Clara terduduk di lantai, tangisnya terisak, membayangkan nasib pernikahannya. “Bu Clara, ponsel anda berdering,” ujar wati asisten rumah tangga Clara. Clara bangkit dari duduknya, mencoba tenang, lalu melangkah menuju kamarnya, di raihnya ponsel diatas nakas samping tempat tidur, panggilan nomor tak di kenal, lalu Clara mengangkat ponselnya. “Hallo siapa ini?” suara Clara terdengar parau, menyapa seseorang di seberang ponsel. “Clara, ini Ibu, Ibu mendapatkan nomermu dari Papa Bas. Ibu ingin bertemu denganmu dan Jose, apa kamu bersedia membawa Jose ke rumah Papa Baskoro, Ibu menunggumu sore ini di sana,” ucap pelan Nilam. “Iya Bu, Aku dan Jose, sore ini akan menemui Ibu.” “Terima kasih Clara, sampai jumpa sere nanti,” ucap Nilam, kemudian menutup pembicaran lewat ponsel. Clara teringat dengan Hanggoro, sejak kemarin malam ia belum menemui atau mengetahui kabar ayahnya, yang sedang kecewa. Lalu di carinya nama ayahnya di layar ponsel dan mencoba menghubunginya, tapi nada sambung
Clara dan Adrian sampai di rumah Baskoro, terlihat Nilam dan Baskoro sudah menunggunya, Nilam tersenyum, melihat kedatangan Clara dan Adrian, mereka berjalan bertiga di tengahnya Jose di gandeng Clara dan Adrian. “Clara,” sapa Nilam, seraya memeluk Clara. Kemudian berganti menatap Adrian, dan menjulurkan tangannya, ”Apa kabar Adrian,” sapa Nilam, dengan tersenyum kecil. “Baik Bu Nilam,” balas Adrian singkat. Lalu Nilam, berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Jose, ”Hallo Jose, kenalkan Ibu Nilam, nenekmu,” sapa Nilam, seraya memeluk Jose. Jose, menatap dan tersenyum kecil, begitulah bocah berumur 4 tahun itu, lebih memlih tersenyum, ketika bertemu orang yang baru di kenalnya. Semuanya masuk ke dalam rumah, dan duduk di sofa, di hadapan mereka sudah tersedia minuman dan camilan, tampak semuanya masih canggung dengan situasi dan pertemuan ini. Clara mencoba untuk memecah keheningan. “Papa Bas, bolehkah kami menginap malam ini?” izin Clara. “Boleh dong Clara, jika k
Bramastio melajukan mobil sedan hitamnya menembus gelapnya malam, setelah melihat video viral, antara Nilam dan Reka, kini Bram tahu harus ada di pihak mana untuk mendapatkan Clara dan Jose kembali. Dengan wajah tegang, ia menuju ke sebuah kafe, beberapa jam kemudian, sampailah Bram di tempat yang di tuju, sebuah kafe berkonsep out door di atas sebuah rooftop, tempatnya sangat privasi. Bram mengarahkan pendangannya mencari seseorang, setelah menangkap sosok seorang wanita yang duduk di kursi dengan ekpresi marah, Bram pun mendekatinya. “Selamat malam Nyonya Reka,” sapa Bram dengan mengulum senyum. “Malam, jadi kamu mantan suami Clara?” tanya Reka, dengan tatapan penuh selidik pada lelaki berwajah tampan, postur tinggi dan berkulit putih. “Iya, saya Bramastio Himawan, mantan suami Clara dan ayah kandung Jose,” jawab Bram, sambil menjabat tangan Reka. Mereka pun saling berjabat tangan. “Woow, Clara Putri, di perebutkan dua CEO dari perusahaan besar. Clara memang cantik, cerdas, d
Bram, mengejar Clara yang terus berteriak minta tolong, beberapa staff dari resort juga ikut mengejar. Sekitar hampir lima belas menit, Bram berhasil mensejajarkan kudanya dengan kuda Clara. “Bram, tolong!” teriak Clara dengan cemas dan ketakutan. “Clara, sampai di hamparan rumput depan, melompatlah!” perintah Bram. “Tapi aku takut Bram.” “Jangan takut, lihatlah kudamu semakin tidak terkendali,” teriak Bram. Tapi Clara terus berteriak, dan memejamkan matanya, tanpa berpikir panjang, setelah sampai hamparan rerumputan, Bram melompat ke arah Clara, dan mereka berdua jatuh di hamparan rumput, sampai berguling-guling, dan akhirnya Bram bisa menghentikan tubuhnya seraya memeluk tubuh Clara. Kini tubuh Clara tepat di bawah tubuh Bram, untuk sesaat Bram menatap wajah cantik Clara, dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Clara, wajah keduanya begitu dekat, Clara masih memejamkan mata, karena takut, tapi ketika menyadari bahwa tubuhnya di tindih Bram, ia pun segera memb
Sementara itu, di tempat lain, tepatnya di sebuah kamar hotel bintang 5 di Kota Semarang, terlihat Adrian, menahan marah, telapak tangannya mengepal dan dipukulkannya diatas meja samping tempat tidur. Matanya kembali mengamati layar ponsel yang masih di genggamnya. Terlihat, foto Clara yang sedang di gandeng Bram, dan foto satunya sedang di bopong Bram, dan itu membuat Adrian, terbakar api cemburu, apalagi ponsel Clara tidak bisa di hubungi, membuat Adrian semakin marah. Hingga pagi tiba, Adrian tidak bisa memejamkan matanya, prasangka buruk kini, memenuhi hatinya. Kiriman chat foto mesra Clara dan Bram dan entah siapa pengirimnya, membuat konsentrasinya pada proyek pembangunan bendungan di Semarang terpecah. Tapi Adrian, mencoba bersikap profesional. Pagi yang cerah, tidak secerah hati Adrian, dengan langkah cepat ia menuju proyek pembangunan bendungan, Adrian ingin segera mengakhiri proses peletakkan batu pertama bendungan, dan segera kembali ke Jakarta, meminta penjelasan pad
Sinar mentari datang menyapa, terlihat Clara mengerjap-ngerjapkan netranya, tubuhnya masih terasa nyeri, terlihat Adrian sudah memakai kemeja komplit dengan jas warna hitam, dan celana warna senada. “Adrian, sepagi ini mau ke kantor,” ucap Clara seraya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh. “Aku ada meeting, dengan klien di kafe, sekalian breakfast, klien ini sangat penting dari Bali, pembangunan hotel dan resort bertaraf internasional,” jawab Adrian, dengan semangat. “PT. Baskoro Corp semakin bersinar di tanganmu,” ujar Clara, mencoba bangkit dari duduknya. “Cla, jika masih sakit, lebih baik berobat ke rumah sakit!” peritah Adrian, sambil membantu Clara untuk berdiri. “Aku, sudah terbiasa merasakan sakit seperti ini, dua tiga hari juga sembuh.” Clara, berjalan pelan menuju kamar mandi untuk mandi. Dan setelah itu Clara beranjak menuju meja makan. Adrian dan Clara duduk di kursi makan saling berhadapan, terlihat Adrian sedang menyuapi Clara roti bakar, keduaya terse
Nilam dan Clara memutuskan untuk menginap beberapa hari di rumah Ki Darma. Mereka melepas rindu, Ki Darma sangat bahagia bertahun-tahun hidup sendiri, kini di saat usia senja, putri dan cucunya kembali, Ki Darma merasakan kehangatan sebuah keluarga. “Kek, aku dan ibu akan ke perkebunan, ibu ingin jalan-jalan, Clara sekalian akan mengadakan rapat dengan staff dan memeriksa kondisi Agro Darma,” izin Clara pada Ki Darma. “Baiklah, kalian sekarang Ke Agro Darma, tapi nanti, makan siang di sini, akan aku minta Anah, untuk memasak makanan kesukaan Nilam,” balas Ki Darma. Nilam terharu, sekali lagi ia memeluk Ki Darma, ”Terima kasih Bapak,” ucap Nilam, menguraikan pelukannya. Senyum mengembang di wajah keduanya. Nilam dan Clara melangkah lebar, menuju mobil, keduanya menaiki mobil dan keluar halaman, menuju jalan. Ki Darma menghela napas lega, ia tidak menyangka kebahagian yang sempurna datang di usia senjanya, senyum bahagia terukir di bibir Ki Darma, hingga terdengar namanya di p
Nilam dan Clara berpamitan kembali ke Jakarta, setelah dua hari menginap di rumah Ki Darma. “Clara, berhati-hatilah,” pesan Ki Darma seraya memeluk cucuya. “Iya Kakek, Clara akan menyetir dengan hati-hati,” balas Clara. “Bukan itu maksud Kakek, tapi berhati-hatilah terhadap Reka, mertuamu,” tukas Ki Darma. Clara terkejut dengan perkataan Ki Darma, ada guratan kecemasan, di setiap inci wajah rentanya. “Kenapa Kakek berkata seperti itu, apa Mama Reka menemui Kakek?” tanya Clara. “Iya, ia meminta Kakek untuk memisahkanmu dengan Adrian, tapi kamu jangan khawatir, karena Kakek tidak menuruti keinginan gila Reka,” jelas Ki Darma. “Bapak, jangan cemaskan Clara, aku akan mnyelesaikannya dengan Reka. Penyebab masalah ini adalah aku, jadi aku akan selesaikan,” balas Nilam, sambil memegang lengan Ki Darma, supaya Ki Darma lebih tenang. “Iya Kek, Clara bisa menjaga diri, Kakek jangan mencemaskan Clara,” timpal Clara. Ketiganya lalu saling berpelukan, setelah itu Clara dan Nilam, memasuki