#Setelah membahas kakaknya, Queena langsung bahagia dan memperkenalkannya kepada Briella."Ya. Queena punya kakak laki-laki yang sangat tampan dan tinggi. Dia sangat keren. Queena bahkan merasa kalau kakak lebih tampan dari Papa."Briella mengangguk mengerti, lalu bertanya, "Dia lebih tua berapa tahun dari Queena?"Queena menggoyangkan jari-jarinya dan menghitung. "Kakak enam tahun lebih tua dari Queena.""Jaraknya jauh sekali."Briella terkejut. Dia pernah menjadi sekretaris Valerio selama bertahun-tahun, tetapi tidak tahu kalau Valerio punya anak seusia itu.Mungkinkah anak itu anak Valerio dengan wanita lain?Briella tidak habis pikir. Intinya, dia tidak tahu kalau Valerio punya anak sebesar itu.Namun, itu bukanlah sesuatu yang harus dia pikirkan. Berapa banyak anak yang pria itu miliki, apakah pria itu memiliki anak di luar nikah atau apa pun, itu adalah sesuatu yang harus dipikirkan oleh Davira, tidak ada hubungannya dengannya."Tante, aku punya rahasia lain yang ingin kuceritaka
Kepala Briella makin terasa sakit. "Ibu, aku nggak pernah berpikir seperti itu, jangan berpikir macam-macam. Aku akan meluangkan waktu untuk mengunjungimu dan menjelaskan semuanya, ya?""Kenapa? Kamu pikir hanya karena kamu menghabiskan sejumlah uang untukku, kamu bisa mengabaikanku di sini? Kalau kamu benar-benar memperlakukanku sebagai ibumu, kamu seharusnya nggak meninggalkanku di sini. Kamu seharusnya nggak kuliah di luar negeri. Kalau sesuatu terjadi padaku dalam empat tahun dan aku nggak bisa bangun, mungkin nggak ada yang akan mengambil jasadku!"Briella mengepalkan tangannya dengan lemah saat mendengar pernyataan ibunya di telepon."Empat tahun aku belajar di luar negeri, aku meminta Pak Klinton untuk merawat ibu. Aku pun selalu mengawasi ibu dari sana. Kalau aku nggak kuliah di luar negeri, dari mana aku punya uang buat menempatkan ibu di sana? Ini bukan seberapa. Sebelum itu, saat ibu masih koma dan nggak sadarkan diri, apa ibu ingat apa yang aku lakukan untuk ibu? Kalau ibu
Keesokan paginya, Briella menelepon Klinton dan menceritakan apa yang dia dengar dari Erna semalam.Klinton pun merasa aneh dan tidak habis pikir. Siapa yang bisa pergi ke panti rehabilitasi untuk menjenguk ibu Briella?"Aku akan meluangkan waktu hari ini dan pergi ke panti rehabilitasi untuk menjenguknya. Ibuku pasti makin nggak senang kalau aku nggak ke sana.""Ya. Hari ini aku mau pergi dinas, jadi nggak bisa nemenin.""Nggak apa-apa. Selesaikan saja pekerjaanmu.""Oh ya, aku ingatkan lagi. Aku kembali dari perjalanan bisnis saat pesta koktail. Aku sudah menyiapkan gaun yang akan kamu pakai. Kamu bisa pilih yang kamu suka.""Ya. Selesaikan dulu pekerjaanmu. Kita bicarakan lagi setelah kamu kembali nanti.""Baiklah kalau begitu. Aku akan menghubungimu kalau sudah kembali."Setelah panggilan berakhir, Briella meletakkan ponselnya dan menoleh ke arah Queena yang sedang makan di ruang makan.Dia berjalan mendekat dan duduk di samping Queena, menopang tangannya sambil memperhatikan si ke
Briella dan Erna terikat status sebagai ibu dan anak, jadi tidak mungkin ada batas di antara hubungan mereka.Briella memiliki pemikiran seperti itu, lalu memasuki panti rehabilitasi sambil membawa belanjaannya. Dia berjalan ke pintu salah satu kamar, mengetuk pintu dan melangkah masuk.Panti rehabilitasi hanya terdiri dari satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Briella meletakkan barang-barang yang dia bawa dan berjalan melewati ruang tamu menuju kamar tidur. Di sana, Erna tengah terbaring di tempat tidur dengan mata terpejam.Briella memperlambat langkah kakinya dan berjalan ke tempat tidur. Dia baru duduk, Erna sudah menatapnya dengan tatapan waspada.Melihat Briella datang, dia berkata dengan tidak senang, "Kenapa jalan nggak ada suaranya? Kamu mau bikin aku mati karena jantungan?""Aku takut mengganggu tidur Ibu." Briella tersenyum dan membantu merapikan selimut Erna. "Bu, jangan khawatir, keamanan di sini sangat ketat. Orang luar nggak bisa masuk sembarangan. Bahkan aku baru bisa
"Ibu, jangan berpikir aneh-aneh. Apa aku salah kalau cari uang buat membiayai pengobatan Ibu?""Nggak. Mana mungkin kamu salah? Aku yang salah. Seharusnya aku nggak menyulitkanmu selama bertahun-tahun dengan penyakit serius seperti itu. Selama ini hidupmu pasti nggak mudah, karena itu kamu melakukan sesuatu yang memalukan dan mendapatkan uang yang nggak benar. Kamu merasa biasa saja saat menggunakan uang itu. Tapi begitu uang itu dipakai untukku, aku merasa kotor."Briella menatap Erna dengan tatapan tidak percaya, bahkan mengira kalau dia salah dengar."Apa ada yang mengatakan sesuatu pada Ibu, sampai Ibu salah paham begini?""Aku nggak tahu apa itu salah paham atau bukan, tapi aku tahu kalau orang-orang yang tinggal di sini hanya pejabat atau pengusaha. Semua yang kamu lakukan padaku selama aku koma hanya bisa dilakukan oleh orang kaya. Mana mungkin kamu yang seorang karyawan mampu membayar seorang spesialis untuk merawatku selama bertahun-tahun? Aku nggak percaya kalau kamu nggak me
Briella memiliki genderang kemarahan di dalam hatinya. Dia tahu dengan jelas maksud dari perkataan Erna. Briella juga mengalaminya sendiri. Namun, dia tidak terima kalau Erna mengatakan hal seperti ini kepadanya."Ibu salah. Klinton lah yang mengejarku.""Terus kenapa? Kalau merasa hebat, minta dia buat nikahin kamu. Kamu cuma anak kampung, tapi mimpimu tinggi sekali. Dia ngasih uang ke kamu, jadi kamu punya mimpi jadi istri orang kaya? Istri orang kaya hanya pantas disandang sama mereka yang juga berasal dari keluarga kaya. Jangan jadi orang yang nggak tahu diri!""Aku nggak mau berdebat lagi." Briella tiba-tiba merasa berdebat dengan Erna tentang hal ini adalah hal yang sia-sia dan benar-benar menguras energinya."Bu, aku mau tanya satu hal. Apa pria yang datang kemarin menyebutkan siapa namanya?""Kenapa? Dia mantanmu? Briella, hidupmu kacau sekali. Pria itu kelihatannya juga nggak kekurangan uang. Cepat atau lambat kamu akan hancur karena permainanmu sendiri!""Jadi kamu menceritak
Briella menatap pria itu, tahu kalau dia adalah Nathan. Namun, Briella tidak bisa berbicara dengannya karena dia harus berpura-pura menjadi orang asing yang tidak mengenal Nathan.Nathan juga ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya dia melangkah mendekat. Dia berdiri di depan Briella dan tatapannya tertuju pada wajah Briella tanpa mengalihkannya satu detik pun."Briella, apa ini benar-benar kamu?"Briella menatap pria itu dengan tenang, ekspresinya bercampur dengan rasa tidak percaya."Permisi, apa kamu salah mengira aku orang lain?"Nathan terkejut. "Bukankah kamu Briella? Aku ingat kalau ada wanita yang tinggal di sini punya anak yang namanya Briella. Kebetulan, dulu aku pernah membiayai biaya perawatan wanita itu."Briella mengerjap. "Permisi, aku nggak paham dengan apa yang sedang kamu bicarakan. Tapi aku bisa yakin kalau kamu salah orang. Aku bukan Briella."Setelah mengatakan itu, Briella berniat untuk pergi.Nathan menarik tangan Briella dan menghentikannya. "Tunggu sebentar."Briell
Briella melirik kaca spion, benar-benar takut kalau Davira akan bersikap gila dan terus mengoceh di dalam lingkungan perumahan, membuat para tetangga salah paham.Dia menepi dan keluar dari mobil.Berjalan menuju gerbang, dia memberi isyarat kepada satpam untuk membukakan pintu gerbang agar Davira bisa masuk.Davira berada di depan dan Ditha pun mengikutinya. Namun, dia dihentikan oleh Briella."Kalau memang mau bicara, salah satu dari kalian saja yang masuk. Bawa banyak orang begini, apa kalian mau berkelahi?"Ditha yang mendengar itu pun menjawab kesal, "Pengecut. Kalau nggak salah, kenapa harus takut?"Briella berdiri di dalam gerbang, menggosok-gosok telinganya. Dia menjawab datar, "Nggak takut. Aku cuma mau kedamaian dan ketenangan."Dia menatap Davira dan bertanya, "Kenapa bisa tahu kalau aku tinggal di sini?"Davira menjawab sinis, "Kamu bercanda? Seorang istri sah Valerio, sangat mudah kalau aku ingin menyelidiki seseorang."Briella berkata dalam hati, menganggap kalau Davira t
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu