"Berita apa? Bisa tolong beritahukan kepada kami?"Adrian melambaikan tangannya, tidak akan mengatakan apa pun kecuali di depan pers. Jangan harap siapa pun bisa mengorek berita itu darinya."Singkatnya, ini adalah kejutan yang luar biasa untuk Pak Valerio.""Pak Valerio dan Nona Davira akan menikah bulan depan. Apa ada berita yang jauh lebih baik dari ini?"Alis Adrian sedikit terangkat saat mendengar ini. Dia tidak menyangka kalau Rieta akan bergerak secepat itu. Wanita itu benar-benar sangat beracun!Saat Adrian tengah tenggelam dalam pemikirannya sendiri, pintu ruang tamu terbuka dan Rieta pun melangkah masuk."Adrian, Valerio sedang melakukan konferensi pers. Kenapa kamu membuat masalah?"Rieta menegur Adrian dengan wajah penuh kemarahan, bahkan tidak terlihat segan-segan.Adrian tidak merasa terintimidasi, meletakkan cangkir teh di tangannya ke atas meja dengan cukup keras. "Aku harus menemui Rio sekarang juga. Bu Rieta, aku harus melakukan konferensi pers juga.""Kamu pikir bisa
"Bu Rieta, perkataanmu sangat nggak menyenangkan buat didengar!" Adrian menyentuh telinganya. "Seorang nyonya dari keluarga kaya dan berpengaruh, beraninya mengucapkan kata-kata vulgar dan rendahan seperti itu!"Dada Rieta dibuat naik turun karena marah. "Berdebat sama anak kecil yang nggak berpendidikan sepertimu hanya akan memperpendek umurku. Adrian, aku nggak akan membuang waktu buat berdebat denganmu di sini. Aku tanya, siapa anak yang kamu bicarakan dan di mana dia sekarang?"Adrian tersenyum puas. "Kenapa? Kamu merasa takut?"Ketika keduanya tengah berbincang, konferensi pers sudah berakhir. Rieta beranjak dan keluar dari ruang tamu, mencoba menghentikan wartawan. Adrian mengikuti di belakangnya dan berjalan keluar.Adrian melihat sekilas Valerio, yang merupakan orang terakhir yang keluar dari dalam. Terlihat dari wajahnya kalau dia sedang berada dalam masalah.Adrian menerobos kerumunan wartawan dan berdiri di depan Valerio.Valerio menatap Adrian dan berjalan ke depan lift. Di
Setelah memberikan perintah itu, Valerio bergegas menuju pinggiran kota.Adrian duduk di kursi samping kemudi, merasa pusing karena mobil melaju terlalu cepat. Dia mencengkeram pegangan mobil dengan erat lalu menoleh ke arah Valerio."Rio, tenanglah. Kalau mobil melaju lebih cepat dari mobil sport, bannya akan terbakar!"Valerio tidak memedulikan perkataan Adrian. Dia hanya memikirkan satu hal, yaitu menemukan Briella sesegera mungkin. Dia harus menjelaskan kepada Briella semua kesalahpahaman yang terjadi sebelum semuanya terlambat.Ekspresi pria itu sangat dingin dan menunjukkan tekad yang kuat.Adrian menekan dadanya, mencoba menahan perasaan di tubuhnya yang ingin muntah. Tiba-tiba terdengar sirene di belakang. Dia melihat ke belakang melalui kaca mobil, di mana sudah ada petugas polisi lalu lintas yang mengikuti mobil mereka. Salah satu dari mereka terus mengatakan nomor mobil Valerio melalui pengeras suara, memerintahkannya untuk segera berhenti.Alih-alih berhenti, Valerio malah
"Rio, bicarakan baik-baik." Adrian menghentikan Valerio agar berhenti mencekik Klinton. "Kalau begini, kamu akan membunuhnya!"Adrian berdiri di antara kedua pria itu dan memeluk Valerio dengan erat. Ketiga pria itu basah kuyup, tetapi tidak terlihat ada tanda-tanda kalau mereka akan mundur. Hujan turun makin deras dan kedua pria yang berada dalam kebuntuan itu saling menatap penuh kebencian, seakan ingin membunuh satu sama lain."Masuk ke mobil." Valerio memerintahkan sambil mendorong Adrian. "Jangan sampai kamu terluka."Adrian mendesak, "Rio, bukannya kita mau cari Briella? Kenapa malah berkelahi sama Klinton? Jangan membuang waktu di sini. Kita saja masih nggak tahu Briella pergi ke mana!"Setelah mengatakan itu, Adrian menarik Valerio dan dengan susah payah membawanya ke mobil."Kita sudah memastikan kalau kamu itu ayah kandung Zayden. Ini berita bagus dan Briella itu seorang wanita dan seorang ibu. Dia pasti nggak akan membiarkan anaknya berpisah denganmu. Setelah menemukan Briel
Klinton mengutarakan pendapatnya dengan bijaksana. Dia tidak tega menyakiti Briella dan Zayden, tetapi dia juga menyayangi Davira. Setelah mengetahui kebenarannya, dia segera memberikan tanggapan terbaik."Saranku, anak itu harus kembali ke mari karena dia adalah keturunan Keluarga Regulus. Kita bisa memberikan jumlah yang besar untuk Briella agar bersedia memutuskan hubungannya dengan anak itu. Kita juga melakukan sikap yang sama terhadap bayi yang masih dikandungnya."Rieta mengerutkan kening dan mengutuk Briella jutaan kali dalam benaknya. Berita ini adalah salah satu kegagalan besar dalam rencananya yang sempurna. Bersamaan dengan itu, dia pun jadi sangat membenci Zayden.Ia menekan rasa benci di dalam hatinya dan mengatakan, "Kalau seperti itu, Davira yang akan dirugikan. Dia akan menjadi ibu dari dua anak setelah menikah nanti. Apa kamu pernah menanyakan kepadanya, apakah ini kehidupan yang dia inginkan?"Davira menatap Klinton dengan raut wajah pasrah.Memang benar kalau ini buk
Rieta mengangguk puas setelah mendengar jawaban Klinton. "Bagus. Bagaimanapun juga, Zayden adalah keturunan Keluarga Regulus. Seperti kata Klinton, anak-anak nggak bersalah. Setelah selesai mengurus masalah pernikahan Davira dan Rio, kita akan menjemputnya kembali ke Keluarga Regulus. Keluarga Regulus nggak mungkin membiarkan keturunannya berada di luar sana. Biarkan Briella menyebutkan berapa pun jumlah yang dia inginkan."Pikiran Rieta juga terus memikirkan rencana lain. Kalau bisa mengendalikan anak itu, bukankah akan lebih mudah baginya untuk mengendalikan Briella?Mungkin kehadiran anak itu bukanlah sesuatu yang buruk.Klinton dan Davira mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan Rieta.Itu memang cara terbaik untuk mengatasi masalah yang muncul saat ini.Klinton berdiri dan mengangguk hormat ke arah Rieta. "Baiklah, kita lakukan saja seperti ini."Rieta mengambil cangkir teh, lalu menuangkannya ke dalam gelas miliknya. Dia menyesapnya perlahan. "Klinton, apa kamu bisa memberita
Pintu kamar terbuka dan Gita pun mengintip siapa yang ada di luar. Dia merasa sangat senang saat melihat Briella dan Zayden. Dia pun menarik mereka untuk masuk ke dalam."Lala, akhirnya kamu muncul juga. Kami mencarimu selama beberapa hari ini. Apa yang terjadi sebenarnya?"Briella terlihat sedikit lelah, menjawab sambil mengelus kepala Zayden, "Sayang, masuk ke kamarmu dulu. Ada yang ingin Mama dan Ibu bicarakan, ya?"Zayden mengangguk mengerti. Dia memberi pesan pada Gita, "Ibu, tolong bantu Lala menjernihkan pikiran. Sepertinya dia mengalami sedikit masalah. Apa pun yang terjadi, kita akan tetap menyayanginya. Bukankah begitu?"Setelah mendengar apa yang dikatakan Zayden, Gita bahkan hampir menangis, merasa ini pertama kalinya dia menangis karena mendengar perkataan seorang anak kecil."Tentu saja. Zayden, kamu tahu nggak? Mama kamu adalah wanita super dan hidupnya diberkahi oleh Tuhan! Jadi, jangan khawatir dengan Mama mu, ya?"Zayden mengangguk dan menoleh ke arah Briella. Dia bar
"Apa katamu? Nathan anak dari ibu tirinya Valerio? Astaga, pantas saja mereka berdua nggak pernah akur dan selalu bermusuhan."Mata Gita membelalak kaget, seolah-olah dia baru saja mengetahui berita yang sangat menggemparkan.Briella mengangguk dan menjawab, "Makanya aku memutuskan buat meninggalkan mereka. Mungkin aku harus menghadapi semuanya sendiri dan belajar menyelesaikan masalah sendiri. Ketika aku sudah benar-benar kuat dan mampu, aku nggak akan diganggu siapa pun lagi."Gita menganggukkan kepala, setuju dengan pemikiran Briella. "Tapi Lala, apa kamu sudah benar-benar memikirkannya? Kamu harus tahu, dengan meninggalkan tempat ini, kamu meninggalkan pendukung dan sandaran yang kuat. Apa pun yang terjadi, Valerio tetap bersedia membantumu saat kamu dalam kesulitan."Briella menggelengkan kepalanya. "Aku nggak bisa terus mengandalkan orang lain. Selama ini aku selalu mengandalkan Valerio untuk menjagaku dan memberiku uang. Anak dan ibuku bahkan harus mengandalkan bantuan orang lai
Kecurigaan tiba-tiba terlintas di benak Briella. Dia merasa bahwa kemunculan Elena yang tiba-tiba di depan rumahnya hari ini terlalu mendadak.Ketika Briella tengah memikirkan kemungkinan ini, Valerio tiba-tiba menelepon.Pria itu pasti baru bangun tidur. Suaranya sengau, terdengar rendah dan magnetis."Apa anak-anak sudah bangun?""Pak Valerio, bisakah Pak Valerio nggak memberi tahu siapa pun alamat tempat tinggalku seenaknya?""Apa maksudmu? Aneh sekali."Mendengar sikap Valerio, Briella memiliki tebakan sendiri di dalam benaknya.Seperti yang dia duga. Elena datang bukan untuk menjemput anak-anak, tetapi untuk menyatakan kedaulatannya.Terlalu samar untuk menganggapnya sebagai ancaman."Barusan Elena datang dan bilang kalau dia ingin menjeput anak-anak.""Anak-anak ikut dengannya?""Aku nggak kasih izin."Pria itu terdiam, tidak mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, dia berkata, "Marco sudah dapat kamar terbaru terkait anak itu. Rumah sakit memang membawa anakmu pergi dan berbohong kep
Briella kembali ke kursi kemudi dan menyesuaikan sudut kursi, baru menyalakan mobil untuk pulang.Setelah melakukan banyak hal semalaman, Zayden mengikuti Briella pulang dan masuk ke kamar tamu untuk tidur. Briella memandangi kedua kakak beradik yang tertidur lelap di atas tempat tidur. Kedua anak kecil ini benar-benar seperti malaikat, sangat pintar dan pandai bagaimana cara bersikap. Papa mereka memang suka main perempuan, tetapi sungguh sebuah keberuntungan yang luar biasa karena bisa menemukan wanita-wanita yang bisa melahirkan anak sesempurna mereka.Briella membantu mereka memakaikan selimut, lalu kembali ke tempat tidurnya.Dia tidur hingga pukul sepuluh keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bel pintu.Setelah mengan mengenakan sandal rumahan dan melewati kamar tamu, Briella tidak lupa membuka pintu kamar tamu untuk melihat Zayden dan Queena yang masih tertidur.Menutup pintu kamar tamu, Briella berjalan ke pintu depan dan melihat melalui mata kucing.Wanita yang berdiri d
Briella berjalan keluar bersama Zayden dan masuk ke dalam mobil Nathan. Saat itu sudah pukul dua pagi.Nathan mengetuk pintu mobil Briella, memberi isyarat agar Briella keluar dan berbicara.Briella menatap Zayden. "Jangan keluar dari mobil. Tidur saja kalau kamu ngantuk."Zayden memelototi Nathan dan mendengus dingin, "Banyak sekali masalah pria itu."Briella membelai kepala Zayden. "Dia memang banyak masalah. Meskipun begitu, dia bukan orang jahat. Dia akan berguna dalam keadaan darurat."Zayden menunjukkan sikap posesifnya. "Kalau begitu Mama nggak boleh suka sama dia. Mama cuma boleh suka sama Papa saja."Briella tersenyum tidak berdaya. "Apa Papa nggak pernah bilang siapa Mama kamu?""Tentu saja Papa pernah bilang. Kamu."Briella hanya menganggapnya sebagai lelucon. "Nak, tidurlah di mobil. Setelah itu, kita akan pulang."Nathan merokok tidak jauh dari situ, mengembuskan kepulan asap putih di tengah dinginnya cuaca malam. Melihat Briella turun dari mobil dan berjalan mendekat, dia
Nathan dan Zayden berhenti berdebat dan menatap Briella bersamaan. Keduanya sedikit takut saat melihat Briella marah.Erna memperhatikan Nathan. Siapa pun pasti bisa melihat kalau Nathan sangat menyukai Briella.Dia langsung bertanya pada Nathan, "Apa hubunganmu dengan Briella?""Aku mantan pacarnya."Erna kembali melanjutkan, "Lala sudah punya tunangan. Dia akan menikah dengan Klinton, tuan muda dari Keluarga Atmaja. Lebih baik kamu nggak berhubungan lagi dengannya setelah ini.""Kamu dan Klinton bertunangan?" Nathan berkata sambil menatap Briella, bertanya dengan nada serius."Dia itu rubah tua, apalagi adiknya, Davira. Apa kamu bisa hidup damai kalau menikah dengannya? Jangan menikah dengannya. Lebih baik bersamaku daripada bersamanya. Kamu mengerti?"Briella menjawab tanpa mengangkat matanya, "Kenapa aku harus menikah? Setelah menemukan anakku, aku akan baik-baik saja bahkan tanpa menikah.""Omong kosong apa yang kamu bicarakan!" Erna melanjutkan dengan kesal, "Apa maksudnya menemu
Cahaya di mata Zayden sudah meredup. Neneknya tidak sadarkan diri sejak dia lahir, jadi neneknya belum pernah bertemu dengan Zayden. Wajar saja kalau dia tidak mengenali Zayden."Dia Zayden Dominic. Biarkan saja dia memanggilmu begitu." Briella tidak tega melihat kelopak mata Zayden yang terkulai dan kehilangan. "Bukannya kamu ingin aku punya anak? Kebetulan sekali ada yang memanggilmu nenek."Erna melihat Zayden, lalu bertanya pada Briella dengan ragu, "Katakan, apa dia benar-benar anakmu?""Bukan." Briella menunjukkan ekspresi bingung. "Ini anak atasanku. Aku diminta menjaganya.""Kalau itu bukan anakmu, kenapa nama belakangnya Dominic?" Nathan berjalan mendekat dan menunjuk ke arah kepala Briella. "Apa kepalamu ini benar-benar terbentur. Kenapa kamu masih nggak percaya?"Briella tiba-tiba memikirkan hal ini dan ternyata benar. Zayden punya nama belakang yang sama dengannya.Namun, tidak peduli seberapa banyak Briella memikirkannya, dia tidak ingat kalau dia punya seorang putra seusi
Briella bisa merasakan ketidakbahagiaan Nathan. Kebencian Nathan kepada Rieta sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada Rieta. Dia tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya lagi, mana mungkin dia tidak sedih?"Aku memang sakit. Hatiku yang sakit."Briella menutup mulutnya dan menatap punggung Nathan tanpa berkata apa-apa."Jadi aku teringat denganmu. Melihatmu bisa membuatku merasa lebih baik.""Aku bukan obat penghilang rasa sakit. Pergilah ke rumah sakit kalau kamu nggak sehat.""Kamu jauh lebih manjur dibandingkan dokter dan perawat rumah sakit. Apa kaki dan pinggang mereka sekecil milikmu? Daripada mencari mereka, lebih baik aku menemuimu."Sebelum Briella sempat mengatakan sesuatu, Zayden berteriak marah, "Dasar memalukan!"Briella menutup telinga Zayden. "Nathan, kamu boleh sedih, tapi tolong tunjukkan rasa hormat padaku. Ada anak kecil di dalam mobil. Apa kamu nggak bisa bersikap normal?""Normal, aku sangat normal. Aku nggak nangis dan membuat masalah, kenapa kamu bilang aku ng
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu