Bagian 1: Suara Rintihan
“Apa? Kamu tega nyuruh adikmu sendiri tinggal di kost-kostan? Maya, di mana perasaanmu? Kamu memang nggak pernah nganggap Navita itu sebagai adikmu!” Suara Bunda Lisa meninggi. Membuat gendang telingaku rasanya mau pecah. Refleks ponsel yang sempat menempel di telinga itu langsung kujauhkan.
Sambil menghela napas panjang aku menjawab salah pahamnya ibu tiriku, “Bun, maaf. Bukan aku tega atau sampai tidak menganggap Navita adikku sendiri atau bagaimana. Bukan begitu—”
“Lantas apa, May? Navita itu darah dagingmu sendiri! Kalian itu satu bapak! Sedarah! Apa yang membuatmu enggan menampung saudara sedarah sendiri di rumahmu? Adik satu-satumu itu mau kuliah dengan baik, apa kamu tidak khawatir kalau dia tinggal mengekost? Astaga! Kamu bikin hatiku sakit rasanya, May!” Bunda histeris di seberang sana. Membuatku jadi serba salah dan tidak enak hati.
“Bun, begini. Aku kan, sudah menikah. Apalagi … aku dan Mas Refal baru saja menikah. K-kami butuh eksklusifitas di rumah.”
“Ya Tuhan! Eksklusifitas katamu? Baiklah, Maya. Ternyata kamu bukan kakak yang baik. Aku sudah salah duga kepadamu selama ini. Dua puluh tahun aku nikah sama ayahmu, dua puluh tahun juga aku merawat kamu seperti darah dagingku sendiri. Sekarang, giliran sudah sukses dan punya rumah sendiri di kota besar, kamu ternyata sudah melupakan jasa-jasaku sebagai seorang ibu.”
Aku terhenyak dengan kemarahannya Bunda yang sangat berlebihan. Bukan begitu maksudku! Aku sudah niat baik untuk mengajak Navita tinggal di kota ini dan membiayakannya penuh kamar kostan yang nyaman lagi lengkap fasilitasnya. Namun, kenapa Bunda malah salah paham begini?
“Bun, bukan begitu. Demi Allah, bukan begitu maksudku, Bun.”
Klik!
Sambungan telepon pun diputuskan secara sepihak oleh Bunda. Aku kaget. Merasa bersalah dan sedih luar biasa.
Sambil duduk di bibir ranjang, aku menghela napas dalam. Ya Allah, aku salah bicara lagi. Padahal, setengah mati aku menjelaskan kepada Bunda agar dia tidak salah paham.
Aku ini sudah menikah. Mana mungkin kubiarkan ada perempuan lain tinggal satu atap denganku di sini? Bukan karena aku tidak percaya kepada suamiku sendiri. Bukan juga karena aku terlalu cemburu buta kepada Mas Refal. Namun, apa salahnya bagiku untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Belum tuntas gemuruh galau di dalam dadaku, kini sudah masuk lagi sebuah panggilan ke ponsel. Saat kulihat layar, aku makin bimbang dan cemas. Telepon dari Ayah. Pria penyabar yang selalu memberikan kasih sayangnya kepadaku, meskipun aku tak lagi memiliki ibu kandung sejak berusia 5 tahun.
Agak berat, kuangkat telepon dari Ayah. Diam-diam aku berdoa agar tidak ada salah paham lagi. Aku ingin menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik.
“Halo, Yah,” ucapku manis sambil menahan sesaknya dada akibat dimarahi Bunda barusan.
“Maya, kamu lagi apa, Nak? Lagi di mana sekarang?” Ayah bertanya lembut. Pria paruh baya pensiunan bank milik BUMN itu selalu bertanya dengan nada yang santun kepada anak-anaknya.
“Lagi santai aja, Yah. Ini lagi di rumah sendirian. Mas Refal keluar nyervis mobil sekalian belanja alat pertukangan. Ayah sendiri lagi apa?” Aku menggigit bibir bawahku. Bertanya-tanya, apa yang akan Ayah lontarkan setelah ini. Mungkinkah beliau juga akan memarahiku seperti Bunda?
“Ayah lagi di rumah juga sama Bunda dan Navita. Oh, ya, May. Ayah dengar … Maya tidak mau kalau Navita tinggal di rumahnya Maya sama Refal, ya? Kenapa itu Nak, kalau Ayah boleh tahu?”
Aku menarik napas dalam. Tebakanku benar. Ayah akhirnya bertanya juga tentang hal yang sama dengan Bunda.
“B-begini, Yah …. Aku kan, baru nikah. Belum juga setahun. Rasanya masih ingin mesra-mesraan sama suami sendiri. Takutnya, kalau ada Navita di sini bikin aku dan Mas Refal canggung.” Hati-hati sekali aku menjelaskan. Supaya Ayah tidak tersinggung dan lekas marah seperti Bunda.
“Oh, jadi begitu, ya? Tapi, Ayah yakin kok, kalau Navita itu tidak akan mengganggu kemesraan Maya dan Refal. Ayah jamin itu, Nak. Ayah sama Bunda tidak percaya kalau Navita tinggal di kost-kostan. Zaman sekarang, kan, semuanya serba jadi edan. Kamu saja dulu waktu kuliah tinggalnya di asrama. Boleh ya, Nak?”
Aku pun memejamkan mataku rapat-rapat. Aku sebenarnya tidak mau mengalah dengan permintaannya Ayah. Namun, aku juga tidak tega buat menolak keinginannya mentah-mentah. Bagaimana ini?
“Gimana, Nak?” Ayah mengulangi.
“Aku diskusikan sama Mas Refal dulu ya, Yah,” ucapku mencari alasan.
“Ayah sudah telepon Refal kok, kemarin. Refal bilang oke-oke saja. Dia tidak keberatan. Makanya Ayah berani meminta ke kamu begini, May. Tinggal dari Mayanya saja yang belum oke.”
Ulu hatiku terasa seperti dihunjam pisau belati. Tidak kusangka kalau Ayah dan Bunda malah sudah berbicara kepada Mas Refal tanpa sepengetahuanku. Mas Refal juga tidak ada cerita-cerita padahal sepanjang malam Minggu tadi, kami banyak bercengkerama sejak dia pulang dari kantornya.
“B-baik, Yah.”
“Kalau begitu, kamu setuju kan, May?”
“S-setuju ….”
“Alhamdulillah. Makasih ya, May. Lusa, Navita akan Ayah antar plus barang-barangnya. Tolong antar ke mana pun dia perlu ya, May. Daftarkan ke kampus yang terbaik menurutmu. Ayah percaya sama Maya.”
Semenolak apa pun aku, tetap saja yang terbayang di pelupuk mata ini hanyalah sosok Ayah semata. Mana mungkin aku membuat beliau kecewa. Sedangkan kedua tangan beliau sudah lelah bekerja untuk membesarkanku sejak lahir.
***
“Mas Refal … jangan lakukan itu, Mas! Kumohon … j-jangan ….”
Suara itu sangat jelas di telingaku. Seperti sebuah rintihan yang umumnya diperdengarkan seorang perempuan kala mendapat sentuhan spesial dari pasangannya. Suara itu … mirip sekali dengan miliknya Navita—adik satu ayahku.
Tubuhku gemetar. Kelopak mataku langsung membuka lebar-lebar. Aku menoleh ke samping tempat tidurku, tak ada Mas Refal di sana. Sementara itu, sprei ranjang kami yang putih sudah berantakan.
Napasku pun terengah. Navita tadi sore baru saja tiba di rumah kami. Dia menginap persis di kamar sebelah kiri dari kamarku. Dan … terdengar lagi sebuah suara dari arah kamar sebelah. Bedanya, kali ini suara itu adalah miliknya lelaki. Persis dengan suara Mas Refal—suamiku.
“Ssst … j-jangan keras-keras. Nanti kakakmu dengar, Sayang ….”
Aku langsung bangkit dari rebahku. Kakiku lemah untuk sekadar melangkah turun dari ranjang. Lidahku pun kelu. Namun, akhirnya aku mampu untuk berteriak kencang.
“Mas Refal!”
(Bersambung)
Bagian 2: Ternyata …. “Maya!” Pekik jerit itu membuatku spontan membelalakan mata sebesar mungkin. Aku terbangun dari tidurku. Napasku terengah-engah seperti orang yang habis dikejar-kejar oleh anjing. Terasa juga olehku keringat sebesar bulir jagung membasahi dahi dan rambut hingga lembab. “Mas! Mas Refal!” Aku berteriak sambil menoleh ke sebelah kananku. Lelaki tinggi dengan rambut yang acak-acakan dan mata memerah itu merangkulku erat. Dia menatapku dengan tatapan yang bingung. “Kamu kenapa teriak-teriak begitu? Kamu tidur nggak baca doa, ya?” Mas Refal bertanya. Dia lalu menarik napas dalam dan berdecak. Aku masih saja terengah-engah. Kupeluk erat tubuh suamiku. Ternyata semua yang kudengar tadi hanyalah mimpi buruk belaka. Ya Allah … tapi kenapa seperti nyata sekali, ya? Bahkan, aku masih ingat betul dengan nada maupun isi kalimat mereka berdua tadi. “A-aku … mimpi kamu selingkuh sama adikku
Bagian 3: Caper “Refal, Ayah bangga sama kamu. Kariermu bagus sekali. Sudah karyawan tetap di bank BUMN. Ayah doakan, semoga kelak Refal bisa jadi kepala cabang seperti Ayah dulu, ya. Kalau ingat masa-masa itu, rasanya indah sekali.” Ayah menatap langit-langit. Beliau berbicara seolah tengah mengenang masa kejayaannya. Ya, Ayah memang sudah pensiun tiga tahun yang lalu. Setelah pensiun, uang pesangonnya langsung Bunda gunakan untuk kami berangkat umroh sekeluarga. Aku, Ayah, Bunda, Navita, nenek dan kakek dari pihak Bunda, bahkan kedua adik-adiknya Bunda yang sudah punya suami. Bayangkan, betapa besarnya biaya yang digelontorkan saat itu! Dulu, aku ingin sekali memberikan masukan agar uang pesangon Ayah disimpan saja untuk biaya pendidikan adikku yang kala itu baru masuk SMA. Akan tetapi, aku tidak punya keberanian lebih karena aku paham betul bahwa aku hanyalah seorang anak yang tidak perlu banyak ikut campur urusan orangtua. Makanya, seka
Bagian 4: Kena Skak “Berkat bundamu di rumahlah, kalian bisa seperti ini, Maya. Kamu jadi sarjana yang pernah membanggakan Ayah karena cumlaude serta pernah bekerja di tempat yang bonafide. Sedangkan adikmu, Navita, dia bisa jadi juara tiga umum di sekolahnya saat penerimaan nilai ujian sekolah kemarin. Semua berkat Bunda Lisa hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak ke mana-mana.” Ayah malah memberikan pembelaan. Membuat hatiku jadi perih sendiri. Walaupun sudah dibela, muka Bunda kulihat tetap merah padam. Pasti karena ucapanku yang sangat nyelekit tadi. Rasakan itu, Bun. Aku bisa lebih pedas lagi kalau dia berani-beraninya menyinggung tentang pekerjaan maupun bentuk fisikku. Lihat saja! “Besok aku mau jadi ibu rumah tangga juga kaya Bunda. Makanya aku mau cari suami yang kaya raya biar aku nggak perlu capek-capek kerja begadang. Kalau Mas Refal sih, sebenarnya juga udah mapan menurutku. Mungkin karena dari Mbak Mayanya sendiri nggak sih
Bagian 5: Terserah Saja! “Kamu aneh, Mas! Udah jelas-jelas kamu dengar sendiri kan, kalau aku pas makan malam tadi habis-habisan dipojokin sama mereka bertiga. Kok, kamu malah bilang aku kasar ke Navita? Kamu serius, Mas?” Mataku langsung membulat sempurna. Aku pun bangkit dari rebahku. Duduk bersila dengan dua bahu yang tegang. Mas Refal pun jadi ikut bangkit dari tidurannya. Terlihat bahwa pria berambut lurus itu menghela napasnya panjang. Tangan Mas Refal lalu mengurut-urut pelipisnya. “Ya, udah. Kalau memang kamu merasa dipojokin, aku rasa cukup kamu dengarkan saja, May. Itu nggak ngaruh buat kehidupanmu, kan? Meskipun dikata-katain sama keluargamu sendiri, apa nggak sebaiknya kamu diam aja? Nggak usah ditanggepin. Toh, kamu tetap jadi Maya yang smart dan punya karier editing bagus. Oke?” Mas Refal meraih dua bahuku. Tatapan manik hitamnya pun dalam ke arah bola mataku. “Jadi, maumu apa setelah menceramahik
Bagian 6: Terkulai Lemah “Maya! Kamu ini kenapa, May?!” Suara bentakan itu menyeruak ke telingaku. Seketika duniaku jadi hening sejenak. Tak lagi ada suara-suara desahan erotis itu lagi. Perlahan aku membuka mataku. Kulihat, Mas Refal sudah duduk sambil menatapku dengan muka yang syok. Matanya membeliak kaget. Astaga! Mimpi buruk lagi! Sudah dua kali aku memimpikan hal yang sangat tidak pantas tentang Mas Refal dan adik tiriku sendiri. Ya Allah, aku ini kenapa? “Kamu kenapa teriak seperti itu, May? Kamu sampai bilang aku berzina segala! Istighfar!” Mas Refal tampak marah. Kedua tangan lelaki itu lalu menarik tanganku agar aku bisa segera bangun. “M-maaf, Mas ….” Aku berucap lirih. Ketika bangun pun, pemandanganku langsung berkunang-kunang. Segera saja aku menutup mata sejenak, tetapi tetap duduk sambil bersandar di kepala ranjang. “Astaga! Kepalamu panas ini, May! Kamu demam. Sampa
Bagian 7: Astaga! “Maya, kamu demam?” Aku terbangun dari lelapku. Kupandangi sosok di sebelah tempat tidur yang berdiri sambil memperhatikanku dengan raut khawatir. Dia adalah Bunda. Wanita kepala empat itu terlihat sudah cantik dan rapi. Rambut sebahu hitamnya dia gelung ke atas seperti pramugari. Sedangkan tubuhnya yang tinggi langsing dia balut dengan blus berwarna hitam dan celana panjang warna krem. Mau ke mana Bunda pagi-pagi begini? “Iya, Bun. Tenggorokanku sakit,” ucapku dengan suara parau. Aku berusaha untuk bangkit dari ranjang. Kepalaku ternyata masih berat. Tumben-tumbenan, pikirku. Biasanya, kalau sudah minum obat pereda nyeri seperti parasetamol, sakit kepalaku akan sembuh dalam waktu singkat. Namun, kali ini malah berbeda. Aneh! “Kata Refal tadi malam badanmu panas dan kena radang. Kasihan Refal tadi pagi. Nggak ada makanan buat sarapan di meja. Jadinya Navita yang inisiatif bikinin nasi goreng b
Bagian 8: Sorry, deh! “Nggak janji, Bun. Aku pikir, Navita ngambil kuliahnya mirip-mirip sama aku. Entah ekonomi atau mungkin akuntansi dan semacamnya. Kalau harus ambil fakultas kedokteran atau farmasi, terus aku diminta untuk membayarkannya secara full apalagi di kampus swasta favorit, aku mohon maaf. Aku nggak sanggup, Bun,” jawabku tegas. Muka Bunda langsung berubah merah. Dia buru-buru menarik genggaman jemarinya dari tanganku. Tentu saja perubahan ekspresi yang begitu tiba-tiba dan drastis tersebut membuatku ikut syok. Bunda, ternyata kemanisannya hanya karena ada mau belaka. “Kamu mau membuat mimpi adikmu kandas, May?” tanya Bunda. Mukanya seperti orang yang sudah kehabisan sabar. “Bukan begitu. Silakan bermimpi setinggi apa pun, Bun. Cuma, kalau aku harus disuruh menanggung semuanya, aku tidak mampu, Bun. Coba Bunda minta tolong ke saudara-saudara Bunda saja. Tante Amel dan Tante Alya kan, suaminya punya pekerjaan bag
Bagian 9: Tak Percaya “Mas, kamu itu kenapa, sih? Kenapa kamu tiba-tiba marah besar untuk hal sepele kaya begini? Aku memangnya salah apa sama kamu?!” Aku yang sudah kehabisan sabar pun akhirnya memuntahkan kemarahanku juga. Tidak bisa dibiarkan, pikirku. Mas Refal seperti orang yang kesetanan kalau menyangkut masalah keluarga dan adikku. Kenapa, sih? Kaya aku ini orang yang paling salah sedunia saja. Hanya karena makan malam, reaksi dia bisa seperti orang yang kebakaran bokong! “May, kamu masih tanya aku kenapa? Astaga, May! Kamu seharusnya mikirlah, May! Aku ini menantu laki-laki pertama dan satu-satunya dari orangtuamu! Apa kamu nggak mikir tanggapan dari orangtuamu ke aku bagaimana? Aku hanya nggak mau dibilang mantu durhaka yang membuat istriku jadi tidak bakti ke orangtua kandungnya sendiri. Come on, Maya! Aku begini karena aku sayang sama kamu. Aku susah untuk meyakinkan ayahmu dulu pas meminang kamu. Beliau kasih restu dengan catata
Bagian 26: Maaf, Aku Lelah! “Ibu, aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Keputusanku sudah bulat. Mungkin kedengarannya sangat kejam, tapi kami berdua sudah sepakat di depan notaris sebelum menikah, bahwa barang siapa yang berselingkuh, maka dialah yang akan keluar dari rumah tanpa membawa harta sekeping pun!” Aku tegas berucap. Tangisan Bu Rini sedikit pun tidak membuat hatiku luluh. Bukan tega atau kejam kepada orangtua, tetapi di sini aku yang tersakiti. Kupegang kedua bahu ibu mertuaku. Susah payah kubantu beliau untuk bangkit dari simpuhnya. Bu Rini masih saja pecah tangisan pilunya. Percuma, pikirku. Menangis sekencang apa pun ibu mertuaku, hal itu tak akan menjadi sebuah alasan bagiku untuk mengurungkan niat semula. Mas Refal harus mendapatkan ganjaran atas apa yang dia perbuat hari ini. “May … Ibu mohon,” pinta Bu Rini seraya memelukku kencang. Di hadapan banyak orang termasuk anaknya sendiri ya
Bagian 25: Darah Lebih Kental Dari Air Benar saja, Mas Refal dan Navita akhirnya diarak oleh para warga komplek dengan berjalan kaki menuju rumahnya ketua RT yang berada di blok F. Aku dan Bu Rini tentu saja ikut serta. Bedanya, kami berdua naik motor. Aku yang membonceng mertuaku tersebut. Beliau dari tadi hanya bisa terisak-isak sambil memelukku dari belakang. Hati Bu Rini pasti hancur berkeping-keping. Di depan sana, arak-arakkan warga terlihat semakin ramai. Sorak sorai penduduk yang bahkan hanya menyaksikan dari teras rumah masing-masing pun terdengar begitu membahana. Komplek perumahan yang biasanya terasa begitu sunyi di malam hari sebab para penduduknya sibuk beraktifitasi di dalam rumah, kini berubah begitu ingar bingar. Semua kehebohan ini disebabkan tak lain dan tak bukan karena perzinahan Mas Refal bersama Navita. Siapa yang tak malu wajahnya jika sang suami bermain gila di depan mata kepala sendiri? Tentu aku sudah begitu malu den
Bagian 24: Matilah Kalian!Flash ponsel kunyalakan. Kini, di tengah kamar yang remang-remang tanpa pencahayaan kecuali lampu flash ponsel serta cahaya dari lorong di depan kamarku, tampak jelas dua insan biadab tengah bercinta tanpa seutas busana pun. Navita berada di atas tubuh polos suamiku. Keduanya tampak sama-sama syok saat aku dan Bu Rini berhasil memergoki mereka. “Refal! Astaghfirullah! Apa yang kamu lakukan? Ya Allah!” Bu Rini berteriak histeris. Beliau sampai terduduk di atas lantai dengan tangisan yang pecah. “Apa-apaan kalian?” Mas Refal panik luar biasa. Tanpa sadar, dia mendorong tubuh Navita yang masih menempel di atas tubuhnya hingga perempuan itu terjatuh di kasur. Bisa kulihat dengan jelas persetubuhan haram tersebut telah terjadi di atas ranjang tidur kami. Lampu kamar pun kunyalakan, Mas Refal dan Navita sama-sama menyipitkan mata. Mereka berdua kalang kabut mencari pakaian demi menutupi tubuh telanjangnya tersebut. Sedangk
Bab 23: Kutemukan Dia dan Dia Berkhianat Makan malam benar-benar aku yang buat dan hidangkan spesial untuk ibu mertuaku. Dengan bahan makanan apa adanya yang tersedia di kulkas, masakan sederhana itu pun berhasil siap di atas meja makan. Bu Rini kulihat begitu senang dengan hasil karyaku malam ini. Berkali-kali dia memujiku. Padahal, hanya tempe goreng, sayur bening, dan telur dadar yang kubuat untuknya. Masyaallah, beliau memang mertua yang selalu memuji dan tak pernah meremehkan apalagi julid kepada mantunya sendiri. Selesai makan malam, Bu Rini lalu mengajakku untuk salat Isya berjamaah terlebih dahulu. Aku menurut. Kata mertuaku, biar kami lebih tenang kalau pergi-pergi. Meninggalkan rumah dalam keadaan sudah salat adalah sebuah kelegaan tersendiri. Begitu ujarnya. Habis salat, Bu Rini hanya zikir sebentar saja. Dia tidak mengaji, karena aku tahu kami harus buru-buru mendatangi rumah Mas Refal. Takutnya kemalaman di jalan. Apalagi jarak te
Bab 22: Air Mata Ibu “Ibu benar-benar tidak percaya kalau sikap Refal bisa berubah sedrastis ini, May. Ibu seperti tidak lagi mengenali suamimu itu. Dia seperti bukan anak Ibu yang dulu Ibu besarkan dengan penuh kasih sayang. Ya Allah, ada apa dengan Refal sebenarnya?” Bu Rini terisak kembali seusai dia memutuskan sambungan telepon sepihak dari anaknya. Ibu mertuaku itu benar-benar terlihat frustrasi. Tega benar Mas Refal. Lelaki itu seperti orang yang kesetanan. Dia sudah lupa daratan, hingga tega-teganya mencaci maki ibu kandungnya sendiri. Biadab! “Bu, sudah, ya. Ibu jangan sedih lagi. Ada Maya di sini, Bu. Kita jangan bahas Mas Refal dulu. Lebih baik kita lupakan sejenak laki-laki itu. Aku tahu kalau Ibu pasti terluka dengan sikapnya, tapi aku yakin, suatu hari nanti Mas Refal pasti akan menyesal dan meminta ampun kepada Ibu atas kejadian tadi.” Lekas kupeluk erat tubuh Bu Rini. Mau berapa kali dia menangis hari ini. Kasihan sekali, pikirk
Bagian 21: Telepon Makian dari SuamikuKutarik napas dalam-dalam. Kupersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi saat aku mengangkat telepon dari suamiku tersebut. Semoga saja, isi telepon ini bukan caci maki lagi, sebab aku sudah capek mengeluarkan ucapan tak senonoh dari mulut untuk membalas segala kalimat yang menyakitkan dari orang apalagi suami sendiri. Kuangkat telepon dari Mas Refal sambil ku-loudspeaker-kan. Biar Bu Rini bisa mendengar kata-kata yang terlontar dari anaknya. “Assalamualaikum,” sapaku lembut pada Mas Refal meskipun sebenarnya hatiku begitu sakit dan dongkol. “Kamu di mana?” Dengar sendiri, bukan? Dia bahkan tidak menjawab salam dariku. Malah bertanya di mana diriku berada. Padahal, sekarang baru pukul empat sore, lho. Mas Refal seharusnya masih berada di meja kerjanya untuk meneruskan pekerjaan meskipun pelayanan di bank sudah ditutup untuk para konsumen. "Di rumah ibu
Bagian 20: Tetes Air Mata “Anak nggak punya otak kamu, Nav!” Setelah memaki Navita, aku pun langsung mematikan sambungan teleponku. Mau ditaruh di mana mukaku di depan Bu Rini sekarang? Aku sebagai menantunya kini tak bisa berkata-kata lagi saat adikku sendiri menghina mertuaku di depannya. Walaupun via telepon dan hinaan itu bukan dari mulutku sendiri, tetapi itu menandakan bahwa aku memiliki keluarga yang tidak beres, kan? Aku sebagai kakak juga sudah gagal besar dalam mendidik adikku. Ya Allah, semoga Bu Rini tidak menaruh kebencian kepadaku juga. Aku takut. Benar-benar takut. “Adikmu benar-benar keterlaluan, May,” ucap Bu Rini. Aku menoleh kepada beliau. Kulihat air mata di pipi beliau ternyata sudah menitik. Gegas aku memeluk Bu Rini dan mengusap-usap pundaknya. “Bu, aku minta maaf, ya. Navita sangat keterlaluan sekali. Mulutnya seperti tidak pernah diajari sopan santun oleh orangtua. Sebagai kakaknya, aku bena
Bagian 19: Jalang Yang Menguji Imanku Selesai makan bakso berduaan dengan Bu Rini, kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah beliau. Beliau mengajakku beristirahat sejenak di teras belakang rumahnya sambil menikmati segelas es teh lemon buatan tangannya sendiri. Sudah kutolak sebab perutku masih kenyang akan bakso dan es teh manis di warung Bang Jenggot tadi, tetapi Bu Rini tetap memaksa agar aku meminum es the buatannya. Di teras belakang, kami berdua duduk di kursi rotan tua yang menghadap ke arah taman yang ditanami dengan aneka pohon buah dan bunga-bunga hias dalam pot. Ada pohon nangka dan rambutan, serta ada pula tanaman empon-emponan seperti kunyit, jahe, dan lengkuas. Sedangkan bunga-bunga yang tumbuh di dalam pot-pot hitam didominasi oleh bugenvil dan bunga kenanga. Saat aku tengah duduk sembari menikmati segelas es the lemon buatan Bu Rini, ponsel di dalam celanaku berdering. Sudah kuduga bahwa telepon masuk itu adalah dari adikku,
Bagian 18 B: Kesepakatan Berdua Aku terdiam sejenak. Lanjut memakan baksoku, meskipun di lidah ini rasanya jadi hambar. Seperti kurang bumbu dan garam. Padahal, sepanjang yang aku tahu, bakso buatan warung Bang Jenggot ini adalah bakso terenak yang pernah aku makan di kelurahan tempat Mas Refal tinggal. Ini pasti karena hatiku sedang patah berkeping, makanya makanan enak pun jadi terasa hambar di lidah. “Kamu mau menginap sama Ibu di sini, May?” tanya Bu Rini tiba-tiba sembari mengunyah habis makanan di mulutnya. Aku sontak menggeleng. Lekas kutelan bakso yang sudah lumat akibat kunyahan, lalu kujawab pertanyaan Bu Rini dengan tegas, “Tidak mungkin, Bu. Kalau aku tinggalkan Navita dan Mas Refal berduaan di rumah saja, maka mereka akan kegirangan. Kelakuan mereka pasti akan tambah gila!” “Kalau begitu, coba besok kamu pasang saja CCTV, May. Diam-diam kamu pantau kondisi rumah. Lalu, sesekali kamu ke rumahnya Ibu. Buat alas