"Karena itulah aku sangat berterima kasih sama Kak Briella atas semua kebaikan yang dia lakukan untukku. Kalau seperti ini, sepertinya aku bisa dibilang memanfaatkannya."Briella berbicara dengan sopan, tidak membahas topik yang sedang mereka bicarakan, "Apa Pak Valerio masih belum akan kembali? Bagaimana kalau aku titipkan kepadamu saja apa yang ingin aku kembalikan. Nanti, kamu bisa memberikannya kepadanya.""Oh, ya boleh."Briella menyerahkan kartu bank ke tangan Siska. "Tolong pastikan kamu memberikannya kepada Pak Valerio. Terima kasih.""Ya, jangan khawatir."Briella berjalan keluar dari ruang tunggu, membawa tasnya sambil menunggu lift. Tiba-tiba, dia bertemu dengan Valerio yang baru saja kembali dari luar.Melihat pria itu berjalan keluar dari lift, tanpa sadar Briella mencoba berjalan menuju lift ke arah lain.Namun, Valerio menarik lengannya. "Kenapa menghindar?"Briella menyentak tangan Valerio dan merapikan lengan bajunya. "Aku sudah memberikan kartu itu kepada asistenmu."
Valerio mengerutkan kening. "Jangan berpikir aneh-aneh. Maksudku lukamu. Saat melakukannya dua kali sebelumnya, aku terlalu terburu-buru, jadi nggak memperhatikan."Saat mendengar pria itu menyebutkan kata dua kali sebelumnya, rona merah langsung muncul di pipi Briella."Lihat dengan jelas. Mau lihat yang seperti apa lagi, lebih baik pakai kaca pembesar sekalian biar makin jelas."Pria itu menjawab, "Ide bagus."Kenapa pria ini bisa menjawab dengan enteng terkait penderitaan yang pernah dialami oleh orang lain?Dengan perasaan jengkel, Briella beranjak dan mengambil tasnya. "Pak Valerio, kalau bukan soal pekerjaan yang ingin dibicarakan, lebih baik aku pergi."Valerio meletakkan cangkir kopinya dan berdiri juga.Dia mengangkat tangannya dan meraih pergelangan tangan Briella. "Ikut aku ke ruang istirahat."Briella menatap pintu ruang istirahat dan tubuhnya gemetar.Mereka pernah mengalami banyak hal di sana, tetapi sekarang ini lebih seperti mimpi buruk bagi Briella. Jangankan untuk mas
"Satu dari dua obat itu adalah krim perbaikan untuk bekas lukamu dan harus dioleskan setiap hari. Yang satu lagi adalah concealer untuk menutupi bekas lukamu. Kamu hanya perlu mengoleskannya ke bekas luka biar nggak terlihat. Obat itu bisa membuat kulitmu terlihat nggak ada bedanya dengan kulit normalmu. Ini bisa dipakai dalam keadaan darurat dan acara-acara khusus."Briella melihat ke arah dua obat di tangannya, kemudian menatap pria itu dengan agak terkejut.Pria itu bersikap sangat pengertian dengan menyiapkan ini untuknya."Kamu harus ingat, lukamu adalah ciri yang paling mudah dikenali apakah kamu Briella atau bukan. Jadi, kalau kamu ingin menyembunyikan identitasmu, kamu harus dengarkan aku. Untuk sekarang, kamu cuma bisa pakai obat ini. Kalau ada kesempatan, aku akan membawamu ke luar negeri dan menghubungi seorang ahli di sana untuk melakukan operasi penghilangan bekas lukamu."Briella menyimpan obat itu. Sebenarnya, dia juga mengkhawatirkan masalah luka ini. Apalagi dia juga b
#Setelah mengakhiri panggilan dengan Klinton, Briella segera melajukan mobilnya menuju tempat percobaan gaun berada.Tempat itu sudah ditutup untuk umum. Di sana hanya ada pelayan, Klinton dan Davira saja.Begitu Briella masuk, Davira langsung menarik lengan Klinton saat melihat kedatangannya"Apa yang dia lakukan di sini, Kak?""Aku yang menyuruhnya untuk datang.""Bukannya Kakak membawaku ke mari buat pilih gaun?""Nggak juga." Klinton malah bertanya kepada Davira, "Bukannya aku memintamu buat memilihkan beberapa gaun buat Renata pakai ke pesta? Lagipula aku ini laki-laki, nggak begitu mengerti selera perempuan. Kamu akan lebih paham dariku.""Apa!" Davira kesal dan menjawab gusar, "Jadi, kamu membawaku ke sini hanya untuk memanfaatkanku sebagai alat? Kak, apa kamu tahu apa yang Renata lakukan di belakangmu? Kenapa kamu masih mau sama dia setelah dibodohi olehnya?"Klinton menimpali tidak senang, "Davira, aku tahu kamu kesal karena Renata membuatmu dibawa polisi. Tapi ini memang sala
Klinton mengangkat pandangannya, memelototi Davira dan menegurnya, "Davira!"Davira menjulurkan lidahnya, merasa kalau hatinya belum terpuaskan. Jadi, dia kembali berkata kepada Briella."Ayo masuk ke dalam. Barusan aku lihat ada gaun yang bagus di dalam sana dan sesuai dengan ukuranmu."Davira berjalan ke depan dengan tangan bersedekap dan Briella mengikuti di belakang, berjalan ke arah bagian gaun berada.Briella melangkah pelan, tetapi kakinya tiba-tiba tersandung. Tubuhnya pun jadi gontai, membuatnya jatuh ke lantai. Tangannya membentur lantai, kulitnya terasa panas dan perih.Davira bersandar di ambang pintu dengan tangan bersedekap, menarik kakinya yang mengadang Briella sambil menyeringai penuh kemenangan.Kemarin Briella sudah mempermalukannya di taman kanak-kanak. Bagaimana mungkin dia membiarkan Briella lolos begitu saja hari ini?"Wah, kamu jatuh? Kenapa kamu ceroboh sekali? Untung saja bukan wajah cantikmu yang membentur lantai. Kalau nggak, nanti kamu nggak akan cantik lag
Davira menjawab tidak senang, "Ini model gaun utama di tempat ini dan semuanya model terbaru, ratusan kali lebih baik daripada model-model yang jelek itu. Kamu nggak mau menerima saran gaun dariku, apa ini tanda kamu kesal kepadaku? Biar kuberitahu, aku sudah menghabiskan waktu dan tenaga untuk memilihnya secara khusus. Karena kamu pendamping wanita kakakku, aku nggak bisa membiarkanmu mempermalukan kakakku di sana.""Terima kasih atas niat baiknya. Tapi gaun ini nggak cocok untukku."Briella berjalan berkeliling, melihat berbagai macam gaun yang ada. Memang gaun yang lain tidak terlalu bagus. Deretan rak terpisah yang dimaksud Davira memang gaun paling bagus, baik dari segi gaya maupun bahan dan warna.Mata Briella tiba-tiba berbinar, teringat akan salep yang diberikan Valerio kepadanya.Dia ingin tahu apakah salep itu seajaib yang dikatakan Valerio? Apa salep itu akan berguna di saat seperti ini?Hanya saja, Briella tidak bisa bertaruh pada keberuntungan. Lebih baik berhati-hati dala
"Bagaimana kalau begini, kita tunggu sebentar lagi, sepertinya dia ingin pergi ke tempat lain untuk memilih pakaiannya. Aku akan lihat apa yang bisa dia pilih nanti. Setelah itu, kita baru putuskan apa yang harus kita lakukan.""Baiklah kalau begitu. Ditha, begitu dulu saja. Kita bicara lagi nanti."Briella berdiri di luar dan mendengar apa yang dikatakan Davira dengan sangat jelas.Sepertinya ini memang jebakan besar. Tidak ada yang tahu trik apa yang akan dilakukan Davira dan Ditha.Musuh menyembunyikan diri dengan baik, sementara Briella tidak. Jadi, lebih baik berjaga-jaga.Briella berdiri untuk beberapa saat, lalu masuk ke dalam seolah tidak ada yang terjadi. Dia mengambil tasnya dan pergi.Dia berjalan keluar dari ruang ganti dan masuk ke dalam mobilnya.Mengingat pesta itu akan dilangsungkan dalam beberapa hari, sudah terlambat kalau ingin membuat gaun secara khusus. Jadi, Briella harus pergi ke butik untuk mencoba peruntungannya.Saat menjadi sekretaris Valerio, dia juga biasa
Jam empat sore adalah waktu Queena pulang sekolah.Queena berjalan keluar dari sekolah dengan riang seperti biasa, tiba-tiba melihat seorang pria jangkung yang mengenakan jas hitam berjalan ke arahnya."Nona Queena, Pak Valerio datang menjemput Nona. Beliau sudah menunggu di dalam mobil. Ayo kita ke mobil."Setelah mengatakan itu, pria itu membungkuk, berniat menggendong Queena. Di samping pria itu, ada beberapa pengawal berpakaian preman yang juga turut mengawal.Setiap kali Valerio datang untuk menjemput Queena, dia pasti selalu melakukan tindakan berlebihan begini.Queena melihat Rolls Royce milik ayahnya yang berada tak jauh dari situ, seketika raut wajahnya berubah cemberut tidak senang."Bukannya seharusnya Tante Renata yang menjemput Queena hari ini? Queena mau dijemput Tante Renata saja!"Pria itu sedikit bingung, tetapi tetap menggendong Queena berjalan ke mobil Valerio berada. "Ini keputusan Pak Valerio. Jadi, Nona Queena sebaiknya bicara sendiri dengan Pak Valerio."Queena d
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu