Bramastio melajukan mobil sedan hitamnya menembus gelapnya malam, setelah melihat video viral, antara Nilam dan Reka, kini Bram tahu harus ada di pihak mana untuk mendapatkan Clara dan Jose kembali. Dengan wajah tegang, ia menuju ke sebuah kafe, beberapa jam kemudian, sampailah Bram di tempat yang di tuju, sebuah kafe berkonsep out door di atas sebuah rooftop, tempatnya sangat privasi. Bram mengarahkan pendangannya mencari seseorang, setelah menangkap sosok seorang wanita yang duduk di kursi dengan ekpresi marah, Bram pun mendekatinya. “Selamat malam Nyonya Reka,” sapa Bram dengan mengulum senyum. “Malam, jadi kamu mantan suami Clara?” tanya Reka, dengan tatapan penuh selidik pada lelaki berwajah tampan, postur tinggi dan berkulit putih. “Iya, saya Bramastio Himawan, mantan suami Clara dan ayah kandung Jose,” jawab Bram, sambil menjabat tangan Reka. Mereka pun saling berjabat tangan. “Woow, Clara Putri, di perebutkan dua CEO dari perusahaan besar. Clara memang cantik, cerdas, d
Bram, mengejar Clara yang terus berteriak minta tolong, beberapa staff dari resort juga ikut mengejar. Sekitar hampir lima belas menit, Bram berhasil mensejajarkan kudanya dengan kuda Clara. “Bram, tolong!” teriak Clara dengan cemas dan ketakutan. “Clara, sampai di hamparan rumput depan, melompatlah!” perintah Bram. “Tapi aku takut Bram.” “Jangan takut, lihatlah kudamu semakin tidak terkendali,” teriak Bram. Tapi Clara terus berteriak, dan memejamkan matanya, tanpa berpikir panjang, setelah sampai hamparan rerumputan, Bram melompat ke arah Clara, dan mereka berdua jatuh di hamparan rumput, sampai berguling-guling, dan akhirnya Bram bisa menghentikan tubuhnya seraya memeluk tubuh Clara. Kini tubuh Clara tepat di bawah tubuh Bram, untuk sesaat Bram menatap wajah cantik Clara, dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Clara, wajah keduanya begitu dekat, Clara masih memejamkan mata, karena takut, tapi ketika menyadari bahwa tubuhnya di tindih Bram, ia pun segera memb
Sementara itu, di tempat lain, tepatnya di sebuah kamar hotel bintang 5 di Kota Semarang, terlihat Adrian, menahan marah, telapak tangannya mengepal dan dipukulkannya diatas meja samping tempat tidur. Matanya kembali mengamati layar ponsel yang masih di genggamnya. Terlihat, foto Clara yang sedang di gandeng Bram, dan foto satunya sedang di bopong Bram, dan itu membuat Adrian, terbakar api cemburu, apalagi ponsel Clara tidak bisa di hubungi, membuat Adrian semakin marah. Hingga pagi tiba, Adrian tidak bisa memejamkan matanya, prasangka buruk kini, memenuhi hatinya. Kiriman chat foto mesra Clara dan Bram dan entah siapa pengirimnya, membuat konsentrasinya pada proyek pembangunan bendungan di Semarang terpecah. Tapi Adrian, mencoba bersikap profesional. Pagi yang cerah, tidak secerah hati Adrian, dengan langkah cepat ia menuju proyek pembangunan bendungan, Adrian ingin segera mengakhiri proses peletakkan batu pertama bendungan, dan segera kembali ke Jakarta, meminta penjelasan pad
Sinar mentari datang menyapa, terlihat Clara mengerjap-ngerjapkan netranya, tubuhnya masih terasa nyeri, terlihat Adrian sudah memakai kemeja komplit dengan jas warna hitam, dan celana warna senada. “Adrian, sepagi ini mau ke kantor,” ucap Clara seraya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh. “Aku ada meeting, dengan klien di kafe, sekalian breakfast, klien ini sangat penting dari Bali, pembangunan hotel dan resort bertaraf internasional,” jawab Adrian, dengan semangat. “PT. Baskoro Corp semakin bersinar di tanganmu,” ujar Clara, mencoba bangkit dari duduknya. “Cla, jika masih sakit, lebih baik berobat ke rumah sakit!” peritah Adrian, sambil membantu Clara untuk berdiri. “Aku, sudah terbiasa merasakan sakit seperti ini, dua tiga hari juga sembuh.” Clara, berjalan pelan menuju kamar mandi untuk mandi. Dan setelah itu Clara beranjak menuju meja makan. Adrian dan Clara duduk di kursi makan saling berhadapan, terlihat Adrian sedang menyuapi Clara roti bakar, keduaya terse
Nilam dan Clara memutuskan untuk menginap beberapa hari di rumah Ki Darma. Mereka melepas rindu, Ki Darma sangat bahagia bertahun-tahun hidup sendiri, kini di saat usia senja, putri dan cucunya kembali, Ki Darma merasakan kehangatan sebuah keluarga. “Kek, aku dan ibu akan ke perkebunan, ibu ingin jalan-jalan, Clara sekalian akan mengadakan rapat dengan staff dan memeriksa kondisi Agro Darma,” izin Clara pada Ki Darma. “Baiklah, kalian sekarang Ke Agro Darma, tapi nanti, makan siang di sini, akan aku minta Anah, untuk memasak makanan kesukaan Nilam,” balas Ki Darma. Nilam terharu, sekali lagi ia memeluk Ki Darma, ”Terima kasih Bapak,” ucap Nilam, menguraikan pelukannya. Senyum mengembang di wajah keduanya. Nilam dan Clara melangkah lebar, menuju mobil, keduanya menaiki mobil dan keluar halaman, menuju jalan. Ki Darma menghela napas lega, ia tidak menyangka kebahagian yang sempurna datang di usia senjanya, senyum bahagia terukir di bibir Ki Darma, hingga terdengar namanya di p
Nilam dan Clara berpamitan kembali ke Jakarta, setelah dua hari menginap di rumah Ki Darma. “Clara, berhati-hatilah,” pesan Ki Darma seraya memeluk cucuya. “Iya Kakek, Clara akan menyetir dengan hati-hati,” balas Clara. “Bukan itu maksud Kakek, tapi berhati-hatilah terhadap Reka, mertuamu,” tukas Ki Darma. Clara terkejut dengan perkataan Ki Darma, ada guratan kecemasan, di setiap inci wajah rentanya. “Kenapa Kakek berkata seperti itu, apa Mama Reka menemui Kakek?” tanya Clara. “Iya, ia meminta Kakek untuk memisahkanmu dengan Adrian, tapi kamu jangan khawatir, karena Kakek tidak menuruti keinginan gila Reka,” jelas Ki Darma. “Bapak, jangan cemaskan Clara, aku akan mnyelesaikannya dengan Reka. Penyebab masalah ini adalah aku, jadi aku akan selesaikan,” balas Nilam, sambil memegang lengan Ki Darma, supaya Ki Darma lebih tenang. “Iya Kek, Clara bisa menjaga diri, Kakek jangan mencemaskan Clara,” timpal Clara. Ketiganya lalu saling berpelukan, setelah itu Clara dan Nilam, memasuki
“Adrian, kamu harus melindungi Clara dari Reka, kecelakaan Clara dari kuda itu semua ulah Reka,” balas Nilam geram. “Bu...cukup, jangan memperbesar masalah ini,” sela Clara menatap dalam Nilam, berharap Nilam tidak meneruskan kata-katanya. “Clara, apa yang dikatakan ibu Nilam benar?” Adrian bertanya dengan nada tinggi. “Adrian, sudah aku bilang, ini kecelakaan biasa,” sahut Clara, berusaha menyakinkan Adrian. “Clara, jangan menutupi kejahatan ibu mertuamu,” sela Nilam, memegang bahu Clara, kemudian beralih mendekat ke Adrian dan menatap serius. ”Adrian, Reka baru saja mengatakannya padaku, jika aku tidak membuat kalian bercerai, Reka akan membuat Clara lebih celaka dari kecelakaan kuda kemarin,” jelas Nilam, ada gurat kecemasan menggantung di matanya. Adrian berdecak kesal, ia menaruh jas dan tas kerjanya asal di meja, lalu dengan langkah cepat keluar apartemen, dengan cepat Clara meraih tangan Adrian. “Adrian, aku mohon, jangan bertengkar dengan Mama Reka, keadaannya akan m
Embun pagi masih bersemayam di dedaunan, mentari enggan untuk bersinar, pagi itu terasa dingin, Clara berdiri di ballkon kamarnya, netranya menatap kabut, angin dingin berhembus menerpa menembus kulit putih Clara yang hanya mengenakan lingerie warna cokelat dengan renda cream di bawahnya, kaki jenjangnya terlihat menawan, Clara tak menyadari sepasang mata sedang mengagumi bentuk tubuh yang nyaris sempurna tanpa cacat, rambut yang di biarkan tergerai itu bergerak-gerak lembut tertiup angin. “Apa yang kamu pikirkan sayang, ini masih dingin, kenapa berdiri di sini?” tanya Adrian, yang mendekat ke arah Clara dan merekatkan tangannya memeluk wanita yang di cinta. Clara terkejut, tapi ia segera menyandarkan kepalanya di dada bidang Adrian, dan tangannya memegang erat tangan Adrian. “Aku sedang memikirkan Mama Reka, apa yang harus aku lakukan agar Mama Reka menerimaku.” Adrian, mengecup pucuk rambut Clara, bibirnya kemudian di dekatkan di telinga Clara sembari berbisik, ”Kamu hanya per