan sangat yakin. “Nilam, atau bukan, aku harus minta penjelasan Papa,” tukas Adrian, seraya bangkit dari duduknya. “Aku setuju dengan Adrian, kita sudah sampai di sini, dan harus tahu kebenarannya,” balas Clara seraya bengkit dari duduknya. ”Sebentar, aku akan berpamitan dulu pada Bram,” sambung Clara lagi, dengan melangkah menuju kamar Bram. “Clara, aku tunggu di mobil,” ucap Adrian, dengan melangkah menuju luar rumah, di ikuti Hanggoro. Clara mengetuk pintu kamar Bram, tak lama kemudian Bram membukakan pintu. “Bram, aku akan pergi, terima kasih atas pertolonganmu malam ini,” ucap Clara pelan, lalu berbalik, tapi langkahnya terhenti, karena pergelangan tangannya di pegang Bram, seketika Clara berbalik menatap Bram. “Clara, kapan kamu mengizinkan aku be
“Maafkan Ibu, Clara,” bisik Nilam lirih. Clara mengurai pelukannya, dalam hatinya ingin sekali mencerca beribu pertanyaan pada wanita yangg telah melahirkannya, tapi ia urungkan, ketika melihat air mata tak hentinya luruh pipi Nilam dan mata penyesalan tergambar jelas di mata Nilam. “Clara tidak mau menyalahkan ibu, melihat ibu berdiri di sini, di depan Clara, itu adalah suatu keajaiban, yang patut Clara syukuri, tidak perduli dengan keputusan ibu di masa lalu, yang terpenting saat ini Clara bisa memeluk ibu,” balas Clara. “Kamu anak baik Clara, semoga kamu bahagia,” bisik Nilam lirih, memeluk erat putrinya yang belasan tahun, tanpa tersentuh tangannya. Nilam, meraih tangan Clara dan membawanya untuk duduk di sofa, kini ibu dan anak itu duduk saling berhadapan, dan saling menggenggam. “Clara, waktu ibu tahu ternyata kamu menjalin hubungan dengan Adrian, ibu bahagia. Baskoro memberikan restu atas hubungan kalian, Baskoro selalu mengabari ibu tentang keadaanmu, mengirimkan foto-fo
Clara terduduk di lantai, tangisnya terisak, membayangkan nasib pernikahannya. “Bu Clara, ponsel anda berdering,” ujar wati asisten rumah tangga Clara. Clara bangkit dari duduknya, mencoba tenang, lalu melangkah menuju kamarnya, di raihnya ponsel diatas nakas samping tempat tidur, panggilan nomor tak di kenal, lalu Clara mengangkat ponselnya. “Hallo siapa ini?” suara Clara terdengar parau, menyapa seseorang di seberang ponsel. “Clara, ini Ibu, Ibu mendapatkan nomermu dari Papa Bas. Ibu ingin bertemu denganmu dan Jose, apa kamu bersedia membawa Jose ke rumah Papa Baskoro, Ibu menunggumu sore ini di sana,” ucap pelan Nilam. “Iya Bu, Aku dan Jose, sore ini akan menemui Ibu.” “Terima kasih Clara, sampai jumpa sere nanti,” ucap Nilam, kemudian menutup pembicaran lewat ponsel. Clara teringat dengan Hanggoro, sejak kemarin malam ia belum menemui atau mengetahui kabar ayahnya, yang sedang kecewa. Lalu di carinya nama ayahnya di layar ponsel dan mencoba menghubunginya, tapi nada sambung