Pangeran Charles berubah menjadi manusia di pagi hari ketika bulan tak terlalu benderang purnamanya. Namun, ia tak menggunakan baju sehelai benang pun. Berjalan di muka umum ia tentu akan diteriaki orang gila.Beruntung Kalira datang dengan beberapa prajurit dan menemukan sang pangeran yang tubuhnya bermandikan keringat. “Ke mana saja kau?” tanya lelaki berambut pirang itu dengan nada tinggi. “Maaf, Pangeran, tapi aku tak tahu kenapa bisa tersasar.” Saat bangun tadi Kalira sudah ada di rumahnya. Terakhir ia ingat berjalan dengan seekor anjing. Pecahan arwah Dewi Hara kemudian berpaling ketika tahu bangsawan itu tak mengenakan baju. Ia memberikan kode pada prajurit bahwa yang bersangkutan butuh pertolongan. “Bawa dia ikut ke istana, dia meninggalkanku sendirian,” tunjuk Charles pada Kalira. Kemudian dua prajurit memegang paksa tangan dan meminta Lira berlari sepanjang kereta berjalan. Kuwara yang melihat hal tak senonoh, kembali membuat kereta hancur lebur. “Bersikap baiklah deng
Reksi datang dengan wujud anjing besar dan menabrak tubuh werewolf itu hingga sang manusia serigala terpental jauh sekali. Pangeran Charles menghantam pohon dan tulang belakangnya serasa patah. Tapi ia manusia jadi-jadian yang hanya bisa mati atas kehendak Kuwara. Binatang berbulu hitam itu berdiri, melolong sangat tinggi sembari menatap rembulan dan berhadapan dengan Reksi satu lawan satu. Reksi bukan anjing biasa, ia merupakan hewan kepercayaan Raja Iblis Kuwara yang cukup sakti. Anjing dan serigala itu saling bergelut, menggigit, dan mencakar di atas tanah. Sedangkan di lain kesempatan, Kuwara turun dari langit dan lekas menolong Dewi Hara yang lehernya tergores. “Maafkan, Dewi Hara. Kau harus menderita hidup di dunia ini.” Kuwara menghentikan jalan darah di leher Kalira. Beberapa saat kemudian luka itu tertutup rapat. Andai Lira adalah dewi tentu saja lukanya tak berbekas. Sayangnya dia masih manusia biasa yang bisa terluka. Reksi datang dengan wujud manusia dengan beberapa l
Pangeran Charles berada di kamar sambil memegang jantungnya yang berdegup kencang. Tadi malam ia membunuh lagi setelah tak bisa menahan gejolak pada dirinya sendiri. Sang pangeran bahkan sudah mengundang penyihir, tapi malah penyihirnya yang mati karena tak sengaja ia bunuh. “Bodoh, semua orang bodoh!” Ia menghempas gelas kaca yang cantik hingga pecah. Pelayan kesangannya ingin mendekat tapi dihardik dan diusir. “Kenapa, kenapa dia selalu ada di mana-mana? Apakah karena dia aku berubah jadi serigala?” Lelaki berambut pirang itu berdiri dan mencari sebotol wine. Ia kalap dan ingin minum. Perangainya di luar batas kewajaran belum sampai di telinga ratu. “Pasti dia adalah kunci dari kembalinya diriku menjadi manusia biasa. Dia selalu ada di manapun aku berubah. Karl, kalau kau tak tahu bagaimana cara mengembalikanku sebagai manusia, kau akan aku mangsa.” Kembali gelas kaca dipecahkan oleh Charles sebagai bentuk kekesalannya, entah pada siapa. Kuwara tak pernah menampakkan diri padanya
Dewi Bunga Ambaramurni sedang menyiram taman bunga miliknya. Di langit tempatnya tinggal kini terasa sepi sejak Arsa tak ada lagi di sana. Ia tahu Arsa sedang mengembara, dan Dewi Ambar akan menunggu sang pujaan hati kembali serta menagih janjinya sebagai selir nanti. “Aku terlalu berharap padanya, tapi kalau tidak dengan dia aku tak mau dengan siapa pun.” Dewi Ambar memetik bunga yang sudah layu, ia embuskan di udara dan menjadi debu. Namun, debu itu wangi dan menyerap ke dalam sutra miliknya. Setiap kematian bunga akan kembali padanya. Itu sebabnya Dewi Ambar menjadi salah satu yang paling cantik di langit melebihi Dewi Hara sekali pun. “Kau masih saja di sini termenung, apa tidak bosan?” Mahadewi Senandika—Ratu kerajaan langit datang mengunjungi keponakannya. “Tentu tidak, Yang Mulia Ratu, dari sini aku bisa memandang aula mereka, hanya dengan cara itu aku bisa mengingat terus Dewa Arsa.” Dewi Ambar berbalik dan memberi hormat pada bibinya selaku penguasa kedua di langit. “Amb
Prajurit di bawah perintah Pangeran Charles memaksa masuk ke kamar. Keributan yang akhirnya terdengar oleh sang ratu dan wanita itu memutuskan tak ikut campur dengan urusan putranya. Semua prajurit yang sudah sampai berbaris. Mereka menarik selongsong senapan dan mengisinya dengan peluru. Arsa dan Kalira menunggu apa yang akan terjadi. Senjata itu termasuk baru di mata sang dewa perang. “Aku akan mati sekarang, tahu begini aku tak akan menerima tawaran pangeran bedebah itu.” Lira menarik napas panjang. “Benda apa itu?” tanya Arsa yang masuk dalam tubuh salah satu prajurit. “Itu senapan, untuk membunuh kita, sekali tembak tubuh kita bolong dibuatnya. Kau ini sebenarnya siapa?” Terheran gadis itu ada yang tak tahu apa senapan. “Oh, seperti pisau dan pedang.” “Ini lebih cepat lagi, kau belum tahu saja dengan meriam. Kenapalah yang melidungiku justru prajurit lemah sepertimu.” Lira kecewa, ia belum tahu siapa sebenarnya Arsa. “Tembak!” perintah salah satu prajurit. Dor! Satu temb
“Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi mengapa ada dua binatang buas harus berkelahi di depanku,” gumam Lira yang bersembunyi di balik pohon besar. Ada serigala dan harimau yang ukurannya tak masuk akal serta mampu membuat tanah di sekitar gadis itu bergetar kuat. Pangeran Charles yang baru saja terlempar dan jatuh ke tanah, akhirnya sadar dan lagi-lagi tanpa pakaian. Lira yang melihat lantas berpindah tempat begitu saja. “Mataku ternoda melihat hal-hal yang tidak aku inginkan.” Gadis dengan rambut plontos itu tak menghiraukan pertarungan besar antara serigala dan harimau. Justru ia tak mau didekati Pangeran Charles yagn kali ini benar-benar bergantung padanya. “Tolong,” ucap Charles dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. “Ih, astaga, pergi kau sana, menjijikkan sekali, dasar tak tahu malu.” Lira berpindah dari satu pohon lagi. Gadis tersebut berlari dan melewati tubuh seekor harimau yang sedang melompat dan menerjang seekor serigala. Charles tak menyerah dan terus mengikuti L
Dewi Anjas masuk ke dalam ruangan tempat ia menyimpan obat-obatan. Ia tahu apa yang harus dilakukan pada lelaki berjubah hitam tersebut. Hanya saja Anjas jadi terdiam sejenak. “Apakah Arsa baik-baik saja? Kalau perisai ini lemah bukankah artinya dia terluka?” gumamnya ketika menemukan obat yang dicari. “Ah, nanti saja aku cari tahu bagaimana keadaan Arsa, sudah lama sekali aku tak bertemu dengan mereka, Hara juga. Apa kabar mereka, ya?” Dewi Anjasmara masuk ke dalam kamar di mana Kuwara berbaring tanpa bergerak sama sekali. Tanda hitam di tubuh raja iblis itu hampir menghancurkan lambungnya. Dengan cepat Dewi Anjas memaksa pil masuk ke dalam tenggorokan Kuwara. Awalnya ditolak dan keluar lagi. Kemudian dengan tenaga dalam milik Anjas pil itu tertelan oleh raja iblis. “Aku yakin yang menyerangmu juga bukan dewa sembarangan. Terserahlah, itu urusan kalian, aku hanya menolong yang di depan mataku saja. Nanti tanda hitam ini akan hilang pelan-pelan, serta napas dan peredaran darahmu a
Kuwara telah membaik, tubuhnya tak lagi menghitam setelah Dewi Anjas menolongnya dari ambang maut. Seharusnya dia berterima kasih, etikanya begitu pada sesama dewa. Namun, sudah sejak lama Kuwara tak menjadi dewa. Ia terusir dari kerajaan langit karena fitnah yang lain juga. “Jadi Dewi itu tadi temannya Arsa.” Kuwara bangun dan memakai jubahnya. Kediaman Dewi Anjas kini tak ubahnya seperti sarang iblis. Hawa hitam pekat di mana-mana dan kekejian begitu tergambar jelas. “Benar, Tuan, tapi dia juga yang menolongmu.” Reksi datang menyambut kembali tuannya. “Dan sekarang dia turun menolong Arsa, bukan? Menolong Arsa sama saja mengobarkan peperangan padaku.” “Tuan, dia hanya seorang dewi biasa. Ilmunya tidak akan sebanding denganmu.” “Reksi, kau masih terlalu muda. Jangan menilai seseorang yang biasa-biasa saja tidak berbahaya. Justru dewi seperti dia akan membuat Arsa kuat. Persahabatan yang terjalin begitu lama tidak akan goyah karna harta dan takhta.” “Jadi, apa yang akan Tuan la
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling