Briella sibuk dengan pekerjaannya sendiri dan tidak disangka sudah tiba saatnya menjemput Queena dari taman kanak-kanak.Dia telah menghabiskan beberapa hari terakhir dengan Queena. Selain mengagumi sikap lucu dan keceriaan Queena, Briella juga menyadari kalau membesarkan seorang anak bukanlah tugas yang mudah karena membutuhkan banyak kesabaran dan toleransi. Briella berpikir dalam hati kalau dia tidak akan pernah bisa memiliki seorang anak dalam hidupnya.Sekarang, Briella lebih menginginkan kebebasan dan waktu untuk memperjuangkan kariernya. Memiliki anak akan menjadi tanggung jawab tambahan yang pasti akan mengalihkan banyak energi dan waktunya.Mobilnya baru saja keluar dari gerbang perumahannya, tiba-tiba ada sebuah mobil yang membunyikan klakson ke arahnya. Briella menoleh dan ternyata orang itu Davira.Orang yang dipekerjakan oleh Davira di dekat lingkungannya sudah diberi pelajaran oleh Valerio kemarin. Wanita ini mungkin sedang cemas dan tidak berani mengganggu Valerio karena
Kemunculan Renata membuat Davira panik. Dia cemburu pada Renata, cemburu karena Renata lebih cantik darinya, cemburu karena Renata bisa mencuri perhatian kakaknya, cemburu karena Renata lebih baik dalam menjaga putrinya daripada dirinya. Rasa cemburu Davira sampai pada titik di mana dia bisa menggila.Siang dan malam, pikirannya dipenuhi dengan bagaimana cara mengacaukan Renata!Renata sudah terbiasa dengan sifat Davira dan berkata dengan nada buram."Begini saja, kalau kamu benar-benar merindukan Queena, pergilah ke taman kanak-kanak dan temui dia. Aku yakin dia akan ikut denganmu kalau dia juga merindukanmu. Kalau begitu, aku akan menyerahkan Queena kepadamu. Bagaimanapun, aku hanya seorang wanita lajang yang belum pernah menikah, nggak cocok kalau harus menjaga anak orang lain."Davira masih terlihat cemburu. Dia benci dengan sikap Renata yang terlihat acuh tak acuh dalam segala hal, seakan-akan dia selalu menang dalam segala hal. Sementara Davira hanya menjadi pecundang."Baiklah,
Para guru merebut Queena dari gendongan Davira dan beberapa satpam segera menghentikan Davira, membawanya ke kantor polisi.Davira yang emosinya sangat tidak terkendali menggeliat dan menatap Queena, lalu menggeram padanya, "Bocah sialan, apa kamu ingin membunuhku? Sebenarnya siapa yang Mama mu! Jangan bohong! Katakan pada mereka, siapa Mama mu yang sebenarnya!"Queena sangat takut dengan teriakan Davira. Dia pun merintih dan menangis lebih keras lagi.Briella bergegas menghampiri sang guru dan Queena berhambur ke dalam pelukannya, memohon untuk dihibur dan dipeluk.Saat melihat Briella, guru itu langsung menyerahkan Queena kepadanya.Briella yang berkeringat banyak karena panik langsung menggendong dan membujuk Queena. Dia melihat Davira yang ditekan ke tanah dalam keadaan menyedihkan, lengkap dengan rambutnya yang berantakan.Kalau dipikir-pikir dia juga cukup kasihan. Putrinya sendiri tidak mau mengakuinya sebagai ibu. Jadi, bisa dibayangkan seberapa besar rasa benci Davira kepada B
Klinton melakukan perjalanan bisnis selama dua hari, tetapi sudah banyak hal yang terjadi setelah kepergiannya. Jadi, dia memesan tiket pesawat malam itu juga."Briella, kamu terlalu dekat dengan Valerio, berbahaya."Klinton berkata dengan gelisah di ujung telepon, "Apa kamu lupa, siapa kamu sekarang? Kamu Renata, pacarku."Briella duduk bersila di sofa, menatap keluar jendela kaca yang membentang dari lantai ke langit-langit, terlihat sedikit melamun.Makin berbahaya malah makin mudah menarik Briella. Dia sedikit tidak percaya saat memikirkan apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir."Briella, apa kamu mendengarkanku?"Briella tersentak kembali ke akal sehatnya dan menjawab, "Dengar, Klinton. Aku akan mengembalikan Queena kepada Valerio besok. Aku sudah punya rancangan dan pemahaman yang jelas tentang Queena. Jadi tujuanku juga sudah tercapai."Entah kenapa, Briella sangat tidak berdaya saat mengucapkan semua itu."Baguslah." Klinton menambahkan, "Aku akan membawamu ke pesta kokt
Briella menutup telepon dan pergi ke Perusahaan Regulus.Kali ini, Siska lah yang menyambutnya. Siska terlihat sangat senang saat bertemu dengan Briella, bahkan tidak berhenti berbicara dalam perjalanan dari lobi ke kantor presdir."Nona Renata, sepertinya kondisimu sangat baik. Apa rancangan desainnya berjalan dengan baik?"Briella tersenyum tipis dan menjawab, "Semuanya berjalan dengan baik, terima kasih."Kalau Siska tidak memberitahunya tentang taman kanak-kanak tempat Queena sekolah, Briella tidak akan mengalami apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Jadi kali ini, Siska sudah banyak membantunya."Hei, jangan berterima kasih kepadaku. Aku nggak kasih bantuan apa pun sama Nona Renata." Siska menggaruk-garuk kepalanya dan tersenyum malu. "Sebenarnya, aku merasa kalau kamu benar-benar beruntung."Briella menjawab bingung, "Kenapa kamu bilang begitu?"Siska berpikir sejenak, dalam hati memikirkan apakah dia akan mengatakannya atau tidak. Setelah ragu-ragu, dia memutuskan untuk
"Karena itulah aku sangat berterima kasih sama Kak Briella atas semua kebaikan yang dia lakukan untukku. Kalau seperti ini, sepertinya aku bisa dibilang memanfaatkannya."Briella berbicara dengan sopan, tidak membahas topik yang sedang mereka bicarakan, "Apa Pak Valerio masih belum akan kembali? Bagaimana kalau aku titipkan kepadamu saja apa yang ingin aku kembalikan. Nanti, kamu bisa memberikannya kepadanya.""Oh, ya boleh."Briella menyerahkan kartu bank ke tangan Siska. "Tolong pastikan kamu memberikannya kepada Pak Valerio. Terima kasih.""Ya, jangan khawatir."Briella berjalan keluar dari ruang tunggu, membawa tasnya sambil menunggu lift. Tiba-tiba, dia bertemu dengan Valerio yang baru saja kembali dari luar.Melihat pria itu berjalan keluar dari lift, tanpa sadar Briella mencoba berjalan menuju lift ke arah lain.Namun, Valerio menarik lengannya. "Kenapa menghindar?"Briella menyentak tangan Valerio dan merapikan lengan bajunya. "Aku sudah memberikan kartu itu kepada asistenmu."
Valerio mengerutkan kening. "Jangan berpikir aneh-aneh. Maksudku lukamu. Saat melakukannya dua kali sebelumnya, aku terlalu terburu-buru, jadi nggak memperhatikan."Saat mendengar pria itu menyebutkan kata dua kali sebelumnya, rona merah langsung muncul di pipi Briella."Lihat dengan jelas. Mau lihat yang seperti apa lagi, lebih baik pakai kaca pembesar sekalian biar makin jelas."Pria itu menjawab, "Ide bagus."Kenapa pria ini bisa menjawab dengan enteng terkait penderitaan yang pernah dialami oleh orang lain?Dengan perasaan jengkel, Briella beranjak dan mengambil tasnya. "Pak Valerio, kalau bukan soal pekerjaan yang ingin dibicarakan, lebih baik aku pergi."Valerio meletakkan cangkir kopinya dan berdiri juga.Dia mengangkat tangannya dan meraih pergelangan tangan Briella. "Ikut aku ke ruang istirahat."Briella menatap pintu ruang istirahat dan tubuhnya gemetar.Mereka pernah mengalami banyak hal di sana, tetapi sekarang ini lebih seperti mimpi buruk bagi Briella. Jangankan untuk mas
"Satu dari dua obat itu adalah krim perbaikan untuk bekas lukamu dan harus dioleskan setiap hari. Yang satu lagi adalah concealer untuk menutupi bekas lukamu. Kamu hanya perlu mengoleskannya ke bekas luka biar nggak terlihat. Obat itu bisa membuat kulitmu terlihat nggak ada bedanya dengan kulit normalmu. Ini bisa dipakai dalam keadaan darurat dan acara-acara khusus."Briella melihat ke arah dua obat di tangannya, kemudian menatap pria itu dengan agak terkejut.Pria itu bersikap sangat pengertian dengan menyiapkan ini untuknya."Kamu harus ingat, lukamu adalah ciri yang paling mudah dikenali apakah kamu Briella atau bukan. Jadi, kalau kamu ingin menyembunyikan identitasmu, kamu harus dengarkan aku. Untuk sekarang, kamu cuma bisa pakai obat ini. Kalau ada kesempatan, aku akan membawamu ke luar negeri dan menghubungi seorang ahli di sana untuk melakukan operasi penghilangan bekas lukamu."Briella menyimpan obat itu. Sebenarnya, dia juga mengkhawatirkan masalah luka ini. Apalagi dia juga b