"Hei, Bu Davira sudah di dalam selama satu jam. Tirai di ruangan juga ditutup rapat. Coba tebak, apa yang mereka lakukan di dalam sana."Briella berjalan melewati kerumunan orang dan duduk kembali di meja kerjanya. Dia punya banyak hal yang harus dilakukan, jadi tidak punya energi untuk mengurusi hal lain.Begitu duduk di kursinya, telepon di meja kerjanya terus berdering, yang semuanya datang dari Valerio."Bu Briella, bawakan segelas susu panas.""Bu Briella, suhu ruangan terlalu panas, turunkan suhu AC-nya.""Bu Briella, minta petugas kebersihan membereskan ruang istirahat."Kedatangan Davira menambah beban kerja Briella. Namun, dia menyanggupi semua perintah tersebut.Setelah mengurus ini dan itu, tiba waktunya bagi Briella untuk pergi ke ruang rapat dan menemui klien.Keributan terjadi di kantor saat petugas kebersihan membawa troli pembersih."Luar biasa. Apa yang mereka lakukan di ruang istirahat sampai harus dibersihkan!"Briella berjalan cepat dengan membawa dokumen di tangann
Zayden menatap mereka semua dalam diam. Dia sama sekali tidak panik, ekspresinya terlihat sangat tenang.Mereka semua adalah rekan kerja ibunya. Dia harus pergi diam-diam secepat mungkin agar tidak membuat masalah untuk ibunya.Beberapa rekan kerja wanita melihat ekspresi tenang di wajah kecilnya yang tampan, lalu berjongkok untuk menggodanya."Hei, ganteng. Kamu ganteng sekali. Sini, biar Tante peluk sebentar."Rekan kerja lain mencibir, "Dasar cabul. Anak kecil saja masih diincar.""Ini waktu kerja, apa yang kalian lakukan di sini?"Suara tegas tiba-tiba terdengar dan kerumunan orang yang mengagumi kegemasan Zayden langsung kembali ke meja kerja mereka.Setelah duduk, barulah mereka tahu siapa orang yang menegur mereka.Dia adalah Davira, kepala bagian keuangan baru di perusahaan.Bukankah dia bekerja di bagian keuangan, kenapa terus menerus datang ke kantor presdir? Membuat orang tidak nyaman saja.Semua orang saling memandang. Meski mereka tidak senang, tetapi tetap saja tidak ada
"Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?"Perusahaan Regulus memiliki salah satu sistem kontrol akses dan keamanan tercanggih di dunia. Mustahil orang luar bisa keluar masuk sesuka hati.Zayden duduk di seberang Valerio dan menirukan gerakannya. Tindakannya membuatnya makin terlihat mirip dengan Valerio."Aku masuk dengan orang lain.""Nggak mungkin."Mata Zayden berkilat dengan licik. "Petugas keamanan yang mengizinkanku masuk."Valerio bersandar dengan malas pada sandaran kursi. Dia bersedekap dan menjawab dengan sikap santai."Nak, kalau kamu masih nggak mau jujur, aku akan mengajarkanmu apa yang dinamakan kejujuran."Zayden terkejut dan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah."Sangat mudah. Nggak ada petugas keamanan yang jaga di pintu sisi samping gedung. Aku hanya membuka kunci kombinasinya."Keterkejutan melintas di pelupuk mata Valerio saat mendengar jawaban anak ini.Kunci kombinasi yang dibicarakan anak ini adalah teknologi tinggi yang dikembangkan oleh pusat penelitian dan pen
Setelah berdiri sebentar di depan pintu masuk perusahaan, Briella menyimpan kembali kenangan masa lalunya dan kembali ke perusahaan.Begitu kembali ke meja kerjanya, rekan kerja di samping menarik kursi di dekatnya dan mulai menggerutu."Bu Briella, kamu nggak lihat kalau hari ini Davira bersikap sangat menyebalkan. Dia nggak bekerja dan cuma bisa pamer."Briella melihat sekeliling dan berbicara pelan mengingatkan rekan kerjanya, "Jangan bicara begitu. Bu Davira baru kembali dari kuliah di luar negeri. Mungkin belum beradaptasi dengan lingkungan baru."Rekannya menimpali kesal, "Hah, pada akhirnya dia akan menjadi istrinya Pak Valerio! Aku nggak bisa berkata-kata lagi."Briella tersenyum tenang dan menepuk pundak rekannya."Pak Valerio memintaku ke ruangannya. Kalian lanjutkan pekerjaan kalian."Briella mengeluarkan salep dari laci dan melangkahkan kakinya yang mengenakan sepatu hak setinggi lima sentimeter masuk ke ruang presdir.Pria itu sedang bekerja, matanya tertuju pada layar kom
Valerio menyipitkan matanya, memberikan aura dingin yang di bawah matanya. "Selama ini ada yang kamu sembunyikan dariku?"Briella menggigit bibirnya dan menjawab dengan tenang, "Ada."Valerio memegang dagu Briella dengan kencang. Dia baru melepaskannya setelah Briella meringis kesakitan.Valerio mengeluarkan tisu basah dan berulang kali menyeka kedua ujung jarinya yang barusan menyentuh Briella. Sikap dan gerakannya menunjukkan rasa jijik yang sangat kentara, seakan-akan dia telah menyentuh sesuatu yang kotor.Pria itu mencibir, "Pantas saja ...."Briella bingung. Pantas saja apa?"Keluar!"Kemarahan Valerio yang tiba-tiba membuat Briella merasa aneh.Pria itu memanggilnya bukan membahas masalah semalam tentang memberinya Galapagos, tetapi malah menggunakan liontin giok untuk mengalihkan pembicaraan.Pria ini tidak sedang mencoba mengingkari janjinya, bukan?"Pak Valerio, jangan lupa obatnya dipakai."Briella sudah membuka pintu dan akan pergi, tetapi suara Valerio kembali terdengar."
Briella mengetuk pintu kantor Davira.Davira berdiri di sana, dia melihat Briella dari ujung kepala sampai ujung kaki lalu ke wajahnya."Sudah berapa lama kamu kerja sama Valerio?""Lima tahun."Davira melirik Briella sekilas, sikapnya menunjukkan keangkuhan.Valerio dikelilingi oleh orang yang setia dan bisa dipercaya. Lima tahun bukan apa-apa. Namun, masalahnya terletak pada Briella yang seorang wanita."Rio sangat menghargai kemampuan kerjamu. Dia bilang kamu bisa beradaptasi dalam segala situasi. Kamu bekerja dengan cekatan dan menyeluruh seperti seorang wanita, tapi kamu juga bekerja dengan tegas dan cepat layaknya pria."Saat itu, Davira merasakan ancaman besar saat mendengar Valerio mengatakan Briella adalah orang yang seperti itu. Namun, saat melihat Briella secara langsung, dia malah merasa lega.Briella hanyalah seorang pengganti.Briella agak terkejut. Selama ini, dia selalu berpikir kalau Valerio menganggapnya sebagai barang."Tapi, kalau dilihat dari sumber daya manusia se
"Apa ... apa ibuku akan ...."Pria itu memotong sebelum Briella menyelesaikan perkataannya."Semuanya pasti akan baik-baik saja." Mendengar suara isak tangis Briella yang gemetar, pria di ujung telepon berbicara lagi, "Lala, jangan takut. Ada aku di sini."Briella melangkah masuk ke dalam lift, merasa sedikit lebih lega. "Nathan, terima kasih.""Nggak masalah. Pelan-pelan saja dan hati-hati di jalan.""Ya."Setelah menutup telepon, Briella baru menyadari selain dirinya, ternyata ada sepasang pria dan wanita di dalam lift.Orang itu adalah Valerio dan Davira.Briella mencoba menenangkan perasaannya dan menyapa kedua orang itu, "Pak Valerio, Bu Davira."Wajah Valerio terlihat dingin, tatapannya tertuju pada wajah kecil Briella yang pucat. Pria itu bisa melihat jejak air mata di sudut mata Briella.Valerio mengerutkan kening dan ingin mengatakan sesuatu, tetapi Davira tiba-tiba menggandeng lengannya.Dia tersenyum dan bertanya pada Briella, "Apa yang kamu telepon barusan itu pacarmu?"Bri
Briella selalu merasa Nathan sangat tertarik setiap kali dia membahas masalah pekerjaannya."Untuk sekarang aku cuma mau fokus sama pengobatan ibu. Nanti saja kita bahas yang lainnya."Nathan mengangguk. "Oke. Aku mau kembali bekerja dulu. Telepon kalau ada apa-apa.""Pak Nathan, terima kasih sudah repot-repot datang kemari. Aku antar sampai ke depan."Briella pun mengantar Nathan pergi. Ia baru pulang dari rumah sakit saat hari sudah malam.Di dapur, Zayden berdiri di atas bangku kecil, sedang memasak pangsit."Mama, makan malam hampir siap. Cuci tangan dulu baru makan."Zayden menyajikan pangsit ke piring dan menyiapkan peralatan makan di atas meja. Dia duduk sambil menatap Briella dengan penuh harap.Briella dan Zayden saling berhadapan. Dia melihat Zayden membelalakkan matanya. "Apa yang kamu lakukan?""Bukannya pas di kantor Mama bilang mau cerita tentang papa saat pulang?""Papamu ...." Briella menunduk dan mengambil mangkuk Zayden, lalu berkata pelan. "Dia sudah nggak ada.""Ngg
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu