Briella melirik kaca spion, benar-benar takut kalau Davira akan bersikap gila dan terus mengoceh di dalam lingkungan perumahan, membuat para tetangga salah paham.Dia menepi dan keluar dari mobil.Berjalan menuju gerbang, dia memberi isyarat kepada satpam untuk membukakan pintu gerbang agar Davira bisa masuk.Davira berada di depan dan Ditha pun mengikutinya. Namun, dia dihentikan oleh Briella."Kalau memang mau bicara, salah satu dari kalian saja yang masuk. Bawa banyak orang begini, apa kalian mau berkelahi?"Ditha yang mendengar itu pun menjawab kesal, "Pengecut. Kalau nggak salah, kenapa harus takut?"Briella berdiri di dalam gerbang, menggosok-gosok telinganya. Dia menjawab datar, "Nggak takut. Aku cuma mau kedamaian dan ketenangan."Dia menatap Davira dan bertanya, "Kenapa bisa tahu kalau aku tinggal di sini?"Davira menjawab sinis, "Kamu bercanda? Seorang istri sah Valerio, sangat mudah kalau aku ingin menyelidiki seseorang."Briella berkata dalam hati, menganggap kalau Davira t
Briella menelepon Valerio sesampainya di rumah.Alih-alih meminta nasihatnya, dia malah mengadu.Davira kini menjadi ancaman bagi privasi dan keamanan pribadinya. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu melakukan sesuatu seenaknya dan melanggar privasinya.Urusan rumah tangga mereka bukan urusan Briella, tetapi dia harus memastikan keselamatannya sendiri. Bagaimanapun juga, seseorang yang tidak memiliki batasan seperti Davira bisa melakukan apa saja ketika marah.Telepon masuk ke kantor Valerio. Setelah berdering beberapa kali, suara pria itu terdengar."Siapa?""Pak Valerio, ini aku, Renata.""Ada apa?"Suara pria itu dalam, dingin dan acuh. Dari apa yang Briella ketahui tentang Valerio, pasti ada sesuatu yang terjadi dengannya. Karena itulah nadanya sedikit mendesak.Menyadari itu, Briella tidak membuang waktu dan menjelaskan singkat, "Bu Davira mendatangiku hari ini. Dia ingin bertemu dengan Queena, jadi aku menanyakan pendapat Pak Valerio.""Pendapat Queena adalah pendapatku. Biarkan
"Tapi Queena ingin sekali makan malam bersama Tante." Queena mengatupkan kedua tangan kecilnya dan berkata dengan memelas, "Tolong, ya, Tante."Briella tidak luluh. "Queena, Tante lagi sibuk sama pekerjaan. Jadi, Tante mau pulang dan masak sendiri saja."Queena mengerjap. "Apa? Tante mengundangku dan Papa ke rumah untuk makan malam? Tante mau memasak untuk Queena dan Papa? Wah, bagus sekali. Queena akan memberi tahu Papa kabar baik itu sekarang juga."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Queena sudah menyelonong masuk ke dalam mobil Valerio. Separuh tubuhnya masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Dengan hentakan kaki kecilnya, pantatnya yang kecil dan dua kaki kecilnya yang gemuk bekerja sama untuk memasukkan semua tubuhnya ke dalam mobil, lalu menutup pintu mobil.Mulut Briella ternganga karena terkejut, terpana oleh gerakan si kecil yang begitu rapi.Dia awalnya berpikir kalau Queena hanya bercanda. Meskipun Queena ingin pulang bersamanya, Valerio tidak akan bertingkah seperti a
Saat Briella dan Queena tengah berbincang, Valerio sudah memarkir mobilnya dan menuju ke arah mereka.Pria itu melirik sekeliling, lalu tatapannya berhenti di wajah Briella, menatapnya dengan tatapan menelisik. Dia mengambil Queena dari gendongan Briella dan menggendongnya sendiri."Kenapa? Kami cuma mau numpang makan, tapi kamu nggak rela begitu?"Briella sangat ingin mengatakan ya. Dia tidak ingin makan bersama Valerio atau memasak untuknya.Masalah pribadi dan pekerjaan harus dibedakan dengan jelas. Tidak baik untuk hubungan mereka kalau dicampur aduk.Valerio sepertinya sudah bisa menebak pikiran Briella. "Bukannya aku sudah kasih kamu kartu? Kamu bisa ambil uang makan malam dari kartu itu, sekaligus dengan biaya pelayanan, jasa dan lainnya. Kamu bisa menganggap kami sebagai pelanggan yang harus kamu layani."Setelah mengatakan itu, Valerio dengan sengaja melirik ke arah tanaman hias yang berada tidak jauh dari situ, memperlihatkan sudut depannya.Briella sedikit bingung dengan apa
Valerio menyeka tangannya dan bisa membereskan pria itu dengan mudah, tidak lupa memberikan peringatan."Kalau melakukannya lagi, kamu akan mati."Setelah mengatakan itu, Valerio menyingkirkan ekspresi kejam di wajahnya, menunjukkan senyum layaknya ayah yang penyayang. Dia kembali menggendong Queena ke dalam pelukannya.Queena yang penasaran pun melihat ke kejauhan melewati arah bahu Valerio. Sebelum bisa melihat genangan darah di tanah, dia digendong Valerio dan masuk ke dalam lobi apartemen, menuju ke lift.Briella menyaksikan semuanya dengan hati yang sesak. Rasanya ingin berteriak keras-keras dalam hati.Dia membenci orang-orang yang dengan seenaknya mengekspos privasi orang lain dan melacak kehidupan pribadi mereka. Dia juga bukanlah publik figur, kenapa harus merecoki kehidupan pribadinya?Setelah dipikir-pikir, dia bertanya-tanya. Mungkinkah orang itu bukan reporter, melainkan orang yang diperintahkan Davira untuk mengikuti dan menguntitnya?Briella menatap Valerio dan pria itu
Briella membuat makan malam dan membawanya ke meja makan. Dia melangkah keluar dari ruang makan dan melihat Valerio sedang mengajari Queena tugas sekolah. Dia melangkahkan kakinya dan berjalan pelan ke ruang kerja. Melihat keduanya yang tengah sibuk, dia tidak ingin mengganggu."Satu kalimat salah dua puluh huruf. Kamu salah mengeja dua belas kata. Kesalahanmu terlalu banyak. Ulurkan tanganmu, Papa akan menghukummu.""Jangan pukul Queena. Queena tahu itu salah. Queena akan mengingatnya biar nggak salah lagi lain kali."Queena menarik tangannya karena takut dan menatap Valerio dengan tatapan memelas."Queena, sudah berapa kali kamu bilang nggak akan melakukannya lagi? Setiap kali kamu juga bilang begini dan melakukan kesalahan lagi lain kali.""Kalau begitu Papa pukul Queena saja, tapi pelan-pelan, ya ...."Queena dengan patuh mengulurkan kedua tangan kecilnya di depan Valerio.Pria itu menunduk dan melihatnya. Queena masih kecil dan lemah, mana ada orang yang tega memukulnya."Papa mem
Briella mengeluarkan kacamata dan mengusapnya hingga bersih, mulai menggambar di buku catatannya.Ponselnya berdering. Dia melirik dengan cepat ke arah penelepon yang muncul di layar, lalu menyematkan ponselnya di leher dan bahunya, serta memiringkan kepalanya."Klinton, ada apa?""Bukan apa-apa. Aku baru selesai rapat dan sekarang lagi jalan-jalan menikmati pemandangan malam. Di sini tempat yang indah untuk dikunjungi saat malam. Aku bawa hadiah untukmu. Kalau punya waktu, kamu bisa datang.""Hmm ... baiklah." Briella sibuk dengan pekerjaan, jadi mengiakan dengan asal, "Perjalanan bisnismu berjalan dengan baik, aku di sini juga baik-baik saja. Nggak perlu khawatir, bekerja saja dengan baik.""Kamu baik-baik saja maksudnya ....""Apa?""Aku sedikit merindukanmu.""..." Kepala Briella berdengung, dia pun senyum kering. "Hari ini kamu aneh sekali. Aku masih lembur menggambar karena desainnya mau diserahkan kepada kontraktor. Sudah dulu, ya. Kita lanjutkan lagi setelah kamu pulang nanti."
Renata memikirkan semua itu di dalam hati dan wajahnya menunjukkan gurat tidak terima tanpa dia sadari.Valerio yang melihat itu pun bertanya kepadanya, "Kenapa? Ada yang sakit?"Briella mengatur kembali emosinya dan menunjukkan senyum sopan. "Saran dari Pak Valerio sangat berharga dan sangat membantu. Aku harus berterima kasih."Sikap Briella langsung membawa desain kepada Valerio untuk diberi saran sama saja dengan mengambil jalan pintas. Briella sebenarnya merasa puas di dalam hatinya.Wajah Valerio masih terlihat datar, lalu dia melanjutkan, "Nggak perlu bersikap sopan. Kamu seorang desainer dalam proyek ini. Sebagai pihak kontraktor, sudah menjadi tugasku untuk menyampaikan pendapatku terhadap desainmu."Briella menganggukkan kepala dan menjawab dengan sopan, "Jangan khawatir, Pak Valerio, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mengerjakan proyek ini dengan baik."Pria itu bersandar dengan malas di sofa, tidak lupa melipat kedua kakinya yang panjang. "Sabtu ini ada pesta koktail,