Tangan Briella menggantung lemas di sisi tubuhnya. Dia sangat sedih saat memikirkan tangisan Queena. Dia benar-benar ingin bergegas, menggendong anak itu dan memintanya untuk tidak bersedih.Namun, tidak ada yang bisa dia lakukan.Yang bisa dia lakukan hanyalah membuat Davira membayar perbuatannya. Ya, ini hanya masalah waktu saja.Briella menahan emosi yang bercampur aduk di dalam pikirannya, lalu menekan tombol lift. Dia menuju ke meja resepsionis dan meminjam telepon perusahaan untuk menelepon ruang kantor presdir.Panggilan pun tersambung dengan cepat dan terdengar suara rendah dan lembut pria itu, "Ada apa?"Briella tidak peduli dengan statusnya yang sebagai orang luar atau bukan. Dia hanya langsung mengatakannya dengan gamblang."Pak Valerio, barusan aku melihat istrimu membuat putrimu menangis. Anak-anak nggak bersalah, jadi kalau nanti istrimu mengeluhkan putrimu yang menangis, pastikan jangan menyalahkannya. Itu tanggung jawab ibunya. Selain itu, tolong luangkan lebih banyak w
"Aku ...." Davira terdiam. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada yang terlontar dari mulutnya."Baiklah, ini salahku. Aku nggak bisa menang kalau sudah bicara denganmu. Aku akan diam, apa kamu puas?"Valerio mulai kehabisan kesabarannya. "Hari ini kamu datang di saat yang tepat. Kamu akan bicara sama tim pengacaraku tentang masalah perceraian.""Rio, kamu benar-benar berniat akan menceraikanku?"Valerio menjawab tanpa keraguan sedikit pun, "Ya."Davira mengangguk getir. "Baiklah, karena kamu ingin bercerai, aku akan mewujudkan keinginanmu itu. Tapi aku nggak mau cerai sekarang. Beri aku waktu satu bulan untuk menyesuaikan emosiku."Tatapan Valerio tetap tertuju pada dokumen-dokumen di atas meja. "Sesegera mungkin. Satu bulan terlalu lama.""Setidaknya aku ini ibu Queena. Rio, apa kita nggak bisa akur layaknya pasangan lainnya?""Bagaimana kita bisa akur kalau awal pertemuan kita adalah kebohongan yang kamu buat sendiri?"Davira menghela napas dalam dan masih belum mau mengalah
"Tante?" Valerio kembali bertanya, "Tante siapa?""Tante yang berambut panjang, cantik punya aroma seperti Mama. Dia kerja di perusahaan Papa, kok."Queena menyimpan bros itu dengan hati-hati."Papa, bukannya kita mau jemput Kak Zayden? Ayo berangkat, bawa Queena ke sana."Valerio melirik bros yang dianggap Queena sebagai harta karun, lalu menghilangkan keraguan dalam hatinya."Ayo kita jemput Kak Zayden."Queena sangat gembira dan bertepuk tangan dengan penuh semangat.Valerio menggendong putrinya dengan satu tangan, memakaikan topi putih yang cantik dan imut untuknya. Dia juga membawa tas bahu kelinci putih berisi makanan ringan, lalu mendandani putrinya, membuatnya terlihat lebih menggemaskan.Valerio menggendong anak itu di sela-sela tindakannya. Kemeja putih samar-samar menunjukkan garis ototnya yang kuat. Pria kuat dan anak kecil ini membentuk kontras yang jelas. Pemandangan keduanya yang berjalan di perusahaan membuat banyak karyawan ternganga takjub.Valerio muncul di depan mat
Zayden menggendong Queena yang terus mengusap-usap lengan Zayden dengan wajahnya. Dia bahkan terlihat sangat gembira dan menatap Zayden dengan tatapan penuh puja. Bahkan ada jejak air liur di ujung mulutnya.Setelah sampai di depan Valerio, Zayden mendorong topinya ke atas. "Papa."Valerio mengangguk pelan. "Naiklah."Zayden menggendong Queena masuk ke dalam mobil dan Valerio pun mengikutinya.Keberadaan mereka menarik perhatian banyak orang di sekitar sejak kemunculan mereka. Semuanya mengagumi keindahan keluarga mereka yang luar biasa. Melihat kedua anak itu saja mereka bisa membayangkan secantik apa ibu mereka.Di dalam mobil, Queena terus menikmati pelukan Zayden dan tidak mau didudukkan di kursi khusus untuknya. Dia hanya mau duduk di kaki Zayden dan dipeluk olehnya."Kak Zayden, sudah lama Queena nggak ketemu sama Kakak. Queena kangen banget sama Kakak. Papa sudah bawa Queena pulang, jadi setelah ini Queena akan tinggal sama Papa dan Kakak."Zayden menatap ayahnya, lalu menunduk
Namun, dia tidak suka berebut, jadi menarik kembali tangannya."Aku cuma minum air merek ini saja. Terima kasih karena sudah memberikannya kepadaku."Suara wanita di sampingnya terdengar dan Zayden langsung mematung. Dia menoleh, yang seketika tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah wanita itu. Dia terus terpaku pada wajah wanita itu.Briella memperhatikan tatapan remaja muda itu dan menatapnya. Dia merasa sedikit bingung saat melihat mata remaja itu yang berbinar, bahkan wajahnya terlihat terkejut.Sikap Zayden membuat Briella menjadi waspada. Dia pun segera mengambil air mineral itu dan berjalan ke kasir untuk membayarnya.Zayden menatap punggung wanita itu dan cahaya di matanya sedikit meredup. Kesedihan serta rasa kehilangannya meluap dari lubuk hatinya, membuat hidung dan matanya terasa perih.Mama nya benar-benar sudah tidak menginginkannya lagi ....Briella menyelesaikan pembayaran dengan cepat. Ketika akan pergi, dia masih menyempatkan diri untuk melirik ke arah remaja i
Valerio mengangguk puas, "Bagus."Dia menambahkan dengan nada serius, "Zayden, kamu ingat. Kamu adalah putra Valerio, pewaris masa depan Perusahaan Regulus, putra sulung Keluarga Regulus. Kamu harus punya pandangan yang lebih luas dan nggak boleh terjebak dalam sentimentalitas sesaat. Kamu mengerti?"Zayden mengangguk. "Mengerti."Valerio melihat ke arah Queena dan menasihati Zayden, "Queena itu adikmu. Meskipun dia dilahirkan bukan dari ibu yang sama denganmu, aku ingin kamu memperlakukannya seperti adikmu sendiri. Kamu harus menjaga dan mencintainya, mengambil tanggung jawabmu sebagai seorang kakak.""Aku akan melakukannya. Papa jangan khawatirkan itu. Aku akan menjaga Queena seperti adikku sendiri. Hanya saja ....""Katakan.""Di hatiku cuma ada satu Mama. Aku nggak akan pernah mengakui Mama yang jahat sebagai Mama ku. Aku harap Papa bisa mengerti.""Aku nggak akan memaksa. Aku juga akan mengakhiri hubunganku dengan dia."Keduanya berbincang dari sudut pandang dua orang pria, membic
"Pantas saja Davira terkadang bersikap seperti itu saat emosinya terpancing. Ternyata begitu." Briella menghela napas dalam. "Sebenarnya, dengan semua tekanan yang ada di masyarakat saat ini, kalau emosi kita nggak berhasil dikondisikan dengan baik, gejala mental semacam itu bisa muncul. Khususnya bagi wanita, yang pada dasarnya sedikit lebih emosional daripada pria. Mereka sangat mudah terluka kalau hubungan atau pernikahan mereka nggak berjalan dengan baik.""Benar. Jadi karena itulah aku lebih perhatian pada masalah mental adikku. Aku pun akan memberinya lebih banyak pengertian dan dukungan. Aku pikir sangat sulit bagi pasien depresi untuk mendapatkan pengertian dan empati dari orang lain. Sebagai anggota keluarga, yang bisa aku lakukan juga nggak banyak."Briella sangat setuju dengan apa yang dikatakan Klinton karena dia pernah mengalami depresi ringan. Renata yang menyedihkan karena belenggu rasa sakit berhasil dikuasai oleh monster emosi yang tak terlihat. Rasa sakit ini tidak ja
Briella menimpali santai, "Jangan khawatir. Aku nggak akan membuat diriku merasa nggak nyaman. Kalaupun ada yang seperti itu, aku akan menjaga diriku sendiri dengan baik."Klinton menimpali tidak senang, "Kapan kamu bisa bergantung padaku? Kamu selalu menyelesaikan semuanya sendiri, membuatku terlihat nggak berguna."Briella tersenyum, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Setelah sampai sejauh ini, dia akhirnya sadar. Dia tidak bisa mengandalkan siapa pun kecuali dirinya sendiri, bahkan Tuhan.Keduanya berjalan ke kediaman Keluarga Atmaja. Mereka datang lebih awal, jadi makan malam masih belum dimulai. Klinton mempersilakan Briella pergi ke kamarnya untuk beristirahat sejenak. Saat makan malam tiba, dia akan memanggilnya.Briella berjalan menuju kamar Klinton. Ketika melewati kamar mandi untuk umum, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menariknya masuk ke dalam."Siapa kamu? Lepaskan aku!"Briella merenggut tangan itu dengan paksa dan memukul balik dengan pukulan standar karate. Pukulan ini ma