Briella terlihat sedikit termenung saat mendengar Siska mengatakan hal ini.Valerio membawa putrinya ke kantor, jadi dia bisa bertemu dengannya nanti."Baiklah, Siska, terima kasih sudah memberitahuku banyak hal. Silakan lanjutkan pekerjaanmu. Aku akan menunggu di sini."Siska tiba-tiba menggenggam tangan Briella. "Nona Renata, aku sebenarnya sangat berharap kamu bisa bekerja bersama dengan kami. Kamu tahu, kamu sangat mirip dengan teman baikku yang sudah meninggal. Dia itu penolongku. Tapi aku nggak bisa menghubunginya. Melihatmu di sini membuatku merasa kalau kamu seperti teman lamaku. Kalau kamu bisa bekerja sama dengan Perusahaan Regulus, kita pasti bisa lebih sering berhubungan."Briella menarik kembali tangannya dan tersenyum pada Siska. "Persahabatan seorang itu seringan air. Menurutku, punya seseorang yang berarti dalam hidupmu mungkin bisa membuatmu menjadi lebih baik. Aku rasa temanmu itu nggak mau kamu terus memikirkannya seperti ini. Terus jalani hidupmu. Yang namanya perte
"Manimanibom. Bros ajaib, cepat wujudkan keinginan putri kecil ini."Queena terpesona oleh tindakan Briella. Dia menyentuh bros mutiara di dadanya dan mengikuti apa yang dilakukan Briella. Queena melipat tangannya, lalu memiringkan kepalanya untuk bertanya kepada Briella."Tante, bolehkah aku mengucapkan abrakadabra?"Briella berpikir serius. "Tentu saja boleh. Ini bros ajaibmu, jadi kamu bisa membuat mantramu sendiri."Queena bertepuk tangan dengan penuh semangat. "Ya, ya, ini luar biasa. Queena akan segera membuat permintaan."Briella tidak menyangka kalau sebuah bros kecil bisa membuat anak kecil yang seperti seorang putri ini begitu bahagia. Dia benar-benar anak yang mudah puas.Queena sangat senang dan menirukan Briella, mulai melafalkan mantranya. "Abrakadabra, Queena ingin Mama yang wangi, cantik dan lembut seperti Tante. Menggendong Queena dengan sabar dan mau menemani Queena. Semoga permintaan Queena segera terkabul!"Queena menyelesaikan keinginannya dan tersenyum manis pada
Selama waktu itu, Valerio tidak memandang Briella sedikit pun dan terus berbicara tentang proyek tersebut dengan tiga orang lainnya. Briella duduk di samping dalam diam dan terus menulis dan menggoreskan sesuatu, seperti sekretaris Valerio.Ketika semua selesai dan desainer lain meninggalkan ruangan, Briella berjalan paling terakhir. Ketika sampai di depan pintu, dia mendengar suara memerintah Valerio, "Nona Renata, tunggu sebentar."Briella menghentikan langkah kakinya. Walaupun dalam posisi membelakangi Valerio, tetapi dia bisa merasakan tatapan lekat Valerio padanya.Dia berbalik dan menunjukkan senyuman."Pak Valerio, ada yang bisa saya bantu?"Valerio memegang secangkir kopi, menyandarkan tubuhnya di meja. Kedua kakinya yang panjang terlipat, terlihat santai namun tetap percaya diri."Mereka bertiga bisa dianggap sebagai sosok-sosok yang menjadi pilar dunia desain. Bagaimana perasaanmu setelah mendengar penuturan mereka, Nona Renata?"Briella berjalan beberapa langkah ke arah Vale
"Queena, sini sama Mama."Davira memberi isyarat agar Queena mendekat. Si kecil yang mengenakan pakaian putri berwarna merah muda pun berlari menghampiri Davira.Queena sedikit ragu-ragu saat melihat Davira, takut untuk memegang tangannya atau meminta pelukan.Briella hanya melihat dari jauh, entah kenapa merasa kalau ini bukan karakter sebenarnya dari si kecil. Ini juga bukan cara yang normal bagi ibu dan anak dalam bergaul.Namun, Briella tidak bisa terlalu banyak ikut campur sebagai orang luar."Sayang, apa kamu kangen Mama? Apa kamu nyaman tinggal di sana?"Davira mengangkat tangannya dan Queena terlonjak kaget, meringkuk dan menghindar."Queena, sini Mama peluk yang kencang. Mama sangat merindukanmu. Baru satu malam kita nggak ketemu, tapi Mama sudah kangen Queena sampai nggak bisa tidur."Davira mengabaikan perlawanan Queena dan langsung memeluknya, seolah-olah anak itu hanyalah mainan di matanya.Makin Briella melihat ibu dan anak itu berinteraksi, dia makin merasa aneh. Dia mel
Tangan Briella menggantung lemas di sisi tubuhnya. Dia sangat sedih saat memikirkan tangisan Queena. Dia benar-benar ingin bergegas, menggendong anak itu dan memintanya untuk tidak bersedih.Namun, tidak ada yang bisa dia lakukan.Yang bisa dia lakukan hanyalah membuat Davira membayar perbuatannya. Ya, ini hanya masalah waktu saja.Briella menahan emosi yang bercampur aduk di dalam pikirannya, lalu menekan tombol lift. Dia menuju ke meja resepsionis dan meminjam telepon perusahaan untuk menelepon ruang kantor presdir.Panggilan pun tersambung dengan cepat dan terdengar suara rendah dan lembut pria itu, "Ada apa?"Briella tidak peduli dengan statusnya yang sebagai orang luar atau bukan. Dia hanya langsung mengatakannya dengan gamblang."Pak Valerio, barusan aku melihat istrimu membuat putrimu menangis. Anak-anak nggak bersalah, jadi kalau nanti istrimu mengeluhkan putrimu yang menangis, pastikan jangan menyalahkannya. Itu tanggung jawab ibunya. Selain itu, tolong luangkan lebih banyak w
"Aku ...." Davira terdiam. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada yang terlontar dari mulutnya."Baiklah, ini salahku. Aku nggak bisa menang kalau sudah bicara denganmu. Aku akan diam, apa kamu puas?"Valerio mulai kehabisan kesabarannya. "Hari ini kamu datang di saat yang tepat. Kamu akan bicara sama tim pengacaraku tentang masalah perceraian.""Rio, kamu benar-benar berniat akan menceraikanku?"Valerio menjawab tanpa keraguan sedikit pun, "Ya."Davira mengangguk getir. "Baiklah, karena kamu ingin bercerai, aku akan mewujudkan keinginanmu itu. Tapi aku nggak mau cerai sekarang. Beri aku waktu satu bulan untuk menyesuaikan emosiku."Tatapan Valerio tetap tertuju pada dokumen-dokumen di atas meja. "Sesegera mungkin. Satu bulan terlalu lama.""Setidaknya aku ini ibu Queena. Rio, apa kita nggak bisa akur layaknya pasangan lainnya?""Bagaimana kita bisa akur kalau awal pertemuan kita adalah kebohongan yang kamu buat sendiri?"Davira menghela napas dalam dan masih belum mau mengalah
"Tante?" Valerio kembali bertanya, "Tante siapa?""Tante yang berambut panjang, cantik punya aroma seperti Mama. Dia kerja di perusahaan Papa, kok."Queena menyimpan bros itu dengan hati-hati."Papa, bukannya kita mau jemput Kak Zayden? Ayo berangkat, bawa Queena ke sana."Valerio melirik bros yang dianggap Queena sebagai harta karun, lalu menghilangkan keraguan dalam hatinya."Ayo kita jemput Kak Zayden."Queena sangat gembira dan bertepuk tangan dengan penuh semangat.Valerio menggendong putrinya dengan satu tangan, memakaikan topi putih yang cantik dan imut untuknya. Dia juga membawa tas bahu kelinci putih berisi makanan ringan, lalu mendandani putrinya, membuatnya terlihat lebih menggemaskan.Valerio menggendong anak itu di sela-sela tindakannya. Kemeja putih samar-samar menunjukkan garis ototnya yang kuat. Pria kuat dan anak kecil ini membentuk kontras yang jelas. Pemandangan keduanya yang berjalan di perusahaan membuat banyak karyawan ternganga takjub.Valerio muncul di depan mat
Zayden menggendong Queena yang terus mengusap-usap lengan Zayden dengan wajahnya. Dia bahkan terlihat sangat gembira dan menatap Zayden dengan tatapan penuh puja. Bahkan ada jejak air liur di ujung mulutnya.Setelah sampai di depan Valerio, Zayden mendorong topinya ke atas. "Papa."Valerio mengangguk pelan. "Naiklah."Zayden menggendong Queena masuk ke dalam mobil dan Valerio pun mengikutinya.Keberadaan mereka menarik perhatian banyak orang di sekitar sejak kemunculan mereka. Semuanya mengagumi keindahan keluarga mereka yang luar biasa. Melihat kedua anak itu saja mereka bisa membayangkan secantik apa ibu mereka.Di dalam mobil, Queena terus menikmati pelukan Zayden dan tidak mau didudukkan di kursi khusus untuknya. Dia hanya mau duduk di kaki Zayden dan dipeluk olehnya."Kak Zayden, sudah lama Queena nggak ketemu sama Kakak. Queena kangen banget sama Kakak. Papa sudah bawa Queena pulang, jadi setelah ini Queena akan tinggal sama Papa dan Kakak."Zayden menatap ayahnya, lalu menunduk
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu